Friday, May 28, 2010

“HASTA MITRA” INSPIRATOR PERGERAKAN . .

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Senin, 24 Mei 2010

-------------------------------------------


HASTA MITRA” INSPIRATOR PERGERAKAN PEMUDA


TANGAN SAHABAT” – '”HASTA MITRA” Dalam Kenangan. Demikian sebuah judul ulasan Tempo Online, 26 April 2010. Liputan Tempo itu adalah tentang pertunjukan film yang berdurasi 38 menit. Dipertunjukkan dalam rangka memperingati Ultah Ke-30 HASTA MITRA, yang lahir dibawah kekuasaan rezim otoriter Orba, pada bulan April 1980.


Para pendiri HASTA MITRA – Jusuf Isak, Hasyim Rachman dan Pramudya Ananta Tur, semuanya sudah tiada. Kebetulan kukenal dari dekat ketiga-tiga pejuang KEBEBASAN BERFIKIR , KBEBASAN BERKESPRESI dan KEBEBASAN PERS itu. Persis seperti dilukiskan dalam film dokumenter tsb. Mereka-mereka itu adalah pejuang-pejuang tangguh dan berani. LUAR BIASA BERANI dan penuh insiatif serta kreatif. Tak pernah 'jera' meskipun keluar masuk penjara penguasa. Tak takut susah payah, tak kenal lelah. Tak takut berkorban demi cita-citanya!


Mereka-mereka itu benar-benar adalah pejuang teladan bagi generasi muda. Adalah pejuang bangsa, pemikir pencerah-pencecrah yang tak kenal lelah, tak kenal takut pada penguasa bengis Orba. Jasa-jasa sumbangsih mereka pada bangsa tak akan bisa dihapuskan dari sejarah perjuangan emansipasi bangsa ini.


Cocok sekali apa yang dikatakan Wilson, aktivis PRD: Buku-buku terbitan Hasta Mitra menginspirasi pergerakan pemuda. "Menjadi ikon dan membangkitkan semangat kaum muda,"


Sejarawan Aswi Warman Adam, pas sekali meyatakan: Hasta Mitra adalah perusahaan penerbitan yang melakukan perlawanan. "Dia melawan dengan menerbitkan tanpa peduli berapa kali dilarang," katanya. Buku-buku yang diterbitkan, menurut dia, hampir menghasilkan pemenang Hadiah Nobel, sehingga Hasta Mitra bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia


* * *


Bagaimana selanjutnya dengan HASTA MITRA yang telah membuat cemerlang dan harum nama bangsa, dalam sejarah perjuangan emasipatoar nasion. Itu menjadi kepedulian generasi dewasa ini. Betapapun, cita-cita perjuangan yang dirintis pendiri-pendiri HASTA MITRA dan rekan-rekan seperjuangannya 30 tahun yang lalu akan tetap menyuluhi dan menyemangati generasi muda.


Di bawah ini dipublikasikan ulang (siaran GELORA45.COM hari ini) tulisan wartawan Tempo, RINI KUSTIANI, sekitar pertunjukan film dokumenter TANGAN SAHABAT DALAM KENANGAN, sbb:


* * *


Tangan Sahabat dalam Kenangan

LEBIH dari lima puluh orang khusyuk menyimak film berdurasi 38 menit yang disemprotkan pada sebuah layar putih. Tanah becek dan udara lembap setelah hujan turun tak menyurutkan para tamu hadir dalam perayaan 30 tahun penerbit Hasta Mitra di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa petang pekan lalu.


Film berjudul Pikiran Orang Indonesia itu mengisahkan perjalanan hidup Joesoef Isak yang tak lepas dari Hasta Mitra. Perusahaan penerbitan yang berdiri sejak April 1980 ini digagas tiga eks tahanan politik,

Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer, dan Hasjim Rachman. Gagasan mendirikan perusahaan percetakan dicetuskan Hasjim ketika masih di Pulau Buru. Ketika mantan Pemimpin Redaksi Bintang Timur ini membaca hasil karya Pram, dia mendatanginya dan meminta izin suatu saat akan menerbitkan tulisan-tulisannya. Pramoedya menyetujui. Ketiganya bertemu setelah Pramoedya dan Hasjim keluar dari Pulau Buru pada 1979.


Nama Hasta Mitra disematkan Pramoedya, yang artinya "tangan sahabat".
Penerbitan ini menjadi wadah penyaluran karya eks tahanan politik yang pada saat itu sulit mendapatkan pekerjaan. Dari semua tulisan yang diterbitkan, yang paling laris adalah hasil karya Pramoedya selama di Pulau Buru.

Cerita bagaimana mengamankan naskah-naskah Pramoedya menarik disimak.

Tumiso ditugasi membawa sekarung buku yang ditulis Pramoedya selama di Pulau Buru. Ketika ia hendak masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Magelang, pria yang kini berusia 71 tahun itu pura-pura sakit supaya buku-buku tersebut selamat dari sitaan petugas. Walhasil, buku-buku Pramoedya dapat disebarluaskan.

Dimulai dengan modal seadanya, rumah Joesoef Isak di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan, disulap menjadi kantor Hasta Mitra. Peralatan kerja pun serba terbatas, hanya ada satu mesin ketik listrik yang digunakan Pramoedya dan Joesoef secara bergantian.


Bumi Manusia, terbitan pertama Hasta Mitra pada 1980, memecahkan rekor penjualan buku, 5.000 eksemplar ludes dalam tempo 12 hari. Keberhasilan ini menarik minat investor, salah satunya Bank Negara Indonesia, untuk turut membantu menyuntik modal. Namun tawaran itu sirna setelah Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 052/JA/5/81 tanggal 29 Mei 1981, yang melarang penyebaran buku-buku berbau komunisme dan Marxisme. Pendek kata, semua terbitan Hasta Mitra yang juga karya Pramoedya dilarang, seperti Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Pelarangan itu tak menciutkan nyali Hasta Mitra untuk kembali menerbitkan buku. "Kalau terbit satu dilarang, kami terbitkan lagi, dilarang, ya terbitkan lagi," kata Hasjim Rachman dalam film. Untuk menyiasati pelarangan tersebut, Joesoef bersiasat buku-buku diterbitkan pada Jumat agar memiliki waktu dua hari untuk disebarkan sebelum tiba Senin, ketika kantor kejaksaan kembali buka.

Pelarangan demi pelarangan mengakibatkan kondisi keuangan Hasta Mitra tak menentu. Karyawan perusahaan yang semula mencapai 20 orang mulai diberhentikan satu per satu. Budi Asni, istri Joesoef, mengatakan dirinya berduka selama ada Hasta Mitra. "Bagaimana bapak-bapak ini, sudah tahu buku dilarang, kok diterbitkan lagi," keluhnya. "Lalu dari mana duitnya?"

Asni mengatakan suaminya kadang meminjam uangnya dan belum dikembalikan hingga kini. "Yang penting buku ini terbit dan dibaca orang," ujar Asni menirukan kata-kata suaminya. Setali tiga uang, nasib perhiasan istri Hasjim Rachman, Teti Thairani, juga digadaikan dan belum ditebus. Setiap kali ditanya, Hasjim hanya menjawab, "Tenang sajalah."


Selain itu, kekhawatiran jika sang suami sampai ditahan lagi terus membayangi.
Selama rezim Soeharto, metode pemasaran buku terbitan Hasta Mitra dilakukan sembunyi-sembunyi. Soegeng, kepala bagian pemasaran, mengatakan tidak ada toko buku yang mau menjual buku terbitan Hasta Mitra karena takut. "Jadi saya jual door to door," kata pria yang mengenyam pendidikan sampai kelas dua sekolah menengah pertama ini. Selain itu, dia menjual buku di kampus-kampus dalam acara diskusi.
Pelarangan buku ini juga memakan korban.


Tiga mahasiswa di Yogyakarta dibui karena menyimpan dan menyebarluaskan buku-buku Pramoedya. Mereka, Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naipospos, diadili dengan pasal-pasal antisubversi. Bonar mendapat hukuman
paling berat, yakni delapan setengah tahun penjara lantaran dituduh sebagai aktor intelektual dalam distribusi buku Pramoedya. Subono dan Bambang Isti dihukum enam tahun penjara.

Sampai rezim Soeharto tumbang, buku karya Pramoedya tadi tak dicabut larangan edarnya. Begitupun dengan beberapa buku terbitan Hasta Mitra lainnya, salah satunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto yang ditulis John Roosa, yang dilarang pada akhir 2009.


Pada Juni 1999 Hasjim meninggal akibat kanker. Pembagian tugas yang semula, Pramoedya menulis, Joesoef menyunting, dan Hasjim mencari modal usaha, berubah. Pramoedya tetap menulis, sisanya ditangani Joesoef. Pembagian tugas ini tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Pramoedya mendapati karya-karyanya dibajak. Akhirnya dia memutuskan melepaskan "saham"-nya di Hasta Mitra (baca "Memilih Berpisah").


Hasta Mitra akhirnya dipegang Joesoef seorang.
Hingga akhir hayatnya, pada Agustus 2009, tak ada pesan apa pun yang ditinggalkan mengenai usaha penerbitan yang bukunya paling banyak dilarang beredar ini. "Kami belum tahu bagaimana kelanjutannya," kata Asni. Alasannya, kata dia, sejak suaminya meninggal, tidak ada kegiatan apa pun di Hasta Mitra.

Sejumlah naskah juga masih tertumpuk di ruang kerja Joesoef.
Lalu bagaimana Hasta Mitra selanjutnya? Putra sulung Hasjim Rachman, Johan Teranggi, angkat bicara. Sebulan sebelum Joesoef wafat, dia dimintanya meneruskan bisnis penerbitan itu. Namun Johan mengatakan enam anak Hasjim sudah sepakat untuk tidak melanjutkan perusahaan itu. "Saya hormati Hasta Mitra sebagai wadah tempat mereka berkiprah," katanya. Putra bungsu Joesoef, Desantara, juga tak tahu bagaimana nasib Hasta Mitra selanjutnya. "Ini terlalu berat karena buku-buku itu tidak mendatangkan profit," ujarnya.


Bagi sejarawan Asvi Marman Adam, Hasta Mitra adalah perusahaan penerbitan yang melakukan perlawanan. "Dia melawan dengan menerbitkan tanpa peduli berapa kali dilarang," katanya. Buku-buku yang diterbitkan, menurut dia, hampir menghasilkan pemenang Hadiah Nobel, sehingga Hasta Mitra bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia. Adapun Wilson, aktivis Partai Rakyat Demokratik, mengatakan buku-buku terbitan Hasta Mitra menginspirasi pergerakan pemuda. "Menjadi ikon dan membangkitkan semangat kaum muda," katanya. Hasta Mitra mungkin masih tetap menunggu uluran tangan sahabat yang lain.

Rini Kustiani


* * *

No comments: