Tuesday, March 2, 2010

DULU KAMI DIKIBULIN (2)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 28 Februari 2010
----------------------------

DULU KAMI DIKIBULIN, Rien SNIJDERS
-- (2) --

Baik dilanjutkan cerita sekitar eks-Marinier Tentara Kerajaan Belanda Rien Snijders. Berikut ini, sedikit pengenalan tentang dirinya. Rien Snijders berasal di sebuah desa terpencil, provinsi Brabant. Ketika Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, dan lahir Republik Indoneisa, pemerintah Belanda cepat-cepat merekrut tentara untuk dikirim sebagai ''vrijwilliger”, 'sukarelawan' ke 'Hindia Belanda'. Rien Snijders, yang lebih banyak terdorong oleh keinginan 'avontur' dan mau segera keluar dari lingkungan desa yang sempit, ikut mendaftarkan diri. Tanggal 25 November 1945 ia berangkat bersama beberapa batalyon Tentara Kerajaan Belanda (KL) ke Indonesia. Dari pasukan infantri ia kemudian bergabung ke Korps Polisi Militer Belanda (1947).



Tak lama setibanya di Indonesia Rien menyaksikan bahwa situasi di Indonesia samasekali berbeda dengan apa yang digambarkan oleh pemerintah Belanda. Rien mulai berfikir. Timbullah pertanyaan dalam dirinya: Apakah pemerintah Belanda punya hak mengirimkan tentara dan melakukan tindakan militer di Indonesia? Setelah ambil bagian dalam 'Aksi polisionil' ke-1, ia kembali ke Belanda. Selanjutnya menjadi wartawan/penulis. Merealisasi idam-idamannya sejak kecil.



Buku Rien Snijders “DULU KAMI DIKIBULIN”, adalah hasil dari suatu pemikiran kembali, suatu renungan mawas diri dan kemudian bersikap kritis terhadap politik kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda di Indonesia setelah Perang Dunia II. Rien Snijders terutama menyasar para pemimpin politik dan gereja Belanda waktu itu. Mereka-mereka itu memobilisasi dan 'menyemangati' ribuan tentara Belanda yang berangkat ke Indonesia. Kemudian menemui ajalnya di medan pertempuran melawan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin itu tidak pernah dimintai pertanggungan-jawabnya! Mereka-mereka itu bertolak dari fikiran 'mainstream' di Belanda, bahwa di 'onze Indië' ('Hindia Kita'). 'kita bisa berbuat sesuatu yang besar'. Di Belanda fikiran kolot ini masih tersisa sampai dewasa ini.

Lebih enampuluh tahun kemudian, kemunafikan dan hipokrisi yang bertolak dari kepentingan politik ini, di kalangan politisi dan gereja Belanda, masih tetap sulit dibicarakan dengan terus terang dan terbuka, demikian komentar penerbit buku Rien Snijders, 'Uigevery Kontrast'.

Kita ikuti beberapa ungkapan Rien Snijders di dalam bukunya:

* * *



RENUNGAN DI SEBUAH MONUMEN
< Oleh Rien Snijders, 2005>

“Di Roermond aku berdiri di monumen yang didirikan untuk anggota-anggota militer Belanda yang tewas di Hindia Belanda. Para pendiri pekuburan monumen ini memerlukan delapanbelas pilar untuk menatah nama-nama anggota tentara yang tewas. Ketika aku berjalan berkeliling monumen fikiranku dipenuhi oleh samudra kenangan yang membikin persaan menjadi tak enak. Pada waktu berangkat dulu, mereka telah melakukan perpisahan seperti yang diatur oleh para pejabat pemerintah dan kalangan gererja”.

. . . . “Berangkatlah melaksaakan tugas pemerintah kalian yang sah yang dengan tak cuma-cuma menggengam kelewangnya. Berangkatlah dengan kesadaran seruan yang lebih tinggi untuk memulihkankan hukum dan ketertiban. Semoga Tuhan yang ada di Surga memberkahi kalian. DIA menguatkan kalian. DIA membimbing kalian. Dia akan membawa kalian kembali ke keluarga dan ke kota kalian, dan yang dalam fikiran mengikuti kalian dan berdoa mengenangkan kalian. Tuhan akan selalu melihat kalian agar kalian ketika dalam keadaan bahaya menyelamatkan roh kalian”.


“Di berbagai tempat di negeri kita, pidato-pidato seperti tsb itu diucapkan. Boleh dibilang, serdadu-serdadu yang berangkat selalu dipuji semangat cinta-tanah airnya. Setelah lima tahun pendudukan Jerman di Hindia-Belanda, harus dipulihkan ketertiban dan ketenangan, demikian kilah para menteri dan anggota Tweede Kamer (Parlemen). Lebih-lebih di sana ribuan warga-setanah air yang selamat dari kamp-kamp, sedang terancam jiwanya. Di banyak gereja dipanjatkan doa ke hadirat Tuhan bagi serdadu-serdadu Belanda. Sepucuk surat yang ditulis Jan Pieters-zoon Coen dalam tahun 1617 kepada Heeren XVII (Pengurus VOC, I.I.), yang berbunyi a.l sbb: “ /daer can in Indiën wat groots verricht worden” -- (Nun di //Hindia sana bisa dilakukan sesuatu yang besar , I.I.). /Mana ada anak muda bernyali yang tidak akan ikut serta dalam usaha baik tsb. Juga seruan pemerintah untuk ambil bagian dalam dinas militer telah direspons oleh ribuan anak muda. Juga oleh saya. Mula-mula para sukarelawan tsb – begitu cepatnya penamaan sukarelawan itu dipakai – akan digunakan untuk melakukan pertempuran akhir melawan Jepang, tetapi setelah menyerahnya Jepang, mereka dikirim ke Hindia-Belanda. Pertimbangan saya bersedia dikirimkan ke Hindia-Belanda sebagai sukarelawan, sesungguhnya sedikit sekali sangkut pautnya dengan masalah cinta-tanah air. Dan samasekali tak ada kaitannya dengan keberanian. Keberangkatan saya itu bertolak dari keinginan untuk avontur, bertualang. Dan dari keinginan yang sudah lama didam-idamkan untuk lepas dari masyarakat yang ketat dikontrol secara ortodoks dimana saya dibesarkan.

Saya kira, banyak sukarelawan juga mengalami seperti saya. Juga mereka dipancing dengan avontur. Mereka yang dari dinas wajib-militer kiranya punya fikiran lain. Namun, kaum veteran Hindia Belanda itu juga tidak bisa dianggap sebagai satu golongan yang homogin. Antara militer sukarelawan tua dan mereka yang dikirim sebagai dinas wajib militer – sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang kita lakukan di sana. Yang belakangan ini lebih banyak pertama-tama merasa jadi korban dari politik (pemerintah) setelah perang (Perang Dunia II) terbanding mereka yang ke sana sebagai sukarelawan. Tetapi, juga di kalangan sukarelawan tua terdapat perbedaan pendapat. Pernah mereka dipuji keberanian dan semangat cinta tanah air-nya. Dewasa ini pujian demikian itu hampir samasekali tidak disebut lagi.

“Untuk didirikannya monumen di Roermond kaum militer tua sampai harus mengadakan aksi-aksi dan mengumpulkan dana sejumlah seratus ribu gul. Kemudian akhirnya pemerintah memberikan dana yang diperlukan. Tetapi hanya sesudah ada tekanan golongan pejuang-tua. Mengenai militer yang tewas di Hindia Belanda, di Belanda bertahun-tahun lamanya hampir samasekali tidak disebut lagi.

Tampaknya Belanda mulai merasa sedikit malu mengenai perang (di Indonesia) dan orang ingin secepat mungkin melupakannya. Dekolonisasi tampaknya bukan merupakan segi yang kuat pada kita. Kaum politisi dari peiode segera sesudah berakhirnya Perang Dunia II, terbukti tidak mampu untuk dengan cara sopan mengucapkan selamat tinggal pada milik kita di daerah seberang lautan.

Mereka tidak mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dunia sesudah Perang Dunia II. Maka itulah juga dekolonisasi Papua telah berakhir dengan suatu drama. Rasa malu itulah yang sebagian besar merupakan penyebab mengapa monumen di Roermond baru pada tahun 1988 selesai didirikan. Hampir empatpuluh tahun setelah militer kita meninggalkan Hindia Belanda. Baru sesudah itu terdapat kalimat-kalimat “demi menghormat dan mengenangkan para militer yang sejak 1945 telah gugur di Hindia-Belanda”. Dalam tahun 1999 monumen tsb diperluas dengan delapanbelas pilar.”

* * *

Demikianlah bagian pertama dari buku Rien Snijders yang dikutip hampir lengkap untuk menunjukkan bagaimana seorang mantan-Marinier Belanda, melihat sejarah mereka mengenai konflik dengan Indonesia.

Dalam uraiannya itu juga bisa disaksikan, bahwa pandangan orang-orang Belanda, mengenai 'tempo doeloe' berragam adanya. Mulai dari yang paling konservatif dan ortodoks sampai pada yang maju dan progresif. Bagian-bagian berikutnya akan dikutip juga sebagian, nantinya, untuk menunjukkan, bahwa, meskipun secara militer Belanda telah meninggalkan Indonesia, tetapi fikiran kolot mengenai peranan kolonialisme Belanda di Indonesia masih tetap ada.

Dari buku Rien Snijders tampak bagaimana pemerintah Den Haag setelah Perang Dunia, kaum politisi dan kalangan gereja, menggunakan surat dan roh Jan Pieters zoon Coen – Gubernur VOC yang teramat kejam dan biadab menindas rakyat Indonesia pada zaman permulaan Hindia Belanda, sampai pada Kitab Injil guna memobilisasi tentara untuk menindas dan menghancurkan Republik Indonesia.

* * *

Dengan membaca buku Rien Sijders, sekaligus bisa dikatakan bahwa pandangan yang main-pukul-rata mengenai masyrakat Belanda tentang Indonesia dewasa ini, --- ADALAH TIDAK NYAMBUNG dengan kenyataan, dan KELIRU. Sejak zaman kolonial di Belanda terdapat sejumlah besar golongan Kiri dan progresif, termasuk kaum demokrat dan religius, yang mendukung perjuangan bangsa kita untuk kemerdekaan. Pada periode Orde Baru Suharto, kaum buruh dan sejumlah besar kaum Kiri demokrat dan religius, yang a.l tergabung dalam Komite Indonesia di Belanda, dengan konsisten menyokong dipulihkannya demokrasi dan HAM di Indonesia.

Rien Snijders, seperti banyak lainnya di kalangan orang Belanda, adalah orang-orang Belanda yang jujur dan berani melihat kenyataan dan perubahan maju di dunia ini. Ia berani mengkoreksi pandangan dan tindakannya yang keliru di masa lalu mengenai Indonesia dan melakukan kritik yang tajam terhadap politisi dan kalangan gereja yang ngotot masih mempertahankan pandangan lama mereka terhadap Indonesia. Serta tidak mau mempertanggungjawabkan tindakan mereka di masa lalu.

(Bersambung)



* *

No comments: