Saturday, September 1, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- ISLAM dan POLITIK KEKUASAAN

Kolom IBRAHIM ISA
-------------------------
Sabtu, 01 September 2007.

ISLAM dan POLITIK KEKUASAAN
Mari ikuti dengan seksama perkembangan politik negeri kita dewasa ini. Dari situ jelas tampak adanya usaha-usaha yang meningkat oleh pelbagai kalangan dengan tujuan menegakkan Syariah Islam sebagai dasar dan sumber hukum negara . Di pusat tak berhasil, percobaan itu dilakukan di daerah-daerah, seperti di Aceh dan daerah-daerah tertentu lainnya. Dalam pada itu jelas pula bahwa begitu agama di(salah)gunakan sebagai kendaraan politik kekuasaan, dampaknya negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Merenungkan latar belakang sejarah dan situasi kongkrit negeri kita, kiranya, itulah sebabnya bangsa ini terhimbau untuk dengan serius menarik pelajaran dari dilema dan bahaya bila Kitab Suci Alquran digunakan untuk tujuan politik kekuasaan. Dengan demikian, wajarlah pula munculnya berbagai tulisan maupun pernyataan yang menanggapi situasi tsb. Ini bisa didengar/dibaca dari pernyataan para tokoh Islam seperti Nurkholis Madjid (alm), Abdurrahman Wahid dan lain-lainnya dari kalangan muda Islam.

* * *

Antara lain yang sudah beberapa kali menanggapinya adalah Safi 'i Ma'arif, cendekiawan Islam mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Tulisannya baru-baru ini di situs MAARIF INSTITUTE (31 Juli 2007), berusaha menganalisis perkembangan tsb dengan menunjuk pada pelajaran sejarah pembentukan negara Islam Pakistan. Tulis Maarif a.l. : 'Ini fakta keras sejarah yang juga kita saksikan sepanjang abad, sebuah fakta yang menelikung tujuan Kitab Suci ini, semata-mata karena orang yang mengaku beriman itu terlalu terpaku pada godaan duniawi atas nama Tuhan'.

Membaca tulisan Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif, tentang DILEMA REPUBLIK ISLAM (lihat lampiran), tak bisa tidak membikin orang berfikir dan berfikir lagi. Pemikiran ini kiranya berguna lebih-lebih lagi bagi sementara kalangan yang punya cita-cita mengubah UUD - RI dan Pancasila sebagai falsafah dasar negara, dengan menjadikan Islam dan Syariah sebagai sumber falsafah dan hukum negara. Tentu maksudnya, tak lain, agar Republik kita bisa menghadapi tantangan bertumpuk-tumpuknya masalah yang semerawut, rumit dan gawat serta menggelobal. Diasumsikannya bahwa masalah-masalah yang dihadapi itu tak akan dapat dipecahkan, tak akan menemukan jalan keluar, SELAIN dengan mendirikan NEGARA ISLAM INDONESIA.

Sejak kemerdekaan bangsa dan negeri diproklamsikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan berdiri negara kesatuan REPULIK INDONESIA, dengan UUD yang sekular, ada dilakukan percobaan oleh para penganut Darul Islam (DI) untuk menegakkan NEGARA ISLAM INDONESIA. Sejarah negeri mencatat bahwa usaha demikian itu disertai dan bergelimang konflik kekerasan besenjata yang menelan ribuan korban rakyat yang tak bersalah.

Himbauan Syafi'i Ma'arif tsb khususnya dinyatakanya setelah menelaah pelajaran sejarah lahir dan perkembangan Negara Islam Pakistan. Yang bisa disaksikan hingga kini, bahwa 'mendirikan negara Islam bukan merupakan jalan keluar dan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi kehidupan bernegara dalam zaman modern sekarang ini. Oleh sebab itu, tulis Ma 'arif, 'orang harus ekstra hati-hati untuk membawa agama ke dalam pusaran politik kekuasaan'.

'Sebagai tokoh Islam, ia (Ma 'arif) berani menegaskan bahwa negara Indonesia harus tetap menjadi negara yang bediri di atas Pancasila; bukan “negara agama” tertentu'. (Ma'arif Institute). Sehubungan dengan ini, baik kiranya kita telaah lebih lanjut usaha-usaha sementara kaum cendekiawan Islam menanggapi perkembangan situasi di kalangan Islam di Indonesia. Salah satu daripadanya adalah kegiatan lembaga 'MAARIF INSTITUTE'.

'MAARIF INSTITUTE', yang didirikan tahun 2003 oleh Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif dan teman-temannya untuk mensosialisasikan yang bisa dianggap sebagai suatu aliran pencerahan dalam perkembangan Islam di Indonesia, menyatakan, sbb:
Kelahiran 'MAARIF INSTITUTE' bermula dari kesadaran akan pentingnya institusi kultural yang memperjuangkan tersosialisasikannya watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, inklusif, dan toleran serta memiliki kompatibalitas dengan demokrasi yang berpihak kepada keadilan. Hal ini menjadi penting karena distorsi interpretasi terhadap Islam telah memunculkan wajah Islam yang anti-demokrasi dan anti-kemajuan, pro-kekerasan, dan anarkis.

Dinyatakan selanjutnya bahwa Ahmad Syafii Maarif adalah seorang tokoh Islam yang dapat dikatakan sebagai sedikit figur bangsa yang tetap konsisten dalam perjuangan Islam kultural yang inklusif.

Ma'arif berani menegaskan bahwa negara Indonesia harus tetap menjadi negara yang bediri di atas Pancasila; bukan “negara agama” tertentu. Mengenai visi, Maarif Institute menyatakan: Terwujudnya cita-cita sosial dan intelektual untuk memperjuangkan tegaknya prinsip-prinsip Islam yang inklusif, toleran, pluralis, humanis, dan damai sebagai landasan demokrasi dan keadilan sosial. Sedangkan misinya adalah: Mensosialisasikan gagasan pembaharuan Islam
Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Islam moderat di Indonesia ikut serta melakukan dialog dan kerja sama antar-agama, antar-budaya dan antar-peradaban dalam rangka mewujudkan perdamaian, saling pengertian dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan.
Serta memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislative dan eksekutifserta mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi.

Demikian sekadar pengenalan terhadap usaha pembaruan Islam 'MAARIF INSTITUTE'

* * *

(Lampiran)
Musharraf dan Dilema Republik Islam
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif

Pada saat partai-partai Islam di Indonesia demam dengan gagasan Negara Islam di era 1950-an --saya turut larut di dalamnya-- Pakistan adalah model yang sering dirujuk. Apalagi pembentukan Pakistan sebagai negara dan bangsa baru terkait dengan gagasan Iqbal, penyair dan pemikir terkenal, yang dilontarkannya tahun 1930, delapan tahun sebelum ruh besar ini dipanggil Allah untuk selama-lamanya. Berkat terjemahan Bachrum Rangkuti dan Osman Raliby, karya dan sosok Iqbal semakin dikenal kalangan cendekiawan Indonesia. Rasa-rasanya pada waktu itu, dengan sebuah Negara Islam segalanya akan beres, karena Islam dipercaya sebagai obat mujarab bagi penyembuhan berbagai penyakit modern. Secara ideal ajaran, pendapat ini sebenarnya tidaklah salah.
Tetapi, ada satu hal fundamental yang dilupakan: kondisi sosio-kultural-intelektual umat Islam yang terkebelakang sama sekali tidak siap untuk mendukung gagasan mewah berupa sebuah negara modern yang dikaitkan dengan agama dengan segala masalahnya yang ruwet. Islam yang selama berabad-abad terkurung dalam pasungan budaya politik dinastik-otoritarian-kekhilafahan yang tidak menghormati kemerdekaan warga menjumpai kesulitan yang luar biasa untuk menciptakan sebuah negara egalitarian di era pascakolonial. Pakistan yang diidolakan itu ternyata kemudian juga gagal memenuhi harapan yang semula demikian menggebu itu.
Era Perves Musharraf (1999) adalah bukti terkini tentang betapa rumitnya mengurus sebuah negara modern yang diberi nama Republik Islam Pakistan itu. Dalam konstitusinya tercantum dasar filosofi mewah tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam realitas, baik gagasan kedaulatan Allah maupun syariah ternyata tidak mampu menolong nasib Pakistan berhadapan dengan konflik suku yang beragam dan sengketa politik yang sering berkuah darah itu.

Kudeta militer telah terjadi berkali-kali. Berbagai suku dengan jumlah pendukungnya berikut ini: Punjabi 58 persen, Sindhi 13 persen, Phastun 12,5 persen, Baluchi empat persen, semakin menyulitkan Pakistan untuk tegak sebagai sebuah negara yang stabil.

Kemudian, ada pula Muhajir delapan persen (migran dari India tahun 1947) yang tak terikat dengan suku termasuk kelompok yang dominan dalam politik dan ekonomi. Sekarang Musharraf dengan dukungan penuh Amerika sedang kewalalahan berhadapan dengan pihak oposisi dan kekuatan militan Muslim yang berbasis di kawasan pergunungan di perbatasan Pakistan dan Afghanistan, sebuah kawasan yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan senjata modern.

Tragedi serangan berdarah tentara Pakistan terhadap Masjid Merah baru-baru ini di ibu kota Islamabad, di mana kekuatan militan mencoba bertahan, adalah puncak sebuah gunung es dari konflik politik kekuasaan dalam tubuh Republik Islam itu. Islam seolah tidak berdaya menjadi kekuatan mediasi dalam meredam konflik sesama Muslim, tetapi dengan orientasi dan kepentingan politik yang berlawanan secara tajam.

Masjid Merah yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari kediaman Musharraf punya kaitan erat dengan kekuatan militan di kawasan pergunungan di atas. Sekiranya Amerika menyerang kelompok militan ini dengan dalih melawan terorisme, maka risikonya akan sangat eskalatif.


Pasukan Taliban dan Alqaidah di Afghanistan tidak bisa dihancurkan Amerika dan sekutunya, mau ditambah lagi dengan Pakistan? Gedung Putih di tangan orang gila tidak mustahil akan semakin gelap mata untuk bermain dengan api peperangan, sebuah obsesi petualangan kaum fundamentalis, tidak peduli apa pun agama yang dipeluknya. Doktrin politiknya sama: ikut kami atau lawan kami!

Begitu ruwetkah sengketa politik di Pakistan? Mengapa Islam yang dipeluk oleh 97 persen rakyat Pakistan (Suni 77 persen, Syiah 20 persen) tidak dapat menjadi perekat utama untuk sebuah perdamaian? Anda tidak perlu berandai-andai lagi. Islam bila sudah dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin pembenar konflik atau bahkan perang saudara, dan untuk Pakistan bisa juga menjadi perang suku dengan perbedaan paham agama yang dibawanya masing-masing

Jangankan sajak-sajak Iqbal tentang persaudaraan umat yang banyak dihafal oleh berbagai suku di sana, Alquran yang menjadi Kitab Suci rakyat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa sekali ia dipakai untuk tujuan politik kekuasaan. Ini fakta keras sejarah yang juga kita saksikan sepanjang abad, sebuah fakta yang menelikung tujuan Kitab Suci ini, semata-mata karena orang yang mengaku beriman itu terlalu terpaku pada godaan duniawi atas nama Tuhan.

Musharraf, seorang migran dari India, kaum militan dari berbagai suku, dan politisi yang ingin menjatuhkannya, semuanya beragama Islam, tetapi mengapa mereka memilih untuk saling menghancurkan? Inilah di antara dilema pelik yang sebenarnya sedang dihadapkan kepada seluruh umat Islam di muka bumi, tidak hanya di Pakistan. Pertanyaan sederhananya adalah: sudah benarkah keislaman kita? Apa pun yang tertulis dalam konstiusi sebuah negara, semuanya akan menjadi deklarasi mati, selama kualitas keislaman kita lebih terpaku dan terpukau oleh bentuk dengan mangabaikan substansi untuk tujuan apa Islam itu datang ke muka bumi.
Presiden Jenderal Musharraf yang naik ke panggung kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1999, sedang dihadapkan pada pilihan yang serba sulit di sebuah Republik Islam. Negara ini yang semula juga mencakup Pakistan Timur, kemudian terjadi pemberontakan untuk melepaskan diri di sana.
Setelah pasukan Pakistan menyerah kepada gabungan pasukan Bangladesh dan India yang Hindu pada 16 Desember 1971, maka berdirilah negara baru dengan nama Bangladesh (88 persen Muslim). Oleh sebab itu, orang harus ekstra hati-hati untuk membawa agama ke dalam pusaran politik kekuasaan.

Musharraf sedang berhadapan dengan bermacam faksi politik kepentingan yang semuanya beragama Islam. Salah-salah melangkah, nyawanya sudah di ujung tanduk. Sejarah modern Pakistan sarat dengan drama pembunuhan politik kelas puncak dan kelas akar rumput.


* * *

No comments: