Monday, June 18, 2012

*SELAMAT UTNTUK ALPHA AMIRRACHMAN *

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 15 Juni 2012*
*---------------------*



*SELAMAT UTNTUK ALPHA AMIRRACHMAN *


*dan Keluarga.*


** * **

Pada suatu hari yang cerah aku menerima Undangan dari sahabatku M. Shohibuddin, PhD researcher Amsterdam Institute for Social Science Research AISSR) Universiteit van Amsterdam.

Tertera dalam surat undangan: *"Undangan Public Defense Alpha Amirrachman"*, 6 Juni 2012, mulai jam 12.00-14.30, di Agnietenkapel, Universiteit van Amsterdam, Ouderzijds Voorburgwal, Amsterdam.


Kegiatan siang itu, adalah berhubung diselenggarakannya acara sidang terbuka mempertahankan disertasi doktoral Alpha Amirrachman. Judul desertasi:


"*PEACE EDUCATION IN THE MOLUCCAS, INDONESIA; Between Global Models and Local Interests".*


* * *


Dua hal yang punya arti penting, yang membikin hatiku lega sekali.


Pertama, bahwa sahabatku Alpha Amirrachman yang dengan tekun bertahun-tahun melakukan riset teristimewa di Maluku, kemudian studi di Amsterdam, akhirnya telah berhasil meraih gelar Ph.D.

Kukatakan merasa l e g a , bukan semata-mata karena Alpha sudah meraih titel *Ph.D, (Doctor)*, tapi terlebih lagi, karena dengan keberhasilan studinya itu, dunia kesarjanaan Indonesia, hari itu telah bertambah lagi dengan seorang sarjana muda: Alpha Amirrachman. Bukankah ini suatu kebanggaan kita bersama?


Bedebar-debar hati kita (orang-orang Indonesia dan sahabat-sahabat Belanda dan asing), diliputi rasa bangga yag wajar, ketika, dimuka kurang lebih 100 undangan, mendengar pidato Promotor Prof. dr. H,G.C. Schulte Nordholt, yang a.l menyatakan:


"By virtue of the power lawfully granted to us by order of the Rector and The Doctorate Board of this University, I herewith confer on you, *Raden Alpha Amirrachman, the degree of Doctor, and grant you all the rights appertaining to this degree by law or custom." . . . . . Value the obtained dignity as an honour and privilige and */*never forget the responsibilities which, as a result, you now have toward science and society".*/


" /*. . . . never forget the responsibilities which, as a result, you have toward seciene and society". */


"*Jangan sekali-kali lupa tanggung-jawab, sebagai kelanjutannya yang harus dipikul, terhadap ilmu dan masyarakat". *Secara umum bertanggungjawab terhadap ilmu dan masyrakat adalah suatu pengertian universal. Bagi Alpha tentunya punya arti khusus dan kongkrit: tanggungjawab terhadap ilmu dan masyarakat di INDONESIA. Pada tanah air dan bangsa, pada umum dan rakyat Indonsia!


Itulah yang kumaksudkan dengan "hal kedua" yang punya arti penting. Tema yang dipilih oleh Alpha dalam melakukan riset dan membuat desertasinya adalah *"PEACE EDUCATION IN THE MOLUCCAS, INDONESIA; Between Global Models and Local Interests".*


* * *

Alpha sendiri menjelaskan bahwa tujuan studinya ialah untuk meneliti dampak proyek-proyek edukasi-perdamaian yang didukung oleh badan-badan internasional UNICEF dan UNDP, dan badan-badan bilateral JICA dalam daerah yang terlibat konflik di Maluku. Di situ dipilih empat sekolah: sebuah sekolah dasar swasta (Sekolah 1) yang terletak di sebuah desa Kristen, Ama Ory, Paso; sebuah sekolah Islam (Sekolah 2) yang terletak di desa Muslim, Telaga Kodak, Leihitu; sebuah sekolah menengah umum (Sekolah 3); dan sebuah sekolah menengah swasta (Sekolah 4). Dua sekolah yang disebut belakangan terletak di kota Ambon.


Pilihan tema ini relevan dengan situasi kongkrit Indonesia yang masih laten dengan "konflik-konflik religius dan etnis". Ditunjukkan bahwa orientasi kulturil sekitar kurikulum edukasi-perdamaian tidak membantu untuk menangani ketidak-adilan kekuasaan dan sosial, yang tertanam dalam pada kehidupan bermasyarakat di Maluku.


Tapi, di sekolah yang tidak terdapat intervensi spesifik edukasi-perdamaian, orang bisa membangun jembatan di kalangan siswa-siswanya. Sekolah tsb juga dapat mengamankan dukungan para orangtua dan masyarakat, tanpa mempedulikan latar belakang religius dan etnis masing-masing. Sekolah ini merupakan contoh bagus, tentang bagaimana kesedaran berwarganegara diberlakukan dengan cara yang efektif. Mereka mampu melaksanakan proses edukasi-perdamaian tanpa bantuan organisasi luarnegeri. Alpha menunjukkan bahwa di suatu masyarakat dimana terdapat ketidak-adilan kekuasaan antara kelompok-kelompok religius dan etnis, "notie" mengenai politik-identitas, berguna untuk dapat memahami bagaimana dan mengapa ketegangan-ketegangan antar-religi dan antar-etnis terus berlangsung di suatu wilayah yang seharusnya merupakan daerah-pasca-konlfik.



* * *


Menjelaskan tentang latar belakang situasi di Maluku, Alpha menguraikan a.l sbb: Setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dalam tahun 1999, provinsi (Maluku) dilanda konflik sektarian besar-b esaran selama period 1999-2003. Kekersan di Maluku dinyatakan sebagai konflik besar-besaran, yang amat meterkejutkan, yang meluas dari kota Ambon ke desa-desa, yang telah membunuh paling tidak 2000 penduduk serta menjadikan lebih dari seperempat juta orang kehilangan rumah tempat tinggalnya di seluruh kepulauan Maluku. Selain konflik sektarian, wilayah ini mengalami diperkokohnya yang tampaknya sebagai politik identitas yang ekslusif dimana orang-orang setempat di Maluku Tengah -- yang telah menikmati dominasi politik dan ekonomi sejak periode kolonial Belanda -- berusaha untuk 'kembali' ke tradisi lokal (adat), setelah hampir 30 tahun lamanya di bawah rezim Orde Baru yang opresif dan tersentralisasi.


Pada titik ini aku teringat uraian Ratna Sarumpaet, (penulis aktivis pro-demokrasi Indonesia yang tidak asing bagi para penggiat Reformasi dan Demokrasi), yang diberikannya di KITLV, pertengahan Februari 2011, ketika memperkenalkan novelnya yang terbaru "MALUKU KOBARAN CINTAKU" . Ratna Satumpaet menekankan berulangkali bahwa ummat Kristen dan Islam di masa lampau di Maluku hidup bersama dengan damai, harmonis dan aman.


Dalam uraiannya itu Ratna Sarumpaet, atas pertanyaan, menandaskan bahwa konflik Maluku, hakikatnya bukan konflik agama, tetapi rekayasa di kalangan yang punya kuasa, demi kekuasaan.
Ketika menjelaskan tentang karya sastranya terbaru MALUKU KOBARAN CINTAKU, berulangkali Ratna menandaskan bahwa apa yang diceriterakan tentang aparat dan apa yang mereka lakukan di Maluku, terutama sekitar 'konflik Maluku' adalah benar adanya. Bukan fiksi!


* * *


Selanjutna Alpha menjelaskan: Secara keseluruhan studinya menunjukkan keterbatasan edukasi-perdamaian seperti yang dikonsepkan oleh UNICEF, UNDP dan JICA dan dilaksanakan di context lokal. Hal itu juga mengungkapkan erosi dari proyek nasional identitas nasional sejak periode desentralisasi. Reform strukturil desentralisasi , yang termanifestasi dalam bentuk regionalisme yang eksesif, ternyata cenderung ke konflik berlandaskan-identitas serta melunturkan perasaan identitas nasional. Karena itu, peranan pendidikan dalam membangun kultur perdamaian, dan kewarganegaraan, harus bergandengan dengan reform yang lebih luas demokratisasi dalam masyarakat. Namun, pada waktu yang bersamaan, para orangtua siswa-siswa adalah anggota dari masyarakat yang lebih luas, halmana berarti sekolah-sekolah masih punya kesempatan untuk memprakarsai dan mempengaruhi masyarakat yang lebih luas atau melalui keterlibatan orangtua.


Sebagai catatan skeptis, saya yakin bahwa komponen bersangkutanm dengan perdamaian dalam proyek-proyek ini terlalu dangkal atau terlalu sedikit untuk mencapai dampak yang dalam dan lama terhadap para siswa dan masyarakat.


Selanjutnya, orientasi kurikulum pendidikan-perdamaian yang secara kuluril eksklusif dari Maluku Sentral tak akan membantu untuk menangani ketidak-samaan kekuasaan dan sosial yang berakar dalam di masyarakat Maluku, dimana masih terdapat ketegangan di antara orang setempat dan pendatang, bahkan di kalangan orang-orang setempat sendiri.


Bicara tentang catatan optimis, kepemimpinan Sekolah 4, menunjukkan amat besarnya pengaruh dalam membantu membangun hubungan dengan siswa-siswa untuk menjamin dukungan orangtua dan masyarakat, tak peduli (bagaimana) identitas religi dan etniknya. Sekolah ini merupakan contoh-model yang baik, dimana kesadaran berwarganegara dipupuk dengan cara yang efektif. Lebih memberikan harapan adalah bahwa, kasus Sekolah 4 menunjukkan bahwa rakyat mampu untuk memulai suatu proses edukasi-perdamaian yang gigih, tanpa adanya dukungan dari lembaga-lembaga luarnegeri. (Bravo, Alpha!, Isa)

Merefleksi kasus studi saya, kata Alha Amirrachman, serta saling hubungannya dengan teori, saya yakin dalam suatu masyarakat yang terlibat konflik di mana ketidak-sederajatan kekuasaan di kalangan kelompok-kelonpok religius dan etnis masih dapat ditemukan, dan dimana persaingan demi kekuasaan dan pengaruh di kalangan mereka masih tetap mendalam yang dicemarkan oleh sentimen religius dan etnis -- diperburuk lagi dengan kepercayaan tradisional, yang melegitimasikan pemisahan religius -- konsepsi identitas politik berguna untuk bisa memahami bagaimana, dan mengapa ketegangan antar-religi dan antar-etnis masih utuh di dalam suatu masyarakat yang dianggap sudah dalam situasi pasca-konflik.


Oleh karena itu, penelitian saya, kata Alpha, memberikan sumbangan pada debat-teori tentang apakah edukasi-perdamaian memperluas kesadaran berwarganegara, peranan edukasi di daerah yang dilanda konflik dalam membantu mempersatukan, atau, membuyarkan (men-disintegrasikan) masyarakat yang sudah terpecah-belah, dan mengenai peranan kepemimpinan kepala sekolah, dalam melaksanakan visi sekolah.


( NB. ...Penjelasan diatas adalah terjemahan dari penjelasan yang diberikan oleh Alpha dalam bahasa Inggris. Pasti terdapat terjemahan yang kurang tepat atau salah. Harap dimaklumi keterbatasan yang menterjemahkannya. I.I.)


* * *


Bagi pembaca yang tertarik dan ingin membaca keseluruhan desertasi Alpha Amirrachman, silakan membaca buku yang sudah diterbitkan:


PEACE EDUCATION in the MOLUCCAS, INDONESIA

Between global models and local interests. ALPHA AMIRRACHMAN.

Printed by : PT Mitra Cahaya Utama (Email: >


* * *


*Akhirkata: SELAMAT, SEKALI LAGI SELAMAT UTNTUK ALPHA AMIRRACHMAN dan Keluarga.*


* * *






No comments: