Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 22 Juni 2012
-----------------------------
OM
LIEM -- Jen. SUHARTO -- Bob HASAN -- Jen. A, JUSUF - -
“PROTOTYPE”
Kolusi MILITER, BIROKRAT Dan BISNIS
Om Liem (Liem Sioe Liong) belum lama
meninggal dunia di Singapura. Upacara belasungkawa dan pengebumian
berlangsung 'luar biasa'. Besar-besaran dan mewahnya. Layatan
'besar-besaran' yang tak pernah terjadi sebelumnya bahkan bagi orang
setempat sekalipun, itu terjadinya bukan di Indonesia, tetapi di
Singapur.
Tidak jelas apa pertimbangannya beliau
dimakamkan di Singapur, bukan di Indonesia. Padahal, semua tahu. Om
Liem itu, asal muasalnya, dari Fucien, Tiongkok, berimigrasi ke
Indonesia. Mula-mula dagang biasa. Berdagang dan berbisnis di
Indonesia sampai jadi orang kaya besar di Indonesia, terkenal (sampai
sekarang) a.l dengan produk INDOMIE.
Kita masih ingat, di jaman Orba pernah
Om Liem itu adalah orang Indonesia yang terkaya yang paling dekat
dengan dinasti Cendana. Begitu juga seluruh keluarganya. Sampai
sekarang ini mereka masih berbisnis di Indonesia dan menjadi orang
kaya besar Indonesia. Meski, siapa tahu, sudah berapa besar
kekayaannya itu yang sudah “diamankannya” di Singapur atau
Eropah sana? Om Liem dan seluruh 'clan'-nya adalah orang-orang
Indonesia turunan Tionghoa. Mereka jadi besar, kaya dan berjaya
sebagai bisnismen yang punya hubungan khusus dengan Jendral Suharto.
Lalu, cobalah jelaskan, mengapa Om
Liem dikebumikan di Singapur?? Orang (mungkin) tidak akan begitu
heran, jika, andai kata Om Liem dimakamkan di dekat kuburan mantan
Presiden Suharto, di Jawa Tengah. Kalau Om Liem dimakamkan di dekat
makamnya mantan Presiden Suharto, kan agak 'nyambung' ditinjau dari
sudut latar belakang hubungan mereka, ketika masih hidup dan berjaya?
* * *
Sejak meninggalnya Om Liem entah sudah
berapa artikel saja yang ditulis dan komentar-komentar TV dan Radio.
Banyak yang memujinya sebagai seorang 'filantroop', orang kaya yang
dermawan dan baik hati. Itu wajar-wajar saja. Karena, siapa tak tahu,
bahwa, tidak sedikit yang berhutang budi dan dana pada Om Liem. Dari
segala lapisan, dari birokrat terutama, militer dan lingkungan bisnis
lainnya.
Tapi yang kubaca hari ini (tulisan
Irwan Andri Atmanto, dalam
Mingguan Gatra) mengenai Om Liem, agak lain dari yang lain. Amat
menarik. Artikel Gatra itu mengungkap saling-hubungan dan
'kerjasama' – 'saling menguntungkan' antara tentara yang sudah riil
kuasa saat itu (akhir 1965, sesudah aktuil pegang kekuasaan di Pusat)
dengan kalangan bisnis. Khususnya bisnis yang diwakili oleh Liem Soei
Liong (Oom Liem) dan Bob Hasan.
Tanpa 'sungkan-sungkan', secara
blak-blakan Irwan Andri Atmanto
menulis, bagaimana Oom Liem bisa memperpanjang izin impor cengkeh
40.000 ton. Oom Liem 'tahu betul' siapa yang sesungguhnya berkuasa di
Pusat, ketika itu. Meskipun Presiden Sukarno masih di situ bersama
Waperdam Dr. Subandrio, tapi Presiden dan Waperdannya sudah jadi
“tawanan” Jend. Suharto, yang 'hanya' Panglima Konstrad itu.
Maka Oom Liem tidak ayal lagi untuk
'mengurus' ini dan 'itu' menyangkut bisnisnya, ia menghubungi Jen.
Suharto, Komandan Kostrad. Ingat, Suharto belum punya jabatan
kenegaraan apapun, namun proses 'kudeta merangkak' sudah dimulai.
* * *
Suharto menugaskan Bob Hasan mengurus
izin itu dengan Menteri Perdagangan ketika itu , Jen. A. Jusuf. Bob
Hasan, yang punya 'hubungan baik' dengan Jen. A.Jusuf untuk mengurus
pepanjangan izin import bagi Om Liem, menyelesaikannya dalam sekejap
saja.
Tentu ada 'deal'nya. Keuntungan yang
diperoleh, menurut perhitungan Oom Liem, sebanyak Rp. 15 milyar dari
impor 40.000 ton cengkeh itu. Kurang dari separuh dari jumlah itu,
yaitu Rp 7 milyar untuk Om Liem, yang Rp. 8 milyar untuk Kostrad.
Bacalah langsung berita Gatra di bawah
ini, dan simpulkan sendiri sekitar saling hubungan dan saling
berbisnis antara tentara-birokrasi-konglomerat. Dan perhatikanlah
situasi dewasa ini, meski Suharto sudah bukan presiden lagi, dan
sudah dimulai proses Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia, apakah
berarti sudah ada perubahan di Indonesia? Bila dianalisis dengan
latar belakang apa yang ditulis oleh Gatra, tampaknya tidak banyak
perubahan.
Bahkan ada faktor kekuasaan yang tampil
sebagai 'new-comer' sesudah jatuhnya Suharto. “Newcomer” namun
agresif dan rakus, yaitu PARPOL-PARPOL. Tanpa kecuali, apakah mereka
menyatakan diri sebagai nasionalis ataukah religius.
Podo waé! Haus kekuasaan dan kekayaan
dan rakus alang kepalang!
* * *
Om
Liem: Dari Pedagang Menjadi Industriawan
21
Juni 2012
Bermula
sebagai pedagang di zaman Orde Lama, kemudian bisnis Om Liem
bekembang menjadi industri yang menyerap ribuan tenaga kerja.
Presiden Soeharto-lah yang meminta Liem Sioe Liong membangun industri
dalam negeri. ---
Liem
Sioe Liong sempat bingung ketika surat izin impor cengkeh miliknya
sudah kedaluwarsa. Ia ingin memperbarui izin impor cengkeh sebanyak
40.000 ton yang diterbitkan Menteri Perdagangan Adam Malik. Beberapa
hari setelah peristiwa G-30-S/PKI, Liem Sioe Liong alias Sudono Salim
yang akrab dipanggil Om Liem menemui Kepala Staf Kostrad, Brigadir
Jenderal Tjokropranolo.
Ia
minta bantuan agar izin impor cengkehnya diperpanjang. Selanjutnya,
Tjokropranolo atau biasa dipanggil Nolly melapor kepada Panglima
Konstrad, Mayor Jenderal Soeharto. Pak Harto menyatakan, yang bisa
memperbarui izin impor itu Menteri Perdagangan, bukan Kostrad. Ketika
itu, Menteri Perdagangan dijabat Brigadir Jenderal Ahmad Yusuf
Pak
Harto mengetahui bahwa Ahmad Yusuf adalah kawan akrab Bob Hasan.
Kemudian ia memanggil Bob Hasan dan meminta sahabatnya itu membantu
Om Liem mengurus perpanjangan izin impor cengkeh. "Ini ada izin
yang mesti diberesi sama Yusuf. Kamu kan teman dekat Yusuf,"
kata Pak Harto kepada Bob Hasan.
Keesokan
harinya, Bob Hasan menghadap Ahmad Yusuf di kantornya. "Pak
Yusuf masih rapat, Pak,'' kata sekretaris Ahmad Yusuf kepada Bob
Hasan. Kemudian Bob Hasan meminta sang sekretaris membuka pintu
sedikit agar Ahmad Yusuf bisa melihat Bob Hasan yang sedang
menunggunya.
Ia
pun segera mengakhiri rapat dan menemui koleganya itu. "Ada
apa?" tanya Ahmad Yusuf. ''Ada izin yang mesti diperpanjang,''
jawab Bob Hasan sembari menjelaskan detail urusannya. Pada hari itu,
Menteri Perdagangan Ahmad Yusuf memperpanjang izin impor cengkeh Om
Liem.
Setelah
urusan perpanjangan izin impor cengkeh itu beres, Bob Hasan kembali
menghadap Panglima Kostrad. "Pak, apa boleh saya ketemu orang
yang minta diuruskan izinnya ini?" tanya Bob Hasan kepada Pak
Harto. Pada waktu itu, antara Om Liem dan Bob Hasan belum saling
mengenal.
Selanjutnya
Pak Harto meminta Om Liem menemui Bob Hasan. Akhirnya dua pengusaha
itu bersua di salah satu rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Nah, dalam pertemuan itulah Om Liem menyatakan, sebagian keuntungan
dari hasil impor cengkeh akan disumbangkan kepada Kostrad.
Berdasarkan perhitungannya, impor cengkeh 40.000 ton itu akan
mendatangkan laba Rp 15 milyar.
''Dengan
mendapat untung sebesar itu, Om Liem mau nyumbang berapa kepada
Kostrad?" tanya Bob Hasan. "Terserah Pak Bob, saya mesti
sumbang berapa," jawab Om Liem ketika itu. "Kalau terserah
saya, bagaimana kalau kita bagi dua. You dapat Rp 7 milyar, yang Rp 8
milyar disumbangkan untuk Kostrad," kata Bob Hasan.
Om
Liem setuju memberikan keuntungan Rp 8 milyar kepada Kostrad. Lalu
Bob Hasan melaporkan kesepakatan itu kepada Pak Harto. Pada
kesempatan itu, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan agar dana Rp 8
milyar itu dipecah menjadi empat lembar cek, masing-masing sebesar Rp
2 milyar. Bob Hasan diminta membawa cek tersebut ke Markas Kostrad di
kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Oleh
Pak Harto, cek itu diberikan kepada Panglima Kodam (Pangdam)
Brawijaya Mayor Jenderal Soemitro, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal
Soerono, dan Pangdam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah,
masing-masing Rp 2 milyar. Adapun cek keempat diserahkan kepada
Yayasan Kostrad untuk biaya operasional prajurit di lapangan.
Om
Liem tidak hanya menjalin koneksi dengan penguasa Orde Baru.
Bisnisnya berkembang di masa Orde Lama. Om Liem, antara lain,
mendapat dukungan dari Hassan Din, tokoh Muhammadiyah yang juga
mertua Presiden Soekarno. Hassan Din adalah ayah Fatmawati, istri
Presiden Soekarno.
Hassan
Din juga terlibat di dalam perusahaan Om Liem. Di PT Mega, misalnya,
Hassan Din menjadi komisaris utama. Adapun direktur utama dijabat Om
Liem. Selain itu, Hassan Din menjadi direktur di beberapa perusahaan
Om Liem, misalnya di Bank Central Asia.
Di
jaman Orde Baru, bisnis Om Liem kian moncer setelah mendirikan pabrik
Bogasari. Disoskong oleh penguasa pada jaman itu, Bogasari pun
melahirkan Grup Usaha Indoofood yang berkembang pesat hingga
produknya dikenal dunia.
Ketika
krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997, Kelompok Usaha Salim
ikut terimbas. Salim Group terlilit utang kepada pemerintah sebesar
Rp 52,7 trilyun. Untuk membayar utang itu, Salim menyerahkan 107
perusahaannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Biarpun 107 perusahaannya diserahkan kepada negara untuk menutup
utang ke pemerintah, Salim masih punya aset yang sangat bernilai di
Tanah Air, yaitu Indofood Sukses Makmur.
Indofood
membawahkan empat grup usaha. Mereka adalah grup produk konsumer
bermerek (mi instan, bumbu penyedap makanan, makanan ringan, nutrisi,
dan makanan khusus), Grup Bogasari (penguasa tepung terigu di
Indonesia), grup distribusi (Indomarco), dan grup agrobisnis
(Indofood Agri Resources). Apa yang dicapai Om Liem itu merupakan
hasil kerja kerasnya selama 60 tahun.
Sejak
krisis 1997 itu, kendali bisnis Salim Group perlahan dialihkan kepada
Anthoni Salim, anak ketiga Om Liem. Om Liem yang sebelumnya tinggal
rumahnya, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pindah ke Singapura.
Hingga kemudian ia meninggal di sana pada Minggu 10 Juni 2012 dalam
usia 96 tahun. Om Liem dimakamkan di Choa Chu Kang, Singapura, Senin
18 Juni lalu.
Selamat
jalan, Om Liem.
Irwan
Andri Atmanto
(Laput
Majalah GATRA edisi 18/33, terbit Kamis 21 Juni 2012)
*
* *
1 comment:
Nice Post,
Teruskan dalam memberi artikel yang bermanfaat,
Maju Terus,
Pantang Mundur.
www.law.uii.ac.id
Post a Comment