Friday, October 1, 2010

BERSAMA Radio HILVERSUM MEMPERINGATI 45-Th "TRAGEDI NASIONAL 1965"

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
Jum'at, 01 Oktober 2010
------------------------------------------


BERSAMA Radio HILVERSUM Dan Radio
"SONORA" MEMPERINGATI 45-Th "TRAGEDI NASIONAL 1965"

Kemis kemarin, pas tanggal 30 September (ralat -- semestinya benar Bung Karno, -- Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, bukan 30 September) , bersama Jos Wibisono dari Radio Hilversum (Radio Nederland Wereldomroep, RNW>, Radio Sonora Jakarta (yang memulai siarannya pada bulan Agustus 1972. Kata 'Sonora' berasal dari bahasa Latin/Spanyol yang artinya bunyi-bunyian merdu); lalu dengan Sarmaji dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia Amsterdam, -- melalui cakap-cakap 'segi-tiga', kami memperingati Hari Tragedi Nasional 1965.

Tak peduli hujan rintik-rintik Sarmaji dan aku berangkat dengan kereta-api dari Amsterdam C.S menuju Hilversum Noord. Turun di Hilversum Noord, kami jalan kaki menelusuri jalan sepeda menuju ke kantor Radio Hilversum. Kesan Sarmaji begitu memasuki kompleks Media-Park Hilversum: Wah, Bung, coba lihat, kantor-kantor siaran radio dan TV Nederland ini terletak benar-benar ditengah hutan, terasing dari hiruk-pikuk kota. Hening dan sunyi. Tenteram dan aman (!?). Aku bilang: Di kompleks inilah beberapa tahun yang lalu tokoh politik Ekstrim Kanan Belanda, Pim Fortuin, di bunuh oleh tembakan pistol asasin. Sepertinya terasing dari keramaian kota dan 'aman', tetapi seorang asasin bisa saja menyelinap menantikan sasarannya.

Di kantor RNW di situ sudah menanti, Jos Wibisono. Ia menyambut kami dengan hangat dan gembira. Jam 4.00 sore waktu Nederland, berarti jam 10 malam di Jakarta, mulailah komunikasi antara Hilversum dengan Jakarta, melalui RNW.

* * *

Acara wawancara inter-aktif kami berdua, dengan Oki dari Radio Sonora, asal-mulanya adalah prakarsa Jos Wibisono dari RNW, Hilversum. Radio Sonora memperkenalkan dirinya sebagai SONORA FM 92.0, Jakarta. Yang 'action' dalam acara wawancara inter-aktif ini, yaitu acara cakap-cakap bebas dengan melibatkan para pendengar Radio Sonora, --- adalah Radio Sonora Jakarta. Tadinya aku mengira bahwa acara wawancara radio ini adalah acaranya Radio Hilversum. Tidak begitu. Memang idénya dari Radio Hilversum. Tetapi yang mengelola cakap-cakap dengan pendengar Indonesia adalah Radio Sonora FM 92.0. Jadi ini 'gawénya' Radio Sonora. Menurut Jos Wibosono, Radio Sonora banyak didengar masyarakat tidak saja di Jakarta. Pendengar yang mengikuti siaran Radio Sonora cukup luas.

Penjelasan ini kuanggap penting! Karena bagiku pribadi, ini adalah untuk pertama kalinya diwawancarai oleh sebuah pamancar Radio Jakarta, mengenai Peristiwa 1965. Begitu juga unuk Sarmaji. Dan kami anggap wawancara inter-aktif dengan Jakarta yang dipandu oleh Jos Wibisono itu, merupakan ide yang bagus dan bermanfaat dalam rangka saling informasi serta kontak langsung dengan tanah air tercinta. Melalui acara seperti ini, kami, Sarmaji dan aku, yang oleh Orba dicap sebagai 'orang bermasalah', dituduh ini-itu sehubungan dengan G30S, yang paspornya sewenang-wenang dicabut oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto, -- bisa mendengar langsung dari pendengar Indonesia, apa yang ingin mereka ketahui sekitar masalah tsb.

Yang lebih penting ialah bahwa kami-kami ini yang 'korban kesewenang-wenangan Orba, yang dibikin menjadi 'stateless' bertahun-tahun lamanya di luar negeri, BISA MENJELASKAN LANGSUNG kepada para pendengar Indonesia.

Mungkinlah, inilah ---- a.l wawancara inter-aktif seperti ini melalui radio, yang bisa memberikan penjelasan langsung dan mengungkap kebenaran yang selama ini diputar-balik oleh rezim Orba, --- Inilah yang ditakuti oleh para penguasa militer. Ini jelas dari pernyataan penggedé militer seperti Jendral TNI George Toisutta , KSAD, baru-baru ini. Yang kemudian digongi oleh jendral lainnya. Penguasa-penguasa militer itu 'mencanangkan' masyarakat jangan sampai masalah demokrasi dan HAM, 'disalah-gunakan'. Mereka lalu menyanyikan lagu lama yang sudah usang. Mereka mengingatkan akan 'bahaya laten Komunis'. Fikiran 'karatan' para petinggi ABRI itu keterlaluan dangkalnya! Menunjukkan kemandulan fikiran mereka terhadap prinsip demokrasi dan HAM. Prinsip negara hukum. Lagi pula teramat memandang rendah kesadaran dan kemampuan berfikir kritis generasi muda sekarang ini. Sungguh, suatu penghinaan terhadap akal sehat manusia. Ataukah ini pertanda bahwa sementara hak-hak demokrasi akan dikekang seperti zaman Orba?

Mendengar celotéhan lapuk demikian dari para jendral itu, timbullah pertanyaan: ITUKAH 'HASIL' YANG DIKATAKAN SUDAH BERLANGSUNGNYA REFORMASI DI DALAM TUBUH ABRI? Petinggi-petinggi militer seperti itu, sungguh tidak mengerti apa makna Reformasi. Mereka tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan Reformasi, pertama-tama adalah perubahan dalam fikiran. Bila hendak reformasi adalah suatu keharusan membuang jauh-jauh fikiran militer-fasis ABRI yang berselubung 'Dwifungsi Abri". Serta dengan sungguh-sungguh berusaha mawas diri memeriksa peranan krusial dan kriminal mereka, dalam peristiwa pembantaian masal rakyat Indonesia yang tidak bersalah pada periode pasca Peristiwa 1965.

* * *

Wawancara 'segi-tiga' Radio Sonora, Radio Hilversum dan kami berdua dari fihak yang dizholimi oleh Orba, memberikan kesan mendalam. Pendengar ternyata mengikuti perkembangan di sekitar yang 'disebut orang terhalang pulang'. Sungguh mengharukan bahwa para pendengar itu, di satu fihak ikut perihatin dengan nasib 'orang-orang yang terhalang pulang'. Di lain fihak mereka menyatakan kekaguman mereka kepada orang-orang yang terhalang pulang, yang sudah mengalami perlakuan kesewenang-wenangan sedemikian kejamnya dari rezim Orba, NAMUN SEMANGAT NASIONAL PATRIOTIK CINTA TANAH DAN BANGSA INDONESIA masih tetap tinggi dan terpelihara baik.

Seperti yang disampaikan oleh Jos Wibisono dari Radio Hilversum, wawancara ini lebih difokuskan pada 'segi-segi kemanusiaan' para orang yang terhalang pulang. Tentang bagaimana keadaan kehidupan mereka sesuah begitu lama mengalami situasi 'stateless' di luar negeri, tanpa proses keadilan apapun.

Tetapi yang dinamakan 'segi-segi kemanusiaan' itu bila sudah menyangkut korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, tak terelakkan akan melibatkan masalah POLITIK. Yaitu politik anti-demokratik dan ketiadaan hukum, diperlukkannya warga negara secara sewenang-wenang tanpa proses pengadilan apapun. Melaksanakan atau melanggar HAM, hak-hak kemansiaan (yang sangat menusiawi itu) adalah masalah yang paling sarat muatan politiknya!

* * *

Pada kesempata lain, bila dirasa perlu, bisa disinggung lagi sekitar wawancara inter-aktif segi-tiga di Hilversum hari Kemis yang sukses dan bermanfaat itu.

Sebelum menutup tulisan ini --- baik kiranya mengingatkan pembaca bahwa: Besok tanggal 02 Okotber 2010, di Diemen, Holland akan berlangsung pertemuan Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965. Pertemuan tsb diselenggarakan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari para wakil organisasi masyarkat Indonesia di Nederland.

Petemuan dimulai pada jam 11.00 pagi di gedung "De Schakel", Burgemeester Bickerstraat 46A, 1111 CC Diemen Nederland. Undangan akan berdatangan dari Belanda, Jerman, Perancis dan Swedia. Termasuk yang datang dari Indonesia, seperti a.l penyair dan budayawan Indonesia asal Bali, -- Putu Oka Sukanta.

* * *

No comments: