Wednesday, April 1, 2009

Kolom IBRAHIM ISA - MENGKHIANATI PRESIDEN PANGLIMA TERTINGGI

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 03 Maret 2009

-------------------------------------

MENGKHIANATI PRESIDEN PANGLIMA TERTINGGI SUKARNO, MANA MUNGKIN JADI PAHLAWAN NASIONAL!

Diukur dengan fikiran wajar, sehat dan logis usul-usul untuk menobatkan mantan Presiden Suharto jadi 'pahlawan nasional', samasekali tak masuk akal. Karena itu harus ditolak!

Tapi, . . tokh usul absurd itu muncul beberapa tahun yang lalu. Celakanya . . . hal itu diajukan s e s u d a h prahara Reformasi melanda negeri kita dan merenggutkan Suharto dari jabatan presiden yang dikeloninya selama 32 tahun.

Usul 'mempahlawankan' Suharto diajukan setelah meninggalnya mantan Presiden Suharto. Pelbagai kalangan tertentu militer, sipil, politik, birokrasi, bisnis dll, rupanya dapat 'Ilham', yang sempat bikin heboh masyarakat. Meskipun riuh rendah genderang ditabuh untuk maksud itu, namun Presiden SBY tampak cukup lama 'fikir'fikir' dulu. Ditimbang-timbang 'untung-ruginya' menerima usul Suharto jadi 'pahlawan nasional'. Apalagi SBY jelas berniat untuk jadi pemenang lagi dalam pemilu 2009 tidak lama lagi.

Menerim usul absurd Suharto jadi pahlawan nasional -- bisa-bisa berakhir pada suatu 'political suicide' , 'bunuh-diri politik'. Suatu perspektif yang mengerikan bagi seorang politikus bukan?

Mengapa usul menobatkan mantan Presiden Suharto menjadi pahlawan nasional, adalah suatu usul yang absurd? Suatu ide yang bila dilaksanakan akan bikin mancanegara dan siapa saja yang berakal sehat mengerutkan keningnya, dan bertanya-tanya: "Apakah sudah sampai begitu merosotnya kemampuan yang bersangkutan untuk berfikir realis dan jujur, sampai bisa menerima usul itu?

Sudah menjadi catatan dalam sejarah Republik Indonesia, bahwa Jendral Suharto adalah perwira tinggi AD pertama yang terang-terangan membangkang terhadap Panglima Tertinggi Presiden RI. Ini terjadi ketika dia mensabot keputusan Presiden Sukarno menetapkan Letnan Jendral Pranoto Reksosamudro untuk memegang pimpinan harian Angkatan Darat. Kasarnya bawahan meludahi perintah atasannya. Dalam kemiliteran ini berarti i n s u b o r d i n a n s i . Harusnya Jendral Suharto diadili oleh suatu mahkamah militer.

Suharto membangkang, dan sekaligus mengambil oper, merebut pimpinan AD di tangannya sendiri.

Bahwa dialah, Jendral Suharto, yang menyalahgunakan 'Surat Perintah Sebelas Maret 1966'. 'Supersemar', nama yang menjadi populer, adalah surat perintah Presiden Republik Indonesia. Jelas sekali untuk menjaga kewibawaan Presiden dan ajaran-ajarannya. Yang mewajibkan Jendral Suharto selalu melapor kepada Presiden, sebagai pemimpin besar revolusi.

Tetapi 'Supersemar' dimanipulasi, disulap, disalahgunakan menjadi 'transfer of power', menjadi 'pelimpahan kekuasaan' negara dari tangan Presiden Sukarno ke tangan Jendral Suharto. Lebih dari itu, dengan 'Supersemar' di tangannya Suharto melorot Presiden Sukarno jadi tahanan rumah, dan akhirnya menggulingkannya. Sampai beliau meninggal dunia Bung Karno berada dalam keadaan sebagai tahanan rumah Jendral Suharto. Apa namanya ini kalau bukan PENGKHIANATAN TERHADAP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SUKARNO!

Supaya pembaca ingat kembali apa isi "Supersemar" maka ada baiknya dikutip di bawah ini teks legkap 'Supersemar' seperti yang tertera dalam risalah 'Hasil-hasil Sidang Umum MPRS Ke-IV yang dikeluarkan oleh pemerintah RI sbb:


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S U R A T P E R I N T A H

I. Mengingat:

1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik Nasional

maupun internasional.

1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Presiden

Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.


II.Menimbang:

2.1. Perlunya ada ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya

Revolusi.


2.3. Perlu adanya jaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan dan rakyat untuk memelihara kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala ajaran-ajarannya.


III. Memutuskan/Memerintahkan:

Kapada: Letnan Jendral Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:


1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan

Presiden / Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mndataris

M.P.R.S. Demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia,

dan Melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.


2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan

Panglima-Panglima Angkatan-2 lain dengan sebaik-baiknya.


3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut diatas.


IV. Selesai.


Jakarta, 11 Maret 1966

Presiden/Panglimna Tertinggi/

Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S.,

ttd.

Sukarno


(Kutipan selesai)



Membaca kembali teks 'SUPERSEMAR', kita mendapat gambaran yang jelas-jemelas, sampai dimana pengkhianatan Jendral Suharto terhadap atasannya, Presiden RI Sukarno.



Satu saja alasan ini, kiranya sudah lebih dari cukup untuk MENOLAK USUL SUHARTO DINOBATKAN JADI PAHLAWAN NASIONAL.



* * *



Dari fihak pengusul kiranya jelas, pertimbangan mereka samata-mata bertolak dari kepentingan-sendiri masing-masing. Mereka berfikir, reputasi Suharto yang sudah diskredit, harus ditolong dengan jalan apapun. Kalau tidak akan tiba waktunya mereka-mereka sendiri akan menjadi diskredit sama seperti nasib Suharto. Maka menobatkan Suaharto jadi 'pahlawan nasional' merupakan suatu 'solusi' untuk menyelamatkan nama mereka sendiri, sebagai pendukug rezim Orba, yang sudah bergelimang dan berkubang di lumpur rezim Orba.



Pertimbangan penting mereka ialah, bahwa mereka bisa beruntung dapat memperoleh 'simpati dan dana' dari 'orang-orangnya Suharto', yang masih banyak bertengger pada kedudukan bisnis dan politik yag masih kokoh. Tidak mustahil masih cukup pengaruhnya di kalangan aparat negara, termasuk di bidang jurisdiksi. Meskipun mereka-mereka itu sementara 'tiarap' dulu, liat-liat kemana angin kencang akan bertiup. Namun, mereka tetap menantikan saat baik untuk 'kiprah' lagi. Jalannya ialah selamatkan nama Suharto.



Reputasi rezim ORBA yang mewarisi Indonesia dengan utang luarnegeri meliputi 150 milyar USD, hutan-hutan yang gundul, dan kekayaan bumi dan alam lainnya habis tergadaikan pada kaum modal uang mancanegara, ditambah lagi dengan membudayanya korupsi, kolusi dan neportisme, -- membikin pemerintah sekarang ini, paling tidak 'ragu-ragu' tentang tepat-tidaknya megangkat Suharto jadi 'pahlawan nasional'. Jelas, pertimbangan itu bukan lagi mengenai benar atau tidaknya, adil atau tak-adilnya usul tsb, tetapi, pertama-tama dan terutama, apa untung-ruginya mengusahakan supaya diterima usul Suharto dinobatkan jadi 'pahlawan nasional'.



Itulah sebabnya mengapa sampai sekarang, meskipun cukup 'rame' dan gemuruh yang mendukung Suharto jadi 'pahlawan nasional', hal itu masih tidak menjadi kenyataan.



Kali ini, genderang nyaring mengedepankan lagi mantan Presiden Suharto jadi 'pahlawan nasional' mulai ditabuh lagi. Rupanya dalam rangka diperingatinya 'Serangan 1 Maret 1948 atas kota Jogyakarta'. Dilihat dari tingkat kemampuan masyarakat berfikir kritis, usul absurd itu akan menemui kegagalan lagi.



* * *



Masih ada sejumlah alasan fundamental mengapa usul absurd menobatkan mantan Presiden Suharto jadi pahlawan nasional, samasekali tidak dapat diterima oleh fikiran waras. Terutama yang menyangkut pelanggaran HAM terbesar di bawah tanggungjawab Jendral Suharto yang menyebabkan jatuhnya kurang lebih 3 juta korban warga yang tak bersalah!


Tetapi, kali ini cukup satu alasan saja seperti diuraikan diatas, yaitu insubordinasi dan pengkhianatan Jendral Suharto terhadap Panglima Tertinggi Presiden Sukarno, yang menyebabkan usul tsb tidak bisa dan tidak boleh diterima, demi kewarasan berfikir, demi keadilan dan tegaknya negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara Hukum yang terhormat dan ingin dihormati.



* * *

No comments: