Sunday, April 17, 2011

IBRAHIM ISA: Minggu, 17 April 2011

--------------------------------------------------


IN MEMORIAM H. ROSIHAN ANWAR,

WARTAWAN SENIOR



Dua hari yang lalu, Jum'at 15 April, sudah kutulis sebuah artikel mengenang tokoh wartawan senior H. Rosihan Anwar, yang meninggal dunia pada tanggal 14 April 2011 y.l. Tulisan tsb disertai dua lampiran tulisan Rosihan Anwar: Sekitar kasus mensyariat (Islam)-kan Indonesia; dan mengenai Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda (1949). Kedua tulisan Rosihan itu telah kuberi tanggapan seperlunya.


Mengenal dan mengenang seorang wartawan senior seperti Rosihan Anwar, paling baik kiranya mengenal fikiran dan pandangannya mengenai masalah-masalah penting yang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Sehingga dapatlah ditarik pelajaran dari pengalaman kaya yang dimiliki Rosihan sebagai wartawan senior.


Kesankku sebagaimana halnya manusia lainnya, yang selalu aktif berfikir, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, sedikit banyak fikiran-sendiri dan penilaian mengenai pelbagai masalah JUGA mengalami perkembangan dan perubahan.


Mari ikuti tulisan Rosihan Anwar berikut komentarku (4th yang lalu) sekitar perkembangan dan perubahan fikiran wartawan senior H. Rosihan Anwar.


* * *


'Jalan Baru' dan 'True-Confession H. ROSIHAN ANWAR


Belum lama ini aku sempat ngomong-ngomong dengan seorang kawanku,
pejuang kawakan, yang kini sudah mencapai umur di atas 80. Usianya
kira-kira setara dengan umur Rosihan Anwar, wartawan senior, sebagaimana
Rosihan selalu menamakan dirinya. Kawanku itu kenal Rosihan sejak zaman
Revolusi Kemerdekaan. Mengenai masalah politik, dalam banyak hal,
mereka, pejuang kawakan itu dan Rosihan Anwar, sering bertolak belakang.
Dalam cakap-cakap itu, kami menyinggung artikel yang belum lama ditulis
Rosihan Anwar, berjudul: 'AKU MAU PRESIDEN BARU'. Tulisan yang patut
dibaca. Aku menanyakan kepada kawan itu, apakah ia sudah membaca tulisan
Rosihan Anwar tsb. Belum, katanya.


Tidak lama kawanku itu menilpunku lagi. Katanya, ia sudah membaca
tulisan Rosihan itu. Kesan kawan itu: Wah kali ini tulisan Rosihan itu
baik. Ada perubahan pada Rosihan, tambahnya, tanpa menjelaskan persis
apa alasannya, ia menyatakan bahwa 'ada perubahan baik' pada Rosihan Anwar.

Aku sendiri berpendapat bahwa memang, sejak ia menulis
'kenang-kenangannya' mengenai ultah ke-55 Konferensi Asia-Afrika,
Bandung (1955) ---- mengenai sikap terhadap peristiwa sejarah, tulisan
Rosihan Anwar, memang lebih baik, terbanding tulisan-tulisan sebelumnya.
Rosihan menulis (22 April 2005) tentang pengalamannya ikut hadir sebagai
wartawan muda pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung (1955).
Dengan lugu ia menulis tentang keadaan wartawan-wartawan Indonesia,
periode itu. Perlengkapan kerjanya yang amat sederhana, menjurus ke
wartawan yang miskin. Rosihan berusaha menjelaskan betapa pentingnya
arti sejarah Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Saat ketika para pejuang
kemerdekaan dan pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk pertama
kalinya bertemu, berembuk bersama dalam suasana membina persatuan dan
solidaritas demi perjuangan kemerdekaan, tanpa seizin dan restu fihak
Barat. Blok Barat ketika itu, jelas sekali mengharapkan konferensi tsb
akan gagal. Di Bandungnya Indonesia, tulis Rosihan, disitulah bertemu
untuk pertama kalinya begitu banyak pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika,
membicarakan perihal perjuangan kemerdekaan dan perdamaian dunia.
Disitulah bertemu tokoh-tokoh penting seperti Sukarno, Nehru, Ali Khan,
Zhou En-lai, U Nu, Kotelawala, Nasser dll.


Arti penting apa yang ditulis Rosihan itu, disebabkan oleh gejala-gejala
menyolok waktu itu dan sampai sekarangpun, di kalangn sementara fihak di
negeri kita, termasuk kaum intelektuil dan pekerja medianya, yang tidak
atau kurang menyadari, kurang mengkhayati arti penting Konferensi
Bandung. Baik ditinjau secara strategi perjuangan bangsa-bangsa AA
ketika itu, maupun dalam usaha untuk ikut aktif dalam memperjuangan
perdamaian daunia. Mereka-mereka itu menganggap memperingati KAA sebagai
'nostalgia'. Tak lebih dari itu. Mereka tidak bisa melihat, betapa besar
dampak 'Semangat 10 Prinsip Bandung' yang dideklarasikan oleh Konferensi
, di masa itu, juga untuk masa depan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.



Rosihan juga menekankan pada generasi muda kita tentang arti penting
mempelajari dan memahami sejarah bangsa sendiri. Menghargai usaha para
pemimpin bangsa sendiri dalam membina bangsa dan kehidupan bersama
bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Mari baca lagi secuplik dari tulisan Rosihan tsb tentang Konferensi AA
di Bandung:

“Dewasa ini ada orang yang bertanya apakah gunanya bagi kita
memperingati 50 tahun KAA Bandung, sedangkan dunia sudah berubah?
Sebagai wartawan yang meliput KAA dulu saya ingin menjawabnya dengan
mengemukakan bahwa betul dunia sudah berubah, namun kita mesti berusaha
menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda Indonesia. Generasi
muda jangan sampai melihat sejarah bangsa kita seperti terputus- putus,
merasa hidup hanya dalam zamannya saja, bersikap bagaikan "muara
melupakan hilirnya". 50 Tahun yang lalu Indonesia tampil aktif di
gelanggang politik internasional dengan tujuan membebaskan bangsa
Asia-Afrika dari kolonialisme.


“Indonesia sukses menyelenggarakan KAA walaupun keadaannya masih sukar
dan pengalamannya masih kurang. Tapi, Indonesia tetap maju ke depan dan
aktif bergerak dalam human pilgrimage, perjalanan umat manusia.

'Apakah pengetahuan sejarah tentang KAA itu tidak memberi inspirasi dan
optimisme bagi generasi sekarang untuk menatap masa depan? Saya yakin
ada, karena itu ada gunanya memperingati 50 tahun KAA Bandung. God bless
Indonesia.' Demikian Rosihan Anwar tentang arti sejarah Konferensi AA di
Bandung (1955).

Sungguh tepat dan kena sekali apa yang dikemukakan oleh Rosihan Anwar
tertuju pada generasi muda, khususnya para wartawannya dewasa ini.
Itulah antara lain, yang terpenting, mengapa kukatakan tulisan Rosihan
itu baik.

* * *

Lalu, ------ Ada puisi Rosihan Anwar yang berjudul,


'SAYA TIDAK MALU JADI ORANG INDONESIA'


Di tengah-tengah pendapat yang direkayasa menjadi 'pendapat umum', bahwa
Indonesia dewasa ini amat 'memalukan', disebabkan merajalelanya budaya
KKN, situasi ketiadaan kepastian hukum, dsb. Sedangkan sementara orang
meneriakkan dengan suara menyesal, bahwa ia 'MALU JADI ORANG INDONESIA'.
Nah, dalam situasi demikian itulah, bak gebrakan di tengah-tengah cerita
wayang yang bikin sementara orang ngantuk dan mulai bosan, muncullah
puisi Rosihan. Seperti ia tulis sendiri, itulah bentuk perlawanan
Rosihan terhadap korupsi.


* * *

Lihat cara Rosihan menumpahkan kritik sosialnya dalam puisi :

SAYA TIDAK MALU JADI ORANG INDONESIA

'Catatlah, Bung Karno menciptakan keamanan dan persatuan bangsa
Pak Harto menciptakan kemakmuran bangsa dan keluarganya
Habibie menciptakan demonstrasi
Gus Dur menciptakan partai kebangkitan bangsa
Megawati menciptakan kenaikan-kenaikan harga'



Semakin keras kritik Rosihan terhadap budaya korupsi, s.l.:


'Akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa
Beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban
Sehingga sia-sialah aksi melawan korupsi membasmi drakula
Yang telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara
Yang membuat media memberitakan
Akibat bisnis keluarga pejabat, Tutut-Tutut baru bermunculan.

'Aku orang terpasung dalam terungku kaum penjarah harta negara
Akan aneh bila berkata aku malu jadi orang Indonesia
Sorry ya, Aku tidak malu jadi orang Indonesia
Kuhibur diri dengan sajakku magnus opus karya sang Empu
Sajak pendek yang berbunyi:
Katakan beta
Manatah batas
Antar gila Dengan waras
Sorry ya, inilah puisiku melawan korupsi
Siapa takut?'


(Dibacakan pada acara Deklamasi Puisi di Gedung Da'wah Muhammadiyah di
Jakarta, 31 Desember 2004. Juga dibacakan dalam acara pertemuan keluarga
wartawan senior di rumah penulis pada tanggal 9 Januari 2005, di Jakarta)

Demikianlah, H. Rosihan Anwar yang TAK MALU JADI ORANG INDONESIA.

* * *

Belakangan ada dua lagi tulisan Rosihan Anwar yang bagiku menunjukkan
benarlah kata pejuang kawakan kawanku itu, bahwa Rosihan SUDAH BERUBAH jadi baik.

Yang ingin kubicarakan di sini ialah tulisannya yang berjudul


'10 NOVEMBER, TANPA MITOS'.

Yang utama maksud tulisan itu adalah untuk menyampaikan kepada umum, sbb:
“Bulan November 1945 itu, saya sudah ke Surabaya, tetapi tidak pernah
sampai ke front pertempuran paling depan. Jadi apa yang saya banggakan?
Maka bila saya menulis bahwa saya adalah wartawan perang di zaman
revolusi, hal itu tak lebih hanya mitos”. (Kutipan selesai)

Sebelumnya Rosihan menjelaskan:

(Kutipan mulai) 'Hari ini, memperingati perjuangan arek Suroboyo 10
November 1945, saya ingin berhenti memitoskannya atau mendewa-dewakannya, sejauh mengenai
diri saya sebagai wartawan dan pelaku sejarah saat itu.

Untuk menghapuskan mitos, ada ungkapan, demitologisasi. Orang lain
bilang debunking menolak aneka kepalsuan seseorang. Saya pakai istilah
true confessions, pengakuan-pengakuan sejati'.(
Kutipan selesai)

Bila diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari, maka begini kira-kira
jadinya --- Selama ini sementara orang menganggap Rosihan Anwar,
wartawan senior, suatu waktu ketika bekecamuk PERTEMPURAN SURABAYA (12
November, 1945), ia berkiprah sebagai wartawan perang. Sebagai wartawan
yang meliput pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.. Padahal keadaan
sebenarnya tidak demikian. Memang Rosihan ke Surabaya, tetapi tidak
hadir di front. Cerita-cerita seolah-olah Rosihan melaporkan situasi
perang lawan Inggris di Surabaya, di tengah-tengah pertempuran yang
sedang berkobar, itu tidak benar. Rosihan lama-lama merasa tidak énak
keberadaannya di Surabaya ketika itui, dibikin menjadi mitos. Entah oleh
siapa. Maka Rosihan sekarang ini, MELAKUKAN DEMITOLOGISASI,
pengakuan-pengakuan sejati, atau TRUE-CONFESSION. Ngaku sendiri, bahwa
mitos itu tidak benar.


Betullah adanya, . . . . . sungguh jarang ada orang, apalagi wartawan,
yang berani berbuat seperti halnya Rosihan Anwar yang melakukan
TRUE-CONFESSION secaras terbuka dan blak-blakan begitu.
Meskipun
nyerempet-nyerempet menyinggung Sumarsono, pemimpin PRI, yang
dikatakannya tidak pernah dilihatnya pada waktu pertempuran di Surabaya
(Ini dibantah oleh Sumarsono yang menegaskan bahwa dia hadir di Surabaya
ketika itu, hanya Rosihan yang tidak melihatnya, karena memang Rosihan
tidak pernah ke front pertempuran). Bagaimanapun Rosihan hendak
menunjukkan bahwa ia seorang wartawan yang mau JUJUR. Yang tidak
mengada-ada, yang tidak ngibul.Maka dalam hal ini, Rosihan Anwar
memberikan teladan bagi para wartawan junior dewasa ini.


Rosihan menyatakan , ini saya lho, berterus terang saja. Saya adalah
wartawan biasa yang tidak ikut berperang di zaman PERTEMPURAN SURABAYA.
Titik.


'AKU MAU PRESIDEN BARU' dan 'JALAN BARU' BAGI INDONESIA

Selanjutnya. Sikap Rosihan yang kritis dan analitis mengenai pertemuan
di Gedung Perpustakaan

Nasional di Salemba, Jakarta, siang, 1 November 2007, yang
diselenggarakan oleh Komite Bangkit Indonesia, atas inisiatif mantan
Menko Ekonomi Kabinet Abdurrahman Wahid, dr Rizal Ramli. Menurut
Rosihan, dalam tulisannya 'AKU MAU PRESIDEN BARU', banyak selebriti
politik dari tempo dulu hingga sekarang, tokoh intelektual di luar
establishment, pemimpin lintas agama, hadir untuk memberi warna pada
pertemuan itu.

Dengan panjang lebar Rosihan memberitakan sekitar orasi Rizal Ramli,
mengenai 'Jalan Baru' yang perlu ditempuh negeri dan bangsa ini. Karena,
kata Ramli, dalam 40 tahun terakhir Indonesia menjadi negara yang
tertinggal dari negara lain di Asia Timur. Reformasi pada 1998 belum
juga berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena watak feodal
para pemimpin. Karena praktik neokolonialisme di mana kebijakan ekonomi
Indonesia hanya menjadi subordinasi dan alat kepentingan internasional.
Karena adanya kepemimpinan yang tidak efektif serta lemah secara visi
dan karakter. Maka untuk keluar dari keterpurukan dan untuk menciptakan
kesejahteraan bagi mayoritas rakyat, Indonesia harus memperjuangkan jalan baru yaitu
jalan yang anti-neokolonialisme dan lebih mandiri..

Bagaimana pendapat Rosihan sendiri? Inilah dia:

SEKITAR 'JALAN BARU' BAGI INDONESIA.

Rosihan mengharapkan mudah-mudahan usaha elite politik dan oligarki
hendak merintis JALAN BARU bagi Indonesia, menimbulkan harapan baru di
kalbu rakyat, dapat bergaung dan berterima baik di kalangan rakyat. Saya
teringat salah satu dikotomi lain yakni hall of fame (bangsal
kemasyhuran) dan hall of shame (bangsal keaiban). Bila usaha berhasil,
maka dalam sejarah mereka akan tercatat masuk ke dalam hall of fame.
Bila gagal, tempat mereka dalam hall of shame.

Lanjut Rosihan:

Dalam pertemuan itu saya dengar, tulis Rosihan, banyak orang bertanya:
What next? Apakah cuma bicara dan silaturahmi saja sebagaimana
diperlihatkan oleh Komite Bangkit Indonesia? Apakah cuma tinggal pada
NATO belaka yaitu akronim bukan dari North Atlantic Treaty Organization,
melainkan dari No Action Talk Only? Tiada aksi ngomong doang? Saya
pikir, bila mau sedikit lebih serius, NATO itu bisa pula diartikan sebagai New Action Towards Oneself. Tindakan (gerakan) baru ke arah diri pribadi sendiri. Ke arah watak
pribadi bangsa yang mandiri, yang menjunjung harkat dan martabat
kemanusiaan. Sebagaimana sudah dikemukakan oleh Soebadio Sastrosatomo,
tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) dalam bukunya Pengembang Misi
Politik (1995), "Bangsa Indonesia harus kembali menegakkan be yourself".

Berarti jadilah kamu bangsa mandiri, punya harga diri, menolak dijadikan
budak oleh kepentingan-kepentingan asing. Demikian liputan dan pendapat
Rosihan mengenai situasi dewasa ini.


Rosihan mengutip ucapan tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo. Mudah-mudahan,
dalam rangka menempuh JALAN BARU tsb., ia tidak lupa strategi perjuangan
Subadio Sastromo, yang mengimbau persatuan dengan Bung Karno, (sekarang
tentunya dengan para Sukarnois dan pendukung Bung Karno yang
sungguh-sungguh) dalam rangka membangun kekuatan nasional untuk
MENEGAKKAN YOUSELF. Halmana adalah kebijakan strategi Bung Karno yang
dirumuskannya dalam TRISAKTI dan PRINSIP BERDIKARI bagi Indonesia.


Hematku, Rosihan Anwar benar-benar telah berubah, bila ia memanfaatkan
sisa umurnya, memberikan sumbangannya demi membangun kekuatan nasional
seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan juga oleh Subadio Sastrosatomo.



* * *



No comments: