Selasa, 02 Februari 2011
------------------------------------------
MENATAP “TIONGKOK BARU” MELALUI MATA-JELI HENK SCHULTE NORDHOLT - Bg 1
Besok adalah hari Rabu, tanggal 02 Febuari 2011.
Dari keterangan sahabatku M.L. Siauw, besok itu adalah hari raya IMLEK. Kufikir kali ini sehubungan dengan “HARI RAYA IMLEK”, aku ingin menulis bersangkutan dengan TIONGKOk. Kiranya tidak perlu penjelasan tambahan, saling hubungan antara Imlek dengan budaya Tionghoa dan Tiongkok serta dengan orang-orang Tiongkok.
Kebetulan kemarin, putri sulung kami, Pratiwi, datang kerumah, mengajak ibunya 'keluar'. Seperti biasa Tiwi membawa majalah “De Groene Amsterdammer” yang terbaru. Tiwi melanggani mingguan “De Groene Amsterdammer” untuk ayahnya. Majalah itu dikirim ke rumahnya. Jadi dia baca lebih dulu. Sering belum dibuka sudah disampaikannya kepadaku. Kukatakan kepada Tiwi, bacalah dulu 'de Groene Amsterdammer”. Banyak artikel bermutu di situ.
Nah, -- di nomor 'De Groene Amsterdammer', 27 Januari 2011 ini, kubaca sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. Henk Schulte Nordholt. Ia menanggapi Tiongkok di abad ini. Berjudul “Een Harmonieuze Wereldorde”. Artinya “Suatu Orde Dunia yang Harmonis”. Diawali dengan huruf-huruf besar: “Kebijakan Luarnegeri Tiongkok bukan hitam, juga bukan putih. Kebijakan itu adalah “YIN” Dan “YANG”. Apa persis yang dimaksudkan oleh Henk Schulte Nordholt dengan ungkapan 'yin' dan 'yang' itu, kita baca saja nanti.
Masih ada satu artikel lagi di situ yang menanggapi Tiongkok. Maklumlah dewasa ini Tiongkok semakin mencuat namanya. Karena keunggulannya di bidang pembangunan ekonomi dan seperti diberitakan, dimodernisasinya angkatan bersenjatanya. Artikel yang ini berjudul: “China's expansiedrang, De Grote Dwarsligger”- Dengan huruf-huruf besar diawali: Presiden Hu meyakinkan Washington minggu yl bahwa Tiongkok tidak mengejar hegemoni . . . (Jan van der Putten)
Prof. Dr. Henk Schulte Nordholt. Nama itu sudah beberapa waktu kukenal. Ia sering memandu seminar atau diskusi yang diadakan oleh dan di KITLV, menyangkut masalah Indonesia. Kadang-kadang datang tamu Indonesia, atau pakar dari negeri lain, bicara soal Indonesia. Di situ kujumpai Henk memandu pertemuan itu. Terakhir Henk hadir di peluncuran buku MIGRATIE en CULTUREEL ERFGOED, Migrasi dan Warisan Budaya – Cerita-cerita orang Jawa di Suriname, Indonesia dan di negeri Belanda. Buku ini belum lama diluncurkan juga di Jakarta, dimana Henk juga hadir.
Jadi, Henk tampil, dimana aku kebetulan hadir, selalu dalam hubungan dengan masalah Indonesia.
Sepertinya sih, aku tahu apa 'bisnisnya' , apa 'urusannya' Henk. Ternyata tidak! Ada yang penting yang aku tak tahu. Dan baru tahu sekarang kutahu: Bahwa Prof. Dr Henk Schulte Nordholt itu sesungguhnya adalah seorang SINOLOOG.
* * *
Aku tertarik pada artikel yang ditulis oleh 'sinoloog' Henk itu. Apa saja yang berkaitan dengan Tiongkok, dari dulu aku tertarik. Tentu dimulai waktu kecil, di Jakarta. Hampir saban hari ayahku menyuruh aku membeli rokok kretek merek “Menak Djinggo', di 'warung Tjina' beberapa puluh meter dari rumah kami. Jadi aku punya sobat 'orang Tjiné'. Selain itu, pada setiap 'Lebaran Ciné'- (kata orang Betawi dulu), aku juga turut gembira. Pasti kenalan-kenalan ayahku yang 'orang Tjiné' itu, memberikan bingkisan, termasuk 'kuéh Tjina' yang lezat itu, dll. Selain itu ada keramaian lainnya seperti 'tanji-dor' dll. Yang khas 'Lebaran Ciné' di daerah kami, itu sekampug-kampung ikut merayakannya. Jadi bukan sekadar 'selamat' bagi 'yang merayakannya'. Ucapan-ucapan seperti itu bisa dibaca dalam ucapan-ucapan selamat dari yang 'bumiputera' kepada yang 'wni'. Kok masih saja begitu!
Padahal situasi politik nasional sudah banyak berubah. Tercatat dalam sejarah kita, bahwa, selama periode Orba, 1965-1998, perayaan Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Tidak sampai disitu saja. Penggunaan nama-nama Tionghoa pada toko-toko dan jalan dilarang. Bahasa Tionghoa juga dilarang. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa ditekan supaya ganti nama dengan 'nama asli Indonesia'. Nama Tionghoa dan Tiongkok diganti oleh Orba, menjadi Çina'. Dengan maksud menghina lapisan penduduk keturunan Tionghoa dan menghina RRT.
Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 rezim Orba di bawah pemerintahan Presiden Suharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Imlek.
Berkat tumbangnya Suharto, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian dilanjutkan kebijakan ini dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001, meresmikan Imlek sebagai hari libur yang fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Baru pada tanggal 12 Februari 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Sukarno Putri. Jangan lupa itu! Hari Raya Imlek adalah Hari Libur Nasional Indonesia. Bukan sekadar bagi yang merayakan!!!
* * *
Sebelumnya Prof Dr Henk Schulte Nordholt menulis buku berjudul “De Chinacode Ontcijferd. Waarom China niet gaat halen als wereldmacht'.
Hendrik (Henk) Schulte Nordholt (Wassenaar, 1 juni 1953), sudah lebih dari 30th aktif terlibat dengan Tiongkok. Rampung denga n studinya Sinologi di Leiden, ia bekerja di Kementerian Ekonomi, Den Haag (1981). Empat tahun lamanya ia sibuk dengan urusan memajukan hubungan ekonomi antara Nederland dengan negeri-negeri Asia, khususnya Tiongkok.
Dalam tahun 1985 Henk menjabat direktur pada kantor pertama AmroBank di Beijing. Dengan beberapa rekan ia mendirikan Hofung Technology, suatu perusahaan ekspor, a.l pupuk kimia, Henk menulis berbagai buku tentang Tiongkok.dan tentang perjalanannya dengan sepedah dari Lhasa (Tibet) sampai ke Kathmandu, Nepal.
* * *
Thos Ferguson, mantan wartawan NRC Handelsblad, Rotterdam, pernah menulis bahwa, tidak ada satu negeripun di bumi ini, dimana selama 10 tahun belakangan ini yang mengalami perubahan yang begitu mendasar dan mencengkam baik dalam situasi kongkrit maupun dalam pandangannya, seperti halnya yang kita lihat pada Tiongkok. Dibanding dengan apa yang terjadi di Timur Jauh, bahkan perkembangan pasca-perang, di Eropah sampai pada dewasa ini bisa dikatakan perubahannya monoton.
Penulis dan bisnismen Henk Schulte Nordholt pernah tinggal dan bekerja selama 20 tahun di Tiongkok. Dengan penuh perhatian ia menyaksikan bahwa terdapat 'banyak Tiongkok'. Ada Tiongkok petani, ada Tiongkok kota. Ada Tiongkok kaya dan Tiongkok miskin. Ada Tiongkok rakyat dan Tiongkok pemerintah. Tiongkok cepat sekali memodernisir negerinya, tapi dalam pada itu masih bercokol pada masa lampau. Tetapi menurut Henk, Tiongkok sebagai sebuah negeri yang begitu cepat belajar dan bekerja demikian kerasnya sehingga ia bisa jadi kekuatan ekonomi yang terbesar di dunia, -- namun juga adalah negeri yang demikian TIONGKOKNYA , sehingga ia tak dapat menjadi suatu kerajaan dunia.
Bila perkembangan Tiongkok khususnya pertumbuhan ekonomi laju seperti sekarang ini, Barat meramalkan, bahwa dalam tahun 2040 Tiongkok akan melampaui Amerika Serikatr, dan menjadi negara terkuat di dunia. Sejalan dengan tanggapan ini juga muncullah kekhawatiran dan ketakutan di kalangan Barat, Jepang dan sementara fihak lainnya. Apakah Tiongkok saat itu akan menjadi kekuatan ekonomi dan MILITER yantg terkuat di dunia? Apakah Tiongkok akan menjadi imperium dunia??
Henk tampaknya memberikan jawban begitu pasti! Tidak! Tiongkok tak akan menjadi raja dunia! Justru karena budaya ke-TIONGKOKKANNYA!
* * *
Dalam tulisannya yang berjudul EEN HARMONIEUZE WERELDORDE, Suatu Orde Dunia yang Harmonis, Henk menjelaskan mengapa ia berkesimpulan demikian.
Tulisaan Henk Schulte Nordholt itu akan di sadur dan dipublikasikan dalam bagian berikutnya nanti,
Bagian II.
* * *
No comments:
Post a Comment