Thursday, August 22, 2013

Pidato “Kenegaraan”(?) Presiden SBY

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 21 Agustus 2013
------------------------------


Pidato “Kenegaraan”(?) Presiden SBY

--- Selain ada Satu Ketegasan, Namun . . . . .
--- Bungkam Tentang “Peristiwa 1965”
--- Dinilai Seperti “Cerita Fiksi . . Dengan Bumbu-bumbu ilmiah“

* * *

Hari Nasional, Hari Ultah ke-68 Republik Indonesia, berlalu ayem-ayem saja, di Indonesia, maupun di luarnegeri. Di Indonesia seperti biasa menjelang 17 Agustus Presiden berpidato di muka sidang gabungan DPR dan Wakil-Wakil Daerah, menyambut HARI NASIONAL 17 AGUSTUS 2013.

Sayang, aku belum ada kesempatan membaca teks lengkapnya.

* * *

Betul, --- Ada satu ketegasan yang disampaikan oleh Presiden SBY: Bahwa: “Papua dan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesastuan Republik Indonesia, bahw pendirian ini merupakan harga mati... bersifat fundamental dan tidak bisa ditawar-tawar."

Ketegasan ini dirasakan memang perlu dikemukakan sekali lagi, dan berkali-kali di masa yang akan datang. Karena, usaha dan manuver kekuatan politik dan sementara negara yang ingin sekali melihat Republik Indonesia hancur, terpecah-belah seperti Yugoslavia dan Uni Sovyet, menjadi negara-negara “merdeka”. Dengan demikian lebih gampang dikontrol dan dikuasai, dikuras kakayaannya. Usaha dan kegiatan memecah-belah Republik dan nasion Indonesia, belakangan ini tampak semakin aktif.

Bangsa ini tidak akan pernah lupa, bahwa ketika pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administation, yang hakikatnya adalah pemerintah kolonial “Hindia Belanda” sesudah Perang Dunia II) di bawah pimpinan Gubenur Jendral Dr H.J. Van Mook masuk Indonesia dari Ausrtalia, 1945, politik pokok yang digalakkannya adalah “devide et impera”, “pecah belah dan kuasai!”.

Van Mook mulai politik “devide et imperanya” dengan mendirikan pemerintah-pemerintah negara boneka. Di Indonesia Timur, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dengan ini mengencarkan pengepungan dan pemusnahkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agusus 1945 oleh Sukarno Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Maka “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” perjuangan bangsa menegakkan negara Republik Indonesia. Jangan sekal-kali melupakan politik “devide et impera” kaum kolonialis lama dan baru dan imperialisme.

* * *

Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2013, Presiden SBY berusaha memberikan gambaran yang bagus mengenai keadaan ekonomi dan politik Republik kita serta peri-kehidupan rakyatnya. SBY membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini. Klaim ini kontan dikritik oleh politkus PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, sebagai “Cerita FIKSI” . . . . . Artinya “cerita khayalan” . . belaka. Sama saja dengan menina-bobokkan siapa yang percaya pada “angan-angan” SBY itu. Nanti di bagian bawah tulisan ini akan jelas, mengapa politikus PDI-P Rieke Diah Pitaloka, menganggap pidato kenegaraan itu sebagai “fiksi yang dibumbui cerita ilmiah”.

* * *

Bungkam Tentang Peristiwa “Tragedi Nasional 1965

Seperti biasa pula, . . . SATU SOAL BESAR yang oleh Presiden SBY tidak disinggung samasekali. Padahal KomnasHam, suatu lembaga hak-hak azasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, --- melalui proses perjuangan yang sengit di dalamnya, telah mengambil kesimpulan tertanggal 23 Juli, 2012. Dengan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk menindak lanjutinya. Ditegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sekitar kasus “Peristiwa 1965” yang melibatkan aparat negara. Terhadap “kemacetan” usaha susah-payah KomnasHam inipun Presiden tidak menyinggungnya sama sekali di dalam pidato kenegaraan beliau.

* * *

Kita juga ingat, bahwa Presiden pernah mengeluarkan kebijakan “memberikan paspor RI kepada warga Indonesia yang “terhalang pulang”, karena mereka-mereka itu oleh penguasa militer dilibatkan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965”. Mereka-mereka itu adalah yang paspornya sewenang-wenang dicabut penguasa karena menolak menandatangani pernyataan yg melibatkan Presiden Sukarno dengan peristiwa G30S. SBY enggan atau mungkin “takut” menyebut kasus besar sejarah “PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL PEMBANTAIAN MASAL 1965”.

Kemudian SBY bersedia memberikan paspor (baru) kepada warga Indonesia yang terhalang pulang, karena paspornya dicabut itu. Tapi dengan cara ini SBY menempuh cara “geruisloos” kata orang Belanda, cara “diam-diam” hendak menyelesaikan masalah pencabutan sewenang-wenang parpor tsb. Halmana ditolak oleh sebagian besar yang bersangkutan,--- dengan alasan karena masalah “pencabutan paspor” menyangkut pelanggaran berat HAM warga. Karena kewaganegaraannya dengan sewenang-wenang direnggutkan tanpa proses hukum dan peradilan.

Seharusnya, --- pemerintah SBY secara transparan, terbuka dan resmi menyatakan bahwa pencabutan paspor tsb adalah salah, merupakan pelanggaran hak kewarganegaraan seseorang. Semestinya pemerintah menyatakan permintaan maaf dan merehabilitasi kewarganegaraan yang bersangkutan.

Tapi hingga saat ini pemerintah SBY tetap bungkam seribu bahasa. Tidak ada samasekali “political will” untuk menyelesaikannya dengan transparan dan tuntas.

* * *

Undang-Undang No. 27, Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – Yang Begitu Lahir Doibatlkan

Suatu ketika dirancangkan dan diambil langkah awal menuju realisasi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Maka dibuatlah Undang-undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No 27, Th 2004. Tapi, selang beberapa waktu, sementara elite politik dan parpol melakukan politik “pat-pat gulipat”, mempersoalkan kasus UUD No 27, Th 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rehabilitasi Nasional. Diajukan dan mulai “main” dengan Mahkamah Konstitusi, . . . . maka, jatuhlah keputusan MK yang “fatal” itu: -- Undang-Undang No 27, Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional tsb divonis mengandung fasal-fasal yang inkonstituional. Sehingga MK membatalkan Undang-Undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tsb.

Menanggapi hal tersebut mewakili para pemohon, Asmara Nababan menyatakan keputusan ini mengembalikan posisi pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu ke titik nol.

Tidak salah jika manuver “pat-pat gulipat” ini dianggap memang maksud tujuannya, adalah untuk menolak dan menggagalkan usaha menuju Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.



Bagaimana kelanjutan dan nasib usaha mencari kebenaran dan mengadakan Rekonsiliasi Nasional . . . . Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya . . . bungkam seribu bahasa.

* * *

Cerita Fiksi” yang Berbau Ilmiah 
 Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR, mewakili parpol PDI-P kontan menaggapi kritis:

Pidato Kenegaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyerupai “cerita fiksi yang berbau ilmiah.” Suatu kritik yang sopan tpi “nyelekit”. Sebab, kata politikus PDI-P itu, "Seperti pidato SBY lainnya, pidato kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu.". (Kompas.Com – 17 Agustus 2013)

Pidato SBY itu, kata Rike, disertai dengan angka-angka yang seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah angka-angka itu berbasis pada data dan realitas sesungguhnya? Atau sekadar fiksi belaka untuk pembungkus pencitraan?", tambah Rieke menjelaskan.Padahal, masyarakat sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang sesungguhnya terjadi. Rieke mengambil contoh soal peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB).

Alasan Rieke:
Bila dilihat angka-angkanya saja, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, . . . . siapa yang menikmati besarnya PDB itu?". Ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, Provinsi Papua. Provinsi ini, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula,".

Karenanya, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.

"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" Dengan data penghasilan tersebut, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.

Data BPS di atas, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," . Demikian penjelasan singkat padat Rieke Diah Pitaloka, mengapa pidto kenegaran 17 Agustus SBY menyerupai “fiksi yang bebau ilmiah”.

* * *

Walhasil, . . . . .Masyarakat samasekali tidak memperoleh kejelasan kebijakan arah politik yang bagaimana yang hendak ditempuh pemerintah mengenai masalah membangun negara Republik Indonesia ini sebagai negara hukum. Dimana diberlakukan prinsip-prinsip Hak-Hak Azasi Manusia .

Juga tidak terlihat kejelasan kebijakan ekonomi-politik yang bagaimana yang akan ditempuh pemerintah, yang akan membawa negri dan bangsa ini ke suatu kekuatan ekonomi yang berdikari, dimana kekayaan bumi dan air negeri ini diabdikan untuk kepentingan rakyat keseluruhannya.

* * *



No comments: