Kolom IBRAHIM ISA
Rabu,
21
Agustus 2013------------------------------
Pidato “Kenegaraan”(?) Presiden SBY
--- Selain ada Satu Ketegasan, Namun . . .
. .
--- Bungkam Tentang “Peristiwa 1965”
--- Dinilai Seperti “Cerita Fiksi . .
Dengan Bumbu-bumbu ilmiah“
*
* *
Hari Nasional, Hari Ultah
ke-68 Republik Indonesia, berlalu ayem-ayem saja, di
Indonesia, maupun di luarnegeri. Di Indonesia seperti biasa
menjelang 17 Agustus Presiden berpidato di muka sidang
gabungan DPR dan Wakil-Wakil Daerah, menyambut HARI NASIONAL
17 AGUSTUS 2013.
Sayang, aku belum ada
kesempatan membaca teks lengkapnya.
* * *
Betul, --- Ada satu ketegasan
yang disampaikan oleh Presiden SBY: Bahwa: “Papua dan Aceh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara
Kesastuan Republik Indonesia, bahw pendirian ini
merupakan harga mati... bersifat fundamental dan tidak
bisa ditawar-tawar."
Ketegasan ini dirasakan memang perlu dikemukakan
sekali lagi, dan berkali-kali di masa yang akan datang.
Karena, usaha dan manuver kekuatan politik dan sementara
negara yang ingin sekali melihat Republik Indonesia
hancur, terpecah-belah seperti Yugoslavia dan Uni
Sovyet, menjadi negara-negara “merdeka”. Dengan demikian
lebih gampang dikontrol dan dikuasai, dikuras
kakayaannya. Usaha dan kegiatan memecah-belah Republik
dan nasion Indonesia, belakangan ini tampak semakin
aktif.
Bangsa ini tidak akan pernah lupa, bahwa ketika
pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administation,
yang hakikatnya adalah pemerintah kolonial “Hindia
Belanda” sesudah Perang Dunia II) di bawah pimpinan
Gubenur Jendral Dr H.J. Van Mook masuk Indonesia dari
Ausrtalia, 1945, politik pokok yang digalakkannya adalah
“devide et impera”, “pecah belah dan kuasai!”.
Van Mook mulai politik “devide et imperanya”
dengan mendirikan pemerintah-pemerintah negara boneka.
Di Indonesia Timur, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dengan
ini mengencarkan pengepungan dan pemusnahkan Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan pada tanggal 17
Agusus 1945 oleh Sukarno Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Maka “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”
perjuangan bangsa menegakkan negara Republik Indonesia.
Jangan sekal-kali melupakan politik “devide et impera”
kaum kolonialis lama dan baru dan imperialisme.
* * *
Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2013,
Presiden SBY berusaha memberikan gambaran yang bagus mengenai
keadaan ekonomi dan politik Republik kita serta peri-kehidupan
rakyatnya. SBY membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia
dewasa ini. Klaim ini kontan dikritik oleh politkus PDI-P,
Rieke Diah Pitaloka, sebagai “Cerita FIKSI” . . . . . Artinya
“cerita khayalan” . . belaka. Sama saja dengan menina-bobokkan
siapa yang percaya pada “angan-angan” SBY itu. Nanti di bagian
bawah tulisan ini akan jelas, mengapa politikus PDI-P Rieke
Diah Pitaloka, menganggap pidato kenegaraan itu sebagai “fiksi
yang dibumbui cerita ilmiah”.
* * *
Bungkam Tentang Peristiwa “Tragedi Nasional
1965
Seperti biasa pula, . . . SATU SOAL BESAR
yang oleh Presiden SBY tidak disinggung samasekali. Padahal KomnasHam, suatu lembaga hak-hak azasi manusia yang
dibentuk oleh pemerintah, --- melalui proses perjuangan yang
sengit di dalamnya, telah mengambil kesimpulan tertanggal 23
Juli, 2012. Dengan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk
menindak lanjutinya. Ditegaskan bahwa telah terjadi
pelanggaran HAM berat di sekitar kasus “Peristiwa 1965” yang
melibatkan aparat negara. Terhadap “kemacetan” usaha
susah-payah KomnasHam inipun Presiden tidak menyinggungnya
sama sekali di dalam pidato kenegaraan beliau.
* * *
Kita juga ingat, bahwa Presiden pernah
mengeluarkan kebijakan “memberikan paspor RI kepada warga
Indonesia yang “terhalang pulang”, karena mereka-mereka itu
oleh penguasa militer dilibatkan dengan “Peristiwa Tragedi
Nasional 1965”. Mereka-mereka itu adalah yang paspornya
sewenang-wenang dicabut penguasa karena menolak menandatangani
pernyataan yg melibatkan Presiden Sukarno dengan peristiwa
G30S. SBY enggan atau mungkin “takut” menyebut kasus besar
sejarah “PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL PEMBANTAIAN MASAL 1965”.
Kemudian SBY bersedia memberikan paspor (baru)
kepada warga Indonesia yang terhalang pulang, karena paspornya
dicabut itu. Tapi dengan cara ini SBY menempuh cara
“geruisloos” kata orang Belanda, cara “diam-diam” hendak
menyelesaikan masalah pencabutan sewenang-wenang parpor tsb.
Halmana ditolak oleh sebagian besar yang bersangkutan,---
dengan alasan karena masalah “pencabutan paspor” menyangkut
pelanggaran berat HAM warga. Karena kewaganegaraannya dengan
sewenang-wenang direnggutkan tanpa proses hukum dan peradilan.
Seharusnya, --- pemerintah SBY secara
transparan, terbuka dan resmi menyatakan bahwa pencabutan
paspor tsb adalah salah, merupakan pelanggaran hak
kewarganegaraan seseorang. Semestinya pemerintah menyatakan
permintaan maaf dan merehabilitasi kewarganegaraan yang
bersangkutan.
Tapi hingga saat ini pemerintah SBY tetap
bungkam seribu bahasa. Tidak ada samasekali “political will”
untuk menyelesaikannya dengan transparan dan tuntas.
* * *
Undang-Undang No. 27, Tahun 2004 Tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – Yang Begitu Lahir
Doibatlkan
Suatu ketika dirancangkan dan diambil langkah
awal menuju realisasi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.
Maka dibuatlah Undang-undang Tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi No 27, Th 2004. Tapi, selang beberapa waktu,
sementara elite politik dan parpol melakukan politik “pat-pat
gulipat”, mempersoalkan kasus UUD No 27, Th 2004 Tentang
Komisi Kebenaran dan Rehabilitasi Nasional. Diajukan dan mulai
“main” dengan Mahkamah Konstitusi, . . . . maka, jatuhlah
keputusan MK yang “fatal” itu: -- Undang-Undang No 27, Tahun
2004, Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional tsb
divonis mengandung fasal-fasal yang inkonstituional. Sehingga
MK membatalkan Undang-Undang Tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi tsb.
Tidak salah jika manuver “pat-pat gulipat”
ini dianggap memang maksud tujuannya, adalah untuk menolak
dan menggagalkan usaha menuju Kebenaran dan Rekonsiliasi
Nasional.
Bagaimana kelanjutan dan nasib usaha mencari
kebenaran dan mengadakan Rekonsiliasi Nasional . . . .
Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya . . . bungkam seribu
bahasa.
* * *
“Cerita
Fiksi” yang Berbau Ilmiah
Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR, mewakili parpol PDI-P kontan
menaggapi kritis:
Pidato Kenegaran Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, menyerupai “cerita fiksi yang berbau ilmiah.”
Suatu kritik yang sopan tpi “nyelekit”. Sebab, kata
politikus PDI-P itu, "Seperti pidato SBY lainnya, pidato
kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu.".
(Kompas.Com – 17 Agustus 2013)
Pidato SBY itu,
kata Rike, disertai dengan angka-angka yang seolah-olah
memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah
angka-angka itu berbasis pada data dan realitas
sesungguhnya? Atau sekadar fiksi belaka untuk pembungkus
pencitraan?", tambah Rieke menjelaskan.Padahal, masyarakat
sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang
sesungguhnya terjadi. Rieke mengambil contoh soal
peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB).
Alasan Rieke:
Bila dilihat angka-angkanya saja, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, . . . . siapa yang menikmati besarnya PDB itu?". Ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, Provinsi Papua. Provinsi ini, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula,".
Karenanya, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.
"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" Dengan data penghasilan tersebut, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.
Data BPS di atas, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," . Demikian penjelasan singkat padat Rieke Diah Pitaloka, mengapa pidto kenegaran 17 Agustus SBY menyerupai “fiksi yang bebau ilmiah”.
Bila dilihat angka-angkanya saja, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, . . . . siapa yang menikmati besarnya PDB itu?". Ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, Provinsi Papua. Provinsi ini, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula,".
Karenanya, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.
"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" Dengan data penghasilan tersebut, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.
Data BPS di atas, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," . Demikian penjelasan singkat padat Rieke Diah Pitaloka, mengapa pidto kenegaran 17 Agustus SBY menyerupai “fiksi yang bebau ilmiah”.
* * *
Walhasil, . . . .
.Masyarakat samasekali tidak memperoleh kejelasan kebijakan arah politik
yang bagaimana yang hendak ditempuh pemerintah mengenai masalah
membangun negara Republik Indonesia ini sebagai negara
hukum. Dimana diberlakukan prinsip-prinsip
Hak-Hak Azasi Manusia .
Juga tidak
terlihat kejelasan kebijakan ekonomi-politik yang bagaimana
yang akan ditempuh pemerintah, yang akan membawa negri dan
bangsa ini ke suatu kekuatan ekonomi yang
berdikari, dimana kekayaan bumi dan air negeri
ini diabdikan untuk kepentingan rakyat keseluruhannya.
* * *
No comments:
Post a Comment