Wednesday, November 14, 2007

IBRAHIM ISA - Macam-macam Cara Orang Diskusi Tap MPRS No 25/1966

[INDONESIA-L] IBRAHIM ISA - Macam-macam Cara Orang Diskusi Tap MPRS No 25/1966

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Wed Apr 19 2000 - 16:53:14 EDT


From: "Ibrahim Bramijn" <herri@worldonline.nl>
To: <herri@worldonline.nl>
Subject: Kolom IBRAHIM ISA: Macam-macam cara orang diskusi tentang TAP-MPRS No25/66
Date: Wed, 19 Apr 2000 18:41:11 +0200

Kolom IBRAHIM ISA
---------------------------
19 April 2000

MACAM-MACAM CARA ORANG DISKUSI MENGENAI TAP-MPRS NO 25/1966.
Sejak bergulirnya diskusi megenai usul Gus Dur untuk dicabutnya TAP-MPRS
No.25/1966, macam-macam cara, warna, gaya dan isi perdebatan yang
berlangsung mengenai masalah tsb. Sementara elite bukan mempersoalkan secara
tenang dan bertanggungjawab, tetapi mengarahkan sasaran serangan terhadap
Gus Dur. Sampai-sampai mengancam akan _mengimpeached_, melorot, Gus Dur dari
jabatannya sebagai presiden dalam sidang MPR bulan Agustus yad. Amat
disayangkan bahwa ada sementara fihak, dengan motif yang jauh, telah
menggunakan cara yang tidak etis, seperti a.l. unjuk-rasa dengan membawa
pedang, untuk _meyakinkan_ orang bahwa kebenaran ada difihaknya. Cara itu,
bukanlah yang terpuji dalam berargumentasi

YUSRIL GUNAKAN CARA FITNAH DAN INTIMIDASI.
Salah satu contoh mengenai cara berdebat yang tidak terpuji, ialah yang
dilakukan oleh Menkumdang Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini. Beliau
menggunakan cara dusta, fitnah, dan intimidasi. Dalam wawancara dengan
harian _Republik_ beberapa hari yang lalu,, untuk mencoba mendiskreditkan
para pendukung usul Gus Dur untuk mencabut TAP-M- PRS/25/66, Yusril
mencetuskan bahwa mantan guru Gus Dur, Ibrahim Isa, adalah anggota CC-PKI.
Hari ini saya ditilpun oleh seorang sahabat dekat, yang baru pulang dari
Jakarta yang sempat membaca wawancara Yusril tab di harian _Republik_.
Sahabat saya itu bertanya: _Bagaimana itu Pak Isa, kok Yusril mengatakan
bahwa Pak Isa adalah seorang anggota CC-PKI_. Saya tertawa terbahak-bahak.
Sahabat itu heran. Kok Pak Isa tertawa, tanya sahabat saya itu. . Saya
bilang, bahwa omongan Yusril itu, betu-betul suatu lelucon.Tapi sesudah
diendapkan sedikit, pernyataan Yusril itu, setidaknya ada dua maksud yang
tak etis. Apalagi keluar dari seorang menteri.

Pertama: Yusril memfitnah. Karena apa yang dinyatakannya itu adalah tuduhan
ke alamat saya sebagai anggota CC PKI. Hal yang merupakan isapan jempol
Yusril belaka. Menurut pandangan Yusril dan orang-orang yang sefikiran
dengan beliau itu, CCPKI adalah suatu _monster_yang jahat. Dengan mengatakan
bahwa saya adalah anggota CC PKI, ma-
ka _jatuhlah_ nama saya. Yusril bermotif untuk memburukkan dan menghitamkan
nama saya, dengan berdusta dan memfitnah.

Namun, kemungkinan besar, dengan melemparkan cap CC PKI kepada saya, yang
mantan gurunya Gus Dur, sesungguhnya sasaran tonjokan utama Yusril itu,
adalah pribadi Gus Dur. Yusril seperti memberikan sugesti kepada masyarakat:
Coba lihat, mantan guru Gus Dur, tidak kurang adalah anggota CC PKI.

Kedua: Yusril melakukan intimidasi. Dengan fitnahannya itu Yusril bermaksud
untuk menakut-nakuti publik . Dengan memasang label CC PKI pada nama saya,
Yusril menabuh canang dimuka umum, _awas, orang ini adalah anggota CC PKI_,
_jangan mempercayai-nya_, _orang itu berbahaya_. Selain itu, Yusril juga
hendak menakut-nakuti saya. Kasarnya ia menuding saya _Awas, kau sudah saya
cap komunis_, _kalau berani bicara lagi, akan ditindak lanjuti_. Sungguh,
saya tidak ingat bahwa saya pernah menganggkat Yusril menjadi _PRO_ (Public
Relation Officer) saya. Heran, mengapa sampai begitu gairah dia membikin
publikasi mengenai diri saya. Disayangkan di era reformasi ini masih ada
menteri, yang seorang menteri hukum dan perundang-undangan pula, seperti
Yusril, yang begitu _aduhai_ mentalitasnya.

Namun, bagaimanapun cara yang ditempuh dalam diskusi ini, kenyataannya ialah
bahwa diskusi telah berlangsung dengan inetnsif dan hangat. Ini pertanda
bahwa masyarakat kita bersedia ambil bagian dalam memikirkan masalah yang
dihadapi bangsa, baik menyangkut yang kini maupun yang mengenai masa
lampau.

MASIH MENGENAI YUSRIL
Yang khas dalam bincang-bincang dan perdebatan mengenai TAP- 25/66 ini,
ialah peran yang diambil oleh menteri Kumdang Yusril Mahendra. Pada tanggal
17 Januari 2000, telah berlangsung diskusi di KBRI, Den Haag, antara Menteri
Yusril dengan masyarakat orang-orang Indonesia yang tidak bisa pulang
sesudah peristiwa G30S. Ketika itu, a.l. saya mengajukan usul, dalam rangka
meratakan jalan ke usaha Rekonsiliasi Nasional, sebaiknya TAP-MPRS - 25/66
dicabut . Sementara hadirin lainnya juga mengajukan usul serupa. Saya bukan
satu-satunya yang mengajukan pencabutan TAP-MPRS No 25/1966 itu.
Dalam semangat yang sepenuhnya menyokong kebijaksanaan Presiden Gus Dur
mengenai Rekonsiliasi Nasional, Yusril menyatakan bahwa masalah TAP-MPRS N
o.25/66, bukanlah wewenang beliau sebagai menteri Kumdang, untuk mencabut
atau mempertahankannya. Itu adalah wewenang MPR, tandas Yusril. Beliau juga
menjanjikankan bahwa nanti akan ada langkah-langkah yang hakikatnya akan
meniadakan keputusan-keputusan dan ketetapan zaman Orba mengenai perlakuan
yang tidak adil di waktu yang lalu.

Tetapi baru-baru ini, dalam rangka menyanggah beleid Gus Dur yang
mengusulkan pencabutan TAP tsb, Yusril dengan tandas telah menantang
Presiden Gus Dur untuk berdebat mengenai masalah TAP-MPRS, No.25/66.
Sekarang kita ingin bertanya, Yusril yang mana yang bisa dipegang
omongannya, apakah menteri Yusril yang ketika itu menyatakan bahwa mengenai
TAP-25/66 bukanlah wewenangnya, tapi wewenang MPR; ataukan Yusril yang
sekarang ini, yang menantang Presiden Gus Dur untuk berdebat mengenai
masalah tersebut. Maka wajar-wajar saja bila Wakil Ketua DPR, Muhaimin
Iskandar, yang juga kebetulan adalah Sekjen PKB, berpendapat, bahwa Yusril,
dalam posisinya sebagai tokoh _Poros Tengah_, bertujuan mencari popularitas.
Yusril, kata Muhaimin Iskandar, dalam hal ini, naif.

Seorang menteri dari suatu kebinet presidensiil seperti kebinet pemerintahan
Gus Dur sekarang ini, mestinya bisa diandalkan dan mendukung kebijaksanaan
presidennya, bukan menantangnya untuk berdebat. Kalau sang menteri
pendapatnya sudah tidak sesuai lagi dengan kebijaksanaan presiden, maka ia
harus mengambil sikap yang logis, sat-satunya dan _fair_, yaitu secara
terhormat mengundurkan diri dari kabinet.

Tetapi sampai saat ini Yursril masih betah menduduki kursi menteri Kumdang,
dan juga belum menarik tantangannya terhadap Gus Dur.

DISKUSI HILVERSUM;
Masalah TAP-MPRS No.25/66, memang tidak sederhana. Banyak seginya. Yang
terlibat dalam bincang-bincang mengenai masalah tsb juga tidak
tanggung-tanggung, mulai dari Presiden, kepala negara sendiri, sampai ke
Ketua DPR dan Ketua MPR; dari wartawan sampai ke menteri; dari pakar sampai
ke _orang biasa_, _wong cilik_. Perdebatan dilakukan mulai dari skala
nasional sampai ke luar perbatasan kedaulatan wilayah Republik Indonesia:
Sampai-sampai Radio Nederland Wereld Omproep, Hilversum, yang lebih dikenal
dengan nama _Radio Hilversum_ tidak ketinggalan pula untuk ikut ambil bagian
dalam bincang-bincang tentang pencabutan TAP-MPRS No 25/66. Inisiatf
Hilversum ini perlu disambut.

Demikianlah pada 14 April yl, telah berlangsung diskusi dng tema_TAP MPRS
N-o25/66" di Gedung RNWO (Radio Nederland Wereld Omroep). Hadir kurang lebih
50 orang. Ada pakar, ada pendeta, ada yang dari KBRI, tampak juga tiga orang
anggota pengurus _Stichting Azie Studies, Onderzoek en Informatie_ dan juga
turut ambil bagian dalam diskusi lewat tilpun dari Jakarta, Hatta Rajasa,
Ketua Fraksi Reformasi dalam DPR, dari LIPI Jakarta, Indira Samego, dan
seorang lagi dari Melbourne.

Yang ingin disoroti di sini ialah argumentasi dari Hatta Rajasa, ketua
Fraksi Reformasi dalam DPR. Dalam orasinya, beliau mengemukakan hal, yang
saya anggap perlu dibincang-bincangi. Hal tsb ialah mengenai masalah
sejarah, yang berhubungan dengan masa lampau. Ini sehubungan dengan
pernyataan Hatta Rajasa bahwa PKI memang pasti harus dilarang, karena PKI
sudah tiga kali melakukan pemberontakan.

Pada kesempatan yang diberikan, dengan mencampakkan kekhawatiran akan
dituduh PKI, saya mengemukakan bahwa sebagai orang yang memperhatikan dan
ingin belajar dari sejarah, penilaian yang dikemukakan oleh Hatta Rajasa
itu, tidak sesuai dengan kenyataan dan fakta sejarah. Yang dimaksudkan
Hatta Rajasa dengan pembrontakan PKI yang pertama itu, adalah pemberontakan
PKI dalam tahun 1926 melawan kolonialisme Belanda.

Lalu, apa salahnya berontak melawan kolonialisme Belanda. Seyogianya
bukanlah suatu pemberontakan yang harus dikutuk dan dihujat, apalagi sebagai
pertanda dari suatu partai yang harus dilarang. Yang berbuat seperti Orba
itu adalah pemerintah kolonial Belanda. Tidakkah seharusnya disokong adanya
kekuatan politik yang memberontak melawan kolonialisme Belanda? Hatta
Rajasa, kiranya tidak mengetahui bahwa pemerintah-pemerintah RI sebelum
Orba, telah memberikan penghargaan sebagai PERINTIS KEMERDEKAAN, kepada
orang-orang Indonesia yang memberontak melawan Belanda dalam tahun-tahun
1926-1927. Orang-orang tsb adalah yang oleh Belanda kemudian dijebloskan
dalam kamp konsentrasi Boven Digoel, Papua Barat. Kaum _Digoelist_, yang
diberi kehormatan sebagai PERINTIS KEMERDEKAA itu, terdiri dari 60 persen
orang Komunis dan 40 persen orang nasionalis Haji Agus Salim) _Vijftienjaar Boven Digoel_, 1973> Salim menulis dalam
bukunya itu, kamp konsentrasi di Boeven Digoel adalah _bakermat_, buaian,
dari kemerdekaan Indonesia. Ini fakta. Bukan rekayasa.

Yang dimaksud Hatta Rajasa dengan pemberontakan PKI yang kedua kalinya,
kiranya adalah yang dikatakan pemberontakan PKI di Madiun dalam tahun 1948.
Sepengetahuan saya, lagi-lagi sebagai yang suka pada sejarah dan
obyektivitas, dalam tahun 50-an DN Aidit sendiri, ketua PKI ketika itu,
menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta. Aidit mengemukakan bahwa
yang dikatakan pemberontakan PKI di Madiun, 1948, adalah suatu provokasi
dari pemerintah RI ketika itu, untuk membersihkan TNI dari elemen dan
pengaruh Kiri. Menurut gugatan DN Aidit, tindakan pemerintah ketika itu
adalah realisasi dari usul _Red Drive Proposals_ yang diajukan AS. Usul
itu adalah sebagai syarat AS untuk bisa menyokong Indonesia melawan
Belanda. Pemerintah samasekali tidak mengeluarkan pernyataan ketika itu,
untuk menyanggah pernyataan DN Aidit itu. Jadi, soalnya masih bisa
diperdebatkan dan diselidiki lebih lanjut.. Tidak bisa sesuatu analisa dan
pendapat sefihak mengenai peristiwa Madiun, dianggap sebagai fakta sejarah.
Selanjutnya, yang dimaksudkan Hatta Rajasa dengan pemberontakan PKI yang
ketiga kalinya, rupanya adalah Gerakan 30 September, yang oleh Orba
dinyatakan sebagai usaha PKI untuk merebut kekuasaan. Menurut pengetahuan
saya, Gerakan 30 September adalah suatu aksi kesatuan-kesatuan militer,
dilakukan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965Kesatuan militer itu terdiri
dari berbagai elemen-elemen ABRI yang dipimpin oleh sekolompok periwra ABRI
. Mereka menyatakan bahwa tindakan mereka itu untuk mengalahkan yang mereka
namakan _Dewan Jendral_. Dinyatakan pula oleh para pelakunya, bahwa gerakan
itu untutk membela Bung Karno, sebagai Presiden RI. Sepengetahuan saya,
salah seorang pimpinan dari G30S itu, yaitu Brigjen Suparjo, pada tanggal 1
Oktober 1966 telah melapor kepada Presiden Sukarno, mengenai tindakan yang
telah mereka ambil. Presiden Sukarno memerintahkan untuk menghentikan
gerakan mereka itu, untuk mencegah pertumpahan darah. Kenyataannya aksi
militer dari G30S serta merta dihentikan.

Lalu yang terjadi seterusnya adalah gerakan militer yang dikomandoi oleh
Jendral Suharto. Kemudian Suharto membangkang terhadap Pangti ABRI Presiden
Sukarno, dan mengangkat dirinya sendiri menjadi pemimpin AD. Suharto
menggeser Presiden Sukarno dari jabatannya. Akhirnya Suharto sendiri yang
menjadi presiden RI. Jadi, siapa yang berontak terhadap siapa.
Jawaban Hatta Rajasa ialah sbb: Jika masalah sejarah dibicarakan, maka
soalnya tidak akan kunjung selesai. Hatta menolak untuk membicarakan
masalah masa lampau sehubungan dengan masalah TAP-MPRS N o25/66.
Disini kita dihadapkan pada cara berfikir Hatta Rajasa yang janggal dan
sulit diikuti. Yang kita bicarakan justru adalah masalah masa lampau:
TAP-MPRS N o 25/66, adalah me-ngenai suatu ketetapan yang diambil oleh MPRS
pada tahun 1966. Sesuatu yang terjadi 34 tahun yang lalu. Lagipula Hatta
Rajasa mengemukakan sebagai alasan tentang tepatnya TAP-MPRS No25/66 itu,
dengan mengajukan _fakta_ bahwa PKI adalah parpol yang sudah tiga kali
mengadakan pemberontakan. Tapi, ketika dikemukakan argumentasi bahwa yang
dikatakan pemberontakan PKI itu, tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang
PKI, Hatta Rajasa berbalik menjadi tidak bersedia membicarakan hal-hal yang
menyangkut masa lampau.
Padahal adalah Hatta Rajasa sendiri yang mengajukan hal-hal yang terjadi di
waktu yang lampau, yang sudah menjadi sejarah.Cara diskusi seperti ini,
namanya TIBA DIMATA DIPICINGKAN, TIBA DIPERUT DIKEMPISKAN.

Demikianlah, berbagai cara dan gaya orang ambil bagian dalam diskusi besar
kali ini mengenai TAP-MPRS No. 25/1966. Semakin digalakkan dan diikuti
diskusi ini, semakin menarik, dan merupakan suatu latihan yang berguna dalam
merintis upaya ke arah Rekonsiliasi Nasional. Juga masyarakat semakin
mengenal tokoh-tokoh elite politik yang ambil bagian dalam perdebatan ini.
Semakin tampak jelas juga bahwa Rekonsiliasi Nasional tidak mungkin
direalisasi tanpa membeberkan dan meneliti, tanpa membicarakan dan mencari
kebenaran mengenai masa lampau kita. Seperti kata seorang diplomat terkenal:

YOU CAN NOT DEAL WITH THE FUTURE, UNLESS YOU ALSO COME TO TERMS WITH THE
PAST. Kau tidak bisa memasuki masa depan, tanpa menyelesaikan masa lampau.
Juga, ACCOUNTABILITY IS ONE OF THE TWO OR THREE KEYS TO DEMOCRACY,
Pertanggunganjawab adalah salah satu dari dua atau tiga kunci ke demokrasi.

No comments: