Kolom
IBRAHIM
          ISA
Sabtu,
        11 Januari 2014-------------------------------------
DIALOG   INTERAKTIF   Di   “FACEBOOK” 
    
Sekitar  
          Skandal   Kebudayaan   Akademi   Jakarta 
    
Kiranya
tidak
        sedikit pembaca di media inernet yang belum sempat mengikuti
        berita-berita peristiwa SKANDAL KEBUDAYAAN 2013 yang disulut
        oleh
        “Akademi Jakarta”. 
    
SKANDAL
KEBUDAYAAN
        tsb terjadi dengan diambilnya tindakan oleh “Akademi
        Jakarta” yang telah “mencoret”, membatalkan nama penulis
        MARTIN ALEIDA, dari nama-nama calon yang diajukan oleh Dewa Juri
        untuk memperoleh Penghargaan Akademi Jakarta 2013. 
    
Padahal
Dewan
        Juri itu yang membentuknya adalah Akademi Jakarta. 
    
*
        * *
Respons
        dari yang langsung bersangkutan, yaitu penulis
            Martin Aleida, terhadap kebijakan Akademi Jakarta
        itu,
        dan reaksi pelbagai fihak yang disampaikan, adalah a.l seperti
        di
        bawah ini: 
    
Martin Aleida: 
    
“Persahabatan
tulus
        yang Dolo . . . (Nama lengkapnya Dolores Sinaga, yg menyatakan
        a.l : “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak
        melaksanakannya.
        Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar
        pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.I.I.) . .
        .tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi
        Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan
        diri. Ya, rupanya kesewenang- wenangan sedang dipahatkan di
        situ. 
    
* * *
Sedangkan
          mantan anggota Akademi Jakarta, penulis Goenawan
            Mohammad, a.l
          merespons,
          sbb: 
    
“Membatalkan
          keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi
          Jakarta
          memang telah melakukan sesuatu yang tak patut. 
    
* * *
Berikut di bawah
          ini
          sekadar catatan ringkas Dialog Interaktif yg berlangsung di
          “Facebook”. Disajikan untuk mempermudah pembaca mengikuti
          perkembangan peristiwa yang dinyatakan sebagai SKANDAL
          KEBUDAYAAN DI
          PENGHUJUNG 2013.
* * *
IBRAHIM ISA :
      
    
MANIFESTASI
          KEBOBROKAN
          DAN KEBEJATAN 
    
* * *
Salah
satu
        siaran di e-mail dan juga di Facebook tampil dengan berita
        mengenai peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Suatu
        SKANDAL kebudayaan. Pelakunya adalah sebuah lembaga di Jakarta
        bernama AKADEMI JAKARTA. Ketua Akademi Jakarta (AJ) adalah Taufik
Abdullah.
        
    
Sekali
tempo
        ada diberitakan bahwa Taufik Abdullah sebagai intelektuil
        budaya dan sastra, pernah “menganalisis” bahwa seorang penyair
        (dulunya Lekra) bernama Mawi Ananta Joni, sudah mengetahui
        sebelumnya
        akan meletusnya peristiwa yang kemudian terkenal sebagai G30S.
        Sungguh suatu “analisis” yang lebih banyak berbau fitnah
        ketimbang suatu hasil pemikiran seorang cendekiawan.. . . .
        Diberitakan bahwa Taufik Abdullah memperoleh
          gelar
          kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra &
          Kebudayaan
          UGM Yoyakarta(1961). . . . .Bayangkan . . Taufik Abdullah
          adalah
          sarjana jurusan Sejarah dan Sastra & Budaya . . .
Yang
          ditulis di pers sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN itu pasalnya adalah
          “pembatalan” oleh Akademi Jakarta (AJ), atas keputusan
      Dewan
            Juri
              Memberikan Penghargaan AJ 2013 pada
            Martin
                Aleida
      ,
            bersama
            seorang lagi, I
              Gusti Kompiang Raka. Tanpa penjelasan AJ menentukan I
              Gusti Kompiang
              dan membatalkan putusan Dewan Juri yang dibentuknya
              sendiri, dan
              menolak Martin Aleida.
*
              * *
APA ITU YANG PASANG MÉRÉK -- “AKADEMI JAKARTA”
Akademi
          Jakarta (AJ) adalah suatu Dewan Kehormatan bagi Seniman dan
          Budayawan, juga sebagai Dewan Penasihat bagi Gubernur DKI
          Jakarta di
          bidang seni dan budaya. AJ didirikan di Jakarta pada tanggal
          24
          Agustus 1970 untuk jangka yang tidak ditentukan. 
    
Rapat
            Dewan Juri yang diadakan pada tanggal 15 November 2013 di
            Kantor AJ
            di TIM, mengambil keputusan secara bulat memilih Martin
              Aleida
        sebagai
            penerima Penghargaan AJ 2013. Nah, keputusan bulat Dewan
            Juri yang
            memilih MARTIN ALEIDA sebagai penulis yang diberikan
            Penghargaan AJ
            2013, inilah yang “dicoret”, “dibatalkan” secara
            sewenang-wenang tanpa alasan ataupun penjelasan apapaun.
Berhubung
          ulah-polah sementara piminan AJ yang berlawanan dengan “visi
          dan
          misinya”,maka konon, tahun 2011 Ignas Kleden pernah terdengar
          mau
          mengundurkan diri, tahun 2012 kabarnya Goenawan Mohamad telah
          mengundurkan diri. Dan yang lebih dahulu mengundurkan diri
          adalah
          Tatiek Malayati.
Dalam
          sebuah analisisis dinyatakan bahwa: .. “Aktualisasi pemberian
          Penghargaan AJ ini tidak memperlihatkan kepedulian pada
          pemikiran-pemikiran yang aspiratif dalam mendorong kesadaran
          masyarakat pada nilai-nilai sejarah, perlawanan, dan pembelaan
          atas
          pencapaian karya yang membawa pencerahan dalam perkembangan
          kesenian
          dan kebudayaan”.
Sesungguhnya
          dengan skandal yang dilakukannya itu pentolan-pentolan
          tertentu di
          AJ, seperti Taufik Abdulah dengan gamblang mencerminkan
          keboborokan
          dan kebejatan moral mereka.
*
          * *
Salah
          satu sumber media mengenai karya-karya MARTIN ALEIDA, a.l
          menulis:
“Cerpen-cerpen
              karya Martin Aleida kerap mengangkat tema tentang
              kejadian-kejadian
              tahun 1965 dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman
              para
              korbannya. Kini Martin Aleida menjadi salah satu anggota
              dari Komite
              Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.
*
            * *
Salah
          seorang kritikus sastra, cendekiawan budayawan bernama
          DR
              Katrin Bandel,
        dosen pada Universitas
          Sanata
          Dharma di Yogyakarta, menulis tentang penulis MARTIN ALEIDA,
          a.l sbb:
        
    
“Sastra tampaknya sampai saat ini masih relatif bebas dari “penertiban” ideologis semacam itu. Tapi sampai kapan? Dan bagaimana kita mesti menilai kenyataan bahwa tema 65 begitu jarang dijadikan fokus utama dalam karya sastra Indonesia seperti yang saya katakan di awal tulisan ini? Sebagai tanda ketidakpedulian? Tanda ampuhnya brainwashing yang dilakukan Orde Baru? Atau sebagai tanda terjadinya usaha terselubung untuk mengesampingkan pelurusan sejarah?
“Bagi saya karya-karya Martin Aleida sangat berarti sebagai bagian dari perjuangan melawan pemalsuan sejarah Indonesia yang terus berlangsung, sekaligus sebagai alternatif terhadap mainstream sastra Indonesia yang cenderung mengutamakan sensasi, seks, dan permainan bahasa tanpa makna dan tujuan yang jelas. Semoga karyanya tidak akan pernah mengalami penyensoran, dan mendapat penghargaan yang sepantasnya.***(cetak miring dan tebal, oleh I.I.)
* * *
Kesewenang-wenangan, kecerobohan tindakan Akademi Jakarta telah memperoleh kritik keras dari Dewan Juri yang pembentukannya adalah oleh AJ. Dewan Juri dengan tegas menyatakan bahwa AJ sepantasnya mensahkan pilihan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri. Bila AJ bersikeras dengan ksewenang-wenangananya maka Dewan Juri akan mengundurkan diri keseluruhannya, sebagai pernyataan protes keras.
Berikut ini a.l. Pernyataan Dewan Juri, sbb:
“Kami
          menyadari bahwa kami diberi tugas sebagai juri, jadi kami
          melaksanakan tugas kami mengajukan dua nama tersebut sebagai
          penerima
          penghargaan. Jikalau Akademi Jakarta ternyata menganggap hanya
          boleh
          satu penerima penghargaan maka tim juri memilih sdr.
            Martin Aleida,
          karena
          nama inilah yang kami sepakati secara bulat sejak awal.
          Mengingat
          surat dari pihak AJ
          telah menetapkan pemberian penghargaan pada tanggal 28
          Desember, kami
            memohon agar keputusan ini dikembalikan kepada pilihan awal
            kami
            yaitu sdr. Martin Aleida. Jika AJ menganggap pilihan kami
            tidak
            tepat, maka kita bersepakat untuk tidak sepakat dan dengan
            sangat
            menyesal tim juri mengundurkan diri dari ajang penghargaan
            ini dan
            meminta agar nama kami tidak dicantumkan sama sekali sebagai
            juri.
Semoga
            pihak AJ bisa saling menghormati keputusan kami. Terima
            kasih atas
            kerjasama dan perhatiannya.
 Hormat
          kami,
Sri
            Astari Rasjid (Ketua Juri)
Leila
            S. Chudori (Anggota Juri)
Ardjuna
            Hutagalung(Anggota Juri)
Marselli
            Sumarno(Anggota Juri)
Jamal
            D. Rahman (Anggota Juri)
*
          * *
Kasus
          penolakan, pencoretan nama penulis MARTIN ALEIDA sebagai
          penerima
          Penghargaan Akademi Jakarta 2013, bukanlah semata-mata
          merupakan
          masalah pelanggaran terhadap hak seseorang penulis untuk
          memperoleh
          penghargaan sesusai keputusan Dewan Juri. Soalnya jauh l;ebih
          besar.
          Masaalahnya menyangkut pertanyaan sbb .. . . mau diarahkan
            kemana
            perkembangan sastra dan budaya kita?? Mau kembali ke periode
            rezim
            Orde Baru?
Tidakkah
          peristiwa skandal kebudayaan ini membangunkan, membangkitkan
          dan
          menggugah para sastrawan dan budayawan, jurnalis dan krtitikus
          sastra
          “kita” untuk meremungkan dalam-dalam dan mengambil sikap yang
          tegas. . . . melawan tindakan sewenang-wenang Akademi
            Jakarta
            terhadap penulis MARTIN ALEIDA. 
    
Dengan
          demikian mendorong maju perkembangan sehat dan kritis
          kehidupan dunia
          sastra dan budaya kita.
* * *
Dolores
            Sinaga (Budayawan,
              Pematung-pemahat)
Awan
            Duka Di Dunia Kesenian dan Kebudayaan Menyeruak,
            --Penghargaan
            Akademi Jakarta Menuai petaka ---
RIMANEWS--Dunia Seni Sastra dan Budaya kita dewasa ini dirundung awan duka yang tebal dan berkepanjangan, kontroversi demi kontroversi menyeruak tiada henti.
Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada seniman tari I Gusti Kompiang Raka, akhir tahun lalu. Tetapi penghargaan ini menimbulkan polemik.Karena tim dewan juri yang ditugaskan memilih dan menentukan pemenang, mengajukan dua nama pemenang yakni Martin Aleida dan I Gusti Kompiang Raka.
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.
Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurutnya kewenangan juri hanya memberi masukan kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta agar tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.
Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi lebih menonjol.
“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga, Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi kepada Tempo, Kamis, 9 Januari 2014. “prestasinya lebih meyakinkan.”
Keputusan ini membuat dewan juri yang meradang. Mereka mengajukan protes dan menuntut nama mereka tidak dicantumkan sebagai juri. Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan tugas juri yang diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri.
“Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu pemenang juga lebih dari satu nama. Akhirnya mereka mengajukan dua nama tersebut kepada Akademi Jakarta. Namun Martin ditolak.
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut Tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida.
“Kami tidak diajak berdiskusi, padahal kan bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
Menanggapi pembatalan sebagai penerima penghargaan, Martin menganggap hal ini tak lepas sebagai politisasi kebudayaan. Menurutnya hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.
Ajip juga menampik alasan Martin tak dipilih karena terkait aktivitas masa lalunya sebagai aktivis Lekra. “Tidak ada alasan kanan kiri, bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta atas usul saya,” ujarnya. (Wrh/RM/tmp)
* * *
Martin Aleida:
Beribu terima kasih. Dolo. Persahabatan tulus yang Dolo tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan diri.
Ya, rupanya
        kesewenang-
        wenangan sedang dipahatkan di situ. Tabik
* * *
Roby Fuzi Apriansyah,Meski tidak tercatat dalam buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh" dan dibatalakan secara tidak adil dalam penghargaan "Akademi Jakarta 2013", Martin Aleida adalah tokoh penting dan pemenang bagi saya!!!
IBRAHIM ISA
TAUFIK ABDULLAH Dan AJIP ROSIDI
MASIH MAU PASANG MÉRÉK
SASTRAWAN DAN SEJARAWAN??
* * *
Sebaiknya Taufik Abdullah dan Ayip Rosidi SEKALI INI TERUS TERANG SAJA DAN DENGAN JANTAN MENYATAKAN . ..
KAMI CORET NAMA MARTIN ALEIDA,
KARENA MARTIN . . . MAU MELURUSKAN SEJARAH. . .
KARENA MARTIN ORANG KIRI . ..
KARENA MARTIN TADINYA ORANG LEKRA,
TADINYA WARTAWAN HARIAN RAKYAT . . . DSB . ..
SEDANGKAN KAMI ANTI SEMUA ITU . . .
Kalau berani terus terang begitu kan tidak usah menempuh cara debat kusir . ..
Makin lama mereka berkepala batu --- benar-benar semakin menunjukkan kekolotan pandangan dan kebobrokan serta kebejatan moral dan etika . .
Tokh . .
Masih mau pasang merek sastrawan . . . sejarawan??
* * *
Adam Gottar Parra
TANGGUNG JAWAB MORAL-INTELEKTUAL
        TAUFIK ABDULLAH
Sejak SMA saya sudah membaca tulisan-tulisannya di majalah Tempo (di perpustakaan sekolah), kemudian beberapa bukunya di usia dewasa. Ketika bekas Direktur LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini terpilih sebagai Ketua Akademi Jakarta (AJ) beberapa waktu lalu, saya pun ikut berbangga.
Oleh karenanya sungguh terkejut saya ketika cendekiawan sekelas Taufik Abdullah berhasil "ditundukkan" oleh Ajip Rosidi untuk membatalkan hasil keputusan Dewan Juri Anugerah Seni 2013 yang telah ditunjuknya bersama anggota AJ lainnya. Di mana tanggung-jawab moral dan intelektual seorang Taufik Abdullah? Hampir saja saya meragukan buku-buku yang telah ditulisnya.
Sebelum ini, salah satu intelektual Indonesia yang saya hormati adalah sejarawan Dr. Taufik
* * *
Goenawan Mohammad
Membatalkan keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi Jakarta memang telah melakukan sesuatu yang tak patut.
Tapi saya --karena sudah lama tak punya kontak dengan AJ -- belum dengar, apa alasan mereka tak mau memilih Martin Aleida, dan bagaimana respons mereka terhadap protes juri yang keputusannya danulir. Ada yang bisa bantu terangkan?
Ibrahim Isa
Ada yang semakin tua semakin berminyak . . . ada yang sebaliknya . . .tergantung pada naluri dan nurani masing-masing . . . that's life . . .
Saya pernah (beberapa tahun yang lalu) . . . . dalam satu diskusi berdialog dengan Ajip Rosidi di Universitas Amsterdam . .
Beliau bilang "Pancasila" itu MITOS . . Saya bilang negara kita ini Republik Indonesia. . landasan falsafahnya PANCASILA ...
Apa Republik Indonesia ini juga suatu mitos ??? . . . .
Waktu itupun Ayip belum bisa berfikir lurus, logis dan realis . . . Naluri dan nuraninya tidak di situ . . . tak peduli pernah jadi dosen di Jepang atau tidak . .
Atau malah . . . justru karena sudah pernah jadi dosen di suatu universitas di Jepang . . . fikirannya jadi macet seperti itu . . .
* * *
Adam Gottar Para:
Mas Goen salinan
          dokumen seputar proses seleksi penerima hadiah seni 2013 yang
          beredar di dunia maya sudah saya kirim dua hari lalu ke
          sejumlah Redaksi, dengan harapan akan menjadi berita, supaya
          ada titik-terang. 
          
Tapi sampai hari ini rupanya belum ada koran yang mengangkatnya.
Tapi sampai hari ini rupanya belum ada koran yang mengangkatnya.
* * *
Irma Widyani
Semakin
          tua semakin berminyak, . . .sayangnya minyak jelantah.
* * *
Bilven Sandalista
“Tembaklah, nyawa saya gratis!” 
Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri.
Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. -- Martin Aledia.
Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri.
Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. -- Martin Aledia.
Pembatalan penghargaan Sastra
            kepada Bapakku, adalah penundaan untuk sesuatu yang lebih
            besar lagi, dari pada penghargaan dari Akademi Jakarta....
          

No comments:
Post a Comment