Tuesday, October 9, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - KEMANUSIAAN & HUKUMAN MATI

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 09 Oktober 2007

-----------------------



KEMANUSIAAN & HUKUMAN MATI

Untuk menyambut Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia, -- 10 Oktober 2007 besok -- , Lembaga Studi Advokasi Masyarakat , dalam pernyataannya (08 Oktober 2007) --- dengan pertimbangan a.l. -- bahwa 'hukuman mati bukanlah solusi', menuntut agar 'pemerinah harus segera melakukan moratorium'. Selanjutnya ELSAM mendorong Pemerintah agar sebaiknya melakukan review atau assessment atas kebijakan hukuman mati ini. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara a.l. memberikan upaya grasi secara luas atas permohonan dari para terpidana hukuman mati, dan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup.



Berbagai pandangan telah diajukan di mancanegara (barangkali di Indonesia baru sekarang ini diajukan terbuka di muka umum), secara khusus oleh sebuah LSM, dalam hal ini ELSAM. ELSAM dengan resmi mempersoalkan masalah 'hukuman mati', secara terbuka dan nasional. Semua tahu bahwa dinegeri kita hukuman mati, sebagai ganjaran terhadap kejahatan berat, adalah diambil dari tata-hukum zaman kolonial.



Diskusi mengenai masalah hukuman mati, benar-salahnya, adil-tidaknya, di mancanegara telah berlangsung lama. Bisa diasumsikan bahwa hal itu telah berlangsung sejak pertama kali hukuman mati itu dilaksanakan (Entah kapan). Di luar cerita Kitab Injil, Al Qur'an, atau kitab suci agama lainnya, menurut catatan sejarah, hukuman mati yang termasuk awal adalah yang dijatuhkan pada filsuf besar Junani Kuno, Socrates (469 - 399 SM).



Socrates menjalani hukuman matinya sendiri dengan minum racun yang disodorkan kepadanya. Socrates dihukum mati atas tuduhan bahwa ia tidak bertanggunjawab dan 'korup'. Menurut sementara penulis, Socrates dihukum mati , adalah disebabkan oleh aliran fikiran yang dianut dan disebarkannya. Falsahnya bertolak belakang dengan pemikiran dan tradisi saat itu. Socrates dituduh melecehkan Tuhan dan tradisi kepercayan. Misalnya, Socrates menganjurkan, bahwa adalah perlu untuk berbuat menurut apa yang dianggap benar, meskipun hal itu berlawanan dengan oposisi universal, dan bahwa adalah perlu untuk menuntut ilmu meskipun hal itu mendapat tantangan. Meskipun Socrates mengaku bahwa yang diketahuinya adalah bahwa ia 'tak tahu apa-apa', namun, ia menganggap bahwa dengan mempetanyakan segala sesuatu, yaitu suatu sistim mencari kebenaran dengan cara berdialog, cara yang kemudian dikatakan sebagai cara dialektis, maka orang akhirnya akan mencapai kebenaran. Mempertanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu yang dianggap benar ketika itu, teristimewa oleh penguasa, itu adalah suatu tantangan dan kejahatan tingkat 'berat' yang ketika itu diganjar dengan hukuman mati.



Dalam sejarah tidak sedikit orang yang mempertanyakan dan menantang sesuatu yang dianggap benar oleh penguasa dan sistim serta kultur yang berlaku, menjadi korban. Dalam suatu usaha mencari kebenaran yang sesungguhnya, tidak jarang diganjar dengan hukuman mati. Namun, sejarah juga mencatat bahwa hukuman mati tidak berdaya mencegah orang mencari kebenaran dan menggugat yang tak benar.



Tuturan ini adalah sekadar mengambil contoh, bahwa dalam sejarah tidak sedikit orang-orang yang ternyata benar dalam usahanya mencari kebenaran, tapi telah mengalami nasib malang di tangan algojo yang melaksanakan hukuman mati. Sekadar bukti, bahwa hukuman mati tidak jarang digunakan untuk mengakhiri hidup orang yang punya fikiran lain, yang bertentangan dengan pemikiran penguasa. Parahnya, ialah bahwa orang yang telah divonis hukuman mati dan dieksekusi, tapi kemudian ternyata ia tak bersalah, bahkan sepenuhnya kebenaran ada padanya, tapi orang itu tak tertolong lagi. Ia sudah mati. Lain halnya bila ia hanya dikenakan hukuman penjara, seumur hidup sekalipun. Begitu ternyata tertuduh tak bersalah, ia bisa segera dibebaskan dari penjara dan direhabilitasi.



* * *



Argumentasi yang agak umum untuk membenarkan hukuman mati, ialah, bahwa hukuman mati itu merupakan 'peringatan' terhadap masyrakat, khususnya dunia kriminil, agar tidak melakukan kejahatan yang berat itu. Dengan demikian hukuman mati, digunakan sebagai cara untuk mencegah, setidak-tidaknya mengurangi kejahatan yang dianggap paling berat, dan kriminalitas berat umumnya. Kenyataannya di negeri-negeri yang masih melaksanakan hukuman mati, tidak ada cukup bukti bahwa dengan hukuman mati, kriminalitas yang dianggap berat itu telah berkurang. Keadaan tsb terjadi a.l. di mayoritas negara-negara bagian AS yang masih memberlakukan hukuman mati.



Sehingga terdapat kesan bahwa hukuman mati, akhirya, lebih banyak merupakan suatu tindak 'balas dendam', dari fihak keluarga korban, dengan melalui hukum dan aparat negara , namun tokh melakukan pembunuhan juga. Bagi yang menentang hukuman mati, dari titik tolak prinsipil, mengambil nyawa orang, membunuh orang, adalah tetap suatu pembunuhan, meskipun hal itu dilakukan melalui prosedur hukum dan oleh tangan aparat negara.



* * *



Bertolak dari pandangan Hak-hak Azasi Manusia Universil yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, setiap manusia punya hak hidup. Dan tak dibenarkan manusia mencabut hak hidup manusia lainnya. Maka dari situ dianggap bahwa hukuman paling berat yang bisa dikenakan terhadap tindak kejahatan adalah hukuman seumur hidup. Hukuman seumur hidup memberikan kemungkinan pelaku kejahatan mengikuti proses pengkoreksian atas kesalahan-kesalahannya dan menempuh jalan hidup baru. Kahidupan manusia adalah sesuatu yang paling berharga, maka suatu tindakan mencabut nyawa orang karena yang besangkutan dianggap melakukan tindak kejahatan, adalah tidak manusiawi. Suatu hukuman mati dianggap sebagai suatu tindakan anti-manusiawi, bahkan suatu tindakan kejam dan biadab.



Berpijak pada pandangan yang prinsipil, seperti yang diperjuangkan oleh suatu badan HAM internasional (yang non pemerintah), seperti A M N E S T Y I N T E R N A T I O N A L , hukuman mati seyogianya segera dihapuskan. Banyak orang yang tadinya menyetujui hukuman mati, bertolak dari pandangan prinsipil tsb , namun, akhirnya menerima argumentasi keharusan menghapuskan hukuman mati sebagai ganjaran hukuman. Terlebih-lebih setelah terbukti bahwa tidak sedikit kasus eksekusi hukuman mati dilakukan oleh suatu pengadilan yang kejangkitan rasisme, atau pandangan politik tertentu demi kepentingan penguasa.



Hingga kini masih saja ada dua pendapat dan pendirian yang saling bertolak belakang. Ada yang setuju, malah menganggapnya suatu keharusan sebagai suatu alat pencegah ('deterrent') terhadap terjadinya pengulangan kriminalitas berat. Sebagian lagi yang jumlahnya semakin bertambah adalah yang tidak setuju hukuman mati atas dasar pertimbangan prinsipil.



Di negeri-negeri Uni Eropah, kalau kita berkenan menoleh ke Eropah sebagai bahan pembanding, suatu benua kuno, dimana untuk berabad-abad, bahkan ribuan tahun lamnanya, hukuman mati dilaksanakan sebagai sesuatu hal yang biasa, sebagai sesuatu 'yang sudah seharusnya dilakukan', sebagai hukuman yang setimpal terhadap tindak kejahatan yang dianggap berat, ---- melalui suatu proses panjang, kini negeri-negeri yang tergabung dengan Uni Eropah tsb. telah menghapuskan hukuman mati.



Uni Eropah bukan begitu saja menghapuskan hukuman mati - Capital Punishment - . Lebih dari itu, Uni Eropah MENENTANG HUKUMAN MATI. Dinyatakannya pula bahwa Uni Eropah menentang hukuman mati dalam semua kasus, dan mengusahakan penghapusan hukuman mati secara universal. Di negeri-negeri yang mempertahankan hukuman mati, mereka (UE) bertujuan agar dilakukan restriksi secara progresif terhadap pelaksanaan hukuman mati; serta merespek persyaratan ketat yang diajukan di dalam beberapa instrumen Hak-hak Manusia, dimana hukuman mati tsb mungkin dilakukan, demikian pula memberlakukan moratorium terhadap eksekusi, dengan tujuan menghapuskan samasekali praktek hukuman mati.



Dengan jelas UE menyatakan bahwa mereka terlibat dalam kampanye untuk dihapuskannya hukuman mati. Suatu sikap yang didasarkan pada keyakinan terhadap 'dignity' (harga diri) inheren seluruh kemanursiaan, suatu perinsip yang tak boleh dilanggar. Kejahatan apapun yang telah dilakukannya.



* * *

Bagi kita di Indonesia, bolehlah beroptimis bahwa, di dalam masyarakat kita, betapapun ada suatu LSM - dalam hal ini ELSAM, ----- yang tampil demi penghapusan hukuman mati, sebagai suatu hukuman hukuman yang kejam.



* * *







No comments: