Thursday, November 1, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- 17 OKT. 1952 - MERIAM NODONG ISTANA . . .

Kolom IBRAHIM ISA

-------------------------------------------

Rabu, 17 Oktober 2007



( Bagian - I )

17 OKT. 1952 - MERIAM NODONG ISTANA . . . .

Bagaimana REAKSI PRESIDEN SUKARNO?



* * *

17 Oktober 1952 --- Apakah yang terjadi di Jakarta, pada 55 tahun yang lalu?

Tanggal tsb adalah fakta penting dalam sejarah perkembangan negara Republik Indonesia. Kalau masih diingat, maka peristiwa itu samar-samar diingat sebagai 'Peristiwa 17 Oktober 1952'. Mungkin saja banyak yang sudah 'lupa' atau dengan tak disadari menjadi 'lupa' tentang apa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952. Sementara kalangan, terutama militer, dengan sengaja melupakannya. Semacam 'lupa masa lampau'. Sulit mencari keterangan lain, bahwa hal itu (melupakan fakta tertentu dalam sejarah) dilakukan demi kepentingan politik tertentu.



Mungkin tak disadari masyarakat, apalagi dari kalangan generasi baru, yang hidup dan dibesarkan dalam periode rezim Orba, apa yang sesungguhnya terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952. Bagi orang-orang generasi-ku tak mungkin akan melupakan hari tanggal 17 Oktober 1952.

Ketika itu, pada pagi tanggal 17 Oktober 1952, sejumlah tank dan meriam Angkatan Darat, moncongnya diarahkan ke Istana Negara dan sejumlah besar tentara dan massa berkumpul di muka Istana Presiden Sukarno. Mereka membawa slogan-slogan politik sambil menyerukan yel-yel, menuntut dibubarkannyua DPR-RI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.



PENJELASAN BUNG KARNO Tentang 17 OKTOBER 1952.

Pada tanggal 17 Oktober 1952, moncong-moncong meriam dan tank-tank AD jelas diarahkan ke Istana Negara, dan siapapun tahu bahwa yang berdomisili di Istana Negara adalah, Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Mari kita ikuti penjelasan Presiden Sukarno sendiri tentang apa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 tsb.



* * *



Dari demikian banyaknya tulisan-tulisan Bung Karno --, yang kuanggap termasuk paling otentik, adalah 'memoar' Bung Karno berjudul: 'SUKARNO An Autobiography As Told To Cindy Adams' , Copyright 1965 by Cindy Adams's. Bagian yang diambil dan diterjemahkan di bawah ini adalah dari Edisi bahasa Belanda - terjemahan N.G. Hazelhoff, terbitan NV Uitgeverij W. Van Hoeve's-Gravenhage, 1967, berjudul : ' SUKARNO, Autobiografie Opgetekend door CINDY-ADAM'S.' >.



Inilah a.l. yang dijelaskan Presiden Sukarno mengenai Peristiwa 17 Oktober 1952. Baiklah ikuti dengan seksama, sbb:

'Pada pada pagi-pagi sekali, tanggal tujuhbelas Oktober 1952, dua buah tank, empat panser dan ribuan tentara menerjang pintu-pintu Istana Merdeka. Mereka membawa spanduk-spanduk yang bertuliskan teks 'bubarkan Parlemen'. Batalyon artileri dengan empat meriam dengan suaranya yang riuh rendah memasuki lapangan di depan Istana. Beberapa meriam buatan Inggris (peluru ukuran 12 pon) diarahkan pada saya. Unjuk kekuatan ini mencerminkan histeria hari-hari saat itu. Selain itu amatlah tidak bijaksana apa yang mereka lakukan itu, karena para komandan yang merancangkan itu, semuanya ada (di dalam) Istana bersama saya.

Kolonel Abdul Haris Nasution, yang memberikan pimpinan pada usaha yang menuju pada 'setengah kudeta', seperti yang dikatakannya sendiri, angkat bicara. 'Ini bukan ditujukan terhadap Bapak pribadi, Pak, tetapi ditujukan terhadap sistim pemerintahan. Bapak harus dengan segera membubarkan Parlemen.'



Itulah yang terjadi pada pagi hari 17 Oktober 1952. SUATU USAHA YANG MENGARAH KE SETENGAH KUDETA. Itu kata-kata A. H Nasution sendiri, yang ketika itu adalah pimpinan tertinggi AD. Lalu, bagaimana reaksi Bung Karno? Mari ikuti apa kata-kata Bung Karno sendiri ketika beliau menuturkan peristiwa pagi itu.



Bung Karno:

'Mata saya membelalak memancarkan api kemarahan. 'Apa yang kau katakan itu benar, tetapi cara yang kau ajukan tidak benar. Sukarno kapanpun tak akan tunduk terhadap tekanan. Tidak terhadap tentara Belanda dan tidak terhadap sebuah batalyon tentara Indonesia!'.

'Bilamana ada kesulitan di negeri ini, semua mengharapkan agar tentara turun tangan mencari penyelesaian', tukas Nasution balik. 'Kaum politisi yang menciptakan perang yang membawa korban di kalangan tentara. Maka adalah adil bahwa kami juga punya suara dalam masalah besar ini.'

'Kau bisa katakan apa yang kau ingin katakan kepada Bung Karno - JA.

'Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia -- TIDAK! SELAMANYA TIDAK!'

'Dengan tenang saya menuju ke luar ke arah massa yang telah dibikin marah oleh pelbagai pidato. Kebalikannya dari menjadi kecut menghadapi ancaman meriam, saya tatap langsung moncong meriam tsb tanpa gentar sedikitpun, dengan sekuat tenaga mencurahkan kemarahan saya pada mereka yang hendak membunuh demokrasi dengan bantuan suatu regu-tembak.

'O-o', . . . seru seorang prajurit terengah-engah, 'apa yang kita lakukan adalah salah. Ya, Bapak menghendaki yang lain', seru dua orang lainnya yang ada di dekat situ.

Yang lainnya lagi beteriak, 'Jika Bapak tidak menghendakinya, maka . . . . .' ; '. . . Kita juga tidak mau', demikian yang lain menyelesaikan kalimat itu.



'Perebutan kekuasaan negara' tsb menjadi suatu kegagalan yang mnyedihkan. Massa bubar menyebar sambil berseru , 'Hidup Bung Karno . . . . Hidup Bung Karno'.

Nasution kemudian dipecat dari jabatannya. Tetapi saya tidak menginginkan perpecahan antara saya dengan kekuatan bersenjata kita. Oleh karena itu kemudian saya rehabilitasi dia (Nasution) kembali di jabatannya (semula) dengan kata-kata berikut ini, 'Sukarno bukan anak kemarin dulu dan Nasution bukan anak kemarin dulu. Kita tetap bersatu karena bila musuh kita berhasil menyebarkan perpecahan, hal itu berarti berakhirlah kita sudah.'

Demikian antara lain Bung Karno dalam memoarnya.



* * *



Jelas sekali duduk perkaranya sekitar 'Peristiwa 17 Oktober 1952' itu. Bung Karno tegas menyatakan bahwa hal itu adalah suatu perobaan 'PEREBUTAN KEKUASAAN NEGARA' (oleh tentara) yang gagal amat menyedihkan. Kolonel Nasution yang karena itu dipecat dan kemudian direhabilitasi oleh Bung Karno demi persatuan, juga menyatakan dengan setengah hati, bahwa yang dilakukannya itu 'mengarah ke separuh kudeta'. Tetapi gagal karena ketegasan dan keberanian Bung Karno mempertahanakn demokrasi.

Baik juga mengikuti analisis Bung Karno, mengapa perkembangan sampai ke titik peristiwa 17 Oktober 1952.



Pada bagian berikutnya dari tulisan ini, akan bisa diikuti bersama, penjelasan dan analisis Bung Karno, mengenai situasi politik ketika itu.



Dalam penjelasannya yang akan dikutip lebih lengkap dalam tulisan berikut nanti, Bung Karno memulai penjelasannya, dengan mengingatkan bahwa Undang-Undang Dasar kita didasarkna pada suatu kabinet presidensil yang dikenal di Amerika Serikat. Tetapi Sekutu yang mendarat di Indonesia sesudah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik, adalah orang-orang Inggris dan Belanda. Mereka-mereka itu terbiasa dengan dengan seorang kepala negara yang tituler seperti Ratu Belanda, Raja Inggris atau Presiden Republik Perancis, yang samasekali tidak punya tanggungjawab atas pekerjaan pemerintahan sehari-harinya..



Pendapat mereka mengenai suatu sistim kenegaraan dimana Presiden bertanggungjawab mengenai pekerjaan sehari-hari pemerintahan dengan samar-samar mengingatkan (mereka) pada Nazi-Jerman dan Kerajaan Jepang yang militeristik. 'Jika Presiden Sukarno sekaligus kepala negara, juga panglima angkatan bersenjata dan pemimpin kabinet, maka itu adalah fasisstis, teriak Sir Philip Christinson dan jendral-jendral Inggris lainnya.', tulis Bung Karno dalam memoarnya.



Nanti akan tampak pula, bahwa pada saat ketika Presiden Sukarno menyatakan DEKRIT PRESIDEN untuk kembali ke UUD-1945, membubarkan Parlemen dan Konstituante, Bung Karno sempat menyatakan bahwa pada ketika itu, TENTARA memperoleh apa yang mereka inginkan: BIBUBARKANNYA PARLEMEN!



Untuk jelasnya, bagaiamana situasi kehidupan politik di Republik Indonesia dengan sistim multi-partai ketika itu, baik kita ikuti nanti, tuturan Bung Karno dalam tulisan berikutnya.

(Bersambung) * * *




No comments: