Senin, 28 Februari 2011
-------------------------------------------
MERAYAKAN ULTAH KE-85
CISCA PATTIPILOHY
Hujan rintik-rintik dan angin kencang Sabtu sore, 26 Februari y.l. tak kunjung mau berhenti. Teruus saja! . . . . Percuma menunggu sampai reda. TV Belanda, NOS Journal sudah memberitakan bahwa cuaca demikian itu akan berlangsung terus sampai sore hari. Menjelang malam baru akan mereda. Itu baru ramalan. Bisa melését.
Sesuai rencana, Murti dan aku, siap-siap berangkat. Buka payung, lalu kami keluar. Dalam cuaca yang anginnya sampai kedengaran bersiul-siul, akhirnya percuma juga pakai payung. Dari samping hujan membasahi sisi kanan dan kiri. Dan sesekali payungnya 'njeplak'. Kalau sedang sial, payungnya malah robék samasekali.
Kami jalan menerjang hujan menuju stasiun Amsterdam Bijlmer Arena. Selanjutnya dengan Metro-54 ke Amsterdam Centraal. Di sebelah luar pintu Noord, sudah tampak melambai-lambaikan tangan mereka teman-teman dari Grup Wanita Indonesia DIAN: Aminah Idris, ketua Dian; Tuti Supangat, Farida Rakhmat, putrinya Ina dan Darmini. Memang kami janjian bertemu di situ. Menantikan 'pendel-auto' yang akan mengantar kami ke Westerdokpoint, Westerdok 808. Dengan mobil hanya 5 menit saja dari Centraal Station.
* * *
Di Westerdok 808 itulah, tampaknya seperti café-restaurant, berdatangan kira-kira 150 tamu atas undangan keluarga Pattipilohy. Beda benar dengan suasana kelabu diluar. Di dalam semua gembira dan cerah. Semua dalam suasana bahagia mengucapkan selamat kepada Cisca Pattipilohy. Kira-kira jam 15.00 perayaan Ultah Ke-85 Cisca Pattipilohy dibuka dengan nyanyi bersama , Panjang Umurnya Serta Mulia, untuk Cisca tercinta. Seorang sahabat/keluarga Cisca dengan suara tenornya yang merdu menyanyikan lagu ciptaan Schubert, Standchen, dengan iringan piano adiknya Cisca, Paul. Tidak ketinggalan pula dinyanyikan bersama lagu Bengawan Solo, nyanyian-nyanyian Indonesia lainnya, dan banyak lagu-lagu Maluku. Sungguh menggembirakan dan mengesankan perayaan ultah ke-85 Cisca Pattipilohy.
Suguhan minuman dan makanan kecil berlimpah ruah. Kemudian ditutup dengan makan bersama menu Indonesia yang, aduh mak, lezatnya.
Tibalah saat penyerahan buku “LIBER AMICURUM” untuk ibunda Cisca. Buku itu merupakan kenang-kenangan historis yang disiapkan oleh keluarga Pattipilohy untuk dihadiahkan kepada Ibunda dan Nenekanda mereka pada hari tanggal 26 Februari 2011. Sebuah buku indah dihiasi dengan banyak foto-foto sejak Cisca masih muda dan keluarganya, suami, anak-anak, menantu-menantu dan para cucu.
Banyak sahabat Cisca ikut menulis dalam Liber Amicurum untuk Cisca Pattipilohy. Antara lain Murti dan aku juga turut menyumbang tulisan. Di bawah ini adalah tulisan yang kami siapkan untuk ikut merayakan Ultah 85 Cisca, dan dimuat di buku Liber Amicurum.
Pada usia 85 tahun, Cisca tampak amat segar, sehat dan semangatnya tetap tinggi.
Beliau tetap aktif di Lsm ZAMI, di Grup Wanita Indonesia DIAN. Pada kesempatan diundang oleh Perhimpunan Persaudarfaan atau KITLV, Leiden, Cisca sering bersama kawan lainnya ambil bagian dalam caramah ataupun seminar yang diselenggarakan mengenai masalah Indonesia.
* * *
CISCA PATTIPILOHY YANG – KAMI KENAL
Oleh: IBRAHIM ISA Dan MURTI
Cisca Pattipilohy bukan sahabat yang baru saja kami kenal di Holland. Sudah berawal jauh di masa ketika Republik Indonesia baru memasuki fase baru dalam sejarahnya. Periode setelah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), (1949) yang mengkahiri masa perang antara Republik Indonesia versus Kerajaan Belanda. Dengan kemenangan Republik Indonesia atas Kerajaan Belanda.
Suami Cisca Patti, -- Zain Nasution --, adalah sahabat baikku sejak masa itu. Keluarga Cisca Pattipilohy sangat peduli keadaan kawan-kawannya. Ketika lahir putri pertama kami, Pratiwi Tjandra Rini (1955), Ciscca segera menawarkan kereta-bayi bagus sekali, yang pernah dipakai putri pertama mereka, Maya. Tentu saja kami gembira dengan tawaran tsb. Sejak itu kalau Murti dan aku jalan-jalan pada sore hari, kami sering mampir di rumah kelurga Cisca di Jalan Sibayak, di daerah Pegangsaan, Jakarta. Khusus untuk 'memamerkan' putri kami Pratiwi yang kami bawa dengan kereta-bayi 'pinjaman' dari Cisca. Juga untuk menunjukkan bahwa putri kami Pratiwi senang sekali bisa jalan-jalan dengan kereta-bayi pinjaman dari Cisca itu.
Pada awal tahun limapuluhan abad lalu, gerakan anti-kolonial dan anti-imperialisme di Asia dan Afrika semakin bergolak. Atas inisiatif Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno, Indonesia memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955. Konferensi AA Bandung telah mendorong lebih maju gerakan kemerdekaan di kedua benua. Di Jakarta diselenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika (1963), dan didirikan Organisasi Wartawan Asia Afrika – AAJA – Afro-Asian Journalist Association. Cisca Pattipilohy terjun dalam AAJA. Cisca adalah tenaga pokok dalam kegiatan penterjemahan di AAJA. Cisca ikut dalam misi delegasi AAJA ke 9 negeri-negeri Afrika dan Timur Tengah. Antara lain ke Mesir, Alajazair, Syria, Guinea, Mali, Tanzania dan Ethiopia. AAJA melakukan kegiatan pengkonsolidasian. Ketika diselenggarakan sidang GANEFO, Games of The New Emerging Forces di Beijing, 1965, Cisca Patti adalah penterjemah utama dalam sidang yang mengambil kesimpulan mengenai kegiatan Ganefo selanjutnya.
Itulah periode perkenalan dan persahabatan akrab kami dengan keluarga Cisca Pattipilohy, di Indonesia. Yang berkembang terus sampai akhirnya kami jumpa kembali di Amsterdam, Nederland, akhir tahun delapanpuluhan abad lalu.
* * *
Memasuki masa senior, tahun ke delapanpuluh-lima usianya, 26 Februari 2011 ini, yang penuh kisah suka-duka, kutanyakan kepada Murti: Apa yang paling mengesankan padamu, tentang Cisca Pattipilohy. Murti kontan menyatakan: Aku kagum akan keuletan dan ketabahan, kepedulian dan keberhasilan Cisca Pattipilohy. Meskipun sejak bulan Oktober 1965, ia seorang diri mengurus empat orang putri-putri dan putra-putranya. Cisca berhasil dengan sukses membesarkan dan mendidik penerus-penerus mereka menjadi manusia-manusia yang berguna bagi masyarakat.
* * *
Sejak 1965 Cisca Patti yang tabah dan ulet itu, harus seorang diri mengurus kehidupan dan mendidik anak-anaknya: Maya, Dida, Tino dan Benny. Karena ayah anak-anak tsb, Zain Nasution, telah direnggutkan dari keluarganya dan dipenjarakan oleh rezim Orba.
Zain Nasution, sahabat lama dan kentalku itu, adalah seorang pejuang, seorang aktivis di PI ketika belajar di Leiden. Bersama kawan-kawan PI dan mahasiwa-mahasiwa Indonesia lainnya, Zain Nasution melakukan aksi protes melawan tindakan agresi ke-2 Belanda terhadap Republik Indonesia. Mereka mengembalikan beasiswa dari pemerintah Belanda. Dalam kehidupan yang cukup sulit karena menolak beasiswa dari pemerintah Belanda, datanglah kesempatan baginya untuk belajar di Praha (Cekoslowakia) yang diusahakan oleh Perhimpunan Indonesia dan Sugiono (wakil Indonesia di International Union of Students –IUS). Zain Nasution menggunakan kesempatan itu bersama A.S Munandar, Jack Sumabrata dan Bintang Suradi untuk meneruskan studi mereka di Praha.
Kembali ke Indonesia setelah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), Zain Nasution aktif membangun s.k. Harian Rakyat. Zain juga ambil bagian aktif sejak awal Gerakan Perdamaian Indonesia bangkit berkembang pada permulaan tahun limapuluhan. Di situlah aku berjumpa dengan Zain Nasution dan banyak aktivis perdamaian lainnya. Selain itu Zain Nasution ambil bagian intensif dalam berbagai forum diskusi berkenaan situasi politik tanah air, setelah KMB, bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya. Di situ pula aku mengenal lebih baik lagi Zain Nasution sebagai pemuda yang dengan penuh kepedulian dengan gerakan poitik di tanah air, namun tetap mengikuti perkembangan politik dunia, yang ketika itu didominasi oleh suasana 'perang dingin'.
Kegiatan Zain Nasution sebagai wartawan “Harian Rakyat', gerakan perdamaian dan berbagai kegiatan politik lainnya mendukung politik Presiden Sukarno, menyebabkan ia 'diamankan' oleh fihak militer, pada Peristiwa 1965. Zain dipenjarakan oleh penguasa militer. Tanpa tuduhan dan proses hukum apapun. Suami tercinta Cisca, Zain Nasution, dikirim ke penjara Nusa Kambangan bersama ratusan tapol lainnya. Kesewenang-wenangan rezim Orba, tanpa proses hukum apapun memenjarakan Zain, dan situasi buruk di penjara Nusa Kambangan, akhirnya telah menyebabkan meninggalnya Zain Nasution. Ketika Zain dipenjarakan, putri pertama mereka, Maya, baru berumur tujuh tahun.
* * *
Dalam keadaan yang teramat sulit dan penuh ancaman dan kekhawatiran, Cisca Pattipilohy dengan memboyong empat orang anaknya yang masih kecil-kecil itu berangkat ke negeri Belanda. Mereka sekeluarga masih bisa berangkat ke negeri Belanda, dengan memanfaatkan status keluarga Pattipilohy yang di zaman Hindia Belanda hak kewarganegaraannya disamakan dengan w.n. Belanda. Keluarga Pattipilohy punya status 'gelijkgesteld' ketika itu.
Dimana Zain Nasution dimakamkan, penguasa tutup mulut sepenuhnya. Suatu pelanggaran HAM yang kejam dan biadab tiada taranya.
* * *
Di Negeri Belanda Cisca yang tenaga, fikiran serta perhatiannya sibuk dengan membesarkan dan mendidik empat orang putri-putri dan putra-putranya itu, namun, aktif melakukan kegiatan peduli wanita Indonesia, dalam grup studi wanita di KITV. Dengan didirikannya Komite Indonesia yang diketuai oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim, Cisca aktif ambil bagian dalam grup wanita Komite Indonesia.
Dalam periode itu juga Cisca ambil bagian sebagai pemrakarsa dan pendiri perkumpulan wanita migran “Flamboyant”, suatu organisasi wanita migran di negeri Belanda yang aktif di bidang pembelaan hak-hak wanita dan HAM.
Dalam perkembangan selanjutnya ketika organisasi wanita Flamboyant berkembang menjadi organisasi wanita migran yang lebih besar, “ZAMI”, Cisca Patti, tetap aktif melakukan kegiatannya, samil meneruskan kegiatan lainnya yang memyangkut masalah informasi dan komunikasi di Belanda.
“ZAMI” memberikan penghargaan tinggi pada peranan Cisca dalam perkumpulan dan kegiatan wanita migran. Tahun yang lalu Cisca memperoleh “Zami Award” dalam suatu upacara Zami yang yang diselenggarakan dengan hikmat, tetapi riang dan penuh antusiasme.
Cisca Patti juga bergabung dengan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di negeri Belanda, serta aktif pula hadir dalam kegiatan-kegiatan Perhimpunan Persaudaraan. Bukan saja itu, Cisca dalam waktu panjang mengetuai Grup Wanita Indonesia, “DIAN” di Amsterdam.
Pada kesempatan diadakannya ceramah ataupun seminar oleh KITLV, dimana Cisca tergabung sebagai anggotanya, ia tidak ketinggalan hadir dan ambil bagian dalam kegiatan itu.
Sehingga di kalangan para sahabat dan kenalannya, Ciusca merupakan teladan, yang dalam usia senior masih tetap aktif, giat, kritis dan antusias ambil bagian dalam pelbagai kegiatan, sosial, solidaritas mapun ilmiah.
Dalam pelbagai kesempatan Cisca selalu mengingatkan sahabat dan kenalan untuk selalu peduli bangsa dan tanah air, supaya aktif mengikuti kegiatan dan perkembangan yang berlangsung di tanah air Indonesia.
Harapan kita ialah agar Cisca Pattipilohy tetap sehat dan aktif, meneruskan sumbangannya yang berharga dalam pelabagai kegiatan sosial, politik dan ilmu di negeri Belanda, dan dalam kegiatan solidaritas dengan tanah air tercinta, Indonesia.
* * *
No comments:
Post a Comment