Sunday, January 19, 2014

DIALOG INTERAKTIF Di “FACEBOOK” Sekitar Skandal Kebudayaan Akademi Jakarta

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 11 Januari 2014
-------------------------------------

DIALOG   INTERAKTIF   Di   “FACEBOOK”
Sekitar   Skandal   Kebudayaan   Akademi   Jakarta
Kiranya tidak sedikit pembaca di media inernet yang belum sempat mengikuti berita-berita peristiwa SKANDAL KEBUDAYAAN 2013 yang disulut oleh “Akademi Jakarta”.
SKANDAL KEBUDAYAAN tsb terjadi dengan diambilnya tindakan oleh “Akademi Jakarta” yang telah “mencoret”, membatalkan nama penulis MARTIN ALEIDA, dari nama-nama calon yang diajukan oleh Dewa Juri untuk memperoleh Penghargaan Akademi Jakarta 2013.
Padahal Dewan Juri itu yang membentuknya adalah Akademi Jakarta.
* * *
Respons dari yang langsung bersangkutan, yaitu penulis Martin Aleida, terhadap kebijakan Akademi Jakarta itu, dan reaksi pelbagai fihak yang disampaikan, adalah a.l seperti di bawah ini:
Martin Aleida:
Persahabatan tulus yang Dolo . . . (Nama lengkapnya Dolores Sinaga, yg menyatakan a.l : “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.I.I.) . . .tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan diri. Ya, rupanya kesewenang- wenangan sedang dipahatkan di situ.


* * *
Sedangkan mantan anggota Akademi Jakarta, penulis Goenawan Mohammad, a.l merespons, sbb:
Membatalkan keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi Jakarta memang telah melakukan sesuatu yang tak patut.
* * *
Berikut di bawah ini sekadar catatan ringkas Dialog Interaktif yg berlangsung di “Facebook”. Disajikan untuk mempermudah pembaca mengikuti perkembangan peristiwa yang dinyatakan sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN DI PENGHUJUNG 2013.
* * *
IBRAHIM ISA :
MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN
Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

* * *

Salah satu siaran di e-mail dan juga di Facebook tampil dengan berita mengenai peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Suatu SKANDAL kebudayaan. Pelakunya adalah sebuah lembaga di Jakarta bernama AKADEMI JAKARTA. Ketua Akademi Jakarta (AJ) adalah Taufik Abdullah.

Sekali tempo ada diberitakan bahwa Taufik Abdullah sebagai intelektuil budaya dan sastra, pernah “menganalisis” bahwa seorang penyair (dulunya Lekra) bernama Mawi Ananta Joni, sudah mengetahui sebelumnya akan meletusnya peristiwa yang kemudian terkenal sebagai G30S. Sungguh suatu “analisis” yang lebih banyak berbau fitnah ketimbang suatu hasil pemikiran seorang cendekiawan.. . . . Diberitakan bahwa Taufik Abdullah memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yoyakarta(1961). . . . .Bayangkan . . Taufik Abdullah adalah sarjana jurusan Sejarah dan Sastra & Budaya . . .

Yang ditulis di pers sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN itu pasalnya adalah “pembatalan” oleh Akademi Jakarta (AJ), atas keputusan Dewan Juri Memberikan Penghargaan AJ 2013 pada Martin Aleida , bersama seorang lagi, I Gusti Kompiang Raka. Tanpa penjelasan AJ menentukan I Gusti Kompiang dan membatalkan putusan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri, dan menolak Martin Aleida.

* * *

APA ITU YANG PASANG MÉRÉK -- “AKADEMI JAKARTA”
Akademi Jakarta (AJ) adalah suatu Dewan Kehormatan bagi Seniman dan Budayawan, juga sebagai Dewan Penasihat bagi Gubernur DKI Jakarta di bidang seni dan budaya. AJ didirikan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 untuk jangka yang tidak ditentukan.

Rapat Dewan Juri yang diadakan pada tanggal 15 November 2013 di Kantor AJ di TIM, mengambil keputusan secara bulat memilih Martin Aleida sebagai penerima Penghargaan AJ 2013. Nah, keputusan bulat Dewan Juri yang memilih MARTIN ALEIDA sebagai penulis yang diberikan Penghargaan AJ 2013, inilah yang “dicoret”, “dibatalkan” secara sewenang-wenang tanpa alasan ataupun penjelasan apapaun.

Berhubung ulah-polah sementara piminan AJ yang berlawanan dengan “visi dan misinya”,maka konon, tahun 2011 Ignas Kleden pernah terdengar mau mengundurkan diri, tahun 2012 kabarnya Goenawan Mohamad telah mengundurkan diri. Dan yang lebih dahulu mengundurkan diri adalah Tatiek Malayati.

Dalam sebuah analisisis dinyatakan bahwa: .. “Aktualisasi pemberian Penghargaan AJ ini tidak memperlihatkan kepedulian pada pemikiran-pemikiran yang aspiratif dalam mendorong kesadaran masyarakat pada nilai-nilai sejarah, perlawanan, dan pembelaan atas pencapaian karya yang membawa pencerahan dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan”.

Sesungguhnya dengan skandal yang dilakukannya itu pentolan-pentolan tertentu di AJ, seperti Taufik Abdulah dengan gamblang mencerminkan keboborokan dan kebejatan moral mereka.


* * *

Salah satu sumber media mengenai karya-karya MARTIN ALEIDA, a.l menulis:

Cerpen-cerpen karya Martin Aleida kerap mengangkat tema tentang kejadian-kejadian tahun 1965 dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman para korbannya. Kini Martin Aleida menjadi salah satu anggota dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.

* * *

Salah seorang kritikus sastra, cendekiawan budayawan bernama DR Katrin Bandel, dosen pada Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, menulis tentang penulis MARTIN ALEIDA, a.l sbb:

Di Indonesia masa kini spanduk bertuliskan “Waspadai Bahaya Laten Komunis” dan slogan sejenisnya tetap bermunculan di jalan-jalan raya. Media massa dan buku pelajaran kembali menggunakan singkatan “G30S/PKI”.



Sastra tampaknya sampai saat ini masih relatif bebas dari “penertiban” ideologis semacam itu. Tapi sampai kapan? Dan bagaimana kita mesti menilai kenyataan bahwa tema 65 begitu jarang dijadikan fokus utama dalam karya sastra Indonesia seperti yang saya katakan di awal tulisan ini? Sebagai tanda ketidakpedulian? Tanda ampuhnya brainwashing yang dilakukan Orde Baru? Atau sebagai tanda terjadinya usaha terselubung untuk mengesampingkan pelurusan sejarah?



Bagi saya karya-karya Martin Aleida sangat berarti sebagai bagian dari perjuangan melawan pemalsuan sejarah Indonesia yang terus berlangsung, sekaligus sebagai alternatif terhadap mainstream sastra Indonesia yang cenderung mengutamakan sensasi, seks, dan permainan bahasa tanpa makna dan tujuan yang jelas. Semoga karyanya tidak akan pernah mengalami penyensoran, dan mendapat penghargaan yang sepantasnya.***(cetak miring dan tebal, oleh I.I.)
* * *
Kesewenang-wenangan, kecerobohan tindakan Akademi Jakarta telah memperoleh kritik keras dari Dewan Juri yang pembentukannya adalah oleh AJ. Dewan Juri dengan tegas menyatakan bahwa AJ sepantasnya mensahkan pilihan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri. Bila AJ bersikeras dengan ksewenang-wenangananya maka Dewan Juri akan mengundurkan diri keseluruhannya, sebagai pernyataan protes keras.
Berikut ini a.l. Pernyataan Dewan Juri, sbb:
Kami menyadari bahwa kami diberi tugas sebagai juri, jadi kami melaksanakan tugas kami mengajukan dua nama tersebut sebagai penerima penghargaan. Jikalau Akademi Jakarta ternyata menganggap hanya boleh satu penerima penghargaan maka tim juri memilih sdr. Martin Aleida, karena nama inilah yang kami sepakati secara bulat sejak awal. Mengingat surat dari pihak AJ telah menetapkan pemberian penghargaan pada tanggal 28 Desember, kami memohon agar keputusan ini dikembalikan kepada pilihan awal kami yaitu sdr. Martin Aleida. Jika AJ menganggap pilihan kami tidak tepat, maka kita bersepakat untuk tidak sepakat dan dengan sangat menyesal tim juri mengundurkan diri dari ajang penghargaan ini dan meminta agar nama kami tidak dicantumkan sama sekali sebagai juri.
Semoga pihak AJ bisa saling menghormati keputusan kami. Terima kasih atas kerjasama dan perhatiannya.
 Hormat kami,

Sri Astari Rasjid (Ketua Juri)
Leila S. Chudori (Anggota Juri)
Ardjuna Hutagalung(Anggota Juri)
Marselli Sumarno(Anggota Juri)
Jamal D. Rahman (Anggota Juri)

* * *

Kasus penolakan, pencoretan nama penulis MARTIN ALEIDA sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013, bukanlah semata-mata merupakan masalah pelanggaran terhadap hak seseorang penulis untuk memperoleh penghargaan sesusai keputusan Dewan Juri. Soalnya jauh l;ebih besar. Masaalahnya menyangkut pertanyaan sbb .. . . mau diarahkan kemana perkembangan sastra dan budaya kita?? Mau kembali ke periode rezim Orde Baru?

Tidakkah peristiwa skandal kebudayaan ini membangunkan, membangkitkan dan menggugah para sastrawan dan budayawan, jurnalis dan krtitikus sastra “kita” untuk meremungkan dalam-dalam dan mengambil sikap yang tegas. . . . melawan tindakan sewenang-wenang Akademi Jakarta terhadap penulis MARTIN ALEIDA.

Dengan demikian mendorong maju perkembangan sehat dan kritis kehidupan dunia sastra dan budaya kita.

* * *

Dolores Sinaga (Budayawan, Pematung-pemahat)
Awan Duka Di Dunia Kesenian dan Kebudayaan Menyeruak, --Penghargaan Akademi Jakarta Menuai petaka ---



RIMANEWS--Dunia Seni Sastra dan Budaya kita dewasa ini dirundung awan duka yang tebal dan berkepanjangan, kontroversi demi kontroversi menyeruak tiada henti.
Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada seniman tari I Gusti Kompiang Raka, akhir tahun lalu. Tetapi penghargaan ini menimbulkan polemik.Karena tim dewan juri yang ditugaskan memilih dan menentukan pemenang, mengajukan dua nama pemenang yakni Martin Aleida dan I Gusti Kompiang Raka. 
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.

Ketua Akademi Jakarta Taufik  Abdullah  menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurutnya kewenangan juri hanya  memberi masukan  kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta agar tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.


Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi lebih menonjol.


“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga, Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi kepada Tempo, Kamis, 9 Januari 2014. “prestasinya lebih meyakinkan.”

Keputusan ini membuat dewan juri yang meradang. Mereka mengajukan protes dan menuntut nama mereka tidak dicantumkan sebagai juri. Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan tugas juri yang diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. 
Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu pemenang juga lebih dari satu nama. Akhirnya mereka mengajukan dua nama tersebut kepada Akademi Jakarta. Namun Martin ditolak.
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut Tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida.
Kami tidak diajak berdiskusi, padahal kan bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
Menanggapi pembatalan sebagai penerima penghargaan, Martin menganggap hal ini tak lepas sebagai politisasi kebudayaan. Menurutnya hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.

Ajip juga menampik alasan Martin tak dipilih karena terkait aktivitas masa lalunya sebagai aktivis Lekra. “Tidak ada alasan kanan kiri, bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta atas usul saya,” ujarnya. (Wrh/RM/tmp)




* * *
Martin Aleida:
Beribu terima kasih. Dolo. Persahabatan tulus yang Dolo tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan diri.
Ya, rupanya kesewenang- wenangan sedang dipahatkan di situ. Tabik
* * *
Roby Fuzi Apriansyah,
Meski tidak tercatat dalam buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh" dan dibatalakan secara tidak adil dalam penghargaan "Akademi Jakarta 2013", Martin Aleida adalah tokoh penting dan pemenang bagi saya!!!



IBRAHIM ISA
TAUFIK ABDULLAH Dan AJIP ROSIDI

MASIH MAU PASANG MÉRÉK
 SASTRAWAN DAN SEJARAWAN??

* * *

Sebaiknya Taufik Abdullah dan Ayip Rosidi SEKALI INI TERUS TERANG SAJA DAN DENGAN JANTAN MENYATAKAN . ..

KAMI CORET NAMA MARTIN ALEIDA,
KARENA MARTIN . . . MAU MELURUSKAN SEJARAH. . .
KARENA MARTIN ORANG KIRI . ..
KARENA MARTIN TADINYA ORANG LEKRA,
TADINYA WARTAWAN HARIAN RAKYAT . . . DSB . ..

SEDANGKAN KAMI ANTI SEMUA ITU . . .
Kalau berani terus terang begitu kan tidak usah menempuh cara debat kusir . ..

Makin lama mereka berkepala batu --- benar-benar semakin menunjukkan kekolotan pandangan dan kebobrokan serta kebejatan moral dan etika . .

Tokh . .

Masih mau pasang merek sastrawan . . . sejarawan??




* * *
Adam Gottar Parra
TANGGUNG JAWAB MORAL-INTELEKTUAL TAUFIK ABDULLAH

Sejak SMA saya sudah membaca tulisan-tulisannya di majalah Tempo (di perpustakaan sekolah), kemudian beberapa bukunya di usia dewasa. Ketika bekas Direktur LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini terpilih sebagai Ketua Akademi Jakarta (AJ) beberapa waktu lalu, saya pun ikut berbangga.

Oleh karenanya sungguh terkejut saya ketika cendekiawan sekelas Taufik Abdullah berhasil "ditundukkan" oleh Ajip Rosidi untuk membatalkan hasil keputusan Dewan Juri Anugerah Seni 2013 yang telah ditunjuknya bersama anggota AJ lainnya. Di mana tanggung-jawab moral dan intelektual seorang Taufik Abdullah? Hampir saja saya meragukan buku-buku yang telah ditulisnya.
Sebelum ini, salah satu intelektual Indonesia yang saya hormati adalah sejarawan Dr. Taufik




* * *
Goenawan Mohammad
Membatalkan keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi Jakarta memang telah melakukan sesuatu yang tak patut.

Tapi saya --karena sudah lama tak punya kontak dengan AJ -- belum dengar, apa alasan mereka tak mau memilih Martin Aleida, dan bagaimana respons mereka terhadap protes juri yang keputusannya danulir. Ada yang bisa bantu terangkan?

Ibrahim Isa
Ada yang semakin tua semakin berminyak . . . ada yang sebaliknya . . .tergantung pada naluri dan nurani masing-masing . . . that's life . . .
Saya pernah (beberapa tahun yang lalu) . . . . dalam satu diskusi berdialog dengan Ajip Rosidi di Universitas Amsterdam . .

Beliau bilang "Pancasila" itu MITOS . . Saya bilang negara kita ini Republik Indonesia. . landasan falsafahnya PANCASILA ...
Apa Republik Indonesia ini juga suatu mitos ??? . . . .

Waktu itupun Ayip belum bisa berfikir lurus, logis dan realis . . . Naluri dan nuraninya tidak di situ . . . tak peduli pernah jadi dosen di Jepang atau tidak . .

Atau malah . . . justru karena sudah pernah jadi dosen di suatu universitas di Jepang . . . fikirannya jadi macet seperti itu . . .

* * *
Adam Gottar Para:
Mas Goen salinan dokumen seputar proses seleksi penerima hadiah seni 2013 yang beredar di dunia maya sudah saya kirim dua hari lalu ke sejumlah Redaksi, dengan harapan akan menjadi berita, supaya ada titik-terang.

Tapi sampai hari ini rupanya belum ada koran yang mengangkatnya.

* * *
Irma Widyani
Semakin tua semakin berminyak, . . .sayangnya minyak jelantah.
* * *
Bilven Sandalista
Tembaklah, nyawa saya gratis!”
Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri.
Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. -- Martin Aledia.

Dian Sukma
Pembatalan penghargaan Sastra kepada Bapakku, adalah penundaan untuk sesuatu yang lebih besar lagi, dari pada penghargaan dari Akademi Jakarta....



No comments: