Tuesday, June 26, 2012

SEKITAR RENCANA PEMBELAN TANK(bekas) Belanda oleh Indonesia.


Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 26 Juni 2012
-------------------------------

KESAN MEMBACA TULISAN JOS WIBISONO
SEKITAR RENCANA PEMBELAN TANK(bekas)
Belanda oleh Indonesia.

* * *

Artikel Jos Wibisono seperti dikutip di bawah ini, ditulis dengan gaya siaran-radio yang lancar dan santai. Banyak masukan yang bisa diperoleh dari tulisan Jos itu. Yaitu sekitar kehidupan perpolitikan (tak tahu apa istilah ini cocok dipakai di sini) di kalangan parpol-parpol Belanda yang punya perwakilan di Tweede Kamer. Serta saling hubungannua dengan politik Indonesia-Belanda dari waktu ke waktu. Terima kasih, Bung Jos.

Cuma yang jadi perhatian sbb:
(Hendak diangkat di sini segi lainnya dari rame-rame jual beli tank bekas Belanda tsb)

Ribut-ribut . . . . Kok beli senjata yang 'second-hand', sih? Dan tank-tank Leopard itu, begitu banyak (katanya 200 buah) . . . . Indonesia siap-siap mau perang apa? Perang lawan siapa? Paling-paling untuk nakuti-nakuti rakyatnya sendiri. “Jangan berani-berani lho, nanti tak tembak dari . . . . tank?” Kira-kira begitukah yang dimaksudkan??

Tapi pengalaman tentara menumpas PKI, dan golongan Kiri lainnya dan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno, serta mendepak Gus Dur dari Istana Merdeka, juga tidak diperlukan begitu banyak tank! Paling-paling perlu beberapa kendaraan lapis saja. Dengan semburan air, bom-gas air-mata, tembakan pistol dan senapan saja, kan sudah bisa merebut kekuasaan negara dan membikin rakyat takut selama lebih 30 tahun, tokh?

Dulu saja, ketika kampanye pembebasan Irian Barat kemudian GANYANG MALAYSIA, rasanya RI tidak begitu banyak memerlukan tank? Yang mengancam kestabilan Indonesia dewasa ini dianggap paling-paling datangnya dari gerakan OPM dan (mungkin hidup kembalinya) GAM? Tapi, untuk aksi-aksi militer sekitar itu rasanya TNI tidak memerlukan begitu banyak tank. Apalagi tank-tank second-hand. Yang belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia!

Masih ingatkah cerita pembelian (lagi-lagi) kapal perang second-hand dari Jerman ketika masih berjayanya Habibie? Malah banyak pengamat mengungkap,bahwa kapal yang dibeli Habibie itu adalah kapal rongsokan!!!

Berapa besar negara mengalami kerugian ketika itu? Dan kapal-kapal perang rongsokan itu, apa betul efektif bagi Alri? Padahal Indonesia punya galangan kapal sendiri. Mengapa bukannya galangan kapal sendiri itu yang dimodernisasi? Supaya mampu bikin kapal perang sendiri? Kan bisa belajar dari Korea Selatan bagaimana bikin kapal perang yang cepat-tangkas dan dipersenjatai modern, untuk melindungi para penangkap ikan Indonesia, dan menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negeri.

Lalu mengapa kok pada ribut mau beli tank second-hand dari Belanda? Apa sekadar mau kasih unjuk bahwa pemerintah Indonesia mampu membantu Belanda yang sedang sibuk MENGHEMAT? Belanda perlu uang cepat, lalu mau jual tank-tank bekasnya. Datanglah Indonesoa mengulurkan tangan-persahabatan??

Ataukah, ataukah . . . .Mungkin masalahnya . . . . . yang tidak pernah disebut . . .. yaitu adanya KOMISI. Lalu dari siapa dan untuk siapa KOMISI itu? Bisa sampaikah tangan KPK kesitu??

Demi KOMISI ini kok tega-teganya penguasa Indonesia, menugaskan, memobilisasi para diplomat kita ??

Komentar ini bukan semata-mata dari pandangan kecurigaan, bagaimana yang berwenang-wenang di Indonesia memperoleh Komisi dari pembelian senjata atau keperluan lainnya bagi angkatan perang Indonesia. Seperti dulu ketika membeli kapal laut bekas dari Jerman? Ini sekadar menguak sedikit pengalaman jual-beli senjata antara RI dengan luarnegeri.

Kalau bukan karena masalah KOMISI, cobalah ajukan alasan dan penjelasan yang meyakinkah mengapa di saat ini kok ribut sekali mau beli tank-tank bekas dari Belanda??? Apa Indonesia betul-betul memerlukan tank-tank bekas Belanda itu?

Demikianlah, sahabat-baikku – Bung Jos Wibisono, --- kesan setelah membaca artikel Bung di Tempo.

* * *

Tank Leopard dan Diplomasi Kita”
oleh Joss Wibisono

* * *

Versi jang sedikit lain dan dalem EYD nongol di Koran Tempo
edisi 26 Djuni 2012

Debat /de Tweede Kamer/, parlemen Belanda, hari Kamis 21 Djuni itu berachir
aneh. Di luar kebiasaan, usai debat tidak diadakan pemungutan suara. Sore itu
tidak ada keputusan jang diambil. Apa pasal? Maklum pemerintah, dalam hal ini
Menteri Luar Negeri Uri Rosenthal, mentjabut rentjananja minta izin parlemen
untuk mendjual 80 unit Tank Leopard kepada Indonesia.

Tampaknja memang itulah satu2 nja pilihan sang Menlu. Maklum dia berhadapan
dengan parlemen jang, dalam majoritas, menentang rentjana itu. Dengan mentjabut
usulnja, berarti pemerintahan demisioner Perdana Menteri Mark Rutte jang djatuh
April silam, menjerahkan soal pendjualan tank ini kepada pemerintah baru hasil
pemilu 12 September mendatang.

Menghadapi debat ini, pemerintah Belanda sebenarnja sudah mengambil langkah2
memadai. Misalnja telah dilakukan pengetjekan pada peraturan ekspor Uni Eropa,
dan dipastikan rentjana pendjualan tank ke Indonesia tidak melanggar aturan itu.
Lebih dari itu, duta besar hak2 asasi manusia Lionel Veer djuga sudah diutus ke
Indonesia untuk mentjari tahu perihal situasi hak2 asasi manusia. Veer
menjatakan dalam bidang demokrasi dan hak2 asasi manusia Indonesia sudah
mengalami kemadjuan pesat. Tetapi sang dubes masih mengchawatirkan situasi
Papua, walaupun pemerintah Belanda jakin Tank Leopard tidak akan dikerahkan ke sana.

Sudah sedjak achir tahun lalu, tak lama setelah Indonesia mengumumkan niatnja
membeli tank Belanda jang diobral, parlemen Belanda menentang rentjana ini.
Anggota Fraksi GroenLinks Arjan El Fassed jang berdarah tjampuran Palestina
Belanda mengadjukan mosi menentang rentjana itu. Alasannja kinerdja hak2 asasi
manusia Indonesia tidak mejakinkan. Mosi ini mendapat dukungan partai2 oposisi
lain, termasuk, menariknja, PVV, partai pimpinan Geert Wilders jang anti muslim
serta anti pendatang.

Wilders waktu itu masih merupakan /gedoogpartner/ (mitra koalisi jang tak ikut
memerintah) dua partai jang berkuasa, jaitu partai konservatif VVD dan partai
kristen demokrat CDA. Bagaimana bisa demikian? Bukankah sebagai mitra koalisi
Wilders djuga harus mendukung pemerintah? Ternjata waktu itu ada kesepakatan
dengan PVV bahwa partai ini akan bersikap “se-olah2 tidak melihat” kalau
parlemen memperdebatkan pendjualan tank kepada Indonesia

Masalahnja bertambah rumit ketika Kabinet Perdana Menteri Mark Rutte djatuh
achir April lalu. PVV pimpinan Wilders merasa tidak terikat lagi pada
kesepakatan itu. Artinja, mereka tetap mendukung mosi parlemen jang menentang
pendjualan Tank Leopard kepada Indonesia. Kalau partai2 lain mempermasalahkan
hak2 asasi manusia, PVV punja alasan lain. Partai ini bersitegang Belanda tidak
boleh berhubungan dengan negara Islam dan karena penduduknja majoritas Islam,
Indonesia bagi mereka termasuk negara Islam.

Penolakan /de Tweede Kamer/ menimbulkan pertanjaan baru. Apalagi kalau mengingat
parlemen Belanda mengizinkan pendjualan kapal perang Korvet kepada Indonesia.
Mengapa Korvet diizinkan sedangkan Leopard tidak?

Ada tiga kemungkinan jawaban. Pertama komposisi kabinet Belanda waktu izin
pendjualan Korvet keluar. Waktu itu, tahun 2004, di Belanda berkuasa Kabinet
Balkenende II jang terdiri dari partai kristen demokrat CDA, partai konservatif
VVD dan partai demokrat D66. Tiga partai ini menguasai majoritas parlemen,
sehingga mosi menentang pendjualan Korvet jang diajukan Partai Sosialis SP tidak
memperoleh majoritas.

Djawaban lain adalah pemilihan umum jang akan berlangsung 12 September
mendatang. Untuk itu pelbagai partai politik Belanda ingin tampil se/sexy/
mungkin di hadapan pemilih. Karena itu kalangan partai kiri memegang teguh
prinsip mereka, termasuk prinsip menghormati hak2 asasi manusia. Mereka menolak
berkompromi dengan dua partai kanan jang berkuasa.

Kemungkinan ketiga adalah kemampuan politisi Belanda membedakan Angkatan Laut
dari Angkatan Darat kita. Di zaman Orde Baru AD lebih banjak terlibat pada
pelanggaran hak2 asasi manusia ketimbang AL. Selain itu Belanda djuga paham
Indonesia perlu mendjaga integritas wilajahnja dan bagi negara kepulauan, itu
adalah tugas Angkatan Laut.

Pada dasarnja memang partai2 kirilah jang menentang pendjualan sendjata kepada
negara2 jang dianggap melanggar hak2 asasi manusia. Selain PVV jang punja
alasan sendiri, mosi anti pendjualan Tank Leopard kepada Indonesia digerakkan
oleh partai2 kiri: GroenLinks (kiri hidjau), SP (Partai Sosialis), Partij van
de Arbeid (Partai Buruh). Lalu masih ada partai ketjil ChristenUnie jang
beraliran kristen ortodoks dan selalu membela orang2 Papua.

Di sini langsung tampak betapa partai2 kiri merupakan ladang jang masih belum
digarap oleh diplomasi Indonesia. Harus diakui selama ini diplomasi kita hanja
merapat pada partai2 kanan. Maklum hanja kalangan kanan jang mendukung
Indonesia di masa Orde Baru. Sebagai pengganjang PKI dan partai kiri lain, Orde
Baru selalu alergis terhadap kalangan kiri.

Puntjaknja adalah ketika orang kuat Orba murka terhadap Jan Pronk (Menteri
Kerdjasama Pembangunan, anggota Partai Buruh PvdA) karena mengetjam bandjir
darah Santa Cruz, November 1991. Waktu itu batuan Belanda dihentikan, organisasi
donor IGGI dibubarkan dan si menteri kiri Jan Pronk ditjekal.

Dengan bubarnja Orde Baru zaman tentu sadja berubah. Kalau di zaman reformasi
ini Djakarta terus2 an mendesak pihak luar negeri supaja menggunakan katjamata
lain dalam melihat Indonesia, maka Indonesia sendiri pada gilirannja harus sadar
pula bahwa diplomasinja selama ini djuga berat sebelah.

Ketika mendjabat duta besar RI untuk Keradjaan Belanda, mendiang Fanny J. E.
Habibie djuga dikenal dekat dengan politisi kanan Belanda. Dua di antara mereka,
Hans van Baalen (partai konservatif VVD) dan Ben Bot (partai kristen demokrat
CDA) bahkan dianugerahi bintang Mahaputra pada tahun 2009. Djangankan
dianugerahi bintang, dekat dengan kalangan kiri sadja tidak pernah diupayakan
oleh diplomasi Indonesia jang menganggap dirinja negara besar.

Hanja ketika Gus Dur mendjabat RI satu, politisi kiri Belanda merapat ke
Indonesia. Dipelopori oleh Ad Melkert (ketua fraksi PvdA di parlemen) jang kawan
dekat Gus Dur semasa INFID, mereka memudji demokratisasi jang melanda Indonesia.
Walau begitu, Marijke Vos, politikus GroenLinks (kiri hidjau), sempat mendebat
Gus Dur soal kekerasan di Maluku. Sajang kedekatan ini tidak dikembangkan lebih
landjut. Salah satu sebabnja, mungkin, Indonesia sampai sekarang belum djuga
mengenal partai berhaluan kiri. Ini djelas berbeda dengan zaman awal republik,
waktu itu PvdA masih bisa menemukan /geestverwant/ (mitra sealiran) pada diri PSI.

Sekarang sudah tiba saatnja diplomasi Indonesia diperlebar dengan mendekati
partai2 kiri Belanda. Duta Besar Retno Marsudi jang sempat ditolak ketika mau
bertemu Diederik Samson, pemimpin Partai Buruh, harus pandai2 mengerahkan
segenap daja pesona diplomasinja supaja bisa dekat dengan kalangan kiri. Apalagi
karena djadjak pendapat meramalkan partai2 kiri itu akan menang pemilu 12
September mendatang.

Tanpa upaja mendekati kalangan kiri, penundaan pendjualan Tank Leopard bisa
berubah mendjadi pembatalan. Ketjuali kalau memang mau belandja Leopard di
Djerman jang djelas2 lebih mahal.***


No comments: