Monday, November 5, 2007

IBRAHIM ISA - KASUS PRAMUDYA - MASIH SAJA MAU MEMBALIKKAN PERKARA



IBRAHIM ISA

Minggu, 04 NOV 2007



KASUS PRAMUDYA - MASIH SAJA MAU MEMBALIKKAN PERKARA

*

Judul tulisan Kohar Ibrahim yang dimuat di adalah sbb: Pramoedya Ananta Toer Sang Penguasa Yang Cerah

Hidup Mati Penulis & Karyanya (2) Oleh A.Kohar Ibrahim

Bila ditelusuri 'artikel' yang berjudul seperti tsb diatas, ternyata itu bukan artikel. Tetapi sebuah wawancara seorang wartawan(?). Sebuah wawancara dengan fokus tokoh Pramudya Ananta Tur. Yang diwawancarai adalah sahabat saya, seorang penyair dan pelukis, A. Kohar Ibrahim. Wawancara, semua tau, berbeda dengan sebuah artikel. Sebuah wawancara memberikan kesempatan kepada sang wartawan untuk menentukan tema dan jalur serta arah yang ia kehendaki. Ia memberikan pembatasan-pembatasan yang tak tampak. Tapi mendorong, mengarahkan orang yang diwawncarai supaya bicara sesuai dengan arah yang diinginkannya. Lalu ada masalah publikasi. Tidak jarang terjadi, bahwa yang dipublikasi oleh pe-wawancara adalah bagian-bagian yang ia ingin hal itu diketahui pembaca. Yang kurang berkenan dihatinya tidak disiarkannya.



Seluruh wawancara tsb diatas, kesan saya (mudahan-mudahan kesan saya itu tidak benar) dimaksudkan untuk membenarkan persepsi atau tuduhan bahwa dunia sastra di periode Presiden Sukarno, penguasanya adalah Pram. Dan bahwa Pram ketika itu punya 'otoritas' untuk membikin takut penentangnya dan membungkamnya. Tentu saja, mengenai KASUS PRAM --- ini adalah suatu usaha untuk MEMUTARBALIKKAN PERKARA.



Tidaklah sulit untuk membalik-balik surat kabar pada periode itu, bahwa sesudah Pram menulis bukunya tentang 'Hoakiaw di Indonesia', tak lama kemudian ia dipendjarakan oleh fihak militer yang ketika itu sudah berkuasa melalui SOB, Undang-Undang Darurat Perang.



Saya ingat ketika di Bandung (1960) dilangsungkan Munas Perdamaian, yang diselenggrakan oleh Komite Perdamaian Indonesia. Saya diminta oleh Panitia Munas untuk bicara dengan Pram, salah seorang nara sumber dalam Munas ketika itu, untuk hati-hati bicara ketika mengeritik penguasa, khususnya fihak tentara, yang memang sedang cari dalih untuk membungkam Pram. Saya jelaskan pesan Panitia kepada Pram. Pram dengn tegas menolak pembatasan apapun terhadap tulisan atau makalahnya. Sesudah bicara, kontan, Pram 'dicari' fihak militer. Kawan-kawan berhasil menyelamatkan Pram. Untung tentara tidak berhasil mencekal Pram dan menjebloskannya lagi ke dalam penjara. Memang Pram adalah salah seorang penulis yang tajam sekali mengeritik penguasa yang sesungguhnya di Indonesia, yaitu tentara.


Pram berulangkali bicara dan memprotes tentang kenyataan bahwa yang mengobrak-abrik rumahnya, dan yang sampai sekarang menduduki rumahnya, membakar buku-buku dan dokumentsinya yang disusunnya dalam waktu panjang, yang membuangnya ke P. Buru, adalah fihak penguasa, yang membungkamnya untuk bicara dan menulis, adalah tentara. Pram sering mengulang-ulang bahwa yang berkali-kali mempersekusi dan memenjarakan dia, ya, penguasa yang itu-itu juga, yaitu tentara.


Jelas kiranya, bahwa Pram adalah KORBAN persekusi, Pram bukan penguasa, kapanpun dan dimanapun Pram tak pernah punya kekuasan. Yang pegang kekuasaan adalah tentara. Itu selalu dikemukakan Pram.


Bahkan sesudah jatuhnya Suharto, Pram masih bicara bahwa yang sesungguhnya kuasa adalah tentara. Bila Pram bicara demikian, banyak pendengarnya ingat bahwa ketika Gus Dur didongkel dari kedudukannya sebagai Presiden RI yang ke-4, adalah tentara yang memarkir kendaraan-kendaraan lapis baja dengan moncong-moncong meriamnya diarahkan ke Istana Negara, tempat domisili Gus Dur ketika itu. Kesimpulan umum ketika itu: Tanpa tentara, Mega, Amin Rais, Akbar Tanjung atau siapapun tidak akan mungkin menjatuhkan Gus Dur..


Pram juga pernah menggugat, mengapa ketika itu, ketika dimulainya perdebatan sekitar masalah apakah SENI UNTUK SENI ataukah SENI UNTUK RAKYAT, fihak pembela Manikebu tidak menggunakan kesempatan sebaik-baiknya, mengangat pena untuk melakukan perdebatan terbuka dengan fihak yang menentang faham SENI UINTUK SENI, yang dibela oleh Manikebu? Mengapa? Bukan tidak bisa, kata Pram. Tetapi memang tidak bersedia.


Dari sumber yang bisa dipercaya saya memperoleh keterangan bahwa Nyoto, salah seorang pimpinan Lekra ketika itu, juga salah seorang pimpinan PKI, heran dan menyayangkan mengapa Menteri PPK Prof Priyono (Murba), membubarkan Manikebu? Sayang, kata Nyoto. Sebaiknya, katanya, diadakan perdebatan terbuka, melalui argumentasi, mengenai masalah seni dan budaya. Teritistimewa mengenai masalah, apakah seni untuk seni, ataukah seni untuk rakyat, seni untuk revolusi.


Menurut Nyoto, dia sudah siap untuk melakukan perdebatan tsb. Dari keterangan tsb terungkap bahwa adalah Menteri PPK Prof Priyono (Murba) yang membubarkan Manikebu, bukan Presiden Sukarno, samasekali bukan Lekra. Mana Lekra punya kekuasaan untuk membubarkan Manikebu.


Dengan mengingat-ingat kembali, peristwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Presiden Sukarno maupun periode Orba, jelas bahwa Pram, dan golongan Kiri, tidak pernah punya kekuasaan. Yang kuasa selalu adalah fihak yang punya bedil: Tentara.


Sesudah golongan Kiri, PKI, Lekra dsb dibubarkan, dilarang dan dijadikan golongan paria oleh rezim Orba, dan pendukung Manikebu dapat kesempatan, seingat saya, tokh Manikebu tidak mengangkat masalah yang diperdebatkan, dan membuka diskusi besar mengenai masalah apakah SENI UNTUK SENI atau SENI UNTUK RAKYAT, suatu msalah yang tidak sampai cukup diperdebatkan pada zaman Presiden Sukarno.


Suatu masalah yang sampai dewasa ini tetap berguna untuk dibicarakan bersama oleh para budayawan kita yang mencari kejernihan sekitar masalah tsb.


* * *




No comments: