Senin, 27 September 2010
---------------------------------
DUBES R.I., F. HABIBIE - 'KEBLINGER'
Atau Justru - 'TJES PLENG'?
* * *
Menjelang akhir September 2010 ini, di kala di media internet dipublikasikaan berbagai tulisan dalam rangka Peringatan 45 Tahun Tragedi Peristiwa 1965, -- saat antara setengah juta sampai 3 juta warganegara tak bersalah dibantai, dalam suatu kampanye supresi militer anti-PKI dan anti Kiri, dengan sasaran utama menggulingkan Presiden Sukarno dan menghancurkan PKI serta kekuatan Kiri Indonesia --- Den Haag menjadi 'hangat' sekitar hubungan Indonesia-Belanda.
Pasalnya, menjelang kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Belanda (6-9 Oktober 2010), Dubes RI, Junus Effendi Habibie, memberikan wawancara kepada s.k. Beladna ' Het Financieel Dablad'. Habibie mengomentari pemilih PVV < Partij Voor de Vrijheid, sebuah parpol ultra Kanan, Partai Untuk Kebebasan> dan pemimpinnya Geert Wilders. Geert Wilders adalah tokoh politik ekstrim Kanan Belanda yang sedang ngetop dalam kehidupan politik Belanda dewasa ini. Partainya Geert Wilders memberikan 'gedoogdsteun' - dukungan 'permisif'- pada usaha partai liberal VVD dan Kristen demokrat CDA yang bernafsu sekali hendak membentuk kabinet Kanan. Meskipun tidak akan duduk di kabinet mendatang, tapi Geert Wilders punya peranan 'kunci', sebab, tanpa 'gedoogdsteun' PVV kabinet Kanan tidak akan jadi.
* * *
Kata Habibie dalam wawancara tsb
Habibie menegaskan bahwa Indonesia sebagai negeri berpenduduk pemeluk Islam terbesar tidak bisa menerima ucapan Geert Wilders yang mengatakan Islam terbelakang. Presiden SBY pasti tidak akan datang ke Belanda bila dalam kabinet Belanda ada yang menganggap Islam terbelakang, kata Habibie.
* * *
Bisa diantisipasi bahwa pernyataan blak-blakkan dan kritis-tajam sedemikian rupa dari seorang Dubes yang mengomentari situasi suatu parpol Belanda, akan menimbulkan reaksi 'keras'. Kontan Geert Wilders dan PVV menuntut menlu demisioner Maxime Verhagen 'memanggil' Dubes RI agar menarik kembali kata-katanya. Khawatir pada kemarahan Geert Wilder itu, Maxime Verhagen mengirimkan seorang pejabat-tingginya ke KBRI menemui Habibie. Dan Habibie menarik kata-katanya yang mengomentari elektorat PVV. Namun, komentarnya mengenai Geert Wilders, tidak dicabutnya kembali. Fihak resmi Belanda menganggap 'pergesekan' ini sudah berakhir sampai disini saja. Tidak ada akibat pembatalan atau penundaan kunjungan Presiden SBY ke Belanda Oktober nanti ini. Tapi bagi Geert Wilders 'campur tangan' Habibie dalam urusan dalam negeri Belanda ini belum selesai. Bisa terjadi pada waktunya Geert Wilders akan kembali menggugat ucapan Habibie itu.
Seorang sahabat-dekatku yang berkesan belakangan ini, menjelang masa akhir jabatannya di Belanda, Dubes Habibie sering 'marah-marah', -- ingin tahu bagaimana pendapatku sekitar ucapan Habibie itu. Begini jawabanku kepada sahabat-dekat itu:
Reaksi masyarakat dan sementara 'orang biasa' yang kutanyai pendapatnya -- berbeda-berbeda. Ada yang beranggap, Dubes RI tsb 'tidak diplomatis', kaitannya dengan wawancaranya di surat kabar Belanda. Tapi juga ada yang bilang bahwa 'intervensi' Maxime Verhagen, menlu dimisioner Belanda, mengirimkan pejabat tingginya ke KBRI, mendesak Habibie spy 'ngaku salah' berkenaan dengan ucapannya itu, juga 'tidak diplomatis' dan rada 'kurang ajar'. Masak, Dubes RI sepertinya 'dijewer' oleh seorang menlu demisioner Belanda. Ada yang bilang, salahé déwe' sang Dubes, ngapain bikin komentar mengenai pemilih partai PVV. Di fihak lain, Maxime Verhagen jelas menunjukkan bahwa ia sedang 'didikté' oleh Geert Wilders. Itulah akibatnya karena pimpinan CDA, mengambil sikap oportunis, karena sudah 'kebelet' ingin kuasa terus di Belanda. Dan, untuk itu sampaipun menjlat, ngemis-ngemis pada Geert Wilders, pemimpin PVV.
Tapi, ada pula yang berreaksi, bahwa --- Habibie memberikan reaksi kritis dan keras terhadap sikap 'anti-Islam' Geert Wilders, itu adalah suatu reaksi yang 'bagus'.
Namun, sebaiknya Habibie bukan sekadar 'menjéwér' Geert Wilders dan pemiih PVV, --- tetapi bikinlah suatu reaksi 'yang berbobot' gitu. Tulislah suatu tanggapan mengenai Indonesia sebagai negeri berpenduduk beragama Islam terbesar di dunia ini. Lebih baik lagi, kalau 'his exellency kita' ini, membela Islam yang benar di Indonesia. Islam yang cinta damai dan toleran. Itu kan lebih baik. Ketimbang 'njeletuk-nyeletuk' seperti kebiasaannya itu.
Singkat kata, Habibie dan KBRI, jangan sekadar 'meledak-meledak' seperti apa yang dilakukan oleh dubes kita itu. Kukira dia dan stafnya cukup banyak waktu dan bahan, untuk menyempatkan sedikit waktu, melakukan penulisan berbobot yang menjelaskan secara singkat padat kepada masyarakat Belanda, bagaimana Islam di Indonesia itu, -- bagaimana hal itu berlangsung secra umum, dalam kehidupan sehari-hari.
Yang jelas, pertama-tama perlu dijelaskan bahwa Indonesia bukan negara Islam. dsb.
* * *
Jadi bagaimana? Apakah wawancara Dubes Hahibie yang keras mengeritik Geert Wilders dan PVV yang anti Islam itu, benar atau salah? KEBLINGER atau malah TJES PLENG? Apakah komentar kritis itu perlu? Tentu pembaca akan menarik kesimpulan sendiri.
Di satu fihak perlu mengenal siapa Geert Wilders, dan PVV itu parpol yang bagaimana? Sebuah website informatif 'WIKIPEDIA', menjelaskan bahwa Geert Wilders (47) jadi anggota Parlemen Belanda sejak 1998, di bawah asuhan pemimpin Partai Liberal Belanda (VVD) Frits Bolkestein ketika itu. Menarik perhatian bahwa menurut 'Wikipedia', ibu Geert Wilders adalah seorang 'Belanda-Indo' generasi ketiga yang lahir di Sukabumi zaman Hindia Belanda 'tempo doeloe'.
Haluan politik Geert Wilders adalah Nasionalis-Liberal Kanan. Namanya mencuat ketika ia tampil sebagai politikus vokal anti-Islam dan anti Al Qur'an. Ia menganjurkan (2008) agr pemerintah Belanda melarang Al Qur'an. Pada tahun 2008 ia membuat film berjudul 'FITNA'. Film yang segera kontroversial tsb jelas sangat anti-Islam dan dianggap sangat menghina Islam dan Al Quran. Pemerintah Belanda melarang film 'FITNA'.
Aukje Van Roessel (52), penulis di 'De Groene Amsterdammer', sebagai freelance journalist, memberikan komentar sekitar Geert Wilders dan PVV: - Antara lain menulis seperti ini: Politik Nederland tidak punya jawaban yang telak terhadap Weert Gilders yang dengan sikapnya yang anti-Islam dan anti-kaum imigran, jelas menantang dan bertentangan dengan UUD Belanda mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mengucilkan Geert Wilders 'enggak jalan', untuk tidak mengisolasinya juga tidak mungkin. Karena bekerjasama dengan Geert Wilders, tampaknya akan jadi kroban pneyanderaannya. Ketidak-berdayaan parpol lainnya itu antara lain disebabkan karena parpol-parpol lain itu tidak mampu memberikan jawaban terhadap ketidak-puasan dan kekecewaan warga. Ketidak-puasan warga itu disebabkan oleh individualisme para elite politik. Juga karena warga terlalu berharap bahwa pemerintah bisa memecahkan problim-problim masyarakat. Juga disebabkan oleh banyaknya peraturan birokratis pemerintah. Warga penduduk pribumi Belanda, populernya yang Bulé - menyaksikan betapa Belanda 'berubah' dengan banyaknya kaum imigran yang berdatangan ke Belanda.
Geert Wilders suka pada peranannya sebagai pemimpin parpol yang jahat dan tidak konstruktif. Ia sering memaki rekan-rekannya dan meninggalkan sidang Parlemen, bila pembicara tak terkenan di hatinya. Dan tidak ada seorangpun pemilihnya yang menyadari bahwa Geert Wilders punya dua ukuran mengenai masalah hak dengan bebas menyatakan pendapat. Pemilihnya tidak sadar bahwa mereka hanya ditunggangi dan dikibuli saja. Karena Gilders tak akan bisa memenuhi janji-janjinya ketika berkampanye pemilu.
Wilders hanya berpegang pada agendanya sendiri, yaitu: Perjuangan melawan Islam. Demikian antara lain komentar dari kalangan media Belanda menenai Geert Wilders.
* * *
Kembali ke pertanyaan di muka tadi: Apakah wawancara Dubes Habibie yang mengeritik keras Geert Wilders, PVV dan pemilihnya, itu 'KEBABLASAN atau justru 'TJES PLENG'?
Di lihat dari segi usaha menarik perhatian umum agar menyadari bahwa Geert Wilders dan Partainya, PVV, merupakan rintangan dalam hubungan baik Indonesia-Belanda, jika andaikata dia ikut berkuasa dalam kabinet Belanda mendatang -- maka isi wawancara Dubes Habibie itu: 'TJES PLENG'. Habibie berani melangkah 'menjéwér' Geert Wilders dan PVV yang anti-Islam dan anti-Al Quran. Dan dengan itu memberikan sinyal kepada elite penguasa politik Belanda jangan bersikap sembarangan terhadap negeri-negeri yang penduduknya mayoritas (85%), beragama Islam.
Di lihat dari segi 'totokromo diplomasi', wawancara Dubes Habhibie itu bisa dianggap 'tidak diplomatis' dan mencampuri urusan dalam negeri negeri lain.
* * *
Demikianlah, tulisan ini ditutup dengan menyarankan pembaca mencermati pemberitaan dan penulisan mengenai peristiwa yang terjadi 45 tahun yang lalu di Indonesia, yaitu TRAGEDI NASIONAL PEMBANTAIAN warganegara tak besalah yang dilakukan oleh fihak militer ketika itu di bawah Jendral Suharto.
Untuk diketahui pembaca: Pada tanggal 02 Oktober 2010 mendatang sebuah Panitia Indonesia akan menyelenggarakan PERINGATAN PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL 1965. Lokasi: --- Dieman, gedung Sekolah Schakel.
KBRI Den Haag, tentunya mengetahui rencana PERINGATAN PERISTIWA 1965 yang akan dilangsungkan di Diemen tsb. Para undangan akan berdatangan. Termasuk aktivis HAM dari Indonesia
Pantes-pantesnya KBRI Den Haag berkenan untuk menghadirinya. Paling bagus andaikata Dubes Habibie sendiri bisa hadir. Mengirimkan salah seorang dari diplomat KBRI- Den Haag --- juga sudah baik!
* * *
No comments:
Post a Comment