Tuesday, March 2, 2010

SOEKARNO DAN PANCASILA MASIH TETAP (2)

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 25 Februari 2010
------------------------------

SOEKARNO DAN PANCASILA MASIH TETAP MEMIMPIN INDONESIA MASAKINI <2>



Mengawali sambungan tulisan Peter Dale Scott, yaitu bagian kedua dan terakhir dari tulisannya, berjudul "SOEKARNO Dan PANCASILA Masih Tetap Memimpin Indonesia Masakini", baik kiranya kita soroti beberapa pokok fikiran penting yang diajukan oleh Peter Dale Scott.

Pertama - Seperti bisa kita baca dalam bagian pertama dari artikel beliau itu: Peter Dale Scott dengan tandas sekali mengemukakan, bahwa:
"Pada saat Indonesia sekarang ini mengalami lagi krisis kepemimpinan nasional, sangatlah berguna mengenang kembali pemikiran nation-building Soekarno."

Menjadi fundamental ialah jawaban apa yang diberikan terhadap pertanyaan:

APA YANG MERUPAKAN MASALAH TERPENTING YANG DIHADAPI NASION DAN NEGERI KITA DEWSA INI?

Begitu banyak persoalan besar dan penting yang terpampang dan menantang bangsa: Mulai dari masalah Reformasi, yang masih jalan ditempat. Bahkan bahaya yang mulai muncul hendak menghapuskan samasekali kemenangan-kemenangan kecil tetapi penting Reformasi, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi; -- Sampai pada masalah korupsi, mafia pengadilan dan tanda-tanda kelompok militer hendak kembali ke zaman DWIFUSI ABRI. Mulai dari penanganan kasus-kasus korupsi (yang terpenting kasus Bank Century) -- sampai disodorkannya saran absurd pendukung Orba, untuk memberikan gelar 'pahlawan nasional' kepada mantan Presiden Suharto.

Semua itu adalah masalah-masalah penting yang erat terkait dengan haridepan bangsa dan tanah air.
Namun, diatas segala-galanya, masalah yang maha penting dan maha fundamental ialah masalah PEMBANGUNAN NASION INDONESIA. Masalah, seperti dikatakan Bung Karno: masalah NATION BUILDING. Masalah pembangunan nasion mencakup semua masalah-masalah lainnya. Namun merupakan masalah KUNCI.


Pembangunan suatu nasion, lebih-lebih ketika menghadapi masalah krisis kemimpinan nasional seperti sekarang ini, teramat memerlukan pemikiran dan falsafah yang mendasarinya, yang merupakan fundamen dari bangunan yang hendak dan sedang dibangun. Dasar falsafah dan fundamen tsb adalah AJARAN-AJARAN BUNG KARNO, terutama PANCASILA.

* * *

Kedua, bersangkutan dengan masalah kongkrit yang harus dipecahkan, yaitu: Apakah ada,apakah bangsa ini punya tokoh nasional, pemimpin, atau partai politik yang harus menjadi motor dan organisator urusan besar PEMBANGUNAN NASION atas dasar AJARAN SUKARNO, khususnya PANCASILA?

Peter Dale Scott, mengemukakan sebagai berikut:

"Sungguh luar biasa -- bahkan setelah penggulingan Soekarno -- ,
musuh-musuhnya di kalangan militer Orde Baru tetap terpaksa secara
munafik mengunyah-ngunyah Pancasilanya Soekarno. Kenyataan seperti itu
rada memudahkan “para pembela Pancasila sejati” -- seperti PDI sekular
pimpinan anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri, dan golongan Islam dari
“Nahdatul Ulama” -- untuk diam-diam bekerjasama me-restorasi demokrasi pada
saat kekuatan Suharto melemah. Bahkan Golkar, manifestasi bassis
kekuatan Suharto, harus mengemban komitmen untuk mewudjudkan
tujuan-tujuan Pancasila. Jadi dalam artian sesungguhnya dan dalam
kenyataan kongkrit, Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin
Indonesia masakini."

Menurut analisis Peter Dale Scott, PDI sekular pimpinan anak Soekarno, Megawati Sukarnoputri, dan golongan Islam dari NU , adalah "para pembela Pancasila sejati". Ini adalah suatu penilaian teramat penting dan terhormat. Sekalisgus merupakan penilaian dan penghargaan yang mengemban tugas sejarah penting dan berat: Meneruskan NATION BUILDING atas dasar ajaran-ajaran Bung Karno, khususnya Pancasila.

Di kalangan masyrakat (luar PDI) yang mendukung Megawati, sesungguhnya (sudah agak lama) terdapat kekecewaan dan keraguan terhadap Mega, karena dalam memimpin PDI-P, lebih-lebih ketika beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, -- Megawati tidak ber-'cancut taliwondo', tidak melakukan gebrakan 'rawé-rawé rantas malang-malang putung', 'maju terus pantang mundur', dalam mengemban tugas sejarah mensosialisasikan dan memberlakukan ajaran-ajaran Bung Karno dan Pancasila khususnya, sehubungan dengan tugas sejarah NATION BUILDING. Yang kesemuanya itu adalah syarat mutlak dalam mengatasi krisis kepemimpinan nasional yang berkepanjangan sampai dewasa ini.


* * *

Berikut ini adalah sambungan dan bagian terakhir tulisan Prof. Dale Scott:

SOEKARNO DAN PANCASILA TETAP MEMIMPIN INDONESIA MASAKINI

Oleh: Peter Dale Scott, Bagian Ke-II

Toleransi kemanusiaan Soekarno mempersembahkan suatu dasar program politik tentang bagaimana harus memimpin negara dan bangsa, bukan saja bagi Indonesia, tetapi bagi semua negeri Dunia Ketiga. Dimulai dari Konferensi Kolombo 1954 dan berlanjut ke Konferensi Bandung 1955, cara pendekatan dan appeal pribadi Soekarno merangkul suatu front yang luas, telah memberikan sumbangan besar bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk menyadari akan kekuatan yang dimilikinya. Soekarno juga membantu menyelesaikan berbagai problema penting dalam macam-macam masalah yang bisa mengeruhkan dan secara serius berhasil memecah problema hubungan-hubungan Indonesia-Tiongkok.

Apa yang dibangun dan dicapai oleh Soekarno itulah yang menyebabkan Soekarno atau siapapun, tidak mungkin menyelesaikan ketegangan yang meningkat antara Indonesia yang merdeka dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat memang senang mendukung kemerdekaan Indonesia lepas dari Belanda, bahkan membantu memulihkan kembali Irian Barat yang terpisah ke dalam wilayah kesatuan Indonesia di tahun 1961. Tetapi politik Amerika, lebih-lebih di bawah Dulles bersaudara, kemudian mengembangkan suatu sikap yang tambah lama tambah tidak toleran terhadap Soekarno, itu gara-gara Soekarno melancarkan politik bebas aktif tidak berpihak dalam usahanya untuk hidup damai dengan semua kekuatan adikuasa di dunia yang terpecah ini.

Dari instruksi pertama Menlu John Foster Dulles keada Duta Besar Amerika di Indonesia tahun 1953 menjadi jelas, bahwa Dulles mengingini dihentikannya sikap Indonesia yang condong kepada komunisme. Operasi rahasia CIA untuk menggarap Indonesia lalu disahkan dan diberi wewenang resmi, selanjutnuya mulai diterapkan pada tahun berikutnya.

Soekarno dan banyak pemimpin Indonesia lainnya mencurigai CIA membantu pemberontakan Darul Islam di Aceh yang terus membesar, sutu kawasan di mana terdapat investasi besar minyak Amerika Serikat. Adalah sesuatu yang pasti bahwa CIA bersama perusahaan-perusahaan Amerika, aktif mendukung pemberontakan-pemberontakan lain yang lebih luas lagi, yaitu pemberontakan PRRI-Permesta melawan pemerintah pusat di Jawa. Di saat itulah, Soekarno mengambil dua langkah penting, tetapi dua-duanya pada akhirnya digunakan untuk menjatuhkannya.

Pertama adalah 'demokrasi terpimpin' dalam bulan Oktober 1956. Penolakan Soekarno atas dominasi mayoritas parlemen (DPR), asal-usul pembenarannya terdapat dalam pemikiran tradisionil Indonesia, juga pada konsep praktek pendidikan Taman Siswa, dan dalam semangat musyawarah-mufakat Pancasila. Sejak 1956 menjadi sangat jelas bahwa sistem parlementer Barat memiliki kelemahan. Tetapi demokrasi terpimpin gagal membrikan pertanggungan jawab publik dalam peralihan proses institusional untuk menggantikan sistem parlementer Barat itu. Legitimasi pemerintahan tambah lama tambah terfokus pada Soekarno sebagai pemimpin. Di sekeliling Soekarno, parpol-parpol yang tak habis-habisnya berdebat kemudian berubah ke klik-klik yang berintrik tak habis-habisnya pula. Kaedah-kaedah proses hukum dan keuangan, tak pernah sempat terjamin dalam kehidupan bernegara, dan ketidak-tertiban tambah lama tambah meningkat. Sampai sekarang pun keadaan seperti itu masih terus diwarisi.

Inisiatif Soekarno kedua yang penting adalah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang) pada bulan Maret 1957. Ini adalah suatu taktik menghadapi pemberontakan PRRI-Permesta. Dalam jangka pendek deklarasi SOB itu sukses untuk menumpas pemberontakan, tetapi mulai menyusupnya militer dalam pentas politik, ekonomi dan kehidupan sosial, di belakang hari membuktikan bahwa kebablasan itu sudah tidak bisa diubah lagi.

Dengan munculnya dua fenomena itu -- demokrasi terpimpin dan SOB -- maka keaneka-ragaman dan pluralisme Indonesia yang tradisional mulai pecah-belah. Dalam alam demokrasi terpimpin yang sebenarnya bagi parpo-parpol tidak pernah dirasakan nyaman, dominasi PKI menjadi terus meningkat. Parpol-parpol kanan terpacu meningkatkan kerjasama konspiratif dengan tentara. Polarisasi ini dengan sedar disambut oleh Amerika Serikat dan CIA, dan diatas segalanya CIA terutama memperluas kontak-kontak mereka dengan angkatan darat Indonesia.

Jadi, dengan demikian tata-letak panggung untuk pertarungan besar 1965 telah disiapkan, yaitu tipuan khianat kup militer yang dibantu CIA. Kemudian segenap lima sila Pancasila sementara dilupakan dalam masa pertumpahan darah terorganisir yang mungkin belangsung paling kejam, dan yang tak pernah terjadi di mana pun di dunia setelah Perang Dunia ke-II.

Lantas debat berkepanjangan terus berjalan untuk mencari kambing hitam siapa berdiri di belakang peristiwa September 1965. Apakah harus kita persalahkan perpecahan tak henti-hentinya dan kekerasan tersembunyi yang ada dalam budaya Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh para pakar Amerika? Ataukah harus kita tuding peran Amerika Serikat dan kekuatan asing lainnya dalam menyiapkan apa yang terbuka dikatakan seorang pejabat CIA sebagai "likwidasi kekuatan politik . . . komunis?

Semua kekuatan yang pernah aktif bergerak semasa dua dekade kepemimpinan Soekarno, sampai sekarang masih ikut menyumbang pada krisis yang masih berlangsung masakini. Kesatuan dan persatuan nasional terancam seperti di tahun 1945, di satu pihak oleh gerakan separatis kedaerahan dan juga oleh sementra kekuatan Islam yang fanatik ngotot menganggap Indonesia dengan mayoritas Muslim seharusnya menjadi Negara Islam. Gerakan fanatik itu bahkan juga memecah golongan Islam sendiri.

Di lain pihak, dua warisan -- penumpahan darah 1965 dan berlanjutnya kekuasaan militer Orde Baru -- menghambat proses keterbukaan politik untuk menyelesaikan krisis, untuk mengatasi masalah perpecahan dan berbagai masalah lain yang membahayakan republik.

Sekarang masih saja terus hidup suatu nostalgia agar Indonesia kembali pada pola militer guna memaksakan stablitisasi keamanan dan keterlibatan, nostalgia yang kadang-kadang didengung-dengungkan secara mengerikan oleh pers Amerika. Jelas sekali, sekurang-kurangnya berbagai peristiwa perpecahan dan kekerasan yang terjadi dua tahun belakangan ini -- terutama terhadap orang-orang keturunan Tionghoa -- telah dijadikan pola untuk berdalih diperlukannya intervensi militer baru.

Berbagi problema ini betapa pun seriusnya, hendaknya jangan sampai membutakan mata kita terhadap hasil prestasi Soekarno yang abadi. Indonesia tetap survive sebagai nasion yang bersatu, sekali pun terdapat keragaman budaya yang tiada bandingnya di atas planet kita ini. Walaupun belum sempurna, wawasan Soekarno menguasai masadepan politik dan ekonomi Indonesia. Di tahun lumapuluhan kebanyakan orang mungkin tak percaya bahwa justru sekarang ini wawasan Soekarno mempunyai peluang lebih besar untuk direalisasi.

Paling penting adalah bahwa para pendukung Pancasila dan proses politik harus mampu mewudjudkan suatu peralihan relatif damai dari kediktatoran militer ke suatu masyarakat yang lebih terbuka, dengan esensi suatu pemilihan umum yang bebas. Realisasi proses politik seperti itu akan mempemalukan orang-orang pesimis yang selalu meramal bahwa proses itu tidak mungkin bisa terjadi.

Konsensus politik antara golongan menyangkut Pancasila dan proses politik menuju ke masyarakat terbuka, menjadi titik temu yang baik untuk disepakai bersama darpada mencari konsensus di bidang-bidang lain yang di dalamnya masih saja terdapat perbedaan pandangan yang tajam. Seperti misalnya mengenai masalah syariat dan negara Islam, masalah ekonomi dalam hubungannya dengan IMF, atau masalah diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Bila masalah-masalah itu sekarang agak berkurang gawatnya ketimbang dua tahun yang lalu, maka itu semua adalah berkat Pancasila. Kita harus antusias menyambut Pancasila, karena berkat jasa Pancasila, Indonesia mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya melewati berbagai krisis yang berkesinambungan, dan dengan pertumpahan darah yang minim (meski) masih cukup banyak jumlah korban daripada apa yang kita harapkan). Juga kita harus serius mengamalkan Pancasila, karena situasi krisis sekarang masih cukup gawat- tanpa Pancasila keadaan malah bisa bertambah parah. Hal-hal ini mempunyai makna tersendiri bila dibandingkan dengan sejarah mutakhir yang dialami tetangga-tetangga Indonesia. Apa yang dicapai Republik Indonesia, dua-duanya: Pancasila dan proses peralihan ke masyarakat terbuka, berikut segenap masalah yang tercakup di dalamnya, merujuk pada satu tujuan yang sama.

Dalam memperingati seabad kelahiran Soekarno, patut sekali kita akui peranannya sebagai Pembangun dan Pemersatu utama Negara Indonesia. Lebih penting lagi, Pancasila sebagai pemikiran Soekarno paling cemerlang, sekali lagi harus diakui dan ditegas-tegaskan kembali agar ia menjadi dasar kontrak Republik Indonesia, ilham serta sumber terbaik untuk melakukan pembaharuan. * * *

No comments: