Monday, May 16, 2011

Sambutan atas Tulisan Ester Jusuf Memperingati Peristiwa Mei 1998>

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 16 Mei, 2011
-------------------


"TRAGEDI KEMANUSIAAN MEI 1998”, Adalah
SABOTASE Terhadap PENDIRIAN BERBANGSA -- “BHINNEKA TUNGGAL IKA”



Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini terdapat dua kekuatan
sosial/politik yang bertolak-belakang. Satu, adalah kekuatan cukup besar
yang bertahan dan berkembang melalui usaha keras, dalam pelbagai
kegiatan yang konsisten.*Salah satu fokus perjuangannya adalah mencari
kebenaran dan keadilan sekitar Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998.


Di dalam kekuatan pro-kebenaran dan pro-keadilan ini, salah seorang
diantaranya ialah pejuang dan aktivis dan tokoh LSM, Ester Jusuf. Kolom
yang ditulis hari ini ditujukan untuk menyambut tulisan Ester Jusuf tsb.


Kekuatan pro-kebenaran dan pro-keadilan ini, sesungguhnya meliputi
lapisan yang cukup luas, mendapat dukungan dari pelbagai aktivis muda,
media, politikus, maupun 'orang-orag biasa' yang gandrung kebenaran,
mendambakan terrealisasinya keadilan di tanah air tercinta.


/Namun, yang belum mereka capai ialah: Belum dimilikinya rencana
perjuangan dan kegiatan yang programatis serta ( -- faktor ini teramat
penting) -- *yang disepakati bersama*. Oleh karena itu gerakan,
aksi-aksinya dan derapnya gerakan belum terkordinasi baik./


Namun, sejarah perjuangan bangsa ini, menunjukkan bahwa, kesatuan hati,
fikiran dan tindakan di kalangan para pejuang, --- dalam proses kegiatan
dan perjuangan selanjutnuya, PASTI AKAN TIBA..


/* * */


/Kekuatan sosial/politik yang berlawanan dengan kekuatan pro-kebenaran
dan pro-keadilan, adalah, ------ Penguasa dewasa ini! Mereka punya
pengaruh besar dan kekuasaan di bidang eksekutif, judikatif dan
leleslatif. Mereka punya kekuatan dan pengaruh besar di lapangan
keuangan, bisnis, media dan sosial/budaya. Seluruh kekuatan tsb bisa
dipertahankan dan berlangsung terus, karena, mereka berhasil bertindak
dengan mengatasnamai semboyan “Reformasi”, 'anti-korupsi', 'demi membela
agama', 'demi pertumbuhan dan pembanunan ekonomi nasional' dan
semboyan-semboyan serta janji-janji kosong lainnya untuk menina-bobokkan
masyarakat luas,./


'Peristiwa Mei 1998' adalah suatu usaha kejam dan biadab dari fihak
penguasa ketika itu, untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru, yang
sedang dilanda krisis total, dengan mengalihkan kemarahan dan perjuangan
massa masyarakat luas untuk perubahan serta menggantikan rezim Orba,
menjadi suatu 'huru-hara anti-etnis Tionghoa. Sungguh suatu komplotan
yang merupakan sabotase terhadap Pendirian Berbangsa BHINNEKA TUNGGAL IKA.



* * *


Dalam rangka mengenangkan Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 seerta
berusaha menarik pelajaran untuk mencegah terulangnya kompolotan
kekuatan politik gelap yang terselubung, disajikan di sini, sebuah
tulisan penting oleh Ester Jusuf.


Artikel Ester Jususf memperingati Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei
1998, berjudul “TIGA BELAS TAHUN”. Ester menguraikan peristiwa dan
hakikat masalah dalam Peristiwa Mei 1998 itu. Artikel Ester Jusuf, telah
menggugah serta mengungkap hakikat dari apa yang kita kenal sekarang
sebagai 'Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998.'


/Estter Jusuf memulai tulisannya sbb: /


“Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia.

Terutama untuk kota Jakarta .Setelah kota Jakarta dihancurkan kita semua

diperhadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya: politik adu
domba antar kelompok masyarakat, rasa tidak aman dan ketakutan yang
terus menerus. Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya
terjadi. Jelas sekali ada ada berbagai upaya rekayasa sosial yang jahat
dilancarkan. Bukan hanya untuk membuat orang lupa, tapi juga membuat
orang ketakutan atau berprasangka buruk tentang kelompok yang lain.”


Ester Jusuf menutup tulisannya dengan kalimat-kalimat menggugah berikut ini:
“Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 98 bukan tidak dapat
dilawan. Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk
menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani.
Ceritakan tentang Tragedi Mei 98. tanpa perlu menunggu pemerintah
menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Tidak
harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat.
Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga atau
pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari tragedi Mei 98.

*Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya
bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa
berbuat sesuatu asalkan mau.

* * *

Selanjutnya silakan pembaca mengkhayati tulisan Ester Jusuf yang
dipublikasikan ulang di sini:


Ester Jusuf,15 Mei 2011:
*Tiga belas tahun*
, /

Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia.
Terutama untuk kota Jakarta .Setelah kota Jakarta dihancurkan kita semua
diperhadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya: politik adu
domba antar kelompok masyarakat, rasa tidak aman dan ketakutan yang
terus menerus.

Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Jelas
sekali ada ada berbagai upaya rekayasa sosial yang jahat dilancarkan.
Bukan hanya untuk membuat orang lupa, tapi juga membuat orang ketakutan
atau berprasangka buruk tentang kelompok yang lain.


Mari kita amati kembali dengan tenang. Tragedi Kemanusiaan Mei 98
terjadi sekitar dua bulan setelah Sidang Umum MPR. Pengamanan di Jakarta
saat itu lebih dari biasanya. Pemerintah melalui Mabes ABRI melakukan
Operasi Mantap ABRI, yaitu pengamanan dan antisipasi penanggulangan
situasi keamanan dalam negeri.

Khusus untuk kota Jakarta dibentuk Operasi Mantap Jaya di bawah pangdam
Jaya. Sebagai gambaran jumlah pasukan yang dapat digunakan di lapangan
saat itu adalah 90 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau sekitar 9000 orang.
Pasukan ini masih ditambah kekuatan imbangan (Polda-Polda) sebanyak
46.236 orang. Jumlah pasukan yang amat besar untuk mengamankan Jakarta.

Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kita semua ternganga saat pasukan yang amat
besar itu justru menghilang dari berbagai lokasi kerusuhan. Kalau pun
mereka ada di beberapa wilayah tampak seperti membiarkan saja segala
penyerangan terhadap penduduk sipil yang berlangsung di depan hidung
mereka. Di depan mata semua penduduk kota Jakarta sejumlah besar massa
berseragam SMA atau berpakaian lusuh atau preman melakukan penyerangan.
Mereka memapunyai pembagian tugas yang amat rapi: ada yang bertugas
membakar ban mobil, berteriak memprovokasi massa dengan yel reformasi
atau anti Cina, membongkar rolling door, membakar kendaraan, bangunan
atau manusia.

Semua bergerak cepat dan jelas terkoordinir. Usaimelakukan penyerangan
di satu titik mereka pindah ke titik lain. Begitu seterusnya sampai
Jakarta benar-benar porak poranda. Usai menjalankan operasinya, mereka
serentak menghilang. Lalu kembali Jakarta ‘aman’ dengan munculnya
kembali pasukan keamanan lengkap di lapangan.

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat di 80
titik lokasi ledakan di Jakarta mendapatkan fakta yang amat penting:
Masyarakat setempat secara umum tidak mengenali para pelaku penyerangan
di lokasi mereka.

Mereka terkejut melihat massa dalam jumlah besar melakukan pembakaran
dan penyerangan di mana-mana Mereka kuatir karena terjadi penyerangan
terhadap orang-orang Tionghoa atau wilayah mereka. Di banyak lokasi
masyarakat berjaga siang malam karena isu akan ada serangan dari
perusuh. Tidak jelas isu itu dari mana asalnya tapi menyebar cepat
merata ke seluruh wilayah Jakarta.

Di banyak lokasi terjadi kesepakatan bahwa yang berjaga di ‘garis depan’
kampung tau perumahan adalah orang dari berbagai etnis, sedang warga
yang beretnis Tionghoa diminta berjaga di belakang. Selain itu
masyarakat sengaja menempelkan tulisan “milik pribumi” di
bangunan-bangunan mereka dengan harapan perusuh beralih ke sasaran
lainnya. Jelas bahwa sebenarnya masyarakat amat menyadari problem
diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa.

Kehancuran paling parah secara umum terdapat di wilayah sentra ekonomi
atau lokasi yang warganya tidak bersatu melakukan perlawanan. Di lokasi
ang warganya bersatu secara umum selamat dari serangan./

Sebagai contoh serangan yang ditujukan ke wilayah RW 08 Muara Karang
yang mayoritas warganya adalah etnis Tionghoa justru membawa dampak yang
manis bagi kehidupan warga selanjutnya. Ketua RW 08 Bapak Hauw Ming saat
menyadari bahwa tidak ada harapan pertolongan atau pengamanan memutuskan
menggerakan semua warga bersatu melawan. Warga yang ketakutan dan
awalnya banyak tidak saling mengenal justru akhirnya bersatu dan
merasakan persaudaraan yang sejati. Mereka semua selamat walaupun
diserang berulangkali. Pelajaran amat berharga: tetangga atau komunitas
kita harus menjadi saudara sejati kita.

Usai babak pertama Tragedi Mei 98 kembali kita mendapat serangan kedua.
Bentuknya agak berbeda. Distorsi informasi dan teror. Tujuannya
sepertinya untuk membuat korban dan masyarakat bungkam, kebingungan dan
pasrah hidup dalam rasa takut. Pertama dengan isu-isu penyerangan atau
balas dendam dari perusuh.

Dilanjutkan dengan stigma buruk pada para korban. Beruntun komentar
negatif kepada etnis Tionghoa yang pada pokoknya menyatakan bahwa sudah
sewajarnya etnis Tionghoa menjadi korban. Gambaran bahwa semua orang
etnis Tionghoa adalah orang asing, kaya raya, pelit dan eksklusif
dipaksakan untuk diterima sebagai kebenaran. Gambaran ini dirangkaikan
dengan stigma bahwa semua orang miskin dari etnis berbeda benci dan
ingin menjarah harta benda milik etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa seperti
sengaja mau dibenturkan ke etnis-etnis yang lain. Sengaja dibangun
tembok agar kebencian dan prasangka tumbuh di antara kita.

Teror ditebar kepada para relawan dan para pekerja sosial. Selain teror
kepada personal, peristiwa pembunuhan alm. Ita Martadinata jelas membuat
hampir semua orang memilih bungkam. Juga kepada siapapun yang mau bicara
tentang fakta Mei 98. Berulang kali saya bertemu dengan orang-orang yang
menjadi saksi penting namun memilih bungkam. Bukan hanya orang awam.
Ketakutan yang samajuga dialami oleh aparat yang terlibat di lapangan.
Baik birokrat, kepolisian atau militer bersepakat untuk tutup mulut.
Sebagian secara terbuka menyampaikan ketakutan mereka, sebagian menolak
sama sekali untuk berkomunikasi.

Walau Tim Penyelidik ad Hoc Komnas HAM yang meminta mereka bersaksi,
mereka semua sepakat menolak. Seiring dengan percaturan politik
perebutan kue kekuasaan, bicara tentang Tragedi Mei pun seolah ditujukan
untuk kepentingan politik menjatuhkan salah satu atau dua capres atau
wakilnya. Sampai sekarang situasi sesungguhnya tetap sama. Tak
seorangpun dari pelaku yang bicara tentang apa yang terjadi. Proses
hukum masih macet, belum cukup kekuatan untuk mendorongnya maju.

Saat ini tahun ke tiga belas. Saya sungguh mensyukuri kebesaran TUHAN
yang selalu hidup dalam sejarah dunia, termasuk Indonesia. Tiga belas
tahun ternyata tidak menyurutkan semangat para relawan,korban dan
masyarakat. Harapan dan semangat untuk membuat perubahan ternyata masih
berkembang di mana-mana. Terutama pada anak-anak dan generasi muda. Kami
bertemu dengan ribuan anak yang dengan tegas menyatakan tekad untuk
menghargai sesama yang berbeda ras, etnis atau agama. Kami juga bertemu
dengan banyak orang muda di seluruh Indonesia dan negara-negara lain
yang masih amat bersemangat untuk berbuat sesuatu sesuai kapasitas
masing-masing.

Saya yakin akan tiba saatnya kebenaran dan keadilan berdiri tegak di
Indonesia. Akan ada masa di mana kita semua bisa hidup tentram tanpa
rasa takut. Semua bisa kita raih asalkan kita mau bergandengan tangan,
serius berjuang di bidang kita masing-masing. Jika Tuhan berkenan
membuka pintu keadilan tidak akan ada seorang pun yang mampu menutupnya.

Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 98 bukan tidak dapat dilawan.

Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk
menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani.
Ceritakan tentang Tragedi Mei 98. tanpa perlu menunggu pemerintah
menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Tidak
harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat.
Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga atau
pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari tragedi Mei 98.

Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya
bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa
berbuat sesuatu asalkan mau.


* * *

No comments: