Monday, May 9, 2011

SATU EPISODE DALAM HUBUNGAN INDONESIA-BELANDA

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 09 Mei 2011

----------------------------


SATU EPISODE DALAM HUBUNGAN INDONESIA-BELANDA


Setiap tahun, dua hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 04 Mei dan pada tanggal 05 Mei, Belanda mengadakan kegiatan yang punya arti sejarah penting bagi bangsa dan negeri Belanda. Pada tanggal 04 Mei diperingati DODENHERDENKINGSDAG, mengenai korban-korban yang diderita Belanda di bawah agresi, pendudukan dan ketika melakukan perlawanan terhadap Nazi Jerman.


Pada tanggal 05 Mei diperingati BEVRIJDINGSDAG, hari Belanda bebas dari pendudukan Jerman-Hitler.


* * *


Orang-orang Belanda tidak melupakan sumbangan dan jasa serta korban dari kalangan pemuda-pemuda IND0NESIA yang ketika agresi Jerman sedang belajar di Belanda. Radio Hilversum (NRW-Ranesi, 04 Mei) memberitakan a.l. sebagai berikut:


"Perlawanan terhadap Nazi Jerman juga menelan korban jiwa. Menurut sejarawan Harry Poeze, ada kira-kira sepuluh orang Indonesia, khususnya mahasiswa, yang ditahan Jerman. Mereka dikirim ke penjara atau kamp konsentrasi Jerman. Situasi di sana sangat buruk.


Sekitar 50-60 orang Indonesia ikut perlawanan, demikian Poeze. "Ada sekitar sepuluh yang ditahan. Dari sepuluh itu, ada lima yang meninggal." Ada yang ditembak mati atau meninggal karena sakit akibat kondisi buruk kamp konsentrasi Jerman.


Irawan Soejono


Dalam upacara peringatan pahlawan 4 Mei, lima korban selamat Indonesia diperingati juga. Salah satu di antaranya Irawan Soejono. Ia ditembak mati Jerman di Leiden. Salah satu jalan di Amsterdam-Osdorp dinamakan Irawan Soejonostraat. Demikin Radio Hilversum.


* * *


Begitu mulya dan agung keteladanan pemuda-pelajar Indonesia. Mereka adalah patriot-patriot Indonesia yang mendambakan dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Namun, ketika Belanda diduduki Nazi-Jerman, dibimbing oleh semangat solidaritas internasional melawan fasisme, tanpa ragu-ragu mereka, pemuda-pemuda pelajar Indonesia itu, langsung ambil bagian dalam perjuangan perlawanan di bawah tanah demi kemerdekaan Belana dari kekuasaan Nazi Jerman. Dan beberapa orang dari pemuda-pelajar itu telah memberikan yang paling berharga, jiwa mereka, dalam perjuangan melawan pendudukan Nazi Jerman terhadap Belanda.



* * *


Di bawah ini disiarkan tulisan Joss Wibisono dari RNW, Radio Hilversum, RANESI. Menarik dan patut dibaca. Tulisan Joss mengkaitkan perlawanan di Belanda terhadap arus KANAN anti-Islam dan anti-Imigran Geert Wilders dari PVV, dengan masalah hubungan Indonesia-Belanda. Tulisan Joss Wibisono mencerminkan satu episode dalam hubungan Indonesia-Belanda



* * *


MENOHOK WILDERS DENGAN PERJUANGAN INDONESIA*

Oleh: Joss Wbisono

Radio Nederland Wereld Omroep - Ranesi


Kebebasan, terutama kebebasan berpendapat yang dijunjung tinggi di Belanda, sekarang dalam ancaman.

Masalahnya sejarawan dan kolumnis Thomas von der Dunk dibungkam.*


Dia dilarang berceramah soal persamaan antara Nazi di Jerman zaman dulu dengan PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders di Belanda zaman sekarang. Tentu saja, PVV yang anti Islam itu termasuk salah satu pihak yang melarangnya. Untuk kita di Indonesia pidato Thomas von der Dunk ini relevan juga, terutama karena dia juga menulis tentang upaya kemerdekaan kita yang dihalang-halangi oleh Belanda.


* * *


Arondéuslezing/ adalah ceramah tahunan yang diselenggarakan oleh Provinsi Noord Holland dalam rangkaian peringatan pembebasan Belanda dari pendudukan Nazi Jerman. Namanya diambil dari nama Willem Arondéus, seorang perupa Belanda yang ketika negeri Kincir Angin diduduki Jerman, semasa Perang Dunia Kedua, bergabung dalam kelompok perlawanan. Setelah ikut meledakkan gedung Dinas Kependudukan di Amsterdam, ia dihukum mati oleh pasukan pendudukan Jerman. Untuk menghormati Willem Arondéus, maka ceramah tahunan di Gedung Provinsi Noord Holland itu menyandang namanya.


Ceramah itu ingin memberi tempat kepada warga dan politisi untuk bertukar pikiran dan berdebat dengan bebas bahkan kontroversial, tentang topik-topik kemasyarakatan yang aktual dan relevan bagi Provinsi Noord Holland. Tetapi ketika tahun ini kolumnis dan sejarawan Thomas von der Dunk ingin membeberkan persamaan antara Nazi yang menduduki Belanda semasa Perang Dunia Kedua dengan PVV yang sekarang punya kursi di parlemen Belanda, dia dibungkam. Mengapa demikian? Topiknya bukan saja aktual tetapi juga relevan. Tapi bukan itu masalahnya. Yang punya masalah adalah PVV, karena ceramah itu dianggap menjelek-jelekkan partai pimpinan Geert Wilders ini.


Akhirnya ceramah itu diumumkan oleh harian pagi/De Volkskrant/, dipersingkat untuk edisi cetak, lengkap pada edisi internet. Bagi kita di Indonesia ceramah Thomas von der Dunk juga relevan, karena dia dengan sinis mengejek sikap pemeritah Belanda waktu itu, yang mati-matian menghalangi kemerdekaan Indonesia. Tapi sebelum itu, pertama-tama perlu diuraikan gagasan dasar ceramah Thomas von der Dunk.



* * *


Prinsip kenegaraan pada sebuah negara demokratis didasarkan pada dua hal penting, demikian tulis Thomas. Pertama semua orang sama di hadapan hukum dan kedua /trias politica/ yang digagas oleh filsuf Prancis Charles de Montesquieu. Prinsip pertama artinya hukum tidak bisa hanya berlaku untuk kalangan tertentu, sedangkan prinsip kedua artinya: harus dipisahkan ketat wewenang pihak eksekutif, judikatif dan legislatif. Jadi seorang politikus tidak boleh campur tangan pada sidang pengadilan atau mempengaruhi keputusan hakim.


Menurut Thomas von der Dunk dulu, kedua prinsip itu sudah pernah dilanggar ketika Belanda diduduki Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua. Dan sekarang PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders, kembali berupaya melanggar prinsip kenegaraan ini. Juga di Provinsi Noord Holland, karena PVV mengusulkan larangan mengenakan jilbab di tempat-tempat umum, sementara mengenakan kerudung bagi biarawati katolik atau penutup kepala pria Yahudi tidak dilarang. Ini berarti PVV tidak lagi mengakui kaidah semua orang sama di hadapan hukum.


Selain itu, Geert Wilders yang juga mengusulkan supaya para hakim tidak lagi diangkat untuk seumur hidup, melainkan diangkat selama lima atau enam tahun. Sesudah itu kontraknya selesai, kalau selama bertugas mereka menjatuhkan hukuman berat, baru mereka boleh diangkat lagi, kalau tidak, ya tidak perlu. Usul ini memang sudah ditolak parlemen Belanda, tetapi menurut Thomas von der Dunk, yang mengajukannya jelas ingin supaya penguasa politik bisa mencampuri proses hukum.


Khilafah Euro Arab

Thomas von der Dunk juga melihat persamaan lain antara partai pimpinan Hitler dengan PVV pimpinan Geert Wilders. Misalnya Nazi anti Yahudi, sedangkan PVV anti Islam. Dulu, Nazi percaya adanya komplotan orang Yahudi yang bertujuan untuk menghancurkan Jerman. Sekarang Wilders beranggapan orang-orang Islam akan mendirikan khilafah Euro Arab. Bagi Nazi, Jerman hanya untuk orang Jerman, seperti bagi Wilders, Belanda hanya untuk orang Belanda. Kemudian baik Nazi maupun PVV menginginkan sosok pemimpin kuat yang tidak terbantahkan lagi.


Selain itu Thomas von der Dunk juga mengamati adanya persamaan antara PVV dengan NSB, ini partai politik Belanda yang menyambut Jerman ketika menduduki Belanda selama Perang Dunia Kedua. Dulu orang Belanda bisa menjadi anggota NSB, tapi sekarang PVV tidak terima anggota. Anggota PVV cuma satu, itulah Geert Wilders yang sekaligus juga pemimpinnya.



* * *


Yang tidak dimengerti oleh Thomas von der Dunk adalah bagaimana mungkin Belanda yang baru bebas dari pendudukan Jerman bisa melarang Indonesia merdeka darinya, bahkan sampai menggunakan kekerasan yang berlebihan. Waktu itu, demikian Thomas, hanya sedikit orang yang melihat bahwa karena baru saja bebas dari pendudukan, Belanda sebenarnya tidak punya hak melarang orang lain untuk juga merdeka. Tapi yang terjadi adalah, bangsa yang baru merdeka itu langsung melancarkan perang neokolonial. Ini berarti dia tidak belajar banyak dari pendudukan yang baru saja dialaminya.


Di sinilah Thomas von der Dunk melihat Belanda telah mengalami perubahan, dari bangsa korban menjadi bangsa pelaku. Perubahan seperti itu sebenarnya sering terjadi, misalnya Israel terhadap Palestina. Tetapi di Belanda, dalam soal Indonesia, itu terjadi sangat cepat dan bertahan begitu lama.


Pada tahun 1990an, ketika banyak veteran memprotes kedatangan Poncke Princen, aktivis hak-hak asasi manusia Indonesia yang membelot semasa perang kemerdekaan, terbukti betapa orang Belanda belum punya pandangan sejarah yang berimbang. Sikap Belanda baru berubah pada Abad 21, 60 tahun setelah peristiwanya, ketika Menteri Luar Negeri Bernard Bot, atas nama pemerintah Den Haag, mengakui bahwa pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu, Belanda berada di sisi salah sejarah.


Selama 60 tahun itu Belanda selalu percaya dirinya cinta damai. Padahal di Hindia Belanda, pada periode sebelum Perang Dunia Kedua, dalam upaya menaklukkan wilayah-wilayah Hindia lain, Belanda melancarkan banjir darah yang mengerikan. Thomas von der Dunk mencatat bagaimana di Bali tetara Belanda juga menembaki kaum perempuan. Di sini terlihat, demikian Thomas, bagaimana Belanda yang kolonial itu mencampur aduk jiwa pedagang, kebiadaban budaya dan semangat /zending /yang hipokrit.



* * *


Belanda selalu kesulitan mengakui tindak kekerasannya sendiri di Indonesia. Perang kolonialnya setelah proklamasi 17 Agustus selalu disebut sebagai /politionele actie/, aksi polisi. Perlawanan terhadap kekuasaannya selalu ditangani oleh polisi, bukan politik. Padahal yang aktif adalah tentara yang berisi para pewajib militer. Kalau perilaku militer itu melampaui batas, cuma disebut "ekses", tidak pernah disebut kejahatan perang. Di atas semuanya, yang oleh orang Belanda disebut perang itu cuma mencakup Perang Dunia Kedua, dan bukan ulahnya memerangi Indonesia yang berupaya untuk merdeka.


Sebagai penutup patut ditanyakan, kenapa dalam menelanjangi PVV Thomas von der Dunk tetap merasa perlu untuk menyinggung-nyinggung perang kemerdekaan Indonesia? Itu tidak lain karena Wilders punya latar belakang Indonesia. Neneknya yang lahir di Indonesia itu orang Indo, artinya berdarah campuran Indonesia Belanda. Kalangan Indo inilah yang paling menentang kemerdekaan Indonesia.


Thomas von der Dunk sendiri akhirnya tetap berpidato, bukan di gedung provinsi Noord Holland, di kota Haarlem; melainkan di lapangan Haarlemerhout, di depan gedung itu. Hadirin yang datang mencapai 1200 orang, jumlah yang berkali-kali lebih besar dibandingkan kalau pidato itu dilakukan di dalam gedung provinsi.



* * *




No comments: