Thursday, March 11, 2010

DULU KAMI DIKIBULIN (3-)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Sabtu, 06 Maret 2010
----------------------------

DULU KAMI DIKIBULIN (3-)


Membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa, berbagai dokumentasi di internet, saling hubungannya dengan bangsa lain, merenungkan, memikirkannya kembali, adalah suatu kegiatan berguna sekali. Sering ditemukan di situ butir-butir baru obyektivitas. Yang dulu pernah dibaca, belum tampak. Bahkan, akan menjumpai sesuatu yang mendekati 'kebenaran'. Maka kegiatan tsb, menyegarkan fikiran, dorongan untuk lebih lanjut memeriksa kembali fikiran semula, memperluas cakrawala pandangan.

Dengan sendirinya, yang dimaksudkan di sini dengan membalik-balik kembali kasus sejarah, adalah membaca (kembali) buku-buku sejarah dan dokumentasi yang 'beneran'. Yang ditulis atas dasar fakta-fakta, sumbernya transparan dan bisa diakses kembali. Yang terhadapnya bisa dilakukan 'check and recheck', yang bisa diusut keabsahan sumbernya, yang bukan rekayasa. Yang bukan atas dasar cerita yang 'entah benar entah tidak', fiksi apalagi angan-angan kibulan perorangan semata. Atau yang sumbernya dibilang sendiri sebagai 'menurut berita burung'.



Ruangan ini adalah kolom 'Berbagi-Cerita' . . .. Tetap ada kebebasan dalam menulis. Bolehlah ada tema kecil. Sedikit 'beralih' ke kasus lain: Yaitu, sekitar 'PERISTIWA MADIUN'. Tidak terlalu menyimpang dari tema besar, karena soalnya juga masalah sejarah. Untuk menujukkan bahwa, mengenai kasus 'Peristiwa Madiun', PKI pernah menantang pengadilan dengan fakta-fakta bukti dan saksi-saksi hidup , bukan 'berita burung' ataupun 'berita yang entah benar entah tidak'. Dan samasekali bukan 'kibulan' sang penulis.

Tadi malam aku mengakses 'search machine' – Google.Com. Mencari bahan dan dokumentasi sekitar 'Peristiwa Madiun'. 'Wonder boven wonder', kata orang Belanda, (yang artinya kira-kira: samasekali tak terduga), kujumpai dokumen 'DN AIDIT MENGGUGAT PERISTIWA MADIUN'. Dokumen tsb adalah pidato DN Aidit, Ketua PKI, di DPR-RI, Februari 1957. Isi utamanya membantah dengan fakta dan saksi, fitnah dan tuduhan bahwa Peristiwa Madiun adalah suatu 'pemberontakan PKI' melawan pemerintah yang sah, pemerintah Republik Indonesia. Diungkap dan dibeberkan oleh Aidit, bahwa peristiwa Madiun itu adalah hasil provokasi pemerintah Hatta ketika itu. DN Aidit lalu menantang penguasa (ketika itu kabinet parlementer Ali Sastroamidjojo(PNI) dan Idham Chalid (NU). Aidit minta agar kasus Peristiwa Madiun diajukan ke Pengadilan. Sekaligus minta Moh. Hatta yang sudah meletakkan jabatan Wakil Presiden RI, ditampilkan sebagai saksi. Aidit berjanji akan menampilkan barang bukti berupa dokumen otentik dan saksi-saksi hidup. Sayang pemerintah dan pengadilan tidak merespons TANTANGAN AIDIT tsb. Juga mereka-mereka, parpol-parpol, golongan-golongan yang anti-komunis, yang dengan seenaknya menuduh bahwa Peristiwa Madiun adalah pemberontakan PKI, tidak merespons tantangan Adit tsb. Aneh, ya? Tidak berani? Atau apa? Ada kesempatan baik untuk mentuntaskan penyimpulan sekitar Peristiwa Madiun, tetapi kok tidak dimanfaatkan. Bukankah seharusnya bisa kasus Peristiwa Madsiun diajukan ke pengadilan, demi persatuan nasional dan memperkokoh kesatuan dan persatuan tanah air dan bangsa.

Karena masalah Peristiwa Madiun, dibuat sengaja menjadi masalah yang 'menggntung' , maka bebaslah beredar tuduhan bahwa Peristiwa Madiun adalah 'Pemberotakan PKI' . Dan ini berlangsung terus sampai kini. Dan kesimpang-siuran mengenai Peristiwa Madiun berlangsung terus. Masing-masing dengan cerita dan kesimpulan sendiri.

* * *
Buku eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders, 'WIJ WERDEN MISLEID'. -- DULU KAMI DIKIBULIN-- adalah salah satu karya penulis untuk mengungkap kasus sejarah, guna menarik pelajaran untuk masa depan bagi generasi berikutnya.

Penulis Singapore, sahabat baikku * May Swan*, sampai selesai membaca tulisan “Berbagi Cerita”-- sekitar eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders. Lalu May Swan memberikan kesan/tanggapan sbb:

“Tulisan mengenai bukun Rien Snijders seorang eks-Marinier Kerajaan Belanda saya baca sampai selesai.

“Banyak membantu pengetahuan tentang keadaan sebenarnya dalam masyarakat Belanda mengenai pandangan mereka terhadap era-kolonialisasi dan perjoangan kemerdekaan Indonesia. Seperti yang tercatat, "Dalam uraiannya itu juga bisa disaksikan bahwa pandangan orang orang Belanda mengenai Tempo Doeloe beragam adanya. Mulai dari yang konsevatif dan ortodoks smpai pada yang maju dan progresif. Setelah lebih dari enampuluh tahun, kemunafikan dan hipokrisi yang bertolak dari kepentingan politik ini, di kalangan politisi dan gereja Belanda masih sulit dibicarakan dengan terus terang dan terbuka."


“Terkilas dalam benak, mempolitisir agama demi kepentingan gereja dan sekelompok manusia, sudah terjadi sepanjang masa dan masih bersambungan hingga hari ini, tidak hanya di negeri Belanda. Sekalipun dengan perbedaan nama dan julukan. Maka bolehkah saya katakan, yang perlu ditantang adalah jalan pikiran, kelakuan dan sistim penghisapan yang pernah terjadi dan tetap berlangsung, bukan orangnya. Karena secara individu, melalui pengalaman, pengetahuan dan kesadaran, demi kepentingan, orang bisa saja berubah. (May Swan).


* * *

Berikut itu disampaikan lanjut beberapa lagi ungkapan Rien Snijders mengenai situasi konflik Belanda-Indonesia pada periode yang dibicarakan dalam bukunya.

Rien Snijders:

“Segera seusai Perang Dunia II, pemerintah Belanda menganggap sebagai kewajibannya untuk secepat mungkin membangun sebuah tentara. Kewibawaan harus segera dipulihkan di Hindia-Belanda. Munculllah dimana-mana seruan dalam bahasa Belanda rombengan: Adalah keinginan pemerintah Belanda, menantikan pemanggilan kembali personil sesuai dengan undang-ndang wajib dinas, untuk secepat mungkin memiliki tentara yang terlatih. Oleh karena itu diberikan kesempatan kepada semua laki-laki Belanda dan yang di bawah kekuasaan Belanda, yang lahir sebelum 1 Januari 1927 dan yang belum mencapai 37 tahun, untuk melapor sebagai sukarelawan perang dan dimana perlu melakukan Dinas Militer dimana-mana'.

“Mengenai apa yang diartiken dengan 'dimana perlu', tidak disinggung oleh seruan itu, tetapi kita taulah. Prof. ir. W. Schermerhorn, Perdana Menteri ketika itu, memberikan penjelasan tegas di parlemen (Tweede Kamer) ketika ia menyatakan: ' bahwa milik kita yang tesisa hanya mrupakan tidak lebih dari sepotong 'droge boterham' (roti kering) bilama Indië (maksudnya Indonesia, I.I.) akan diserahkan kepada orang-orang Indonesia' .

“Banyak yang setuju dengan dia, INDIË VERLOREN, RAMPSPOED GEBOREN, <”Hindia lepas, datanglah bencana”, I.I.>.

“Menteri Jongkman, Merteri Daerah Seberang Lautan, menggugah perasaan nasional ketika ia berkata bahwa Nederland mampu melakukan hal-hal besar dan harus tetap menjadi suatu kerajaan kaliber dunia. Ketika baru menjabat sebagai menteri ia menyatakan kepada rakyat Belanda, 'bahwa negeri kita telah membuktikan punya hak atas kewajiban di seberang lautan'.

“Djurubicara Katholieke Volkspartij dan pimpinan redaksi de Volkskrant, prof C.P.M. Romme, lagi berucap nasionalistik ketika ia bicara mengenai suatu imperium Nederland.

“Dan Menteri Koloni (Protestan), A.W.F. Idenburg, disambut dengan tepuk tangan di Parlemen ketika ia mempertanyakan di jejeran ke berapa tempat Nederland di masyarakat bangsa-bangsa tanpa memiliki jajahan-jajahannya. Belum pernah terjadi di masa lalu, golongan Katolik dan Protestan begitu mendasar kebersamaan mereka seperti halnya kebersamaan mereka mengenai apa yang dinamakan masalah Hindia.



“Di dalam bukunya Kerajaan Belanda Semasa Perang Dunia II, jilid XII, Prof. dr L. de Jong menulis, bahwa harus dilakukan lagi penyebaran ajaran Kristen. Lalu: Di kalangan Rooms Katoliek dan Hervormde Kerk keinginan agar seluruh Hindia (maksudnya Indonesia, I.I.) menjadi Kristen, memainkan peranan penting.

“Uskup Roermond berkeyakinan bahwa kaum 'Indiëgangers” (orang-orang Belanda dan lainnya yang di Indonesia yang mendukung kekuasaan jajahan Hindia Belanda, I.I.), adalah: Prajurit-prajurit Kristus dan tanah-air, pada siapa ia menharapkan mereka-mereka itu akan menerima apa saja, karena itu adalah Kehendak Tuhan.

“Komisari Ratu di Limburg tidak mau ketinggalan ketika ia menunjukkan kepada tentara yang berangkat, bahwa mereka mengemban tugas sebagai wakil-wakil dari kebudayaan Kristen.

Sementara diakhiri sampai di sini dulu ungkapan-ungkapan yang dikemukakan oleh eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders, di dalam bukunya 'KITA DULU DIKIBULIN'.

.



* * *

No comments: