Saturday, August 11, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - IMBAUAN Syafe'i Ma'arif

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 03 Agustus 2007
-----------------------
IMBAUAN Syafe'i Ma'arif:
Sekitar 'FAKTOR ISLAM'.

Sebuah artikel di Mingguan Gatra pekan lalu, oleh Ahmad Syafe'i Ma'arif, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, patut dibaca, dipelajari dan dibicarakan di kalangan umat Islam. Pemerhati perkembangan dan pengaruh Islam di Indonesia, pasti kenal tokoh-tokoh cendekiawan Islam, seperti Cak Nur, Gus Dur, Azyumardi Azra dan sejumlah kaum muda cendekiawan Islam lainnya. Mereka-mereka itu dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam Indonesia yang berpandangan luas, akomodatif serta rasional, didasarkan atas kenyataan sejarah, bahwa di dunia ini, termasuk negeri kita, yang hidup adalah insan-insan yang multi-religi multi-kepercayaan, dan multi keyakinan.Dan bahwa ummat Islam adalah sebagian dari padanya, bagian yang bukan mayoritas.

Tokoh ilmuwan Islam A. Syafe'i Ma'arif, adalah salah seorang dari tokoh Islam yang seperti itu. Para tokoh Islam moderat tsb, jelas pandangan mereka itu, tidak sama dalam semua hal. Namun, satu kesamaan mereka, ialah, bahwa agama, kepercyaan dan keyakinan politik, seyogianya diabdikan pada pemberlakuan demokrasi, sekularisme, multi-kulturalisme dan pluralisme. Semua itu demi keharmonisan hidup di kalangan seluruh ummat Illahi di planit yang fana ini.

* * *

Dengan artikelnya, berjudul 'FAKTOR ISLAM', Ma'arif, di satu fihak berusaha menganalisis: Mengapa di dunia Islam dewasa ini, tak terasa dan tak tampak adanya solidaritas (imaniah) yang tanpa pamrih. Halmana a.l. menjadi penyebab berlangsungnya terus situasi konflik, termasuk konflik kekerasan di kalangan umat Islam sendiri, bahwa sejumlah (kecil) negara dan ummat Islam kaya raya serta hidup mewah, sedangkan sejumlah (besar), bagian mayoritas ummat seagama, terpaksa memperpanjang hidupnya dalam penderitaan, kemiskinan dan keterbelakangan.

Yang menonjol dialami ummat, justru adalah konflik-konflik antara sesama Muslim, seperti yang pernah terjadi di Libanon, kini terjadi di Irak, Afghanistan dan Palestina.

Di lain fihak, tulisan Ma'arif adalah suatu I M B A U A N , supaya umat Islam, sedunia, khususnya yang ada di negeri sendiri, agar benar-benar mengkhayati ajaran Al Qur'an. Dengan nada setengah mengeluh, setengah mengkritik, tapi lebih banyak mengimbau, Ma'arif mengingatkan pembacanya pada 'Cita-cita Al-Quran' tentang persaudaraan imaniah. Yang menurut Ma'arif, ajaran Al-Qur'an itu sudah 'kita campakkan begitu saja ke dalam limbo sejarah.'

* * *

Mayoritas penduduk Indonesia, nyatanya, adalah pemeluk Islam. Tetapi juga bisa dilihat bahwa mayoritas kaum Muslim Indonesia tak suka, bahkan menentang kekerasan, menentang tindakan-tindakan teror yang dilakukan atas nama melaksanakan ajaran Al Qur'an, menentang penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik segolongan tertentu.

Juga bisa disaksikan bahwa mayoritas kaum Muslim Indonesia berpandangan sekular, pluralis dan multikultural. Suatu pandangan yang memilih hidup berdampingan secara harmonis dan gotong-royong di kalangan rakyat, pemeluk pelbagai keyakinan agama dan kepercayaan. Yang memisahkan, yang tidak mencampur adukkan urusan kenegaraan dengan ajaran agama. Suatu pandangan yang sesuai dengan falsafah negara Republik Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Eka, Kesatuan dalam Keragaman, atau Berbeda-beda tapi Satu.

Eksistensi dan survival bangsa ini, serta keyakinan akan haridepan yang lebih baik, bahwa, bisanya dipertahankan terus, dikembangkan dan didorong maju peri kehidupan bangsa ini, demikian pula dibangunnya kesadaran dan pengokohan identitasnya, semua itu, berkat suatu pandangan mayoritas bangsa yang rela dan sedia berpijak pada, serta bertolak dari prinsip-prinsip hidup bernegara seperti yang diuraikan oleh Bapak Nasion, Bung Karno dalam 'Lahirnya PANCASILA' (1 Juni 1945).

Tetapi juga adalah suatu realita yang tak bisa dibantah, bahwa dalam perjuangan bangsa ini untuk suatu 'nationhood' untuk tegaknya suatu negara Indonesia yang demokratis dan adil, yang sama derajat dengan bangsa-bangsa dan negara-negara lain, bahwa ISLAM telah memainkan dan akan terus memainkan peranan penting, fital serta positif. Faktor Islam yang demikian itu adalah faktor Islam yang menenggang terhadap kepecayaan dan keyakinan lainnya, yang bersatu dengan kekuatan politik Nasional dan keuatan politik yang berpandangan Sosialis.

Sejarah bangsa ini mencatat bahwa dengan persatuan dan kesatuan kemauan dan semangat, antara kaum Muslimin, Nasionalis dan kaum Sosialis (Bung Karno merumuskan sebagai persatuan antara kaum Nasionalis, Islamis dan Marxis), nasion ini berhasil mengusir kolonialisme dari bumi persada, menegakkan negara Republik Indonesia, berhasil mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, berhasil pula mempertahankan kesatuan negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Tak dapat dipungkiri, kiranya, bahwa adalah berkat kesatuan kemauan dari kalangan pembela Reformasi dan Demokratisasi, baik yang beraliran Islamis, nasionalis maupun Sosialis, yang telah memungkinkan ditumbangkannya rezim otoriter, anti demokratis dan korup, seperti Orba yang dikepalai oleh Jenderal Suharto.

Demikian pula halnya, adalah kesatuan kemauan dari pelbagai aliran agama dan keyakinan politik di Indonesia yang memungkinan dilaksanakannya pemilihan umum demokratis pertama pasca Suharto.
Begitu pula adalah kekuatan ini yang telah memungkinkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4.

Apakah tuntutan-tuntutan Reformasi dan Demokrasi bisa memperoleh kemajuan atau tidak, bisa juga dipastikan, --- hal tsb tergantung pada ada dan kokohnya kesatuan kemauan dan 'political will' dari kekuatan-kekuatan demokratis di dalam masyarakat, baik yang beraliran Islamis, nasionalis maupun sosialis.

Di bawah ini dipublikasikan kembali tulisan Syafe'i Maa'rif tsb. berjudul FAKTOR ISLAM.

* * *

AHMAD SYAFI'I MA'ARIF

---------------------------------------------------------
FAKTOR ISLAM
Dalam sebuah kuliah di Universitas Chicago awal 1980-an, guru saya, almarhum Fazlur Rahman, pernah mengeluhkan tentang betapa carut-marutnya dunia Islam. Sampai-sampai terlontar ucapan ini: "We live in a different kind of Islam, not in a Qur'anic Islam (Kita hidup dalam sebuah Islam yang lain, bukan Islam Qurani.)"

Pernyataan itu sering saya ulang di berbagai forum untuk menunjukkan betapa jauhnya rentangan jarak antara cita-cita Al-Quran tentang persaudaraan dan realitas umat yang berkeping-keping. Kita ambil contoh tentang betapa sulit dan rumitnya umat Islam menggalang semangat persaudaraan yang begitu tegas dan tajam diperintahkan Kitab Suci. Tengoklah contoh yang masih hangat di Irak dan Afghanistan yang tercabik-cabik oleh berbagai faksi dan golongan.

Tengoklah faksi Fatah dan faksi Hamas yang menembakkan peluru untuk saling membunuh. Tengok pula negeri-negeri muslim di mana persaudaraan inter-umat sering benar terkoyak. Umumnya faktor politiklah yang menjadi pemicu utama mengapa umat ini masih saja sempoyongan berjalan di muka bumi.

Kita tentu boleh dan sah saja membidik pihak lain sebagai kekuatan yang mengadu domba kita sesama muslim. Tetapi hendaklah senantiasa diingat bahwa pihak asing itu hanyalah mungkin mengacaukan barisan kita yang memang sudah dalam keadaan kacau. Ketika umat sedang diracuni oleh proses pembusukan yang parah dari dalam, ketika itu pulalah musuh luar semakin bergairah melemahkan, jika bukan menghancurkan kita, kemudian "merampok" kekayaan kita.

Kita sering benar tak berdaya. Apalagi beberapa negeri muslim memang punya daya tarik besar bagi pihak asing berupa kekayaan bumi yang dahsyat: minyak, batu bara, emas, dan perkayuan. Semuanya ini sangat menggoda dunia, khususnya minyak yang hampir 70% berada di bumi muslim.

Tetapi, mengapa sebagian besar negeri muslim tetap saja menderita dan miskin, sementara sedikit yang lain makmur? Jawabannya sederhana: rasa kesetiakawanan kita masih rapuh. Ada tetesan bantuan sekadarnya di sana-sini untuk bangsa miskin, tetapi tidak untuk memberdayakan, hanya sekadar tidak mati kelaparan.

Itulah sebabnya, mengapa kepiluan kita terasa amat dalam dan menghunjam karena melihat kekayaan itu tidak semakin mendekatkan hati sesama muslim untuk saling membantu, malah semakin menjauhkan. Tidak jarang senjata minyak telah dijadikan alat oleh negeri-negeri muslim yang kaya untuk menekan dan memaksa bangsa muslim lain untuk tunduk ke bawah duli hegemoninya, demi politik kekuasaan.

Dalam perjalanan sejarah umat, faktor Islam sebagai perekat persaudaraan sering benar diabaikan, sepertinya Islam tidak dapat diandalkan lagi untuk mempertemukan kita. Yang lebih ironis lagi adalah kenyataan, tidak jarang sebuah negeri muslim kaya minyak malah menyerahkan pundi-pundinya untuk "diperas" pihak asing yang jelas tidak rela melihat Islam muncul sebagai kekuatan yang turut menentukan perjalanan peradaban global.Anehnya, yang diperas merasa dilindungi. Kawasan Asia Barat yang kaya itu sudah agak lama berada di bawah pengaruh kuat Amerika, sementara retorika politik mereka mengatakan anti-dominasi asing. Alangkah tidak seronoknya pertunjukan ini!

Dalam pada itu, perlu pula dicatat bahwa kesadaran untuk saling membantu sesama umat Islam terasa lemah dari waktu ke waktu. Kita memang hidup dalam sebuah Islam yang lain. Bukan Islam otentik, bukan Islam yang diajarkan Nabi, kecuali dalam bentuk-bentuk ritual yang sarat simbol serimonial, tetapi seringkali telah menjadi tunamakna. Nyaris tidak terlihat korelasi signifikan antara simbol dan perilaku kita sesama bangsa muslim. Cita-cita Al-Quran tentang persaudaraan imaniah kita campakkan begitu saja ke dalam limbo sejarah.

Engkau Mahatahu, ya Allah, sampai berapa lama kondisi tidak menentu ini akan berlangsung. Hamba-hamba-Mu yang baik tentu masih ada, tetapi alangkah tidak berdayanya mereka. Mereka tak henti-hentinya berdoa, tetapi masih berkenankah Engkau memberi jawaban? Engkau melarang kami berputus asa, betapapun pahit dan getirnya perasaan kami. Dan kami memang tidak akan berputus asa.

Firman Engkau dalam surat Yusuf ayat 110 yang maknanya berbunyi: "Sehingga manakala para rasul tidak punya harapan lagi dan mengira bahwa mereka telah didustakan, (barulah) datang pertolongan Kami, lalu diselamatkan siapa yang Kami kehendaki; sedangkan siksaan Kami tidak bisa ditolak oleh para pendosa" memberi isyarat kepada kami untuk terus berbuat sambil menunggu datangnya pertolongan-Mu, demi menginsafkan kami semua yang telah larut dalam dosa dan dusta.

Kami tidak akan berpaling sampai Islam datang menjadi faktor penentu untuk mempertautkan kembali hati dan jiwa kami yang masih berserakan, berantakan! Mohon jeritan ini Engkau dengarkan, ya Allah!

Ahmad Syafi'i Ma'arif
Guru besar sejarah, pendiri Ma'arif Institute, Jakarta
* * *

No comments: