Selasa, 08 Februari 2011
------------------------------------------
MENATAP “TIONGKOK BARU” MELALUI MATA- JELI HENK SCHULTE NORDHOLT < Bg 2, Selesai >
Ditulis dalam rangka merayakan bersama Hari Raya IMLEK
* * *
Eratum:
Ketika kami – Hendrik Schulte Nordholt, penulis artikel yang dipublikasikan di bawah ini – kutemui di sebuah restoran, di depan stasiun K.A Hilversum, pagi ini, aku minta maaf kepada Henk Schulte Nordholt. Suatu kekeliruan serius telah terjadi ketika kutulis dalam artikel yg lalu, bahwa Prof Dr Henk Schulte Nordhold, KITLV, yang kukenal itu, --- adalah seorang sinoloog. Keliru! Yang sinoloog itu adalah yang kutemui tadi pagi itu. Namanya memang sama. Mereka satu sama lainnya adalah kemenakan. Abangya Henk (KILV), yaitu Nico Schulte Nordholt, telah menegur aku mengenai kekeliruanku itu dan memberikan penjelasan seperti diatas.
Aku minta maaf kepada Henk (KITLV), kepada Nico dan kepada Henk (sinoloog). Dengan demikian, selesai soalnya. Kesalahan telah dikoreksi.
* * *
Kutemui Henk (sinoloog) yang juga penulis dan usahawan itu, dalam rangka permintaaku untuk berkenalan pribadi dengannya dan membeli bukunya “CHINACODE ONTCIJFERD”.
Mengenai pembicaraan kami tadi pagi – itu mengenai Tiongkok. Menarik sekali. Pandangan Henk yang sudah duapuluh tahun lebih berurusan dengan Tiongkok, banyak yang kusetujui. Khususnya cara Henk memandang Tiongkok dewasa ini – dari jurusan dan pandangan FALSAFAH dan KEBUDAYAAN Tiongkok.
Silakan baca tulisan Henk, sebagai sambungan
* * *
“SUATU ORDE DUNIA YANG HARMONIS”
Kebijakan luarnegeri Tiongkok bukan hitam atau putih, kebijakan itu adalah yin dan yang. Negeri tsb sejak zaman dulu menganggap dirinya unggul.
Oleh: Henk Schulte Nordholt
Tiongkok. demikian tulis seorang sinoloog ternama, adalah seperti sebuah kaca-ajaib. Kita melihat di situ apa yang kita kehendaki ada di situ, dan bukan apa yang benqar-benar ada di situ. Hal itu menjelaskan tentang kerajaan kuno tsb menjadi suatu ondeneming yang gawat, bukan pada instansi terakhir disebabkan oleh Peking yang menampilkan ke luar gambaran yang di-idealisir. Di Barat cepat saja kita menamakannya propaganda, tetapi itu merupakan penjelasan yang tidak sesuai terhadap apa yang sebagai dampak rasa magis dari bahasa Tionghoa: Kata-kata tidak saja mampu menjelaskan sesuatu, tapi juga untuk membentuknya; bila hal itu sering disebut, muncullah selangkah lebih dekat realisasi kenyataan yang dikehendaki.
Ambillah (sbg contoh) kata harmoni. Tiongkok seharusnya menjadi suatu 'kehidupan bersama yang harmonis', di situ yang memerinth dan yang diperintah, saling menghargai dan dengan menerima posisi masing-masing hidup bersama dengan damai. Idealisme ini juga ditrapkan di kehidupan bersama di dunia, di luar perbatasan negeri sendiri. 'Tiongkok mempertahankan harmoni dan perkembangan di dalam negeri dan mengusahakan perdamaian dan perkembngan di luarnegeri'; dua aspek ini erat berhubungan dan merupakan organisme yang menyeluruh. Kata-kata ini yang tertera di dalam Buku Putih yg dikeluarkan oleh kementerian Luarnegeri (RRT) pada 2005, dituangkan oleh Laksamana Yang Yi dalam sebuah artikel di China Daily: Tiongkok akan mempertahankan politik tetangga-baiknya, suatu pilihan yang dikemukakan disebabkan oleh hubungan dalam waktu panjang untuk membangun suatu wilayah yang harmonis. Betapapun kuatnya Tiongkok nantinya di bidang ekonomi, politik dan militer, ia tidak akan mempertimbangkan merajai bangsa-bangsa yang lebih lemah.
Sejak dulu kala, Tiongkok sumber identitasnya berasal dari keunggulan kebudayaannya. Hua nama lama bagi negeri itu – artinya juga adalah kebudayaan. Sejarah Tiongkok dimulai dengan Yao, Shun dn Yu, raja-raja yang legendaris yang ribuan tahun sebelum lahirnya Kristus telah menemukan pengelolaan pertanian dan roda pintal, membangun tanggul-tanggul dan menciptakan aksara (Tionghoa). Fundamen-fundamen dari kebudayaan yang membedakan penduduk Kerajaan Tengah dengan kaum nomad yang berkuda dan butahuruf yang dalam periode sejarah yang panjang merupakan ancaman. Ada dua cara untuk mengendalikan masalah barbar tsb: yaitu – asimilasi atau memusnahkan. Pada penanganan pertama nyata Tiongkok berhasil. Kebudayaan yang berkembang dua ribu tahun sebelum Kristus di dataran rendah Tiongkok Utara, lambat laun meluaskan pengaruhnya dan menjadi normatif bagi raja-raja yang berkuasa meliputi wilayah – boleh dikata – sebelah Timur dan Selatan Tiongkok sekarang ini. Meskipun kerajaan itu terpecah-pecah, raja-raja yang berseteru itu mendukung ide suatu kebudayaan unggul, yang dikenal telah mencapai tingkat tertinggi di bawah kekuasaan raja-raja zaman kuno, yaitu periode Harmoni Raya pada abdi-negara kebajikan dan kesaqntunan, para orangtua dan yang lemah tak berkekurangan dan saling percaya demikian besarnya sehingga pintu-pintu rumah dibiarkan terbuka. Gambaran utopis ini, yang juga dianut kembali oleh Konghutju, mengandung beberapa elemen, yang menentukan pemikiran politik Tiongkok sejak saat itu: yaitu pemikiran bahwa kesatuan lebih baik dari perpecahan, harmoni lebih penting ketimbang persamaan, kebajikan dan santun lebih unggul ketimbang kekuasaan dan bahwa masa lampau yang sempurna tak mungkin dikalahkan. Sumber kebudayaan ini tidak pernah sat (kering). Tiongkok adalah suatu negeri yang konservatif.
Dalam tahun 221 sebelum Kristus. penguasa Kerajaan Qin (nama Tiongkok diambil dari nama itu) berhasil menaklukkan raja-raja lainnya. Dari situ ia membangun suatu kerajaan besar yang dipersatukan. Cara yang ditempuhnya kejam. Orang-orang yang berfikiran lain dibakar hidup-hidup dan buku-bukunya dibakar. Bagi Mao Tsetung yang menaruh perhatian pada sejarah hal itu merupakan sesuatu yang tidak relevan. Karena hal itu mengabdi pada tujuan yang lebih tinggi. Mengapa hal itu tragis? Mereka menentang dipersatukannya Tiongkok. Yang (triviaal) dangkal itu jangan dilebih-lebihkan dengan mengorbankan yang lebih besar.
Kaisar pertama itu telah memberikan stempelnya pada sejarah dengan membangun Tembok Besar. Pengaruh yang menang kebudayaan Tiongkok pada prinsipnya bisa ditrapkan “pada semua wilayah di bawah langit”, tetapi sementara barbar (orang-orang biadab) ngotot menolak mengakui “putra-putra langit” sebagai atasannya. Lebih dari itu, dengan menggunakan pasukan kuda mereka yang unggul, mereka melakukan banyak-kali serbuan-sebuan perampokan terhadap negeri agraria yang kaya di wilayah sepanjang Sungai Kuning' .
Patron duaribu tahun sejarah Tiongkok telah diletakkan. Pada periode jaya tentara kerajaan merasuk dalam di Asia. Dan di situ mereka membangun benteng-benteng untuk melindungi rute-perdagangan mereka terhadap kaum barbar. Pada saat dalam keadaan lemah maka mereka menarik diri mundur ke belakang Tembok Besar, untuk melindujngi wilayah-inti Tiongkok. Yang lebih nyata ialah bahwa tembok virtuil itu, merupakan pembatasan fundamentil antara Tiongkok dan kaum barbar, antara orde dan chaos, selamanya terpelihara. Perasaan berbeda malah lebih dalam lagi: kaum barbar itu sering digambarkan sebagai binatang buas, yang samasekali tak berprikemanusiaan. Juga tema ini masih hidup segar. Ketika terjadi huru-hara di Lhasa dalam th 2008, Sekretaris Partai di Tibet menamakan dalai lama sebagai makhluk berwajah manusia dan berhati binatang.
Selama duaribu tahun setelah penyatuan Tiongkok tak banyak yang berubah pada konflik dinamik kebudayaan versus barbarisme. Pasukan-pasukan dinasi Tang (648-907) mencapai titik yang sekarang bernama Afghanistan. Tetapi ratusan tahun kemudian orang-orang Mongolnya Kublai Khan menguasai seluruh Tiongjkok. Penguasaan seperti ini memperkuat kepercayaan pada keunggulan kebudayaan Tiongkok. Karena penguasa-penguasa itu segera saja belajar bahasa Tionghoa, memberikan nama Tionghoa pada dinasti-dinasti mereka, dan hanya bisa memerintah kerajaan Tiongkok yang luas itu, dengan bantuan aparat ambtenar setempat.
Pada abad kesembilan belas berhentilah proses pasang-surut sejarah Tiongkok. Di cakrawala muncul kaum barbar-barbar yang baru. Mereka datang bukan dengan menunggang kuda, tapi dengan kapal-kapal. Dan dengan membawa senjata yang lebih mematikan ketimbang panah dan busur. Orang Inggris yang menjadi pasukan perintisnya. Setelah berlangsungnya Perang Candu (1840) yang menakutkan itu Hongkong diserahkan kepada Inggris. Kemudian cepat sekali Amnerika, Perancis, Jerman, Rusia dan Jepang juga membagi-membagi Tiongkok di bawah kekuasaan mereka. Terjepit pada cara berfikir kuno ribuan tahun, istana di Peking hendak mentrapkan taktik 'gunakan barbar untuk melawan barbar, tetapi sayang gagal karena agresor baru ini lain samasekali,
Negara-negara imperialis Barat abad ke sembilanbelas menganggap dirinya, seperti orang-orang Tiongkok, sebagai wakil-wakil dari suatu kebudayaan yang unggul dan lebih dari itu, mereka memiliki senjata dan teknologi untuk memperkuat klaimnya itu. Sesudah Perang Candu Ke-2, 1860, kaisar Tiongkok dipaksa untuk membuka kedutaan-kedutaan Barat di Peking, suatu konsesi yang tak pernah terjadi sebelumnya, bagi suatu negara yang hanya menerima wakil-wakil asing yang terlebih dulu harus melakukan sembah-sungkem pada kaisar. Pada permulaan abad keduapuluh di Shanghai terpancang papan– di suatu taman yang dikunjungi oloeh orang-oramg Barat, -- sebuah pengumuman dengan teks 'Anjing dan orang-orang Cina dilarang'. Sempurnalah penghinaan itu. Suatu kerajaan yang merasa bangga tentang dirinya, dan dalam tahun 1800 masih merupakan yang paling jaya di dunia, dalam satu abad saja dilorot menjadi suatu semi-koloni, menjadi 'orang sakitan dari Asia'.
Yang dikatakan abad penghinaan telah menimbulkan luka dalam pada jiwa orang Tionghoa, halmana menjelaskan kadang-kadang suatu kombinasi ajaib: sikap arogan dan ketidakpastian, reaksi-reaksi berlebihan bila harga-diri nasion melindungi wilayah negeri, menghadapi suatu ancaman. Sebelum abad kesembilan-belas Tiongkok bukan suatu nasion-teritorial. Identitas negeri ditentukan oleh gemilangnya kebudayaan, bukan oleh luasnya wilayah. Abad penghinaan telah secara mendasar mengubah wilayah negeri yang berupa tanah itu. Kedaulatan merupakan daerah inti dan nasionalisme merupakan instrumen untuk menjamin kedaulatan tsb. Dekat sebelum (Tiongkok) memasuki Tibet dalam tahun 1950, PKT mengeluarkan suatu pernyataan, sbb: 'Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok harus membebaskan seluruh wilayah Tiongkok, termasuk Tibet dan Taiwan. Kami tidak akan mengizinkan satu sentimeterpun tanah Tiongkok jatuh diluar wilayah kedaulatan Republik Rakyat'.
Pada permulaan abad ke-21 misi 'pemulihan kedaulatan dan integritas teritorial' belum selesai. Taiwan belum kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan wilayah Arumchal Pradesh yang diklaim Peking, suatu wilayah seluas Portugis yang oleh Tiongkok disebut Tibet Selatan, diduduki oleh India. Klaim Tiongkok terhadap Lautan Tiongkok Selatan dan kepulauan atol yang terdapat di situ menyebabkan timbulnya perbedaan dengan Vietnam, Filipina, Brunei dan Indonesia. Permusuhan berabad-abad dengan Jepang tampaknya tak terpecahkan.
Tetapi ini bukan satu-satunya wajah diplomasi Peking.Akhirnya kebijakan, kesantunan, -- adalah lebih penting ketimbang kekuasaan. Tiongkok secara besar-besaran memberikan pinjaman-lunak kepada negeri-negeri yang sedang berkembang, dimana-amana mendirikan lembaga Confucius serta menghibahkan beruang panda kepada negeri-negeri bersahabat. Adalah instrumen soft power yang harus menjamin supply bahan-baku dan terbukanya pasaran. Ini menimbulkan komentar gelisah dari Financial Times baru-baru ini, yg menulis : Mana Tiongkok yang sesungguhnya – beruang panda ataukah Tentara Pembebasan Tiongkok. Suatu pertanyaan yang diajukan oleh Barat, seyogianya hanya bisa dapat jawaban Tiongkok: dua-duanya.
Tiongkok dan kebijakan luarnegeri Tiongkok – bukanlah hitam atau putih. Kebijakan itu adalah yin dan yang. Raja yang bijaksana dapat mengharmoniskannya, mendamaikan hal-hal yang bertentangan, di Tiongkok sendiri, juga di dunia.
Bila pesan bahwa Tiongkok yang cinta damai – didukung dengan kekuatan ekonomi dan tentara – asal saja cukup sering diulangi, realiasi orde-dunianya Tiongkok semakin dekat. Kata-kata itu bukan saja sanggup menjelaskan segala sesuatu, tetapi juga bisa membentuknya.
* * *
No comments:
Post a Comment