Saturday, June 30, 2012

RADIO HILVERSUM Ke INDONESIA DI STOP


Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 30 Juni 2012
----------------------------

RADIO HILVERSUM Ke INDONESIA DI STOP
Katanya Karena INDONESIA Sdh “DEMOKRATIS . .”

Sudah beberapa waktu diketahui, bahwa siaran Radio Belanda untuk Indonesia akan distop. Ini diketahui dari sumber Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia). Pada mula memancarkan siarannya 65 tahun yang lalu, siaran radio Belanda itu populer dengan nama RADIO HILVERSUM. Sudah agak lama para karyawan Ranesi, teman-teman Indonesia yang dikenal, sudah 'ketar-ketir' dan 'dak-dik-duk' hatinya. Pada suatu hari kelak mereka akan di 'PHK”-kan! Teman-teman Indonesia yang berkarya di Ranesi, termasuk diantaranya yang sudah memberikan fikiran dan tenaganya antara 20-30 tahun di situ, akan berubah statusnya. Mereka akan jadi 'penganggur'.

Menjadilah kenyataan apa yang dikhawatirkan itu :
Pada tanggal 29 Juni 2012, Ranesi – MENGAKHIRI SIARANNYA . Tragisnya ialah bahwa peristiwa itu dilangsungkan dengan suatu upaca 'meriah'. Tetapi sesungguhnya 'memilukan' bagi karyawannya. Sesunguhnya demikian juga perasaaan pendengar Indonesia yang selama ini merasakan manfaatnya mengikuti Ranesi dari Hilversum. Di Jakarta upacara 'duka' ini sudah lebih dulu diadakan, yaitu pada tanggal 14 Juni di Erasmushuis. Salah seorang pimpinan Radio Belanda khusus terbang ke Jakarta untuk 'meramaikan' upacara 'duka' penyetopan siaran ke Indonesia.

Yang kita ingin fokuskan di sini ialah alasan (lebih tepatnya adalah dalih) yang disampaikan oleh salah seorang pimpian Radio Nederland Wereld Omroep (RNW), ketika ia bicara di pertemuan di Erasmushuis di Jakarta. Ia dengan bangga mengatakan bahwa penyebabnya mengapa Ranesi menghentikan siarannya ke Indonesia adalah karena KALIAN SENDIRI. Kalian, Indonesia, dewasa ini, sudah DEMOKRATIS. Di Indonesia sudah ada 'kebebasan pers' , 'freedom of speech'. Maksudnya di masa lalu 'kebebasan pers' di Indonesia masih merupakan masalah. Maka diperlukan siaran Ranesi dari Holand, untuk mengisi kekosongan kebebasan informasi di Indonesia.

Kira-kira begitulah maksudnya. Sorry maar meneer. , aku baru tahu bahwa Ranesi didirikan untuk mengisi ketiadaan kebebasan informasi di Indonesia! Dan juga baru dengar bahwa Indonesia “Amboi, amboi” sudah 'benar-benar demokratis'. Was het maar waar meneer! Belum lama kita ikuti berita sekitar pembakaran buku oleh penerbit yang dipimpin jurnalis kawakan Jacob Oetama. Belum lama sekelompok preman yang atas nama religius, mengadakan 'sweeping' toko-toko buku di beberapa kota di Indonesia untuk 'membersihkan' toko-toko buku dari buku-buku 'terlarang'. Dan siapa tidak tahu, banyak berita penting yang menyangkut pelanggaran HAM berat atau tindak korupsi, karena menyangkut sementara elite, atau mengenai tindakan kekerasan aparat kepada warga, yang tidak muncul di media. S.k, stasiun radio dan TV, yang besar-besar pemiliknya adalah dari kalangan yang berkuasa. Sehingga bicara tentang sudah adanya kebebasan informasi yang sungguh-sungguh di Indonesia, itu lebih banyak merupakan 'igauan' belaka!

Nanti, kita singgung lagi isu yang diajukan oleh salah seorang pimpinan Radio Belanda di pertemuan di Erasmushuis di Jakarta.

* * *

Ketika ramai diberitakan di media tentang kesulitan ekonomi di Belanda, sudah diketahui juga bahwa politik utama pemerintah Belanda untuk mengatasi kesulitan ekonomi: adalah mengadakan “BEZUINIGING”. Dalam bahasa Indonesianya: PENGHEMATAN. Celakanya yang dihemat itu justru adalah bidang-bidang kegiatan pemerintah dimana yang sesungguhnya harus diintensifkan. Di situ pemerintah sesungguhnya perlu mealakukan pengucuran INVESTASI baru. Termasuk investasi modal. Kebijakan 'bezuinining' ini sejiwa dengan 'bezuining' di bidang lainnya yang mau diberlakukan pemerintah (koalisi liberal dan Kristen) Perdana Menteri Rutte. Yaitu 'bezuining' di bidang bantuan Belanda kepada negeri-negeri yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.

'Bezuining' lainnya adalah di bidang jaminan kesehatan dan sosial serta pendidikan. Tipikal kebijakan pemerintah-pemerintah parpol Kanan di Eropah: Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, mereka mengurangi bahkan menghentikan subsidi dan pengeluaran negara yang menyangkut peri kehidupan rakyat kecil. Justru yang jadi korban politik 'bezuining' ini adalah golongan rakyat yang disebut 'minima'. Rakyat biasa yang berpenghasilan rendah, yang memerlukan bantuan dan subsidi pemerintah. Kita jadi ingat politik ekonomi pemerintah SBY yang hendak mengakhiri subsidi atas BBM demi mengatasi kesulitan ekonomi Indonesia.

* * *

Kita ikuti sejenak apa yang disiarkan di situs Ranesi sekitar penutupan siaran tsb a.l sbb:



“Hari yang mendebarkan sekaligus menyedihkan. Hari ini Jumat 29 Juni 2012, Radio Nederland Siaran Indonesia, yang telah mengudara selama 65 tahun, akan mengakhiri siarannya untuk waktu yang tidak ditentukan.
"Runtuhnya sebuah monumen," demikian komentar banyak orang. Acara penutupan antara lain akan diakhiri dengan sebuah pertunjukan human shadowplay atau wayang orang, langsung dari studio Radio Nederland di Hilversum, Belanda.
. . . . . semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan. Dengan ini seluruh kru Ranesi di Hilversum dan Jakarta pamit kepada para pendengar, pembaca, fans di Facebook dan teman-teman semua.
“Tabik Ranesi!!” Demikianlah a.l yang disiarkan oleh situs Radio Nederland.
Benar kan? Disatu fihak mengadakan suatu pesta, di lain fihak merupakan “Hari yang mendebarkan sekaligus menyedihkan”.
Terus terang, perasaan yang muncul membaca situs tsb dan mendengar sendiri langsung dari kalangan Ranesi, tidak bisa lain ingin aku berteriak kepada mereka-mereka yang berwenang di Belanda: MENGAPA KALIAN BEGITU BODOH!! BEGITU KELIRU!
Coba perhatikan perkembangan hubungan Indonesia-Belanda di bidang keilmuan baru-baru ini: Yang menunjukkan masih sangat diperlukannya hubungan dan kerjasama antara Indonesia dan Belanda menyangkut masa lampau dua negeri ini.
Belum lama diajukan prakarsa dan ajakan kerjasama tiga lembaga penelitian sejarah Belanda untuk melakukan riset dan studi, mengkaji kembali sejarah hubungan Indonesia-Belanda, khususnya mengenai kekerasan militer yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1949. Suatu periode peperangan yang berlangsung antara Indonesia dan Belanda, disebabkan politik Belanda ketika itu untuk menghancurkan Republik Indonesia, mengembalikan Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Kiranya perlu fihak Indonesia menyambut perkembangan positif di kalangan cerndekiawan Belanda tsb.

Sejarwan Indonesia Bambang Purwanto, menurut de Volkskrant, menyatakan bahwa inisiatif fihak Belanda itu adalah suatu "ide yang baik sekali". Karena di Indonesia dilakukan usaha yang keras
untuk suatu karya-standar mengenai sejarahnya sendiri. Historikus terkenal Belanda, Cees Fraseur, menyatakan kegembiraannya dengan munculnya prakarsa dari tiga lembaga penelitian Belanda tsb. Saya berharap hal ini ditangani sebaiknya, demikian Fraseur.

De Volkskrant, menulis bahwa pada akhir tahun lalu, hampir 70 tahun dihitung dari terjadinya peristiwa itu, Belanda menyatakan minta maaf dan bersedia membayar ganti rugi untuk pertumpahan darah di desa Rawagede. Beberapa minggu yang lalu, diajukan tuntutan ganti rugi untuk pelanggaran-hukum perang di Sulawesi Selatan.

Dinyatakan bahwa diperlukan penelitian baru untuk bisa memahami peperangn yang macam apa yang berlangsung di situ. Mengapa dan bagaimana peperangan dilangsungkan di sana. Bagaimana kekejaman itu berlansung dari dua belah fihak. Juga diperlukan fakta-fakta keras dan jawaban atas pertanyaan siapa yang bertanggung-jawab. Diharapkan (kali ini) kita bisa menanganinya sampai tuntas. Para ilmuwan Belanda yang berinisiatf itu, ingin terlibat langsung dalam penelitian tsb. Menurut perkiraan mereka dengan enam orang peneliti berpengalaman diperlukan waktu tiga tahun. Dengan biaya sekitar 2 -- 3 juta Euro.




Inilah masalah yang ingin kita fokuskan:
Dalam situasi adanya kehendak baik di fihak kesarjanaan Belanda dan kesediaan fihak Indonesia untuk inisitif baru melakukan studi bersama di bidang sejarah hubungan dua bangsa ---- BUKANKAH KOMUNIKASI RADIO merupakan cara yang baik dan efektif untuk mempromosi kehendak baik di fihak Belanda dan Indonesia. Maka dengan dengan latar belakang pandangan seperti disebut diatas, -- semakinlah tampak nyata betapa ABSURDNYA politik menghentikan siaran RANESI pada saat ini.
Pendapat mengenai masalah ini dan kritik terhadap kebijakan Belanda itu, kusampaikan secara pribadi dan langsung kepada salah seorang petinggi Belanda yang kebetulan kujumpsi pada resepsi perpisahan kemarin, yang diadakan oleh Dutabesar Indonesia di Belanda, Ibu Retno L.P Marsudi, untuk orang kedua di KBRI, Minister Councellor Umar Hadi.
Tadinya aku menduga bahwa petinggi Belanda itu anggota EERSTE KAMER Belanda (Senat), salah satu lembaga perwakilan tinggi negeri Belanda disamping Tweede Kamer (DPR). Dr. Chrisward |J. Gradewitz, ternyata adalah Deputy Secretary General of the Senate, Wk Sekjen Senat. Kepada beliaulah kusampaikan 'unek-unekku' sekitar kebijakan Belanda yang kuanggap keliru dan bodoh! Mudah-mudahan meneer Gradewitz berkenan menyampaikan informasi yang didengarnya kepada yang bersangkutan di Senat.



Maksudnya tak lain tak bukan, agar semua cara dan kemungkinan dimanfaatkan dalam menggalakkan hubungan antar Indonesia dan Belanda, demi kebaikan dan kemanfaatan bagi kedua negeri dan bangsa. Termasuk memanfaatkan media radio.



Dengan demikian siaran radio seyogianya tidak seperti yang dikemukakan oleh kalangan pimpinan Radio Belnda, seakan-akan sekadar untuk 'menberikan pendidikan demokrasi' kepada Indonesia. Bukan, bukan untuk memberikan 'pelajaran demokrasi' semata. Siaran radio dari Belanda itu seyogianya, pertama-tama dan terutama demi menggalakkan hubungan baik kedua negeri dan bangsa!



* * *





No comments: