Jum'at, 25 Februari 2011
-----------------------------------------
“MELACAK” HISTORIA BANGSA
Pagi ini bisa dibaca dalam deretan panjang berita-berita, sebuah news-item yang bersangkutan dengan masalah yang paling tidak, merupakan salah satu dari yang paling menarik di Indonesia. Juga merupakan salah satu masalah yang paling gawat. Yaitu masalah SEJARAH. Sejarah INDONESIA. Di kumpulan berita itu kita jumpai, tanggapan sahabatku, sejarawan muda Bonnie Triyana, pengelola website “HISTORIA ONLINE”. Adapun yang ditanggapinya adalah reaksi Salim Said, dulu penulis sekitar masalah Abri, sekarang dubes RI di Praha.
Reaksi Bonnie singkat tapi jelas: “Sepakat dengan Bang Salim Daid!!!!”. Tanda serunya sampai empat kali. Untuk menegaskan bahwa Bonnie setuju banget dengan pendapat Salim Said. Apa gerangan pandangan Salim Said? Rupanya tanggapan Salim Said itu adalah sebuah reaksi terhadap berita sekitar ucapan Jusuf Kala (50th), mantan Wapres RI dan mantan Ketua Umum Golkar, yang terkenal juga adalah pengusaha besar
Berita tsb di-internetkan oleh seorang sejarawan Indonesia lainnya, Hoesein Roesdy. Ia sungguh rajin dan tekun mengumpulkan dokumen-dokumen, foto-foto, berita maupun cerita sehubungan dengan sejarah bangsa kita. Diberitakan bahwa Jusuf Kala, membuat pernyataan kontroversial bersangkutan dengan peiode sejarah pra-1949 di Indonesia. 10 tahun y.l. Pernyataan itulah yang bikin soal. Menyebabkan kemarahan sebagian rakyat (Sulsel). Pasalnya soal Kapten KNIL Belanda, Westerling. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita, khususnya perjuangan rakyat Sulsel, sehubungn dengan nama yang kita kenal, Kapten KNIL Westerling, adalah karena kekejamannya ketika menindas perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap kolonialisme Belanda. Jumlah rakyat kita yang dibantai pasukan Westerling disebut sekitar40.000 warga tak bersalah.
Mengutarakan peristiwa ini, dimaksudkan untuk menunjukkan kekejaman dan kebiadaban pasukan kolonial Belanda. Dilain fihak untuk menyadari betapa besar korban yang diderita rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.
Tapi, Jusuf Kala, punya cara memandang sejarah yang berbeda! Tanggal pembantaian tsb, 11 Desember 1946, oleh Jusuf Kala disebut sebagai 'musibah' bagi rakyat Sulawesi Selatan. Dalam waktu singkat, puluhan ribu rakyat dibantai, tanpa perlawanan. Ditambahkannya bahwa kejadian itu memalukan. “Jangan kita membesar-besarkan peristiwa yang justru memalukan”, kata Jusuf Kala.
Timbul protes dari berbagai kalangan, karena pernyataannya itu dianggap meremehkan pengorbanan para pahlawan Sulawesi Selatan. Malah ada yang menuntut supaya Jusuf Kala diajukan ke pengadilan adat. Karena protes cukup luas dan keras, akhirnya Kala minta maaf kepada para pejuang di Sulawesi Selatan, termasuk kepada 40.000 keluarga korban pembantaian Westerling.
Di sini kita saksikan bahwa suatu pandangan berbeda mengenai maslah sejarah, bisa menimbulkan kehebohan dan protes keras. Pandangan yang berbeda bisa dianggap 'menghina' atau 'meremehkan' pengorbanan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.
Meskipun Jusuf Kala sudah minta maaf, belum tentu ia sudah mengubah penilaiannya bahwa 40.000 rakyat dibantai pasukan Westerling tanpa perlawanan, adalah suatu 'kejadian yang memalukan'.
* * *
Kembali ke Salim Said. Ia memberikan tanggapan amat berbeda dengan pendapat 'mainstream', bersangkutan dengan jumlah rakyat yang dibantai oleh pasukan KNIL di bawah komando Kapten Westerling. Mungkin pandangan Salim Said ini lebih krusial, karena didukung oleh 'riset pribadi'. Yaitu ketika Salim Said langsung bertemu dengan Kapten Westerling di Amsterdam (1970).
Mari ikuti apa kata Salim Said:
“Perlu disadari bahwa klaim kita dijajah Belanda selama 350 tahun, maupun klaim Kahar Muzakkar tentang pembantaian Westerling dengan korban 40 000 jiwa di Sulawesi Selatan, adalah klaim politik (huruf tebal dari saya, I.I.). “Seorang teman saya pernah melakukan penelitian kecil-kecilan di Sulawesi selatan mengenai korban Westerling itu, jumlah 2000 korban saja tidak ditemukan. Kepada saya di Amterdam pada tahun 1970, Westerling mengaku hanya membunuh sekitar 470 orang saja di Sulawesi Selatan waktu itu.
Salim Said menunjukkan perbedaan besar antara 'klaim politik' dan keadaan yang, menurutnya, amat berbeda dengan klaim politik tsb. Juga menyangkut masalah 'berapa lama' Indonesia dijajah Belanda. Mengenai jumlah korban di Sulawesi Selatan, beda dengan angka 40.000, Salim Said mengajukan angka 2000, bahkan 'hanya' – 470 orang (menurut klaim Westerling).
Bisakah masyarakat kita, masyarakat sejarah bangsa, termasuk sejarawannya, bertukar fikiran mengadakan penelitian dan diskusi untuk mencari tahu keadaan yang sesungguhnya, tanpa dibayangi oleh kemungkinan akan diprotes atau didemo? Bukankah, sesuatu yang bersangkutan dengan masalah sejarah, harus diriset dan dipelajari dengan teliti, tekun dan sabar, tanpa bias?
Lebih menarik lagi pandangan Salim Said mengenai periode kolonialisme Belanda yang menurut pandangan 'mainstream' dan yang umumnya diterima, bahwa Indonesia dijajah Belanda selama tidak kurang 350 tahun!.
* * *
Salim Said mengemukakan pandangannya mengenai masalah tsb sbb:
“Ketika VOC bubar dan pemerintah Belanda menduduki Nusantra, belum ada Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Maka yang dijajah oleh Belanda masa itu adalah kumpulan wilayah yang lepas-lepas yang dikuasai/dipimpin oleh sejumlah raja, sultan, atau punggawa. Nanti di awal abad ke 20 Belanda menyatukan semua wilayah itu menjadi Hindia Belanda. Wilayah yang dipersatukan itulah (untuk pertama kalinya) yang kemudian kita sebut sebagai Indonesia. Melalui sebuah perjuangan panjang, dari pergerakan nasional hingga revolusi pisik, bekas Hindia Belanda itu kita resmikan sebagai Republik Indonesia.
“Yang jadi soalnya memang adalah berapa lama sebenarnya Indonesia dijajah Belanda? Apakah kesultanan dan kerajaan yang dijajah Belanda di abad ke 19 itu kita anggap sudah Indonesia? Kalau jawabannya adalah "ya," maka Indonesia dijajah Belanda sejak runtuhnya VOC. Yang jelas VOC bukan pemerintah melainkan sebuah multi national corporation. Kecuali kalau kita samakan saja VOC dan pemerintah Belanda, maka Indonesia dijajah Belanda sejak VOC berdiri.
(Catatan saya- I.I. – VOC memang bertindak seperti kekuasaan pemerintahan. VOC diberi hak oleh pemerintah Belanda, untuk memaksakan monopoli perdagangan di Nusantara; berhak mengeluarkan uang, punya wewenang membina dan mengangkut tentara ke Nusantara untuk memaksakan kehendaknya pada Sultan atau penduduk setempat di Nusantara. VOC punya wewenang atas nama Belanda bikin perjanjian dengan kekuasaan setempat, dan untuk MELANCARKAN PERANG).
“Perlu disadari bahwa klaim kita dijajah Belanda selama 350 tahun, maupun klaim Kahar Muzakkar tentang pembantaian Westerling dengan korban 40 000 jiwa di Sulawesi Selatan, adalah klaim politik. Demikian Salim Said.
* * *
Kemudian sampailah pada kesimpulan Salim Said menyangkut masalah bagaimana kita memperlakukan sejarah, atau peristiwa dalam sejarah. Ini kata Salim Said:
“Nah, apakah kini kita sudah tiba pada suatu zaman yang memungkinkan kita "membersihkan" sejarah dari peran sebagai alat politik? Jika jawabannya adalah "YA," maka kita juga harus mempertanyakan peran sejumlah pejuang nasional pra gagasan Indonesia lahir. Contoh pertanyaan: Apakah Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro dan banyak lagi lainnya, berjuang untuk Indonesia atau untuk kepentingan dan tujuan lain?
Salim Said BERANI mengajukan pertanyaan sejarah sbb:
Apakah Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro dan banyak lagi lainnya, berjuang untuk Indonesia atau untuk kepentingan dan tujuan lain? (Huruf tebal dari saya: I.I.)
* * *
Tulisan ini, kolom “Berbagi-Cerita”, tujuannya tak lain ialah mengajak, menggugah pembaca untuk benar-benar memperhatikan dan mempelajari sejarah bangsa kita. Tidak menganggapnya sebagai sekadar 'kejadian di masa lampau', yang bisa dianggap benar, bisa dianggap 'klaim politik' semata-mata.
Kita memahami, bahwa sejarah adalah sebuah riwayat atau tambo, yang seyogianya benar-benar merupakan catatan peristiwa atau kejadian YANG BENAR-BENAR TERJADI. Bukan rekayasa penguasa, atau rekaan bahkan karangan penguasa atau akhli sejarah pendukung penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Melegitimasi kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran HAM, seperti genoside.
Pengenalan dan pemahaman terhadap sejarah bangsa, merupakan hal yang vital dalam pembangunan mental nasion yang masih muda. Mengenali sejarah berarti membuka horizon mengenali identitas bangsa sendiri. Berarti memanfaatkan kejadian sejarah untuk menarik pelajaran berharga dari kesuksesan maupun kesalahan.
Ketika membicarakan, mendiskusikan masalah sejarah bangsa kita, JANGAN SEKALI-KALI DILUPAKAN, bahwa mengenai masalah sejarah sekitar Peristiwa 1965, G30S, pembantaian masal terhadap warganegara sendiri oleh aparat kekuasaan negara, sampai saat ini masih belum tuntas. Belum rampung. Belum dilakukan dengan keseriusan yang seharusnya.
Soalnya, – – - karena selama periode Orba, rezim Presiden Suharto telah sedemikian rupa merekayasa dan memalsukan serta merakayasa, melakukan kebohongan besar sejarah selama 32 tahun kekuasaannya. Itu dilakukan demi tujuan melegitimasi perebutan kekuasaan negara dari Presiden Sukarno, demi penghancuran kekuatan politik Kiri di Indonesia, demi membawa Indonesia ke orbit strategi Perang Dingin Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Menjernihkan sejarah Indonesia, khususnya selama periode Orba, merupakan salah satu kunci, untuk melaksanakan hal yang sering dikumandangkan, yaitu REKONSILIASI NASIONAL. Untuk mencapai Indonesia yang bersatu dan dipersatukan menelusuri jalan mulya MEMBANGUN NASION INDONESIA yang kokoh, demi suatu Republik Indonesia yang bersatu-padu, adil dan makmur!
* * *
No comments:
Post a Comment