Senin, 06 Agustus 2012
------------------------------
Menjelang LEBARAN (Tradisi Saling Bermaafan . . . . )
Tapi . . . SBY Diminta JANGAN MINTA MAAF . . . .
Suatu TABIR ASAP BELAKA . . . . .
Peristiwa penting dan merupakan 'breaking news', sekaligus penjebolan terhadap “misteri”
dan “tabu” sekitar pelanggaran HAM besar-besaran dan berat dalam “Peristiwa 1965-66” . . ...
. , adalah Kesimpulan/laporan KomnasHAM tertanggal 23 Juli 2012.
KomnasHAM adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh negara untuk mendorong pemberlakuan HAM di negeri kita, untuk tegaknya supremasi hukum. Kita ambil saja tiga fasal dari tujuan yang dinyatakan oleh KomanasHAM sebagai tujuan strategisnya, sbb:
Tujuan Strategis
1. Mendorong terwujudnya kebijakan dan implementasi di bidang ekosob dan sipol yang berbasis HAM dan keadilan social (social justice);
2. Memperkuat kesadaran aparat Negara dan civil society tentang pentingnya perlindungan dan pemajuan HAM;
3.Mendorong reformasi dan supremasi hokum berbasis HAM;
Adalah lembaga KomnasHAM ini yang mengambil kesimpulan teramat penting, --- setelah 4 tahun lamanya tertunda-tunda akibat cara diskusi yang berketiak-ular, sebagai akibat digunakannya taktik mengulur-ulur waktu, untuk mengagalkan samasekali diambilnya kesimpulan sekitar pelanggaran HAM berat dalam periode 1965-66 dst.
Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965--1966 setelah melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran tersebut benar terjadi.
Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan dan untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" untuk membawa pelaku ke pengadilan sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM.
* * *
Duduk perkaranya jelas: Masalahnya ialah pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965. Pelakunnya adalah aparat negara, dng keterlibatan sementara fihak. Tuntutannya jelas pula: Agar Jaksa Agung mulai melakukan penyeledikan resmi berdasarkan temuan dan membentuk Pengadilan HAM “ad hoc” UNTUK MEMBAWA PELAKU.
* * *
“Tabuhan genderang perang ala Orba” yang disulut sementara orang di bawah bendera 'anti-Komunis” di kota Bandung, beberapa hari yang lalu, adalah manifestasi paniknya pahlawan-pahlawan “Perang Dingin”, yang meneriakkan semboyan usang 'awas komunisme'. Desakan mereka-mereka itu kepada Presiden SBY agar JANGAN MINTA MAAF kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965, adalah tabir asap belaka.
Hiruk-pikuk mendesak SBY supaya JANGAN MINTA MAAF kepada para korban pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sesungguhnya adalah PENOLAKAN TERHADAP KESIMPULAN KOMNASHAM 23 Juli 2012.
Mereka-mereka itu, . . . . mulai dari salah seorang petinggi Kejaksaan Agung, termasuk Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, mantan gubernur Solihin, dan pejabat-pejabat birokrasi lainnya serta yang mengatasnamakan golongan agama, sudah merasa gelisah dan kecut dengan ditembusnya 'misteri' dan 'tabu' sekitar Peristiwa 1965. Mereka sudah merasakan 'bara api kebenaran” yang mulai marak di kalangan masyarakat sampai ke lembaga negara seperti KomnasHAM.
Dengan pengumuman kesimpulan KomnasHAM sekitar pelanggaran berat HAM oleh aparat negara, terhadap warga yang tidak bersalah, hancur-luluhlah kebohongan mereka bahwa kekerasan yang berlaku pada periode itu adalah suatu “konflik di kalangan rakyat”, adalah “sebagai akibat dari balas dendam golongan agama terhadap PKI yang tidak bertuhan”, dan kebohongan-kebohongan lainnya . . . . . .
“Misteri” dan “tabu” sekitar persekusi dan pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah, dengan dalih terlibat atau ada indikasi terlibat dengan G30S, dan terhadap lapisan luas massa rakyat yang mendukung Presiden Sukarno, -- telah berakhir dengan diumumkannya Kesimpulan KomnasHAM tertanggal 23 Juli, a.l bahwa:
“Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966
menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. Dalam
menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah pengaduan dari
masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban sebanyak *349
(tiga ratus empat puluh sembilan)* orang. Tim juga telah melakukan
peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah dalam rangka pelaksanaan
penyelidikan.”
Selanjutnya:
Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965-1966. Bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dikemukakan dalam kesimpulan KomnasHAM, a.l telah terjadinya pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang; penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan (persekusi); dan penghilangan orang secara paksa. Dikemukakan juga sejumlah individu dan lembaga yang diduga kuat sebagai pelaku dalam rentetan peristiwa 1965-1966.
* * *
Perkembangan kesadaran berbagai lapisan masyrakat sekitar pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sudah tidak bisa dibendung lagi. Cara apapun yang akan digunakan untuk menyetop perkembangan ini.
* * *
Dalam salah satu percakapan serius baru-baru ini dengan salah seorang cendekiawan asing pemerhati dan pemeduli Indonesia, kawan ini menyatakan kepadaku sbb: Sampai sekarang mereka-mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat sekitar periode1965 itu, SATUPUN TIDAK ADA YANG MERASA BERSALAH.
Mungkin demikianlah situasinya: Tetapi kataku kepada kawan asing tsb: Barangkali ada pengecualian. Yaitu : GUS DUR dan Jendral SARWO EDHIE. Yang pertama adalah pimpinan NU dan tokoh agama penting lagipula mantan Presiden RI. Yang seorang lagi adalah mantan Jendral Komandan Kostrad, yang ambil bagian penting dalam menggulingkan Presiden Sukarno dan persekusi terhadap rakyat yang tak bersalah.
Dua-dua tokh ini, sudah menyatakan penyesalannya. Gus Dur malah sudah minta maaf atas keterlibatan orang-orang NU dan pemuda-pemuda Anshor dalam pembantaian terhadap orang-orang PKI dalam periode 1965-66 di Jawa Timur.
Ya, kata kawan itu, tetapi baik Gus Dur maupun mantan Jendral Sarwo Edhie, yang adalah mertua Presiden SBY itu, dua-duanya sudah meninggal dunia.
Mantan Presiden Suharto, pelakku/penanggung-jawab pelanggara HAM berat itu, juga sudah meninggal dunia, kataku.
Tetapi, sama halnya, seperti apa yang terjadi di mancanegara, a.l di Argentina, Chili, Afrika Selatan dll, pelanggar HAM berat tidak akan bisa selamanya luput dari berlakunya kebenaran. Mereka-mereka itu tidak akan bisa selamanya bebas dari pemberlakukan PROSES KEADILAN NEGARA HUKUM.
Akhirnya mereka-mereka itu, pada gilirannya akan diseret ke mahkamah pengadilan.
* * *
KomnasHAM adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh negara untuk mendorong pemberlakuan HAM di negeri kita, untuk tegaknya supremasi hukum. Kita ambil saja tiga fasal dari tujuan yang dinyatakan oleh KomanasHAM sebagai tujuan strategisnya, sbb:
Tujuan Strategis
1. Mendorong terwujudnya kebijakan dan implementasi di bidang ekosob dan sipol yang berbasis HAM dan keadilan social (social justice);
2. Memperkuat kesadaran aparat Negara dan civil society tentang pentingnya perlindungan dan pemajuan HAM;
3.Mendorong reformasi dan supremasi hokum berbasis HAM;
Adalah lembaga KomnasHAM ini yang mengambil kesimpulan teramat penting, --- setelah 4 tahun lamanya tertunda-tunda akibat cara diskusi yang berketiak-ular, sebagai akibat digunakannya taktik mengulur-ulur waktu, untuk mengagalkan samasekali diambilnya kesimpulan sekitar pelanggaran HAM berat dalam periode 1965-66 dst.
Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965--1966 setelah melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran tersebut benar terjadi.
Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan dan untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" untuk membawa pelaku ke pengadilan sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM.
* * *
Duduk perkaranya jelas: Masalahnya ialah pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965. Pelakunnya adalah aparat negara, dng keterlibatan sementara fihak. Tuntutannya jelas pula: Agar Jaksa Agung mulai melakukan penyeledikan resmi berdasarkan temuan dan membentuk Pengadilan HAM “ad hoc” UNTUK MEMBAWA PELAKU.
* * *
“Tabuhan genderang perang ala Orba” yang disulut sementara orang di bawah bendera 'anti-Komunis” di kota Bandung, beberapa hari yang lalu, adalah manifestasi paniknya pahlawan-pahlawan “Perang Dingin”, yang meneriakkan semboyan usang 'awas komunisme'. Desakan mereka-mereka itu kepada Presiden SBY agar JANGAN MINTA MAAF kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965, adalah tabir asap belaka.
Hiruk-pikuk mendesak SBY supaya JANGAN MINTA MAAF kepada para korban pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sesungguhnya adalah PENOLAKAN TERHADAP KESIMPULAN KOMNASHAM 23 Juli 2012.
Mereka-mereka itu, . . . . mulai dari salah seorang petinggi Kejaksaan Agung, termasuk Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, mantan gubernur Solihin, dan pejabat-pejabat birokrasi lainnya serta yang mengatasnamakan golongan agama, sudah merasa gelisah dan kecut dengan ditembusnya 'misteri' dan 'tabu' sekitar Peristiwa 1965. Mereka sudah merasakan 'bara api kebenaran” yang mulai marak di kalangan masyarakat sampai ke lembaga negara seperti KomnasHAM.
Dengan pengumuman kesimpulan KomnasHAM sekitar pelanggaran berat HAM oleh aparat negara, terhadap warga yang tidak bersalah, hancur-luluhlah kebohongan mereka bahwa kekerasan yang berlaku pada periode itu adalah suatu “konflik di kalangan rakyat”, adalah “sebagai akibat dari balas dendam golongan agama terhadap PKI yang tidak bertuhan”, dan kebohongan-kebohongan lainnya . . . . . .
“Misteri” dan “tabu” sekitar persekusi dan pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah, dengan dalih terlibat atau ada indikasi terlibat dengan G30S, dan terhadap lapisan luas massa rakyat yang mendukung Presiden Sukarno, -- telah berakhir dengan diumumkannya Kesimpulan KomnasHAM tertanggal 23 Juli, a.l bahwa:
“Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966
menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. Dalam
menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah pengaduan dari
masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban sebanyak *349
(tiga ratus empat puluh sembilan)* orang. Tim juga telah melakukan
peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah dalam rangka pelaksanaan
penyelidikan.”
Selanjutnya:
Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965-1966. Bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dikemukakan dalam kesimpulan KomnasHAM, a.l telah terjadinya pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang; penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan (persekusi); dan penghilangan orang secara paksa. Dikemukakan juga sejumlah individu dan lembaga yang diduga kuat sebagai pelaku dalam rentetan peristiwa 1965-1966.
* * *
Perkembangan kesadaran berbagai lapisan masyrakat sekitar pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965, sudah tidak bisa dibendung lagi. Cara apapun yang akan digunakan untuk menyetop perkembangan ini.
* * *
Dalam salah satu percakapan serius baru-baru ini dengan salah seorang cendekiawan asing pemerhati dan pemeduli Indonesia, kawan ini menyatakan kepadaku sbb: Sampai sekarang mereka-mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat sekitar periode1965 itu, SATUPUN TIDAK ADA YANG MERASA BERSALAH.
Mungkin demikianlah situasinya: Tetapi kataku kepada kawan asing tsb: Barangkali ada pengecualian. Yaitu : GUS DUR dan Jendral SARWO EDHIE. Yang pertama adalah pimpinan NU dan tokoh agama penting lagipula mantan Presiden RI. Yang seorang lagi adalah mantan Jendral Komandan Kostrad, yang ambil bagian penting dalam menggulingkan Presiden Sukarno dan persekusi terhadap rakyat yang tak bersalah.
Dua-dua tokh ini, sudah menyatakan penyesalannya. Gus Dur malah sudah minta maaf atas keterlibatan orang-orang NU dan pemuda-pemuda Anshor dalam pembantaian terhadap orang-orang PKI dalam periode 1965-66 di Jawa Timur.
Ya, kata kawan itu, tetapi baik Gus Dur maupun mantan Jendral Sarwo Edhie, yang adalah mertua Presiden SBY itu, dua-duanya sudah meninggal dunia.
Mantan Presiden Suharto, pelakku/penanggung-jawab pelanggara HAM berat itu, juga sudah meninggal dunia, kataku.
Tetapi, sama halnya, seperti apa yang terjadi di mancanegara, a.l di Argentina, Chili, Afrika Selatan dll, pelanggar HAM berat tidak akan bisa selamanya luput dari berlakunya kebenaran. Mereka-mereka itu tidak akan bisa selamanya bebas dari pemberlakukan PROSES KEADILAN NEGARA HUKUM.
Akhirnya mereka-mereka itu, pada gilirannya akan diseret ke mahkamah pengadilan.
* * *
No comments:
Post a Comment