Monday, October 1, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - MEMPERINGATI 'PERISTIWA PELANGGARAN HAM TERBESAR 1965' --2-

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Senin, 01 Oktober 2007


<2>

MASYARAKAT INDONESIA DI BELANDA MEMPERINGATI 'PERISTIWA PELANGGARAN HAM TERBESAR 1965' --

Kemarin telah disampaikan kepada pembaca sekilas mengenai Peringatan yang diadakan oleh LPK-65 Nederland, berkenaan dengan Peristiwa Pembantaian masal 1965 terhadap warganegera RI yang tidak bersalah, oleh Jendral Suharto dan klik militernya. Berikut ini pembaca dapat mengikuti makalah yang diuraikan oleh sahabatku MD Kartaprawira, Ketua Umum Lembaga Pembela Korban 1965 - Nederland. Hematku, -- ini adalah salah satu uraian terbaik mengenai situasi HAM di Indonesia dewasa ini. MD Kartaprawira menggaris bawahi bahwa -- 'Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran HAM berat tersebut harus diselesaikan.'


Penekanan ini perlu sekali, mengingat masih agak umum pandangan bahwa bicara mengenai 'peristiwa 1965', perhatian terlalu dititikberatkan pada peristiwa 'Gerakan 30 September 1965' itu sendiri, ketika enam orang jendral AD dan seorang perwira menengah telah dibunuh. Kemudian dilanjutkan dengan cerita sekitar propaganda fitnah mengenai 'kekejaman-kekejaman' wanita-wanita Gerwani yang katanya melakukan kebiadaban terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh. Selanjutnya, dikaranglah cerita bahwa mata korban dicongkel dan kemaluan mereka disayat-sayat. Sudah lama terbukti tentang kebohongan sekitar 'kebiadaban wanita-wanita Gerwani' itu. Ternyata fitnah tsb adalah propaganda kebohongan belaka yang dilancarkan Jendral Suharto, sebagai awal dari kampanye pembantaian masal terhadap orang-orang PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Sobsi dll organisasi massa yang dianggap berafiliasi dengan PKI sert terhadap orang-orang Kiri lainnya pembela Presiden Sukarno.


Mengenai siapa dalang G30S itu adalah kasus yang masih terus diperdebatkan dan terdapat pelbagai variasi interpretasi. Tetapi suatu kenyataan ialah bahwa peristiwa ini telah dijadikan pemula dari pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, dengan tujuan menumbangkan Presiden Sukarno, serta menaikkan Jendral Suharto ke jabatan tertinggi negara.


Berikut ini uraian Ketua Umum LPK 65 Nederland, MD Kartaprawira:


* * *


SEMAKIN GELAP, JALAN KE KEBENARAN DAN KEADILAN

(Mengenang 42 Tahun Tragedi Nasional 1965 )


Amburadulnya sistim hukum peradilan HAM


Adalah sangat memprihatinkan bahwa telah berlalu 42 tahun tragedi nasional 1965 belum juga mendapat perhatian dari penyelenggara negara untuk menuntaskannya. Bagaimana pun kompleksnya masalah tragedi tersebut kita perlu memisahkan masalah-masalah lain yang bersinggungan dengannya. Pencampur adukan masalah-masalah yang sangat kompleks, hanya akan menambah ruwet benang yang sudah begitu ruwet untuk diuraikan. Akibatnya kita akan sukar menampilkan solusi tepat demi penegakan kebenaran dan keadilan.


Maka dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965 paling tidak ada 3 hal yang perlu ditegaskan:


Pertama, masalah siapa dalang G30S

Sampai dewasa ini belum tuntas pembuktian siapa dalang G30S. Dari literature-literatur yang sudah terbit terdapat bermacam-macam versi tentang dalang G30S: PKI/Aidit, Suharto, CIA-Dinas Intel. Inggris, Soekarno dll. Menurut pendapat saya siapa saja yang bersalah dalam peristiwa tersebut harus bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.


Kedua, masalah Pelanggaran HAM berat 1965 sendiri

Tidak tergantung siapa dalang G30S, dan lepas masalah G30S tuntas atau belum, pembunuhan massal dan pembuangan serta penahanan ribuan orang tanpa dibuktikan kesalahannya adalah pelanggaran HAM berat. Maka demi keadilan yang dijamin dalam UUD 45 masalah pelanggaran HAM berat tersebut harus diselesaikan.


Ketiga, masalah TAP MPRS No.XXV/1966

Adalah kesalahan besar menjadikan TAP MPR XXV/1966 sebagai dasar untuk menghalalkan pembantaian massal dan pembuangan/penahanan massal 1965-1967. Sebab TAP tersebut dengan jelas hanya menyatakan pembubaran PKI serta onderbouwnya dan pelarangan ajaran marxisme-leninisme, yang tidak dapat diartikan sebagai perintah pembantaian massal tersebut di atas. Bahkan kalaupun PKI terbukti bersalah, pembantaian massal dan semacamnya tetap tidak dapat dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan. Watak otoriter rejim Orde Baru berbeda seperti bumi dan langit dibandingkan dengan kebijakaan Soekarno, di mana ketika Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena terbukti tersangkut dalam pemberontakan PRRI-Permesta, toh tidak terjadi pembunuhan terhadap anggota-anggota kedua partai tersebut, apalagi pembantaian massal.


Pelanggaran HAM berat masa lalu (dari kasus pembantaian 1965 sampai kasus trisakti) adalah suatu fakta yang tak terbantahkan oleh siapa pun. Namun kasus pelanggaran HAM 1965 perlu digaris-bawahi berhubung korbannya berjumlah jutaan manusia -- dibunuh, disiksa, dibuang ke pulau Buru, dijebloskan ke penjara-penjara, dihilangkan tanpa diketahui di mana rimbanya dan yang di luar negeri dicabuti paspornya - yang semuanya dilakukan tanpa proses hukum. Tapi kenyataannya pelanggaran HAM berat masa lalu (1965) tersebut sampai saat ini tidak mendapat penyelesaian dari penegak hukum negara Indonesia yang berdasarkan UUD dinyatakan sebagai negara hukum.


Maka dari itu, seharusnya penyelenggara negara RI , terutama organ yudikatif, di era "reformasi" merasa malu besar atas ketidak-mampuannya berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat tersebut dan atas ketidak mampuannya membuktikan bahwa Indonesia negara hukum. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan UU Pengadilan HAM ad Hoc No.26 Tahun 2002 yang sampai detik ini tidak diterapkan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat berkaitan peristiwa 1965. Padahal pasal 43 menyatakan tentang berlakunya prinsip retroaktif terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Tapi mengapa kasus pelanggaran HAM berat 1965 tidak pernah diajukan ke pengadilan oleh kejaksaan?


Padahal kejahatan (pelanggaran) HAM berat 1965 bukanlah delik aduan, sehingga penuntutannya bisa dilakukan kejaksaan tidak tergantung dari adanya aduan pihak korban. Kenyataannya telah 42 tahun kasus tersebut diterbengkalaikan oleh penegak hukum, meskipun telah banyak dilancarkan kritikan di media massa dan tuntutan dari para korban mengenai kasus tersebut. Penegak hukum tetap membisu dan membuta. Apakah hal tersebut bukan tragedi hukum dan keadilan? Jawabnya tegas: Tragedi hukum dan keadilan. Pantaskah mereka disebut penegak hukum kalau nyatanya berperi laku mempertahankan impunitas? Jawabnya tegas: Tidak pantas!.


Penyelesaian di pengadilan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara fakta telah macet (atau sengaja dimacetkan?). Maka perlu direkayasa jalan keluar yang indah kedengarannya - Jalan Rekonsiliasi. Dengan Rekonsiliasi tersebut diharapkan ditemukan keadilan yang "menguntungkan" kedua belah pihak (pelaku dan korban), di mana pelaku mendapat amnesti - tidak dihukum, sedang korban mendapatkan rehabilitasi hak-hak politik-sipil dan kompensasi. Rekonsiliasi yang demikian intinya adalah suatu modus win-win - jalan kompromis dua kepentingan yang direkayasa dengan aroma machiavelistik untuk menyelamatkan impunity. Dengan dikeluarkannya UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sesungguhnya usaha penegakan keadilan sejati telah gagal. Sebab keadilan yang timbul adalah keadilan yang tidak utuh, di mana sebagian keadilan terpaksa harus dikorbankan untuk kompromi.


Berkaitan dengan masalah rekonsiliasi, timbul teori "transitional justice" (keadilan transisional), yaitu keadilan yang timbul dalam masa transisi dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi.


Tapi benarkah keadilan pada masa peralihan dari era diktatur-totaliter ke masa demokrasi mesti lahir dari rekonsiliasi, dan karenanya keadilan yang lahir dari rekonsiliasi tersebut suatu keadilan yang dikehendaki korban? Dari hal tersebut di atas penulis menolak teori transitional justice, di mana seakan-akan rekonsiliasi merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Sebab dalam apa yang dinamakan masa transisi tersebut tidak selalu timbul modus rekonsiliasi untuk mencapai keadilan. Contoh, pada masa transisi setelah rejim Nazi Jerman jatuh tidak diperlukan adanya rekonsiliasi. Tapi keadilan diwujudkan melalui pengadilan Neurenberg terhadap semua tokoh-tokoh Nazi. Bahkan sampai dewasa ini tokoh-tokoh Nazi yang masih bersembunyi terus dicari dan dikejar untuk ditangkap dan diadili. Tidak ada Rekonsiliasi sebagai modus timbulnya transitional justis. Begitu juga tidak ada rekonsiliasi terhadap Slobodan Milosovic dan tokoh-tokoh lainnya, yang masih terus dalam perburuan oleh pengadilan internasional Yugoslavia.


Memang kita perlu menyadari bahwa peta politik orde baru di Indonesia secara esensi belum berubah, meskipun Suharto sudah turun panggung. Sehingga penyelesaian ala pengadilan Neurenberg dan Pengadilan Yugoslavia tidak mungkin dilakukan. meskipun sudah dibentuk UU tentang Pengadilan HAM. Bahkan UU KKR yang demikian wujudnya pun sesungguhnya tidak diterima dengan lapang dada oleh "mayoritas" kekuatan politik. Hal itu tampak dari pembentukan dan pelaksanaan UU KKR yang tersendat-sendat , sampai akhirnya dibatalkan oleh Mahkmamah Konstitusi. Padahal UU KKR tidak sepenuhnya menjamin keadilan bagi para korban, hanya sebagai celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh para korban.


Kenyataannya rekonsiliasi yang machiavelistik tersebut hanya sebagai alat manuver politik orba dalam masa transisi untuk konsolidasi kekuatan dan memacetkan upaya menegakkan kebenaran dan keadilan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa UU KKR sesungguhnya bisa digunakan oleh para korban sebagai celah-celah untuk memperjuangkan keadilan tertentu.


Memang benarlah pepatah: kalau tidak ada nasi, singkong pun jadi. Para peduli HAM dan para korban (tidak semuanya) melihat realitas tersebut. Pengungkapan Kebenaran dan Penegakan Keadilan (pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi hak-hak sipil dan politiknya dll) dijdikan kunci menuju rekonsiliasi, sebagai sisi positif. Maka UUKKR tersebut diterima sebagai salah satu jalan yang relatif bisa memberi keadilan, lebih dari itu sukar untuk dicapai mengingat peta politik dewasa ini masih berjiwa orde baru.


Kemenangan yang identik kekalahan total


Seperti kita ketahui di dalam UUKKR yang lalu terdapat pasal-pasal yang merugikan kepentingan para korban, terutama Pasal 27 UUKKR di mana restitusi, kompensasi dll. bisa diberikan kepada korban kalau pelaku mendapat amnesti.


Seharusnya kalau kebenaran sudah terungkap: pelaku telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan minta maaf, maka korban otomatis harus mendapat restitusi-kompensasi-rehabilitasi, tidak tergantung adanya amnesti kepada pelaku. Pasal-pasal yang merugikan korban inilah yang oleh para LSM dan para korban diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review.


Tapi di samping itu terdapat kelompok lain yang juga mengajukan judicial review terhadap Pasal tersebut kepada MK. Mereka melihat bahwa Pelaku pun tidak mendapatkan kepastian hukum untuk mendapat amnesti, meskipun dia telah mengakui melakukan pelanggaran HAM dan telah meminta maaf atas perbuatannya. Sebab pemberian amnesti adalah hak presiden (setelah menerima pendapat DPR), yang mana belum tentu presiden memutuskan memberikannya. Jadi disimpulkan UUKKR tidak menjamin adanya kepastian hukum dan hal itu akan berakibat macetnya UUKKR secara operasional. Maka MK memutuskan UUKKR bertentangan dengan UUD 45 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.


Dengan pembatalan UUKKR keseluruhannya timbul pertanyaan: apakah MK tidak melakukan keputusan yang di luar apa yang dituntut oleh pemohon yudicial review? Jawabannya jelas: MK telah membuat putusan di luar tuntutan pemohon yudicial review. Putusan tersebut adalah cacat hukum, harus dianggap tidak sah, sebab melampaui batas apa yang menjadi tuntutan para pemohon judicial review. MK seharusnya hanya membatalkan pasal-pasal tertentu sesuai yang dimintakan untuk direview.


Hal tersebut sangat berbahaya sekali dalam sistem hukum di Indonesia. Apalagi keputusan MK adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, tidak ada instansi yuridis yang lebih tinggi berhak memeriksa dan mengontrol atas putusannya. Tidak salah orang mengatakan MK adalah diktator dalam sistem hukum di Indonesia.


Masalahnya, pembatalan UUKKR oleh Mahkamah Konstitusi tersebut menguntungkan atau merugikan korban?


Ternyata dengan pembatalan UU KKR timbangan menunjukkan siapa yang diuntungkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut: yaitu para pelaku pelanggaran HAM, bukannya para korban. Nasib sial telah menimpa para korban yang sesungguhnya hanya menginginkan supaya pasal-pasal tertentu yang merugikan kepentingannya saja yang dimintakan judicial review dan dibatalkan. Tapi Mahkamah Konstitusi justru membatalkan keseluruhan UUKKR. Pupuslah secercah harapan para korban untuk mendapatkan Kebenaran dan Keadilan. Dan gagallah hukum di Indonesia membela keadilan dan berlanjutlah untuk berapa tahun lagi para korban harus menanggung derita. Dengan demikian perjuangan untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan terpaksa harus dimulai dari NOL lagi.


Tidak salah kalau dikatakan bahwa keputusan MK tersebut kebablasan (atau memang ada rekayasa untuk didibablaskan?), meskipun dengan dengan alasan pro bono publico - untuk kepentingan umum, suatu klausul yang selalu dipakai penguasa dengan akibat kerugian bagi rakyat. Kalau mengingat peta politik Indonesia dewasa ini, maka dapat dipastikan bahwa jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan menjadi tambah lebih gelap dan lebih panjang sekali. Dan bertepuk tangan bahagialah para pelanggar HAM berat 1965.


Bom waktu Pasal 28(I) UUD 45 (Amandemen)


Tetapi masalah tersebut tidak berhenti di situ saja. Kekalahan total akibat pembatalan UU KKR tersebut para korban tragedy nasional 1965 masih menghadapi bayang-bayang "kekalahan" berhubung dengan dicantumkannya azas nonretroaktif dalam pasal 28 (i) UUD 45 (Amandemen). Tepatlah kalau Pasal 28 (i) tersebut dikatakan sebagai bom-waktu yang meledak pada waktu yang mereka tentukan.


Bahkan ditegaskan dalam pasal tersebut bahwa pemberlakuan asas non-retroaktif adalah suatu pelanggaran HAM. Asas non-retroaktif adalah suatu ketentuan imperatif dalam konstitusi yang tidak dapat dilanggar. Jadi berdasarkan pasal 28 (i) UUD 45 kasus-kasus pelanggaran HAM yang timbul sebelum pasal tersebut timbul (berkaitan Peristiwa 1965, Tanjung Priok, Jalan Diponegoro, Semanggi dan lain-lainnya) secara yuridis tidak dapat diadili (Lih. MD Kartaprawira "Gelapnya Jalan Menuju ke Kebenaraan dan Keadilan".*).


Banyak orang masih berilusi dan bermimpi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc berdasarkan Pasal 43 ayat 1 yang memberlakukan asas retroaktif. Mereka tidak menyadari(tidak tahu atau tidak mau tahu) bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 45 (Amandemen), yaitu Pasal 28(i). Jadi kalau sampai kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu diproses di pengadilan, maka pelaku pelanggaran HAM (cq. advokatnya) tentu akan melakukan pembelaan berdasarkan asas non-retroaktif dalam pasal 28(i) UUD 45. Bahkan kalau keputusan pengadilan memenangkan korban, pelaku pelanggaran HAM akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dan Mahkamah Konstitusi tentunya akan membatalkan UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM ad hoc, setidak-tidaknya Pasal 43 ayat 1, yang memberlakukan asas retroaktif, sebab jelas bertentangan dengan UUD 45. Jadi Pasal 28(I) UUD 45 tersebut praktis merupakan bom waktu yang akan meledak untuk membumi hanguskan tuntutan korban pelanggaran HAM berat masa lalu baik di pengadilan, maupun di Mahkamah Konstitusi sebagai putusan judicial review. Perlu ditekankan, baik pengadilan biasa maupun pengadilan ad hoc tidak boleh bertentangan dengan UUD 45 - pasal 28 (i). Jadi apabila Pasal 28(i) tidak dirubah (seperti yang saya usulkan dalam artikel "Gelapnya jalan menuju ke Kebenaran dan Keadilan") dengan menambah klausul "kecuali pelanggaran HAM berat yang diatur selanjutnya dengan UU", maka kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara yuridis tidak mungkin bisa diselesaikan melalui pengadilan.


Tapi masalah Pasal 28 (i) UUD 45 tersebut sejak dari Rancangan Amandemen UUD 45 sampai disahkannya sebagai pasal resmi bagian UUD 45 oleh para peduli HAM dan para pakar hukum tidak (kurang sekali) dijadikan obyek bahasan serius. Padahal implikasinya terhadap sistem hukum di Indonesia besar sekali, sehingga impunity tetap tidak mendapat gangguan sedikitpun, dan pelaku pelanggaran HAM berat terus tidur nyenyak dan jalan leha-leha ke mana mau. Nah mengapa terjadi demikian?


Dalam masalah penuntasan pelanggaran HAM berat 1965 tampaknya digunakan skenario sandiwara siluman lihai, di mana korban akan selalu kalah:


Ada UU Pengadilan HAM, tapi kasus pelanggaran HAM berat 1965 tidak pernah diproses, sengaja dimacetkan.

Kalau akhirnya kasus tersebut diproses juga di Pengadilan HAM, maka akan diruntuhkan dengan memakai Pasal 28 (i) UUD 45 oleh MK atas permohonan yudisial review oleh pelaku.

Karena penyelesaian melalui Pengadilan HAM sudah dimacetkan, maka dibuatkanlah UU KKR yang juga di-setting untuk macet pula, karena banyak kelemahan. Makanya MK dengan mudahnya membatalkan UU KKR. Nah, korban terus menerus kalah.


Yang perlu kita perjuangkan saat ini:


Jangka panjang:

Dengan ulet dan tegas memperjuangkan perubahan peta politik yang sampai dewasa ini masih bermental orba - anti HAM dan demokrasi -- menjadi peduli HAM dan demokrasi sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian Pancasila tidak hanya di bibir saja, tapi diwujudkan dalam perbuatan konkrit dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Inilah yang perlu dengan sadar diperjuangkan seluruh rakyat Indonesia, apalagi kita sudah tidak mempunyai Soekarno, sedang orang-orang seperti Mandela, Chaves, Moralis belum nampak di kancah perpolitikan di Indonesia.


Jangka pendek:

Sebelum UU KKR yang baru terbentuk, maka presiden harus segera mengeluarkan "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) tentang KKR" dengan memperhatikan Keputusan Mahkamah Konstitusi agar wacana KKR bisa menjadi kenyataan dan berfungsi menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Inilah celah-celah legal dan jalan singkat yang mungkin bisa diperjuangkan secara riil.


Sebab kalau menunggu dibentuknya Undang-undang tentang KKR tentu membutuhkan waktu panjang bertahun-tahun.

Di samping mengeluarkan PERPU tentang KKR, Presiden sebagai pemegang hak prerogative tentang pemberian amnesty, harus juga mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pemberian amnesti umum kepada para pelaku yang telah dengan jujur mengungkap dan mengakui bersalah melakukan perbuatan melanggar HAM dan menyatakan minta maaf kepada korban di dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan demikian proses dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan berjalan baik.


Masyarakat peduli HAM, demokrasi dan keadilan terutama lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam masalah HAM, harus proaktif mendukung segala upaya tentang terbentuknya PERPU KKR dan kemudian UU KKR.



Dengan pengalaman keputusan MK berisi pembatalan UU KKR kiranya para korban dan beberapa LSM perlu mawas diri dan berpikir ulang agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa mendatang. Untuk itu diperlukan kecermatan yang mendalam, sehingga tuntutan-tuntutannya tidak menjadi boomerang terhadap diri sendiri yang merugikan secara total (contoh: Putusan MK).


Nederland 30 September 2007,

*) Ketua Umum Lembaga Pembela Korban '65, Nederland.


* * *




No comments: