Friday, February 18, 2011

Menyongsong Hari Wanita Internasional "8 Maret"

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 18 Februari 2011
--------------------------------

Menyongsong Hari Wanita Internasional
“8 Maret”– Dan “GERWANI” <<>>

* * *

Menjelang Hari Wanita Internasional “8 Maret” yad, baik kiranya menjenguk ke sejarah gerakan wanita Indonesia sejak berdirinya Republik Indonesia. Sejarah gerakan wanita Indonesia adalah suatu proses panjang yang perlu diketahui oleh bangsa kita, generasi muda, khususnya para aktivis yang terlibat dalam gerakan emansipasi kaum wanita Indonesia dewasa ini.

Tulisan ini bermaksud memfokuskan perhatian pembaca pada salah satu (dari) gerakan wanita Indonesia. Yaitu yang diorganisasi oleh GERWANI, Gerakan Wanita Indonesia.

Rezim Orde Baru Presiden Suharto, naik panggung kekuasaan, dengan menggunakan cara “kup merangkak” terhadap Presiden Sukarno. Suharto menggulingkan Presiden Sukarno, setelah menuduh keterlibatan Presiden Sukarno dengan 'G30S' (bahkan diinsinuasikan Presiden Sukarno adalah 'dalang' sesungguhnya di belakang 'G30S', bersama PKI.) Menonjol ialah manuver politik Jendral Suharto itu dimulai melalui a.l suatu kampanye bohong dan fitnahan keji, lewat media yang sangat efektif, dengan sasaran PKI dan Gerwani.

Menurut taktik dan strategi Jendral Suharto, untuk merebut kekuasaan politik, pemerintahan dan negara RI, dari Presiden Sukarno, harus menghancurkan terlebih dulu kekuatan parpol dan ormas yang mendukungnya. Kekuatan yang harus dihancurkan itu adalah PKI dan Gerwani. PKI sebagai parpol dan Gerwani sebagai ormas wanita Indonesia yang terbesar periode itu.

Dimulailah rekayasa, fitnah keji dan kebohongan besar sekitar dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah di Lubang Buaya. Semua koran ditutup selain koran-koran militer dan koran-koran pendukungnya. Dilancarkanlah berita tentang wanita-wanita anggota Gerwani yang melakukan penganiayaan terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh. Diikuti oleh 'orgi', tari-tarian mesum para wanita Gerwani tsb dihadapan para jendral yang akan dibunuh.

Dalam satu nafas wanita-wanita anggota Gerwani digambarkan sebagai wanita-wanita yang lebih hina dari pelacur, yang bejat, kejam dan biadab; juga sebagai wanita-wanita Komunis yang tak atheis da tak bermoral.

Kampanye fitnah Jendral Suharto ternyata efektif. Diciptakan kebencian luar biasa di kalangan penduduk terhadap Gerwani dan PKI. Dari situ dimulai kampanye pembantaian masal terhadap anggota-anggota PKI, Gerwani dan para ormas pendukung politik PKI, para pendukung Presiden Sukarno dan kaum Kiri dan demokrat lainnya.

* * *

Profesor Dr Saskia Eleonora Wieringa, seorang PhD tamatan Belanda, yang fasih berbahasa Indonesia, melakukan riset lapangan yang panjang, luas dan mendalam mengenai GERWANI, dan kampanye penghancuran gerakan wanita Indonesia, khususnya yang diorganisasi oleh Gerwani.

Hasilnya adalah sebuah buku berjudul “THE POLITIZATION OF GENDER RELATIONS IN INDONESIA – WOMEN'S MOVEMENT & GERWANI UNTIL THE NEW ORDER STATE' (Suatu Academisch Proefschrift, untuk meraih titel doctor pada Universitas Amswterdam). Ini berlangsung pada tanggal 6 Oktober 1995 di Amsterdam.

Setahun setelah jatuhnya Suharto terbit Edisi Indonesia, berjudul PENGHANCURAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA ( Tebal: 593 halaman, Penerbit Garba Budaya, 1999).

* * *

Baik kita simak sedikit cerita Saskia Wieringa sendiri mengenai bukunya itu, akan kita baca a.l sbb:

“Jelas sejarah kita dibangun oleh para “sejarawan”yang mengabdi kekuasaan militer . . . Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah harus ditulis di atas kejujujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak akan salah mengerti.
(Dok IX 1992.22).

Sejarah yang dimaksud dalam kutipan tsb meliputi jangka waktu setengah abad, yaitu sejak Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, dan khususnya sekitar tahun-tahun 1965, ketika Orde Lama Sukarno digantikan dengan Orde Baru Suharto. Mereka yang “telah disiksa dan dikalahkan” itu adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia dahulu, atau dari organisasi ini dan itu yang termasuk dalam 'Keluarga Komunjis”, seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Footnote 1: Saya pakai istilah “Keluarga Komunis”dengan maksud meliputi PKI dan ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, BTI (Barisan Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Pada 1964 dikatakan keluarga ini terdiri dari sekitar 27 juta anggota (HR 20 Agustus 1965). Angka ini harus dibaca dengan hati-hati, oleh karena kenyataannya banyak terjadi keanggotaan rangkap.

Footnote 2: Antara 1950-54 organisasi ini bernama Gerwis. Saya pakai Gerwani untuk menyebut organisasi ini secara umum, dan hanya memakai sebutan Gerwis jika dimaksud khusus tentang priode tersebut sampai Kongres Ke-1 tahun 1954.

* * *

Subarto tampil ke atas singasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkan pula dengan tuduhah pesta-pesta seksual yang konon dilakukan para anggota Gerwani.

Orde Baru tidak hanya dibangun di atas timbunan mayat-mayat, yang diperkirakan sebanyak satu juta, dari orang-orang tak berdosa yang dibantai selama bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan pertama tahun 1966. Tapi Orde Baru juga dibangun di atas pembasmian kekuaatan kaum perempuan, yang telah berhasil diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, kekuatan yang oleh musuh-musuh mereka dilukiskan melalui sejumlah metafora seksual.

Selanjutnya Wieringa: Tidak banyak perhatian diberikan pada masa genting dalam sejarah modern Indonesia ini, baik oleh peneliti dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Seperti John Legge mengakui “barangkali karena yang dibunuh adalah orang-orang Komunis maka sedikit banyak hati-nurani dunia luar seakan-akan tidak terusik oleh apa yang harus digolongkan, apa pun penilaiannya, sebagai salah satu pembantian paling keji dalam sejarah modern” (Legge 1972:399)(huruf tebal dari saya: I.I.) Jelas jika Amerika Serika menjadi merasa lega, bila selain berada di tengah kemelut Perang Vietnam, Sukarno, yang mereka pandang sebagai pengacau dunia yang hendak menyerahkan Indonesia ke tangan kaum Komunis yang berbahaya itu, telah berhasil disingkirkan oleh seorang jendral kanan yang dengan segala daya membawa Indonesia ke jalan kapitalis.

Seorang penagamat kekuasaan Suharto, Vatikiotis (1993:34) menulis: “Indonesia, citra buruk bagi para pengamat politik luar negeri Amerika Serikat itu, dalam tahun 1960-an tiba-tiba memberi bukti paling terang, bahwa tidak semua kekuasaan yang dibangun di atas laras senjata adalah buruk”.

Dalam kajian ini saya akan membuktikan, bahwa alasan lain mengapa Dunia Barat tutup-mulut itu ialah, karena ketakmampuannya memahami tali-menali dan intrik-intrik yang ada di balik kampanye ketidak-amanan dan pembunuhan-embunuhan masal, yang dilakukan sesudah kup “pertama” pada 1 Oktober 1965. Kampoanye beserta akibat-akibatnya itu saya pandang sebagai kup yang “kedua”, yang dengan diam-diam telah mengangkat Suharto ke tahta kekuasaannya. Para pengamat umumnya mengabaikan adanya kup yang kedua ini, atau sekadar mengatakannya sebagai periode genting dalam sejarah Indsonesia yang “tidak bisa dimengerti”(Tornquist 1984:54). Beberapa penulis mengakui, bahwa keberhasilan Suharto naik tangga kekuasaan terjadi dalam dua tahap (Southwood dan Flanagan 1983; Pohan 1988; Vatikiotis 1993). Walaupun begitu orang mengabaikan mekanisme di balik tali-menali kup yang ke dua itu.

--Suharto tampil di atas tahta kekuasaan di tengah kemelut kejadian-kejadian susudah kup yang gagal, dan yang sampai sekarang samasekali bleum jelas . . . Suharto dan kelompok kecil pendukugnnya mengambil kesempatan itu, seolah-olah tampik tanpa rencana sebelumnya yang terlalu jauh
.
* * *

Dalam kejadian-kejadian tersebut, kup tanggal 1 Oktober 1965 merupakan kejadian terpenting yang perlu dijelaskan. Karena entah bagaimanapun juga, memang kejadian inilah yang akhirnya telah membukakan jalan bagi Suharto naik ke jenjang kekuasaan. Sebagai akibatnya, diabaikanlah kecerdikan Suharto dalam memanipulasi pendapat umum segala dalih dan kebohongan telah digubahnya untuk menciptakan kondisi kekacauan masyarakat, serupa seperti adegan gara-gara dalam pergelaran wayang. Vatikiotis berpendapat,misalnya, bahwa mungkin orang-orang di sekitar Suharto itulah, khususnya para perwira kesatuan khusus di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang telah mendorong Suharto merebut kekuasaan”. (Vatikikotis 1993 :240). Kampanye ideologi dan pembunuhan-pembunuhan massal yang melandasi Orde Baru memang dilihat dengan kesedihan, namun begitu telah dianggap sebagai kejadian-kejadian yang tersendiri.

“Yang mengawali penyusunan orde baru dan pembangunan kembali ekonomi Indonesia, merupakan periode lanjutan kekacauan yang pendek tapi berdarah. Orde Baru telah mengeksploitasi keadaan masyarakat warisan jaman Sukarno yang sangat terpolarisasi, untuk menumpas kawan-kawannya dan memberikan jalan keluar untuk terjadinya pertumpahan darah katarsis itu (Vatikiotis 1993:33).

Sementara Dunia Barat demi alasan-alasannya sendiri berdiri di kejauhan, di Indonesia oposisi dipukul atau dengan cerdiknya dibikin tutup mulut oleh pemerintah melalui represi yang kejam. Tidak hanya dengan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang-orang yang tak berdosa, tapi juga dengan menahan puluhan ribu lainnya, bahkan ada di antara mereka yang sampai lebih dari dua puluh tahun. Hanya sedikit saja dari para tahanan itu yang dibawa ke depan mahkamah pengadilan, notabene pengadilan kanguru sekalipun. Mereka yang selamatpun masih terus menderita.

Bahkan sampai sekarang kartu penduduk para bekas tapol dan napol masih harus bercap “ET” (eks-tapol). Cap ini menjadi kendala yang efektif bagi mereka untuk bisa memperoleh kesempatan bekerja. Pembatasan-pembatasan seperti itu juga diberlakukan terhadap anak-anak, cucu-cucu dan saudara-saudara dekat mereka, jika mereka hendak mencari kerja dan belajar. Untuk bisa diterima bekerja atau masuk balai pendidikan, dengan surat keterangan resmi mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka “bersih lingkungan”. Artinya, bahwa tidak ada seorang ET pun ditengah-tgengah keluarga mereka. Banyak eks-tapol yang sampai sekarang masih harus lapor secara teratur kepada penguasa militer.

Namun demikian dampak represi rezim Orde Baru tidak puas berhenti sampai dengan para korban atau keluarga mereka saja. Kampanye sesudah kup 1 Oktober 1965 yang dilakukan Suharto memang tidak hanya dimaksud untuk menumpas Komunisme di Indonesia sampai seakar-akarnya, dan untuk membangkitkaqn kebencian massa terhadap politik Sukarno, sehingga ia akan melepaskan jabatan kepresidennannya. Kampanye ini juga bertujuan untuk menciptakan suasana mental, pembenaran ideologis bagi Orde Baru Suharto. Karena itu saya samasekali tidak seuju terhadap pendapat yang mengatakan, misalnya, bahwa “endapan perasaan tentang periode ini belum memberi corak tertentu pada persepsi umum terhadap kekuasaan Suharto”(Vatikiotis 1993:34)

Menurut pendapat saya, justru “endapan perasaan” semacam itulah yang telah menjadi dasar rezim Suharto, yang tidak saja ditunjang dengan teror fisik yang dilakukan angkatan darat, tetapi sesungguhnya oleh keberhasilannya yang meyakinkan, bahwa apapun yang berkaitan dengan kritik sosial ialah subversif, Komunis, dan akhirnya dikaitkanlah pula dengan perbuatan seksual kaum perempuan “kita” yang tidak senonoh. Saya berpendapat, bahwa hendaknya ke-tak-acuhan politik bangsa Indonesia tidak terlalu dilihat hanya sebagai akibat dari 'stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi”(Vitikiotis 1993) yang telah diciptakan Orde Baru saja. Tetapi, ke-tak-acuhan itu, juga timbul dari bayangan tentang kekacauan masyarakat berikut warna-warna seksualnya, pembunuhan massal yang terjadi karenanya, dan disusul supresi yang tiada putus-putusnya itu. Untuk menjamin agar citra resmi itu tidak rusak, penguasa tetap sangat membatasi kebebasan pers. Pada Juni 1994 yang lalu saja ada tiga majalah deibredel: Tempo, De Tik, dan Editor.

Dengan demikian priode traumatis 1965-1966 dalam sejarah Indonesia itulah, yang menandai pergantian dari Orde Lama Presiden Sukarno ke Orde Baru Presiden Suharto. Kekuasaan Orde Baru dibangun di atas model disiplin dan represi kekejaman militer, di mana setiap referensi mengenai ketimpangan sosial dituding sebagai dijiwai atau berkaitan dengan “subversi Komunis”. Mitos tentang lahirnya Orde Baru diciptakan oleh Presiden Suharto dengan sadar, dan terus-menerus diulang-ulangnya di dalam setiap kampanye indoktrinasi. Dalam hal ini termasuk, antara lain, pemutaran sebuah versi film tentang apa yang disebutnya sebagai “pengkhianatan PKI”.

Kampanye ini dibangun di atas metafora-metafora seksual, khususnya ketakutan laki-laki terhadap kastrasi yang, dengan sejumlah dalih sangat menjijikkan, menggambarkan organisasi perempuan Gerwani (yang dikaitkannya dengan PKI), yang diduga berperanan di dalam kup tersebut. Sampai sekarang analisis-analisis kekuasaan Orde Baeru selalu mengabaikan unsur-unsur kiasan seksual yang melandasi konfigurasi politik Indonesia dewasa ini.

Footnote: Dalam makalah tahun 1995 yang berjudul “The Permued Nightmare” saya tunjukkan, bahwa di bawah jendral Suharto Angkatgan Darat telah membikin kampanye di sekitar peranan yang dituduhkan pada Gerwani dalam kup 1 Opktober 1965 . Belum lama yang lalu Leclrec (1991), dalam sebuah makalah tak diterbitkan, telah mengangkat tema yang sama dengan memusatkan perhatiannya pada monumen yang dibangun di Lubang Buaya, tempat terjadinya pembunuhan para jendral. Tema ini akan saya urai dalam Bab II.

(Kutipan dari buku Prof Dr Saskia Wieringa, berjudul PENGHANCURAN GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA, Bab Pendahuluan, halman xxxix s/d vlvi- selesai).

(Bersambung dalam tulisanku berikutnya, di Bg II, I.I).

* * *














































No comments: