Monday, May 10, 2010

“*Mijn Vriend SUKARNO” - Bg 3

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita*

*Senin, 10 Mei 2010*

*------------------------------------------*


“*Mijn Vriend SUKARNO” – Willem Oltmans *

**


Bagian – 3 dari tulisan berjudul “Mijn Vriend Sukarno, Willem Oltmans,”
mengisahkan episode, a.l sbb:


Pemilu pertama setelah jatuhnya Suharto: PDI-P yang diketuai Megawati
Sukarnoputri, menggondol kemenangan. Sehingga dianggap wajarlah Megawati
menggantikan Presiden Habibie jadi peresiden pertama hasil pemilu
pasca-Suharto. Tetapi hal itu tidak terjadi. Yang jadi Presiden RI
setelah pemilu, adalah Abdurrahman Wahid dari PKB. Janggal sekali.
Terasa sangat tidak adil. Mega tidak jadi presiden; itu dianggap tidak
wajar dan tidak adil. Karena, bukankah jumlah kursi yang diperoleh PDI-P
jauh lebih besar ketimbang jumlah kursi PKB yang dipimpin Abdurrahman
Wahid?


Megawati gagal meraih kursi Presiden RI, meskipun PDI-P di bawah
pimpinannya adalah pemenang dalam pemilu. 'Kejanggalan' ini bisa
terjadi, karena pendukung-pendukung Orba, terutama dari kalangan
militer, polisi, media dan birokrasi, masih punya pengaruh besar. Mereka
punya tali-menali erat dengan kekuasaan riil. Mereka menentang keras
Megawati Sukarnoputri, putri pertama mantan Presiden Sukarno ini,
menjabat Presiden RI. Macam-macam alasan rekayasa dan reka-rekaan yang
diajukan. Golongan Islam a.l menguar-uarkan bahwa menurut ajaran Islam
wanita pantang memimpin negara. Golkar, 'anak-kandung' Suharto yang
merupakan pendukung utama Orba, mengisukan bahwa Megawati hanyalah
seorang 'ibu rumah tangga' belaka yang tak tamat universitas. Tidak
punya titel apapun. Lagipula 'bodoh'. Begitu dikampanyekan.



Dari sumber yang amat bisa dipercaya diperoleh informasi, bahwa kalangan
militer dan polisi, seperti halnya kalangan parpol dan birokasi, amat '
k h a w a t i r ' PDI-P dan Megawati akan melakukan ' b a l a s d e n d
a m ' terhadap mereka, bila ia menjadi Pesiden RI.


*Masih segar dalam ingatan masyarakat, bahwa Mega adalah satu-satunya
tokoh parpol (PDI) di kala Suharto masih jaya-jayanya, berani
berhadap-hadapan dengan Suharto*.* Bahkan berani menyatakan, bila
dikehendaki rakyat, ia bersedia menggantikan Presiden Suharto. Mereka
ingat betul bagaimana Suharto, termasuk mereka-mereka itu melakukan
segala sesuatu untuk menggembosi pengaruh Mega dan PDI ketika itu.
Tetapi gagal!*


Namun, mereka berhasil menjegal Megawati. Sehingga ia hanya memperoleh
jabatan sebagai wakil Presiden. Tidak bisa difahami? Tokh suatu
kenyataan! Itulah logika 'kasak-kusuk' dan 'permainan politik' kalangan
berkuasa ketika itu.


* * *


Willem Oltmans, yang yakin amat mengenal Presiden Sukarno, fikran dan
misinya, punya pendapat tersendiri mengenai Megawati. Oltmans
beranggapan bahwa dari keturunan Bung Karno, terutama adalah Sukmawati
Sukarnoputri, yang benar-benar mengkhayati misi dan ajaran Bung Karno.


Menurut Sukmawati warna politik dan arah yang ditempuh Megawati dan
PDI-P tidak 'nyambung' dengan ajaran Bung Karno. Maka, bersama Ny.
Supeni, tokoh PNI, mantan Dubes Berkeliling Luar Biasa RI periode
Presiden Sukarno, -- Sukmawati membentuk PNI baru. Tetapi karena
organisasinya masihlemah dan kekurangan dana, PNI baru tsb tidak
berhasil memperoleh satu kursipun dalam pemilu 1999.


Andaikata Megawati berkesempatan menanyakan kepada Bung Karno apakah
beliau setuju Mega menjabat sebagai presiden, maka, menurut Willem
Oltmans, Presiden Sukarno akan memberikan jawaban negatif. Menurut
pandangan Oltmans, sejak 1965, tidak ada satupun di Indonesia, yang
benar-benar tampil membela Bung Karno. Yang oleh Suharto dan media
Barat, telah 'dihabisi'.


Oltmans melihat bahwa Megawati Sukarnoputri tidak mengkhayati semangat
dan jiwa Bung Karno serta ajarannya. Tulis Oltmans a.l : Di Bandung saya
mendengar sendiri Mega berpidato di suatu rapat umum yang dihadiri
ratusan ribu orang (21 Mei 1999). Mega tidak sekalipun menyebut nama
bapaknya. Padahal semua tau bahwa Megawati Sukarnoputri bisa tampil di
situ, semata-mata berkat Bung Karno. Bila mendengarkan pidato Bung
Karno, hadirin merasa sang pemimpin menyatu-hati dan semangat dengan
massa. Mega lain. Ia tidak bicara panjang. Pada akhir pidatonya
tiba-tiba Mega menyatakan: “Saya segera harus ke Sukabumi dan Bogor”.
Mega tidak meyakinkan orang. Sehingga pada saya timbul kesan bahwa Mega
datang ke rapat umum itu, seolah orang yang sedang mengadakan turné
dalam rangka meraih suatu jabatan. Yaitu jabatan presiden. Demikian
Oltmans.


* * *


Cerita ini diakhiri dengan kesan dan tanggapan Willem Oltmans mengenai
Hartini Sukarno. Suatu kesan dan pendapat yang kurang sedap didengar
mengenai Hartini Sukarno.


Juga setelah 1973, bertahun-tahun lamanya saya berkorespodensi dengan
nyonya Hartini, demikian Oltmans. Hartini bercerita mengenai keluarganya
dan sering mengirimkan foto-foto tentang dia sendiri, tentang perkawinan
putra-putranya dll. Dalam tahun 1994 “perasaan-gampang-memberi-maaf
orang Jawa”, tampaknya telah berdominasi pada dirinya. Hartini
mengatakan kepada saya, kata Oltmans, bahwa seharusnya saya lebih ramah
berfikir dan bicara tentang Suharto. “Karena, Wim”, kata Hartini pada
saya, “Suharto adalah orang baik”.


Saya sungguh terperanjat mendengar kata-kata Hartini itu. Saya nyatakan
kepada Hartini: “Suharto telah membunuh Bung Karno!”


Sejak itu saya tidak lagi mau bertemu dengan Hartini. Biarkanlah saya
berreaksi seperti Belanda. 'Perasaan-gampang-memberi maaf', belum sampai
begitu jauh pada diri saya. Sekarang tidak, dan kapanpun tidak!

Saya tidak malu. Saya marah!





* * *

No comments: