Friday, May 28, 2010

*YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS SRI MULYANI

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Jum'at, 28 Mei 2010*

*----------------------------*

*YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS Mantan MENKEU SRI MULYANI INDRAWATI*

Sri Mulyani Indrawati, mantan Menkeu RI, beberapa bulan belakangan
ini --- menjadi fokus pemberitaan media di Indonesia. Namanya
dikaitkan, bahkan dianggap ikut bertanggungjawab dengan kasus
(manipulasi) di Bank Century. Begitu ramainya masalah ini menjadi
berita dan komentar, tetapi ketika ia 'mundur' dari jabatannya
sebagai Menkeu atas ''kemauannya sendiri”, -- 'hiruk-pikuk' itu
tiba-tiba mereda dan 'cep' tidak ada ceritanya lagi. Orang Belanda
ada ungkapan khas untuk kejadian 'rame-rame' sekitar Sri Mulyani.
Itu sperti 'Storm in een glas water'. 'Taufan dalam segelas air'.
Tetapi apa sih pasalnya? Untuk kasus seperti itu, ada juga
ungkapan Belanda: “Helder als koffie-dik” – “Jernih seperti kopi
yang kental”.


Tetapi, -- apakah kasus Sri Mulyani itu memang benar “Storm in een glas water”? Dan apakah betul 'Helder als koffie-dik?”.


Mengikuti berita-berita sekitar kasus Sri Mulyani dan tindak-tanduknya sebagai Menteri Keuangan RI selama kurang lebih 5 tahun belakangn ini, rasanya kok tak tampak tanda-tanda bahwa Sri Mulyani sebagai Menkeu melakukan korup, memanipulasi uang negara atau bertindak sebagai seorang 'nepotis'. Tak pernah ada kedengaran ada saksi ataupun bukti-bukti mengenai hal itu. Jadi, -- apa soalnya? Kok begitu ribut sekitar Sri Mulyani?


Kutanyakan kesana-kemari. Terutama kepada relasi yang punya pengetahuan ekonomi dan keuangan. Di beberapa s.k. Indonesia juga di luar Indonesia, tampaknya tokoh Sri Mulyani diebut sebagai Menkeu RI, -- dikatakan bahwa ia seorang REFORMIS. Yang punya rencana dan program serta mulai melaksanakannya sekitar PEMASUKAN PAJAK. Ketika Sang Menteri mulai bertindak dengan kebijaksanaan tsb ada sementara kalangan bisnis kakap Indonesia yang 'TERKENA'. Ini menimbulkan kemarahan dari kalangan tsb. Inilah tampaknya yang jadi 'asal-muasal' ramé-ramé ingin menyeret ke pegadilan atau mendongkel Sri Mulyani dari jabatannya yang strategis itu.


Kalau masalahnya adalah maksud kalangan elite tertentu untuk mendongkel (dan sudah berhasil) Sri Mulyani dari jabatannya dan menggantikannya dengan pejabat yang tidak 'berani-berani' mengutak-atik kepentingan kalangan bisnis/politikus yang 'powerful' tsb, maka ungkapan ' storm in een glas water' tsb kurang sesuai adanya.


Melihat, suasana perpolitikan Indonesia begitu cepat mereda sesudah Sri Mulyani 'turun tachta' dan pindah ke Washington, – – – kiranya kuatlah alasan yang menyatakan bahwa 'ramé-ramé' itu, soalnya ialah UNTUK MENYINGKIRKAN Sri Mulyani dari Kementerian Keuangan. Ada sementara elit bisnis/poltikus kakap yang merasa risih 'borok-boroknya' akan terungkap selama Sri Mulyani masih Menkeu RI.


* * *


Dua orang terkemuka di Indonesia: – – – Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, budayawan *GOENAWAN MOHAMMAD*, -- dan publisis/penulis, mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, *WIMAR WITULAR*, angkat bicara. Goenawan Mohammad bicara dan Wimar Witular menulis.


Dalam respons mengenai pidato Goenawan Mohamma/d, sudah kusampaikan kepadanya, al : “Esay Bung itu bagus. Aku senang membacanya. Karena ditulis dengan lugu dan berani. 'Apa adanya'! To call a spade a spade!”


Sebagai bahan petimbangan hari ini kupublikasikan di ruangan ini, esay Goenawan Mohammad berjudul *MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI*. Dari tulisannya Goenawan Mohammad menujukkan bahwa ia kenal siapa Sri Mulyani. Pada malam perpisahan ia mengucapkan kata-kata perpisahan berikut ini:


* * *
/ /
//
*MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI*

/
/ /

/ MALAM ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani. /

/ Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, /
/ kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi /
/ tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah". /

/ Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah". /

/ Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke /
/ Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu /
/ tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia /
/ akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita /
/ bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita-bukan "kita" /
/ sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari /
/ "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa /
/ melupakan dia. /

/ Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa /
/ ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani /
/ menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. /
/ Satu hal yang bisa dimaklumi. /

/ Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. /
/ Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya /
/ maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan /
/ ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan-sebuah metode yang /
/ dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi. /

Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.

Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat.
Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase
berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak
yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak
yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan
agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang
diganggu akan selanjutnya diproteksi.

Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang
kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan
bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para
pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang
dipertaruhkan-dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan
didapat.

Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau
protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya
posisi kekuasaan.

Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang
harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri
Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus
Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui
media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan
Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan
agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia
oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan.
Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil
presiden.

Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah
asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak
bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden,
yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi
karena direcoki terus-menerus.

Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani
dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah.
Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan
yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan,
perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu
dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas
tampak terjamin. Presiden lega.

Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi
sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia
meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya
dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia
berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa
didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan
kehormatan dirinya.

Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela
dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.

TAPI saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari
rasa risau.

Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena
merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng,
terguncang-harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih.
Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya
kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.

Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah
berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam
demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara
kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli
keputusan-bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar
yang bernama "korupsi" itu?

Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap
suci-yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui
reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita
punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan
sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan.
Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih
sekuat dulu.

Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin
melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun
persoalannya, masih mampukah dia?

Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani
dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya
bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah
Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan
aparatnya-sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang
mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.

Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri
Keuangan yang tangguh ini.

Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya
dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan
sendirinya seorang yang lemah.

Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali
yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik
yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang
kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia
Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan
dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang
tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.

Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?

Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh;
mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan
Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.

Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus
Senayan-terutama para pencari dan penadah suap-mencoba membuat KPK
lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme
politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.

Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet
menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis
tertentu-ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan
penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat
kabinet dan DPR sekaligus.

Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme
kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme,
parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.

Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono
gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan
terjadi adalah hilangnya sebuah momentum-yakni momentum gerakan
nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah
panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.

Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi.
Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang
tak habis-habis.

Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan
mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen
atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa
diperbaiki lagi-yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap
saling percaya dalam masyarakat.

Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma
uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami
tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain
yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi
yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan
sinisme-dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.

Sinisme ini racun-dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat
sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.

Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri
Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.

Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit,
tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu
sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme
yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit
kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut
batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah,
tubuh jatuh, dan semangat terguncang.

Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan
bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita
merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah-dan dalam
pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah.
Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita
buat Indonesia. Selama kita ada.

Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan
penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia,"
itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian
Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.

Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan
pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah
kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam
ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan:
"You shall return."

*- Pidato pada malam perpisahan dengan Sri Mulyani Indrawati, di
Jakarta, 19 Mei 2010*

------------------------------------------------------------------------

------------------------------------------------------------------------



No comments: