Tuesday, March 2, 2010

DULU KAMI DIKIBULIN , kata Rien Snjiders

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Jum'at, 26 Februari 2010

---------------------------------------


DULU KAMI DIKIBULIN -- Kata

Rien Snjiders, Eks Marinier Belanda <1>


Pada paragraf di bawah ini kutulis sedikit 'pendahulu cerita'. Semacam 'warmimg-up´. Untuk ceritaku mengenai sikap dan pandangan seorang wartawan/penulis Belanda. Ia mantan polisi militer tentara kerajaan Belanda (KL). Pernah bertugas di 'Nederlands Indië' tahun-tahun 1945-1947. Namamya Rien Snijders. Sama seperti lebih seribu serdadu Belanda lainnya yang dikenal dengan nama 'dienstweigeraars' atau ´pembangkang dinas militer´. Setelah memikirkan kembali, suatu ketika mereka punya pendapat lain dengan pemerintah Belanda. Mereka menentang politik anti-Republik Indonesia pemerintah Belanda. Mereka-meraka itu adalah orang yang ´berbalik´ . Pandangan Rien Snijders kemudian bertolak belakang dengan 'Oud Indiërs´atau ´Indische veteranen´. Yaitu mereka-mereka yang mantan anggota KNIL atau KL lainnya.


Kata-kata ´DULU KAMI DIPERDAYAKAN´, adalah kalimat yang ditulis oleh Rien Snijders dalam bukunya berjudul ´WIJ WERDEN MISLEID´. Bisa juga kata-kata tsb ditulis dengan kata-kata populer yang lebih dimengerti seperti ini: DULU KAMI DITIPU. Atau DULU KAMI DIKIBULIN (oleh pemerintah).


Jadi, ceritaku kali ini mengenai eks-marinier Belanda Rien Snijders. Ceritaku ini berarti membalik-balik halaman sejarah. Khususnya bersngkutan dengan hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dan harus. Maksudnya untuk merenung dan mengenangkan. Berfikir ulang mengenai hal bagaimana sejarah itu ditulis orang dan di-interpretasikan oleh berbagai fihak. Di sinilah tidak 'nyambungnya' ucapan wartawan-senior Rosihan Anwar dengan kehidupan nyata. Dalam diskusi ketika memperingati peristiwa sejarah enampuluh tahun Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Beladna (KMB, 1949). Rosihan Anwar berucap: Sejarah itu adalah yang sudah lalu. Jangan diungkit lagi. Lebih penting melihat kedepan! Mengikuti nasihat Rosihan orang bisa ´kesandung dua kali'. Karena tidak mau susah-susah belajar dari masa lampau, dari sejarah.


* * *


Selasa pagi lalu, sebagaimana biasa bersama temannya, tetangga kami, Will van de Nadort, -- Murti berangkat memenuhi acara tetapnya tiap Selasa. Mereka melukis bersama di ruangan Haagse Huis – Ruangan pertemuan bagi penghuni Haag en Veld, Zuidoost Amsterdam – semacam 'clubhuis'. Antara delapan / sembilan orang wanita senior seminggu sekali melakukan kegiatan melukis, di bawah bimbingan seorang pelukis profesional, Toos Bakker. Biasanya sebelumnya mereka ada kegiatan senam. Selasa ini senamnya libur.


Aku sendirian di rumah. Apa yang kukerjakan sebaiknya? Apakah duduk berjam-jam di depan computer. Membaca begitu banyak e-mail yang masuk (terkadang sampai 250 sehari). Dan berbagai berita hangat dari dan mengenai Indonesia. Yang semuanya itu bisa diakses di sk-sk Indonesia. Antara lain melalui Website-nya Umar Said, Paris. Sesudah membaca bahan-bahan biasanya aku menulis 'kolom', 'berbagi cerita' atau 'catatan partikeliran'. Juga menjawab teman atau relasi yang berkomunikasi bilateral lewat e-mail. Ini harus segera dilakukan. Kalau tidak segera direspons, biasanya lupa. Dan kelupaan merespons/menjawab e-mail yang ditujukan langsung, ini tidak baik. Menjengkelkan bagi yang besangkutan. Bisa juga terjadi salah faham, dsb. Maka kujadikan kebiasaan untuk secepatnya menjawab (lewat japri) e-mail yang perlu dijawab.


Atau bisa juga menggunakan waktu cukup untuk membaca berita e-mail yang kuterima langsung dari BBC. BBC di internet amat luas dan konprehensif. Itu dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Bisa juga membaca s.k. 'The Washington Post' online, yang juga kuterima gratis.


Jadi, bagaimana? Aku bisa pilih: Berkomunikasi dengan dunia luar, terutama dengan Indonesia, lewat internet. Atau pergi keluar. Teringat, hendak ke Openbare Bibliotheek Amsterdam. Perlu mengembalikan buku 'MAX HAVELAAR' of De Koffiveilingen Der Nederlandsche Handelmaatscahppy”, karangan MULTATULI, alias Eduard Douwes Dekker, mantan asisten-residen Lebak, Banten 4-1-1856. Meminjam buku di Openbare Bibliotheek Amsterdam, boleh sampai 3 minggu. Bisa diperpanjang tiga minggu lagi. Tetapi kalau terlambat mengembalikan atau lupa memperpanjangnya, didenda 30 sen euro, untuk setiap buku. Tapi mau ke perpustakaan Winkelcentrum Amasterdamse Poort, juga tak bisa. Setiap Selasa, ditutup untuk umum.


Jadi, berangkatlah aku dengan metro ke Amsterdam Centraal. Centrale Bibliotheek Amsterdam, memang tak tanggung-tanggung dalam melayani masyarakat. Mereka buka 7 hari seminggu. Dari jam 09 pagi sampai jam 09 malam. Di tingkat paling atas ada café. Bisa minum dan bisa makan di situ.

Jadi berangkatlah aku menuju Centrale Bibliotheek Amsterdam.


* * *


Tiba di tingkat tiga, wah, cerah rasanya fikiran. Karena di rak-rak buku bagian Indonesia, tersedia lebih banyak buku dibanding beberapa waktu yang lalu. Kali ini mungkin terdapat paling tidak seratus buku menyangkut Indonesia. Buku biografi Sukarno saja yang tiga jilid itu, ada dua set. Buku tentang Suharto jauh berkurang. Buku tentang Bung Karno bertambah. Aku senyum gembira melihatnya.


Lebih menggembirakan lagi, tersedianya banyak buku-buku (yang bagiku buku-buku baru), yang bisa dibilang, lebih obyektif mengenai Indonesia. Khususnya mengenai peranan dan dampak kolonialisme Belanda terhadap Indonesia. Beberapa buku malah amat tegas mengungkap kejahatan kolonialisme Belanda di Indonesia.


Empat buah buku segera kupinjam: 1). “Wij Werden Misleid”, penulis Rien Snijders (2005); 2). “Java, het laatste front”, oleh W. Rinzema, Admiraal (2000).

Buku berjudul “Java, het laatste front” ini agak unik. Kata pengantarnya ditulis oleh Prof dr. M.K. Tajudin. Antara lain Tajudin menulis dalam pengantar tsb, sbb: Harapan terbesar saya, ialah, bahwa buku ini, meskipun ditulis dalam bahasa Belanda (terdapat semacam kesimpulan dalam bahasa Belanda, Indonesia, Inggris dan bahasa Friesland) juga* dibaca oleh orang-orang Indonesia* dan dengan itu mereka bisa memperoleh pandangan yang lebih baik mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mengenai prolognya, dipandang dari fihak lainnya. 3). “Het angstzweet der kolonialen” (2003). Penulis: Nico Dros. Intinya mengenai konfrontasi antara kaum kolonialis Belanda dengan grup-grup etnik Tionghoa, Jawa dll. 4). “Rebellion To Integration. West Sumatra and The Indonesia Polity” (1999). Penulis: Audrey Kahin. Buku ini menelaah/mempelajari sejarah politik Sumatra Barat sejak periode akhir kolonial sampai masa kini.


* * *


Coba kita masuki sedikit buku penulis/wartawan mantan marinir Belanda, Rien Snijders. Mengapa kupilih buku ini untuk sedikit dibicarakan. Satu sebab utama: Masalah yang ditulisnya hingga kini masih aktuil, dalam rangka hubungan Belanda-Indonesia. Terutama dari jurusan Belanda. Di Belanda jumlah orang-orang Belanda yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang berpandangan progresif cukup banyak.


Tetapi yang masih berpandangan kolot/pandangan kolonialis juga masih cukup banyak. Umumnya dari generasi tua. Generasi 'oud Indiërs'. Atau yang disebut 'Indischë Veteranan'. Mereka masih tidak bisa menerima hak bangsa Indonesia memproklamasikan Revolusi Kemerdekaan, Agustus 1945. Mereka masih mengerutu: Masa sih tidak ada sedikitpun yang baik yang kami lakukan pada zaman 'tempo doeloe'. Dan mereka-mereka inilah yang bertahan degil bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah pada tanggal 27 Desember 1949. Ketika Kerajaan Belanda 'menyerahkah kedaulatan' kepada Republik Indonesia Serikat, sesudah KMB.


Buku Rien Snijders “WIJ WERDEN MISLEID”, “Dulu Kami Dikibuli” diharapkan akan membantu orang-orang yang berpandangan degil tsb di Belanda, sedikit membuka mata mereka.


Bersambung ke bagian 2)

* * *

No comments: