IBRAHIM ISA
Sabtu, 01 Oktober 2011
-------------------------------
IN MEMORIAM
HELLA S. HAASSE -- PENULIS TERKEMUKA BELANDA
Jum'at kemarin, 30 September, 2011, telah meninggal di Amsterdam, Hella S. Haasse <1918 – 2011>, sastrawan terkemuka Belanda. Karya novel debutnya “OROEG” (1948), yang mengisahkan hubungan Belanda – Indonesia, menjadi novel Hella Haasse yang paling populer di Belanda, dan amat disukai oleh murid-murid sekolah Belanda. “Oeroeg” telah DIFILMKAN pada tahun 1993. Karya Hella Haase OROEG merupakan pendobrakan dalam kehidupannya sebagai sastrawan.
Untuk mengenangkan HELLA S HAASSE dan sedikit menceriterakan kaitannya dengan Indonesia, tempat kelahirannya, di bawah ini dimuat tulisan yang pertama kali disiarkan Kolom IBRAHIM ISA , 26 dan 29 Oktober 2009.
* * *
JEMBATAN Hubungan Baik INDONESIA – NEDERLAND
Propaganda voor het Nederlandse Boek> di Nederland melangsungkan kampanye yang
diberi nama 'NEDERLAND LEEST'. 'Nederland Membaca'. Tujuannya jelas. Supaya
masyarakat Belanda yang memang punya kultur suka membaca (ya dirumah, di kereta
api, di metro atau di bus), semakin digalakkan semangat suka membaca itu. Tak
lain untuk memperluas cakrawala dan meningkatkan taraf budaya dan pengetahuan
rakyat Belanda.
Yang menarik ialah: Buku yang khusus diterbitkan dan kemudian dibagikan gratis
kepada para anggotanya di perpustakaan-perpustakaan, -- adalah roman penulis
Hella S Haasse, berjudul 'OEROEG'. Juga secara luas diputar kembali film
'Oeroeg' yang dibuat atas dasar novel 'Oeroeg'. Mengapa justru buku Hella S
Haasse yang diangkat? Jelas, bukannya karena Haasse (91th) adalah penulis tenar
yang kelahiran Batavia (Jakarta sekarang).
Kiranya ada latar belakang lain yang positif. Bisa dirasakan adanya maksud untuk
memajukan lebih lanjut hubungan kebudayaan dan persahabatan antara Nederland dan
Indonesia. Mengajak rakyat Belanda berusaha memahami periode sejarah menyangkut
'konflik' Indonesia-Belanda ketika itu. Buku itu bukan sebarang roman. Yang
dikisahkan menyangkut persahabatan dua 'bocah': Indonesia dan Belanda, pada
zaman kolonial tempo doeloe. Selanjutnya, kisah bagaimana jadinya kemudian
dengan persahabatan antara dua pemuda tsb OEROEG dan JOHAN.
Saat kritik dalam perjalanan pesahabatan mereka tiba ketika Oeroeg dan Johan
memasuki periode Revolusi Agustus, periode perang kemerdekaan. Menurut pemahaman
politik kolonial Den Haag ketika itu, periode itu adalah saat Nederland 'menoto
kembali daerah seberang lautan'-nya, Hindia Belanda. Tetapi bagi kita, periode
itu adalah periode perang kemerdekaan melawan kolonialisme Belanda. Kita
mati-matian mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan Sukarno-Hatta
(1945). Belanda keras kepala dua kali melancarkan perang kolonial (1946-1949)
untuk memulihkan koloni tempo dulunya .
Philip Freriks, seorang jurnalis kawakan Belanda, dan Ambasador Untuk Kampanye
'NEDERLAND LEEST', menulis kesannya mengenai roman 'Oeroeg' a.l. sbb: 'Ketika
saya baca 'Oeroeg' dulu sekali, yang diceriterakan itu adalah mengenai
persahabatan yang berakhir dengan pepisahan. Sekarang saya merasa terutama roman
itu bicara mengenai hadirnya sejarah dalam cerita itu. Menantang, tak
terhindarkan, tragis. Bukan karena fakta-fakta dan tahun-tahun ketika itu
terjadi. Tetapi, mengenai pengalaman dan perasaan dua manusia dari kultur yang
berbeda, Nederland dan Indonesia.'
'Penulis-penulis besar bisa melakukannya, mengikatkan yang bersifat pribadi
dengan yang bersifat kemasyarakatan, antara sejarah kecil dengan sejarah besar.
Hella S Haasse adalah penulis yang punya kemampuan demikian itu. Itulah yang
menyebabkan 'Oeroeg' cocok sekali untuk kampanye 'NEDERLAND LEEST'. Saya
menantikan dengan penuh harapan dan kegembiraan semua pembicaraan dan diskusi
yang dilangsungkan sekitar 'Oeroeg'.
Budayawan terkenal Belanda, Willem Nijholt (kelahiran Indonesia), dalam
pidato-pujian terhadap Hella S Haasse dan bukunya 'Oeroeg', menyatakan a.l: Saya
baca buku itu dan segera berkesan -- buku tsb kuat sekali, selalu lebih indah.
Juga, karena semakin dikenal begitu banyak mengenai persahabtan semasa muda
mereka. . . . (Oeroeg dan Johan) dengan perasaan yang tak enak saya baca habis
buku itu. Sampai pada suatu titik, terjadinya perpisahan yang tak bisa dicegah.
Tokh hal itu datangnya seperti suatu jeweran di telinga saya. Saya tersedu
sedan. . . .
Ketika itu saya berharap dan ingin tau dan ingin sekali mendapatkan suatu akhir
yang baik. Sekarang setengah abad kemudian ketika membacanya kembali (dan dalam
pada itu dengan baik mengenal cerita dan pribadi Hella S Haasse, saya
pertama-tama melihat bahwa cerita tsb tidak diakhiri dengan suatu penutup yang
bahagia (tanpa 'happy end'). Perhatian saya terutama tertuju pada cara penulis
menuangkannya dalam bahasa Belanda yang tak ada tara keindahannya. Dan saya
sadari bahwa penulis (Hella Haasse) dalam pribadi Oeroeg sejak semula
memperdengarkan, bahwa seperti halnya Tong Tong (kentongan) memberitakan kepada
penduduk agar waspada terhadap musibah, bahwa ada suatu kekuasaan, suatu nasib,
dimana manusia tidak sedikitpun dapat mengubahnya. Satu-satunya yang dapat
dilakukan oleh manusia, ialah manampung nasib itu dalam literatur yang indah --
sebagaimana halnya Hella Haasse melakukannya dalam OEROEG.
* * *
Dalam film 'OEROEG' (1993) yang dibuat berdasarkan novel Hel S. Haasse --
penutup cerita berbeda dengan novel OEROEG karya Hella Haase. Latar belakang dan
garis merah situasi dan perkembangan politik antara Nederland dan Indonesia,
jelas hadir di situ. Dalam film OEROEG, cerita dibikin sedikit banyak berakhir
dengan suatu rasa persahabatan yang tak lekang panas, jarak maupun waktu antara
pemuda Belanda Johan -- anggota tentara Belanda KL -- dengan pemuda Indonesia
Oeroeg --yang sudah mendewasa menjadi prajurit kekuatan bersenjata Republik
Indonesia --.
Oeroeg menjadi tawanan tentara Belanda dan Johan jadi tawanan TNI. Melalui
perantara internasional, tawanan-tawanan tsb dipertukarkan. Di situ Johan
bertemu kembali dengan Oeroeg. Sedjak kembali ke Indonesia sebagai anggota
tentara 'Divisi 7 Desember' Tentara Kerajaan Belanda, Johan tak henti usaha
mencari ingin bertemu kembali dengan sahabat karib lamanya yang sudah seperti
saudara kandungnya sendiri itu.
Banyak manfaatnya untuk memberikan agak lebih banyak perhatian pada masalah 'Jembatan Haridepan Hubungan Baik Indonesia-Nederland'. Ini menyangkut sejarah dua negeri. Di satu fihak sejarah hubungan dua bangsa, Indonesia-Belanda, seolah-olah sudah jelas bagi semua. Tak ada soal atau 'ganjelan' lagi. Namun, di lain fihak kita dapati berbagai interpretasi. Diucapkan dan ditulis. Yang bukan saja berbeda. Tetapi, sering bertolak-belakang.
Bagi 'kita-kita' ini soalnya sudah lama jelas! Bagi sementara orang Indonesia, soalnya masih juga belum jelas, rupanya! Seperti tampak dalam reaksi mereka a.l terhadap 'Persetujuan Linggarjati' antara Nederland dan Republik Indonesia, 1946.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia dan Belanda adalah dua negeri, dua negara, dua bangsa dan dua kebudayaan. Bahkan sejak hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, nasion Indonesia sudah lahir dan terus berjuang, sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air INDONESIA. Begitu pemahaman, pegangan dan keyakinan kita. Kita tak akan beranjak dari pendirian ini. Pidato Bung Karno 'LAHIRNYA PANCASILA', 1 Juni 1945, dan UUD RI 1945, sudah dengan jelas dan tegas menyimpulkan, memakukan dan mengukuhkan pendirian bangsa ini.
Tetapi bagi sementara fihak di Belanda, dan entah dimana lagi, tidak demikian halnya. Dalam waktu panjang mereka bertahan bahwa negara Indonesia yang merdeka adalah Republik Indonesia Serikat RIS, yang lahir di bumi ini pada . . . . . tanggal 27 Desember 1949. Yaitu pada waktu pemerintah Den Haag, 'menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Itu berlangsung melalui pelaksanaan Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Peristiwa itu dipopulerkan dengan nama 'Penyerahan Kedaulatan'.
* * *
Novel Hella S. Haasse mengisahkan pengalaman dan perasaan persahabatan 'bocah' Indonesia anak mandor perkebunan, 'Oeroeg' dengan 'sinyo' Belanda, Johan, anak administratur perkebunan. Persahabatan itu berakhir dengan 'tragis' dan 'tak terelakkan'. Begitu komentar Philip Freriks, Ambasador kampanye 'Nederland Leest' kali ini. Hella S Haasse sendiri mengatakan bahwa ia 'tidak bisa memahami 'Oeroeg' yang sudah berubah, meninggalkan persahabatanya dengan sinyo Johan. Hella S. Haasse yang bicara melalui Johan, tidak bisa faham bahwa bangsa Indonesia sudah menyatakan diri bebas dari kekuasaan kolonial Belanda.
Tulis Hella S. Haase a.l : --
Saya hanya ingin membuat sebuah laporan tentang kehidupan bersama selama masa bocah, yang sekarang ini hilang tanpa jejak. Seakan-akan asap yang lenyap ditiup angin. (Perkebunan teh) Kebon Jati adalah kenang-kenangan . . . . Dan Oeroeg tak akan saya jumpai lagi. Tak perlu lagi saya akui di sini bahwa saya tidak memahami OEROEG. Saya mengenalnya, seperti saya mengenal Telaga Hideung sebuah permukaan air yang berkaca-kaca. Kedalamannya tak akan pernah bisa saya duga. Apakah sekarang ini sudah terlambat? Apakah saya selamanya adalah seorang asing di negeri tempat kelahiran saya, di bumi dari mana saya tidak mau dipindahkan? Hanyalah waktu yang bisa memberikan jawabnya. Demikian, a.l novel Hella S Haasse 'Oeroeg'. Yang bicara pada akhir novel adalah Johan, sinyo Belanda yang sudah berpakaian seragam Divisi 7 Desember KL. Namun, di dalam noval sini, Johan adalah Hella S. Haasse. Betapapun, sungguh indah Hella Haase menuangkannya dalam novelnya itu.
Novel Haasse itu ditulis tahun1948. Ketika 'bentrokan' antra Indonesia dan Belanda, masih 'panas-panasnya'. Meskipun sudah ada Linggardjati dan kemudian Renville.
Sungguh masih panas. Sehingga akan naif sekali bicara soal adanya JEMBATAN BAGI HARIDEPAN HUBUNGAN INDONESIA BELANDA.
* * *
Hella S Haase tahun 1948, ketika menulis novel debutnya 'Oeroeg', tidak bisa dikatakan seratus persen sama dengan Hella S Haase tahun 1993, setengah abad lebih kemudian, ketika film 'Oeroeg' diproduksi. Novel tsb adalah debut buku roman Haase. Waktu itu Haasse masih muda remaja 30 th. Haasse merasa kehilangan sahabat karibnya yang lahir spontan sejak masa mudanya. Johan atau Haasse mengkhawatir akam 'kehilangan' pengertian tentang negeri tempat kelahirannya: INDONESIA yang dicintainya.
* * *
Lebih setengah abad kemudian 1993, muncul film 'OEROEG' yang didasarkan dan bertolak dari NOVEL 'OEROEG' karya Hella S Haase tahun 1948. Judul cerita sama. Tetapi hakikatnya dua cerita itu amat berbeda. Film 'OEROEG' yang disutradarai oleh regisur Hans Hykelma, menyoroti persahabatan dua 'pemuda', Johan dan Oeroeg, SAMASEKALI BERBEDA. Yaitu dari perspektif yang LEBIH BERSIFAT POLITIS.
Demikian tegasnya 'benang merah politik' yang menjelujuri dan mengakhiri film tsb -- dan juga karena cerita yang disuguhkan boleh dibilang tak berbeda jauh dengan realita hubungan Indonesia-Belanda ketika itu. Sehingga dari fihak Belanda ada yang mengajukan apakah film OEROEG itu
b i s a digunakan sebagai sumber sejarah?
* * *
Untuk jelasnya: Singkatnya film 'Oeroeg' mengisahkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Johan adalah anak administratur perkebunan di sekitar Sukabumi. Oeroeg adalah anak mandor perkebunan tsb. Johan dan Oeroeg bersahabat kental. Seakan-akan seperti saudara sekandung saja. Untuk maksud studi Johan berangkat ke Delft, Nederland. Delapan tahun kemudian ia kembali ke Jawa sebagai militer Belanda. Tiba di Indonesia ia mendapatkan bapaknya dibunuh. Johan menduga bapaknya dibunuh oleh Oeroeg, yang sudah lama tidak dijumpainya lagi.
Oeroeg telah menjadi anggota kekuatan bersenjata Republik Indonesia, TNI. Di sinilah Johan dan Oeroeg bertemu lagi. Johan kemudian ditawan oleh TNI ketika sedang berusaha mencari dimana Oeroeg. Johan ingin tau benarkah Oeroeg yang membunuh bapaknya. Ternyata kemudian dugaan Johan itu keliru.
Kemudian melalui perantara internasional diadakan pertukaran tawanan perang. Di sebuah jembatan di daerah Kebon Jati, ketika pertukaran tawanan itu berlangsung, di situlah Johan dan Oeroeg bertemu muka kembali. Seolah-olah mereka berpisah sebagai dua pemuda yang mengidap dendam satu sama lain. Tetapi tidak demikian akhir film. Tiba-tiba Johan mengeluarkan sebuah arloji, warisan keluarganya, dan diberikan kepada Oeroeg. Oeroeg ragu-ragu menerimanya. Kemudian tokh menerimanya. Johan bertanya: Apakah kita masih tetap bersahabat. Jawab Oeroeg:
KAPAN SAJA DAN DIMANA SAJA PERKSAHABTAN KITA AKAN ABADI.
Tetapi, jangan dilupakan. Ketika mereka pernah jumpa sesudah masing-masing berada di fihak yang berlawanan. Oeroeg tegas mengatakan bahwa kita, kau Johan dan saya Oeroeg, hanya bisa meneruskan hubungan persahabatan kita, bila kita ada dalam posisi yang sama derajat. Jelas yang dimaksud Oeroeg, ialah, jika Belanda menganggap Indonesia sebagai fihak yang SAMA DERAJAT. Meskipun tidak memberikan jawaban , tetapi Johan mengerti message yang diutarakan Oeroeg.
Juga pada suatu peretemuan antara Johan dengan salah seorang anggota keluarga Oeroeg, terjadi dialog yang menarik. Johan mendesak ingin tau dimana Oeroeg. Keluarga Oeroeg bertahan, mengatakan bahwa mereka idak tau dimana Oeroeg. Untuk mendekatkan perasaan mereka, mengingatkan akan kenangan indah persahabtan masa dulu. Terhadap ucapan Johan, wanita anggota keluarga Oeroeg, dengan tegas menyatakan bahwa KENANGAN MASA LAMPAUA MASING-MASING KITA ADALAH BERBEDA. Ini juga merupakan teguran yang sarat dengan muatan politik. Latar belakang inilah yang memberikan pengertian kepada Johan, bahwa pesahatan mereka itu, hanya bisa diteruskan ATAS DASAR KEDUDUKAN YANG SAMA DERAJAT.
* * *
Tibalah kita pada kesimpulan bahwa novel Hella S. Haasse OEROEG yang memberikan dasar dan titik tolak pemahaman hubungan Indonesia-Belanda. Tetapi adalah film OEROEG, yang menarik keatas isi dan mutu cerita menjadi suatu kesimpulan yang benar dan wajar. Obyektif dan historis.
Yang menarik ialah bahwa Hella S. Haasse, tidak mengajukan keberatan apa-apa terhadap perkembangan novel debutnya Oeroeg mnjadi film yang lengkap dan BERNUANSA POLITIK. Bisa juga disimpulkan bahwa Hella S. Haasse memberikan kebebasan kepada sutradara untuk mengangak ceritanya sedemikian rupa sehingga tiba pada suatu kesimpulan yang positif. Tidak pesimis seperti di dalam novel Oeroeg.
Dengan rasa puas bisa pula kita katakan di sini: Adalah mantan Menlu Belanda BENBOT, yang mengembangkan lebih lanjut pengertian tepat mengenai hubungan Indonesia-Belanda, dengan pernyataanya yang MENGAKUI BAHWA REPUBLIK INDONESIA sudah berdiri sejak PROKLMASI KEMERDEKAAN INDONESIA, 17 AGUSTUS 1945.
Bicara mengenai JEMBATAN BAGI HARI DEPAN HUBUNGAN INDONESIA BELANDA: Hella S Haasse, sutradara Hans Hykelma dan Menlu Belanda Ben Bot, --- mereka-mereka itulah yang merintis JEMBATAN Bagi HARI DEPAN HUBUNGAN SALING MENGERTI DAN SALING MENGHARGAI antara INDONESIA DAN BELANDA. (Selesai) * * *
No comments:
Post a Comment