Saturday, January 18, 2014

MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 09 Januari 2014
--------------------------------

MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN
Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

* * *

Salah satu siaran di e-mail dan juga di Facebook tampil dengan berita mengenai peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Suatu SKANDAL kebudayaan. Pelakunya adalah sebuah lembaga di Jakarta bernama AKADEMI JAKARTA. Ketua Akademi Jakarta (AJ) adalah Taufik Abdullah.

Sekali tempo ada diberitakan bahwa Taufik Abdullah sebagai intelektuil budaya dan sastra, pernah “menganalisis” bahwa seorang penyair (dulunya Lekra) bernama Mawi Ananta Joni, sudah mengetahui sebelumnya akan meletusnya peristiwa yang kemudian terkenal sebagai G30S. Sungguh suatu “analisis” yang lebih banyak berbau fitnah ketimbang suatu hasil pemikiran seorang cendekiawan.. . . . Diberitakan bahwa Taufik Abdullah memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yoyakarta(1961). . . . .Bayangkan . . Taufik Abdullah adalah sarjana jurusan Sejarah dan Sastra & Budaya . . .

Yang ditulis di pers sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN itu pasalnya adalah “pembatalan” oleh Akademi Jakarta (AJ), atas keputusan Dewan Juri Memberikan Penghargaan AJ 2013 pada Martin Aleida , bersama seorang lagi, I Gusti Kompiang Raka. Tanpa penjelasan AJ menentukan I Gusti Kompiang dan membatalkan putusan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri, dan menolak Martin Aleida.

* * *

APA IYU YANG PASANG MEREK “AKADEMI JAKARTA”
Akademi Jakarta (AJ) adalah suatu Dewan Kehormatan bagi Seniman dan Budayawan, juga sebagai Dewan Penasihat bagi Gubernur DKI Jakarta di bidang seni dan budaya. AJ didirikan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 untuk jangka yang tidak ditentukan.

Rapat Dewan Juri yang diadakan pada tanggal 15 November 2013 di Kantor AJ di TIM, mengambil keputusan secara bulat memilih Martin Aleida sebagai penerima Penghargaan AJ 2013. Nah, keputusan bulat Dewan Juri yang memilih MARTIN ALEIDA sebagai penulis yang diberikan Penghargaan AJ 2013, inilah yang “dicoret”, “dibatalkan” secara sewenang-wenang tanpa alasan ataupun penjelasan apapaun.

Berhubung ulah-polah sementara piminan AJ yang berlawanan dengan “visi dan misinya”,maka konon, tahun 2011 Ignas Kleden pernah terdengar mau mengundurkan diri, tahun 2012 kabarnya Goenawan Mohamad telah mengundurkan diri. Dan yang lebih dahulu mengundurkan diri adalah Tatiek Malayati.

Dalam sebuah analisisis dinyatakan bahwa: .. “Aktualisasi pemberian Penghargaan AJ ini tidak memperlihatkan kepedulian pada pemikiran-pemikiran yang aspiratif dalam mendorong kesadaran masyarakat pada nilai-nilai sejarah, perlawanan, dan pembelaan atas pencapaian karya yang membawa pencerahan dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan”.

Sesungguhnya dengan skandal yang dilakukannya itu pentolan-pentolan tertentu di AJ, seperti Taufik Abdulah dengan gamblang mencerminkan keboborokan dan kebejatan moral mereka.


* * *

Salah satu sumber media mengenai karya-karya MARTIN ALEIDA, a.l menulis:

Cerpen-cerpen karya Martin Aleida kerap mengangkat tema tentang kejadian-kejadian tahun 1965 dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman para korbannya. Kini Martin Aleida menjadi salah satu anggota dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.

* * *

Salah seorang kritikus sastra, cendekiawan budayawan bernama DR Katrin Bandel, dosen pada Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, menulis tentang penulis MARTIN ALEIDA, a.l sbb:

Di Indonesia masa kini spanduk bertuliskan “Waspadai Bahaya Laten Komunis” dan slogan sejenisnya tetap bermunculan di jalan-jalan raya. Media massa dan buku pelajaran kembali menggunakan singkatan “G30S/PKI”.



Sastra tampaknya sampai saat ini masih relatif bebas dari “penertiban” ideologis semacam itu. Tapi sampai kapan? Dan bagaimana kita mesti menilai kenyataan bahwa tema 65 begitu jarang dijadikan fokus utama dalam karya sastra Indonesia seperti yang saya katakan di awal tulisan ini? Sebagai tanda ketidakpedulian? Tanda ampuhnya brainwashing yang dilakukan Orde Baru? Atau sebagai tanda terjadinya usaha terselubung untuk mengesampingkan pelurusan sejarah?



Bagi saya karya-karya Martin Aleida sangat berarti sebagai bagian dari perjuangan melawan pemalsuan sejarah Indonesia yang terus berlangsung, sekaligus sebagai alternatif terhadap mainstream sastra Indonesia yang cenderung mengutamakan sensasi, seks, dan permainan bahasa tanpa makna dan tujuan yang jelas. Semoga karyanya tidak akan pernah mengalami penyensoran, dan mendapat penghargaan yang sepantasnya.***(cetak miring dan tebal, oleh I.I.)



* * *



Kesewenang-wenangan, kecerobohan tindakan Akademi Jakarta telah memperoleh kritik keras dari Dewan Juri yang pembentukannya adalah oleh AJ. Dewan Juri dengan tegas menyatakan bahwa AJ sepantasnya mensahkan pilihan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri. Bila AJ bersikeras dengan ksewenang-wenangananya maka Dewan Juri akan mengundurkan diri keseluruhannya, sebagai pernyataan protes keras.



Berikut ini a.l. Pernyataan Dewan Juri, sbb:


Kami menyadari bahwa kami diberi tugas sebagai juri, jadi kami melaksanakan tugas kami mengajukan dua nama tersebut sebagai penerima penghargaan. Jikalau Akademi Jakarta ternyata menganggap hanya boleh satu penerima penghargaan maka tim juri memilih sdr. Martin Aleida, karena nama inilah yang kami sepakati secara bulat sejak awal. Mengingat surat dari pihak AJ telah menetapkan pemberian penghargaan pada tanggal 28 Desember, kami memohon agar keputusan ini dikembalikan kepada pilihan awal kami yaitu sdr. Martin Aleida. Jika AJ menganggap pilihan kami tidak tepat, maka kita bersepakat untuk tidak sepakat dan dengan sangat menyesal tim juri mengundurkan diri dari ajang penghargaan ini dan meminta agar nama kami tidak dicantumkan sama sekali sebagai juri.
Semoga pihak AJ bisa saling menghormati keputusan kami. Terima kasih atas kerjasama dan perhatiannya.

Hormat kami,

Sri Astari Rasjid (Ketua Juri)
Leila S. Chudori (Anggota Juri)
Ardjuna Hutagalung(Anggota Juri)
Marselli Sumarno(Anggota Juri)
Jamal D. Rahman (Anggota Juri)

* * *

Kasus penolakan, pencoretan nama penulis MARTIN ALEIDA sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013, bukanlah semata-mata merupakan masalah pelanggaran terhadap hak seseorang penulis untuk memperoleh penghargaan sesusai keputusan Dewan Juri. Soalnya jauh l;ebih besar. Masaalahnya menyangkut pertanyaan sbb .. . . mau diarahkan kemana perkembangan sastra dan budaya kita?? Mau kembali ke periode rezim Orde Baru?

Tidakkah peristiwa skandal kebudayaan ini membangunkan, membangkitkan dan menggugah para sastrawan dan budayawan, jurnalis dan krtitikus sastra “kita” untuk meremungkan dalam-dalam dan mengambil sikap yang tegas. . . . melawan tindakan sewenang-wenang Akademi Jakarta terhadap penulis MARTIN ALEIDA.

Dengan demikian mendorong maju perkembangan sehat dan kritis kehidupan dunia sastra dan budaya kita.

* * *

No comments: