Jum'at, 15 April 2011
---------------------
WARTAWAN SENIOR ROSIHAN ANWAR TUTUP USIA
Sesudah mengalami operasi 'bypass' pada usia lanjut, 3 minggu kemudian
H. Rosihan Anwar meninggal dunia pada hari Kemis, 14 April 2011. Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Radjiun. Semoga kerabatnya tabah melalui
hari-hari duka ini.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat mengadakan penilaian mengenai
seseorang yang meninggal dunia. Apalagi bila menyangkut seorang wartawan
senior seperti H. Rosihan Anwar.
Mengenangkan tokoh wartawan senior Rosihan Anwar, maka diteritkan
dibawah ini komentar saya terhadap sikap dan tulisan Rosihan Anwar,
mengenai dua masalah penting di Indonesia. Pertama Mengenai masalah
"Mensyariatkan Indonesia", di muat di bawah ini lengkapnya rulisan
Rosihan Anwar, peng-syairat-Islam-kan Indonesia.
Kedua mengenai Persetujuan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia
dengan Belanda.
* * *
Kolom Ibrahim Isa
Komentar terhadap tulisan H. Rosihan Anwar:
Masaalah Mensyarikatkan Indonesia,
Rosihan Anwar adalah wartawan kawakan (dulu pernah Pemimpin Redaksi
Harian "Pedoman"). Belum lama ia menulis tentang masalah yang banyak
dipermasalahkan dan dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia yang
sekular dan multikultural ini.
Kesan yang diperoleh membaca tulisan Rosihan Anwar mengenai "Masalah
Mensyariatkan Indonesia", begini: Cukup blak-blakan dan bermanfaat
dibaca , a.l. karena itu pendapat seorang Rosihan Anwar. Sama seperti
pendapatnya tentang arti sejarah Konferensi Asia-Afrika, di Bandung
(1955), ketika ia menulis dalam rangka memperingati ultah ke-50
Konferensi Bandung tahun yang lalu. Baik dibaca oleh generasi muda yang
rendah hati, yang hendak mengetahui dan belajar dari peristiwa penting
tsb (Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955) dari seorang yang pernah
mengalaminya sendiri sebagai "kuli tinta".
Masalah yang dewasa ini banyak dipertanyakan dan dibicarakan dalam
masyarakat ialah sbb: "APAKAH NEGARA KITA INI AKAN MENJADI NEGARA ISLAM
seperti Iran, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, Qatar dll negeri Teluk?".
"Apakah Republik Indonesia yang diproklamasikan dalam tahun 1945, dengan
motto BHINEKA TUNGGAL IKA, lama-lama akan menjadi suatu negara yang
berdasarkan hukum-hukum Islam? Yang didasarkan pada syariat Islam? -----
Ataukah Republik Indonesia tecinta , bangsa Indonesia tercinta ini akan
selalu mampu dan berhasil mempertahankan Indonesia yang didasarkan pada
falsafah PANCASILA. Pancasila seperti yang dijelaskan oleh penggali
falsafah negara Pancasila, yaitu Bung Karno, diucapkan dalam pidato
beliau pada tanggal 1 Juni 1945. "
Bukan saja di kalangan bangsa kita, tetapi juga di kalangan mancanegara
, di saat sedang digejolak-gejolakkan isu global 'perang melawan
terorisme"; -- pertanyaan tsb sering muncul dan dipermasalahkan. Dengan
sendirinya masalah tsb dipersoalkan, karena, bukankah dalam beberapa
waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama oleh dunia
Barat, karena beberapa kali jadi sasaran pemboman terhadap masyrakat
sipil yang dilakukan oleh golongan Islam 'keras', atau fundamentalis.
Dunia sering diingatkan bahwa Indonesia merupakan negeri berpenduduk
Islam terbesar di dunia dewasa ini . Dirasakan "ancaman" bahwa Indonesia
cepat atau lambat akan menjadi 'negara Islam' sebagai sesuatu yang riil,
yang nyata.
Kalau tidak salah pada tanggal 10 Mei mendatang ini, Rosihan mencapai
umur 84th. Di saat mencapai usia Manula (Manusia Usia Lanjut), Rosihan
sering disebut sebagai 'wartawan senior'. S.k. "Pedoman", yang
dipimpinnya di zaman kepresidenan Sukarno, pernah diberangus karena
simpatinya dengan pemberontakan militer PRRI-Permesta. Pada zaman Orba
s.k. "Pedoman" terbit lagi, kemudian diberangus lagi oleh Suharto.
Ada yang menjuluki Rosihan Anwar sebagai wartawan 'sesepuh', karena
pengalaman dan umurnya itu. Rosihan pernah menulis kata pengantar untuk
buku Umar Said "Perjalanan Hidupku". Kata pengantar Rosihan itu boleh
dibilang kritis, tetapi nyat sekali berat sebelah dan arogan. Di dalam
kata pengantarnya itu, terungkap sikap Rosihan Anwar sebagai seorang
'diehard komunistophobi' . Ia menyimpulkan bahwa Umar Said adalah
komunis. Maka menurut Rosihan, Umar Said harus, kasarnya, ---- 'bertobat'.
Kalau tidak salah Rosihan, entah kapan, sudah lama jadi 'haji'. Ia
seorang Muslimin yang hendak memenuhi Lima Rukun Islam. Dalam "Tokoh
Indonesia.Com" tentang Rosihan Anwar ditulis, bahwa ia 'boleh dibilang
legenda hidup pers Indonesia'. Selanjutnya dikatakan bahwa Rosihan
"dinilai konsisten dalam berkarya sebagai wartawan". Ditulis juga
bahwa Rosihan "tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers
Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik.
Kiranya baik dipertanyakan di sini, bagaimana sesungguhnya sikap
Rosihan, yang dikatakan 'mesti selalu tampil membela wong cilik', ----
Ketika Jendral Suharto memulai kup-merangkak (creeping coup d 'état),
sibuk menggulingkan Presiden Sukarno. Ketika Jendral Suharto melakukan
kampanje persekusi dan supresi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan
menangkap, menyiksa, memenjarakan, membuang serta melakukan pembantaian
masal terhadap warganegara (Wong Cilik) yang tidak bersalah, yang PKI
atau yang dituduh PKI - yang Marxis maupun yang nasionalis Kiri, ---
patut dipertanyakan bagaimana sikap Rosihan Anawar yang dikatakan "mesti
selalu tampil membela wong cilik". Sejauh catatan yang diketahui ,
kiranya tidak pernah Rosihan tampil membela para koban peristiwa 1965,
para eks-tapol beserta keluarganya yang berjumlah lebih dari dua puluh
juta orang tak bersalah itu, yang sampai sekarang masih terus
didiskriminasi dan distigmatisasi oleh penguasa. Masih belum
direhabilitasi.Bagaimana Rosihan bersikap terhadap masalah tsb?
Rosihan juga dikenal sebagai seorang 'sosial-demokrat'. Ia dekat dengan
mantan Perdana Menteri (pertama) Republik Imdonesia, dan tokoh pemimpin
Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sutan Syahrir. Ia juga banyak bergaul
di kalangan PSI dan kaum sosial-demokrat mancanegara. Maka ada kesan
bahwa meskipun tidak formal diketahui bahwa ia anggota PSI, Rosihan
paling tidak sealiran/sejalan dengan PSI. Ketika PSI dibubarkan oleh
Presiden Sukarno, maka Rosihan menjadi 'orang pinggiran'.
Tetapi Rosihan bukan sosial-demokrat seperti yang dewasa ini pengaruhnya
sedang menanjak di kalangan 'wong cilik' di Amerika Latin. Katakanlah
golongan Kiri, golongan Sosialis. Golongan Kiri, kaum sosialis di
Amerika Latin, seperti Hugo Chavez dari Venezuela, Presiden yang baru
terpilih dari Bolivia, Morales; atau Presiden Michelle Bacelet, yang
wanita, Sosialis dan eks-tapol dari Chili. Mereka-mereka itu jelas,
tegas dan vokal anti-imperialis (AS) serta merasa perlu kerjasama dalam
perjuangan dengan Cuba Sosialis yang dipimpin oleh Fidel Castro. Dalam
hal ini, Rosihan Anwar lain samasekali dengan tokoh-tokoh Sosialis
Amerika Latin itu. Terhadap Bung Karno saja, Rosihan bertolak belakang.
Sehubungan dengan ini --- (mungkin sedikit menyimpang dari topik kolom
ini)--- menarik juga kiranya membaca opini "de Volkskrant" (Nederland)
yang Katolik itu, tertanggal 17 Januari, 2006, berjudul KIRI DI AMERIKA
LATIN,
ketika mengomentari kemajuan golongan Kiri di Amerika Latin, a.l. sbb:
"Dipilihnya Michelle Bachelet menjadi presiden Chili adalah berita baik
dari sebuah benua dimana demokrasi masih sering goyah dasarnya. Naiknya
Bichelet yang Sosialis, seorang janda -- telah memahkotai suatu
transformasi Chili dari suatu diktatur militer menuju, ke suatu
demokrasi yang modern dan relatif makmur".
Bagaimana Rosihan menanggapi nanjaknya 'Wong Cilik" di Amerika Latin,
tidak jelas diketahui.
*Meskipun demikian, pandangan Rosihan Anwar sebagai orang yang dikenal
penganut sosial-demokrasi (paling sedikit) yang simpatisan PSI,
pandangannya yang belakangan ditulisnya dalam KOMPAS, menunjukkan bahwa
dalam usianya yang lanjut, ia masih bisa melakukan analisis dan membuat
kesimpulan yang obyektif mengenai keadaan dan pengaruh Islam
fundamentalis, garis Islam keras di Indonesia. Kesimpulan Rosihan Anwar
adalah:*
"Demokrasi berarti kaum ekstrimis dapat mengutarakan diri dengan lebih
bebas. Salah satu dari 11 fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pada akhir
bulan Juli menyatakan bahwa tafsiran Islam berdasarkan liberalisme,
sekulerisme dan pluralisme adalah bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketakutan di kalangan Islam konservatif adalah keterbukaan politik akan
merongrong nilai-nilai keagamaan dan mengizinkan pemurtadan oleh Kristen.
"Akan tetapi orang-orang Indonesia telah menolak gagasan bahwa negeri
mereka akan menjadi negara Islam, dan mereka tidak cenderung memberikan
suara kepada Parpol Islam garis keras.
Dua tahun yang lalu para anggota DPR memberikan suara untuk menolak
disisipkannya ketentuan-ketentuan Syariat di dalam konstitusi Indonesia.
"Kebanyakan orang Indonesia tidak tergerak oleh dogma agama yang kaku.
Lahan tengah dan politik Indonesia adalah sekuler dan toleran, dan bagi
sembarang partai Islam untuk meraih mayoritas
akan memerlukan melempar jauh-jauh setiap pikiran mengubah dasar negara
yang merupakan tempat tinggal bagi jutaan orang Kristen dan Hindu.
Sebuah parpol akar rumput yang populer PPP terpaksa dalam menifestonya
menaruh dukungan terhadap syariat di bawah platform termasuk sekuler,
kendati banyak orang mencurigai bahwa PPP masih mempromosikan syariat.
". Demikian a.l kesimpulan Rosihan.
(Lampiran)
*
Mensyarikatkan Indonesia
Oleh H. Rosihan Anwar
Indonesia adalah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Pengamat*menaruh perhatian apakah Islam di Indonesia bersifat moderat,
lembut ataukah fundamentalis, keras.Karena di masa lalu terjadi
serangkaian pemboman di negeri ini yang dilakukan oleh pengikut Jemaah
Islamiyah yang terkait dengan Al-Qaeda dan gerakan teror Osama bin
Laden, maka pengamat mengikuti dengan seksama
perkembangan Islam di Indonesia. Salah satu pengamat ialah Michael
Vatikiotis, mantan Pemred majalah Far Eastern Economic Review di Hong
Kong, kini peneliti tamu pada LembagaStudi Asia Tenggara di Singapura.
Ia menulis dalam International Herald Tribune sebuah artikel berjudul:
Islamizing Indonesia.
Di tengah ketakutan global mengenai penyebaran militansi Islam, hal
terakhir siapa saja tidak ingin dengar ialah adanya fundamentalisme yang
sedang merangkak di Indonesia, tulis Michael. Akantetapi
ketakutan-ketakutan ini menjadi jelas gamblang dalam minggu-minggu
belakangan ini. Majelis Ulama Indonesia(MUI) telah menerbitkan
fatwa-fatwa yang melarang pernikahan campuran,
pluralisme agama dan doa-doa antar-agama. Serangkaian serangan memaksa
ditutupnya gereja-gereja Kristen. Dan di propinsi Aceh seorang wanita
dicambuk dan lebih dari selusin pria dicambuk dalam tiga bulan terakhir
karena melanggar syariat, hukum Islam.
Beberapa orang Indonesia cemas melihat kejadian-kejadian ini. Sebanyak
tujuh kabupaten di Jawa Barat hingga Sulawesi Selatan dan Madura telah
melaksanakan jenis syariat yang dapat mereka lakukan di bawah
undang-undang otonomi khusus. Sarjana muslim yang liberal Syaf'i Anwar
mengeluh tentang 'perlahan-lahan mensyariatkan Indonesia'. Dia resah
bahwa kepemimpinan politik negeri tidak memberikan perhatian pada
penyebaran syariat yang pada hematnya tidak dimengerti dengan baik dan
dimanipulasi oleh politisi daerah untuk mendukung popularitas mereka.
"Indonesia tidak punya pemimpin-pemimpin agama yang bisa dipercaya, dan
kita tidak tahu hendak kemana kita," keluh Syaf'i Anwar.
Sesungguhnya, wafatnya salah satu ilmuwan Islam liberal terkemuka
Nurcholish Madjid meninggakan suatu kesenjangan sangat besar di sebuah
negeri di mana retorika keagamaan kasar yang mencampurbaurkan dogma
dengan mistik mendapatkan khalayak yang siap di kalangan penduduk yang
telah putus asa mengharapkan keadilan dari kalangan sekuler.
Belakangan ini Presiden SBY mencoba meredam keprihatinan bahwa Indonesia
sedang hanyut ke arah fundamentalisme. "Anda mungkin membaca dari wakaf
ke waktu suara kelompok-kelompok kecil yang radikal, akan tetapi suara
itu tidak akan mengubah fakta adapun arus utama Indonesia akan terus
bersifat moderat, toleran dan demokratis."
Demokrasi berarti kaum ekstrimis dapat mengutarakan diri dengan lebih
bebas. Salah satu dari 11 fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pada akhir
bulan Juli menyatakan bahwa tafsiran Islam berdasarkan liberalisme,
sekulerisme dan pluralisme adalah bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketakutan di kalangan Islam konservatif adalah keterbukaan politik akan
merongrong nilai-nilai keagamaan dan mengizinkan pemurtadan oleh Kristen.
Akan tetapi orang-orang Indonesia telah menolak gagasan bahwa negeri
mereka akan menjadi negara Islam, dan mereka tidak cenderung memberikan
suara kepada Parpol Islam garis keras. Dua tahun yang lalu para anggota
DPR memberikan suara untuk menolak disisipkannya ketentuan-ketentuan
Syariat di dalam konstitusi Indonesia.
Kebanyakan orang Indonesia tidak tergerak oleh dogma agama yang kaku.
Lahan tengah dan politik Indonesia adalah sekuler dan toleran, dan bagi
sembarang partai Islam untuk meraih mayoritasakan memerlukan melempar
jauh-jauh setiap pikiran mengubah dasar negara yang merupakan tempat
tinggal bagi jutaan orang Kristen dan Hindu. Sebuah parpol akar rumput
yang populer PPP terpaksa dalam menifestonya menaruh dukungan terhadap
syariat
di bawah platform termasuk sekuler, kendati banyak orang mencurigai
bahwa PPP masih mempromosikan syariat.
* * *
Untuk lengkapnya, pendapat Rosihan Anwar mengenai "Mensyariatkan
Indonesia", di muat di bawah ini lengkapnya rulisan Rosihan Anwar,
seperti yang disiarkan oleh a.l. s.k. Kompas, sbb:
* * *
'KENANGAN' ROSIHAN Yang 'TIMPANG'
Tulisan Rosihan Anwar, yang disebut atau menyebut diri, 'wartawan
senior', tentang Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949 (Kompas, 27 Des 2006.
Lihat Lampiran), suatu peristiwa yang digambarkannya sebagai suatu
peristiwa penting, -- namun, begitu dibaca terasa 'timpang'. Artinya
'miring'. Ada kekurangannya. Dan kekurangan itu cukup gawat, karena
justru ditulis oleh seorang 'wartawan senior', yang juga dianggap
sesepuh. Sayang, sesunguhnya tulisan Rosihan Anwar itu, bisa jadi bunga
rampai dalam rentetan tulisan-tulisan sekitar hari-hari 'penyerahan
kedaulatan' oleh Belanda kepada pemerintah RIS - Republik Indonesia
Serikat. Kiranya tulisan Rosihan itu akan jadi seimbang, bila sedikit
saja ada disebut tentang betapa berat dan tidak sederajatnya persetujuan
dua negeri. Atau mungkin, ketimpangan ini disebabkan karena yang satu
fihak adalah negara kolonial dan satunya adalah 'koloni', maka
persetujuan KMB itu menjadi suatu persetujuan internasional yang
termasuk sangat menguntungkan satu fihak (Belanda) dan merugikan fihak
satunya (Indonesia.)
Asal saja Rosihan Anwar sedikit saja menyinggung fasal-fasal Peretujuan
Konferensi Meja Bundar Dehn Haag tsb, maka segera akan memasuki
intisarinya. Akan terungkap betapa beratnya syarat-syarat yang
ditetapkan dalam Persetujuan Konferensi Meja Bundar-Den Haag (1949),
yang harus dipenuhi oleh fihak Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa
memang tidak bisa lain, begitu jadinya karena Persetujuan KMB itu
dikatakan sebagai 'imbalan' terhadap 'goodwill' fihak Belanda . Bukankah
dengan Persetujuan KMB itu akhirnya fihak Belanda 'menyerahkan
kedaultan' kepada Indonesia, mengakhiri masa kolonialisme (kan baik --
ya tokh?) .
Dimasuki sedikit saja Persetujuan KMB itu, terungkaplah bahwa fihak
Indonesia dalam hal ini telah melakukan kompromi besar dan konsesi yang
berat sekali. Begitu banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak
Indonesia. Mulai dari masalah bentuk kenegaraan: harus bentuk federasi,
RIS; finansiil (harus bayar kembali utang Hindia Belanda kepada Den
Haag); ekonomi (harus mengembalikan semua perusahaan dan 'aset' Belanda
kepada Den Haag); sampai ke masalah militer (KNIL harus diintetrasikan
kedalam Angkatan Perang RIS) dan adanya Misi Militer Belanda di
Indonesia). Itu sedikit saja menyebut fasal-fasal yang menonjol
merugikan kita.
* * *
Bagaimana mungkin Rosihan Anwar yang dirinya pribadi meliput proses
Persetujuan KMB itu sampai upacara 'penyerahan kedaultan' di Istana De
Dam, Amsterdam, kok dalam menulis suatu peristiwa yang pasti dia sendiri
menganggapnya penting itu, bisa-bisanya samasekali tidak menyebut apa
isi Persetujuan KMB yang merugikan Indonesia. Tetapi itulah yang
terjadi, Rosihan membiarkan berlalu segi-segi negatif Persetujuan KMB
itu. Entahlah barangkali dia pernah menulis hal itu sesudah 1949. Kalau
ada tulisan Rosihan yang menganalisis segi-segi negatif Persetujuan KMB
di dalam surat kabar Pedoman yang ia pimpin sendiri dalam periode itu,
tentu itu baik.
* * *
Akibat dari begitu banyaknya fasal-fasal yang merugikan bagi Indonesia,
maka tidak lama kemu-dian , - - - - salah satu dari fasalnya yang
terpenting, ialah mengenai syarat bahwa sifat negara Indonesia harus
federal, dimana tercakup didalamnya 'negara-negara bagian' bikinan
Belanda , -- pemerintah Indonesia yang mencerminkan kehendak rakyat
telah membatalkannya. Demikianlah, Republik Indonesia Serikat (RIS)
dibubarkan dan negara Indonesia kembali menjadi bentuk negara REPUBLK
INDONESIA, sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Hidup rakyat Indonesia!
Beberapa waktu kemudian salah satu syarat lainnya dari persetujuan KMB
yaitu adanya MMB, Misi Militer Belanda, di Indonesia dituntut rakyat
supaya diusir dari Indonesia. Karena dianggap sebagai salah satu sumber
subversi Belanda terhadap Indonesia. Juga 'Uni Indonesia Belanda', yang
dikepalai oleh Mahkota Kerajaan Belanda, digugat rakyat dan dituntut
agar dibubarkan. Karena Uni Indonesia-Belanda itu atasannya adalah
Mahkota Kerajaan Belanda. Hal mana dianggap oleh rakyat kita sebagai
perlambang bahwa Indonesia belum benar-benar lepas dari kolonialisme
Belanda.
Yang terasa amat berat lagi, ialah keharusan Indonesia membayar utang
Hindia Belanda kepada Den Haag. Yang termasuk utang yang harus dibayar
Indonesia itu diantaranya yang paling berat, ialah keharusan Indonesia
yang baru berdiri itu, membayar ongkos-ongkos perang Agresi Ke-I dan
Ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia. Suatu peperangan untuk
menghancurkan Republik Indonesia.
Dan banyak lagi hal-hal yang timpang dalam fasal-fasal Persetujuan KMB.
Untuk lengkapnya bisa minta bahan-bahan dari Batara Hutagalung Ketua,
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)yang banyak menulis tentang
masalah ini.
* * *
Tokh masih perlu disebut di sini satu lagi yang amat menonjol.
Dimaksudkan di sini ialah, sesudah Indonesia menerima 'peneyerahan
kedaulatan dari Belanda, namun Irian Barat (Papua), masih tetap dikuasai
Belanda. Suatu kasus yang hampir saja mencetuskan perang baru lagi yang
gawat di Pasifik Barat, antara kekuatan bersenjata Republik Indonesia
dan Kerajaan Belanda.
Berkat keteguhan tekad dan semangat juang rakyat Indonesia membebaskan
Irian Barat dan mengembalikannya keharibaan Ibu Pertiwi, serta pula (ini
perlu dicatat) campur tangan PBB khususnya turun tangannya Amerika
Serikat yang memberikan tekanan berat kepada fihak Belanda untuk
meyerahkan Irian Barat kepada RI, suatu politik AS demi kepentingan
strategi Perang Dinginnya, akhirnyua Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi.
* * *
Itulah tadi sekadar komentar terhadap tulisan wartawan senior Rosihan
Anwar yang berkenan mengingatkan pembacanya atas suatu peristiwa yang
dianggapnya penting, yaitu 'Penyerahan Kedaulatan' atas Indonesia oleh
Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, dimana Rosihan
Anwar pribadi ada di situ sebagai wartawan peliput.
* * *
LAMPIRAN:
KOMPAS, Rabu, 27 Desember 2006
Penyerahan Kedaulatan 27-12-1949
H Rosihan Anwar
Musim dingin di Amsterdam. Pagi-pagi 27 Desember 1949, pakai mantel
tebal, saya naik trem dari Valarius Straat menuju Paleis op de Dam,
menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat, sesuai hasil Ronde Tafel Conferentie (RTC)
atau Konferensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus-2 November 1949).
Sebagai Pemimpin Redaksi Harian Pedoman, saya satu-satunya wartawan
Indonesia yang hadir. Peliput Konferensi Meja Bundar (KMB) lainnya,
seperti BM Diah, Adinegoro, Wonohito, Soekrisno, Soetarto, Pohan, Kwee
Kek Beng, Mohammad Said, EU Pupella sudah kembali ke Tanah Air. Saya
menunggu di Belanda karena akan menuju Amerika Serikat mengikuti
pelajaran di Yale Drama Workshop sehingga diundang untuk menyaksikan
peristiwa bersejarah itu.
Di depan Istana Dam, saya melihat sekumpulan orang Indonesia menanti
kedatangan Wapres Mohammad Hatta. Saat itu Bung Hatta bermantel hitam
dan blootshoofd (tanpa tutup kepala), memeriksa barisan kehormatan
militer. Dengan langkah cepat dia masuk Istana, lalu mengambil tempat di
Burgerzaal. Hadir Ratu Juliana, sebelah kiri duduk PM Belanda Willem
Drees, sebelah kanan Wapres Hatta, Sultan Pontianak Alkadrie, Prof Dr
Supomo. Lalu anggota Corps Diplomatique (CD), Menteri Van Maarseveen,
Stikker, mantan PM Louis Beel, Dubes Van Royen, serta Kamerheren
(pegawai tinggi Istana) dalam pakaian kebesaran warna-warni. Drees yang
sosialis-demokrat yang dalam gerakan sosialis bertahun-tahun mendukung
dan prokemerdekaan Indonesia sengaja mengundang tiga pengarang perempuan
Henriette Roland Holst dan spesialis Hindia dari Fraksi Partai SDAP di
Tweede Kamar Cramar dan Stokvis.
Upacara penyerahan
Hawa dalam ruangan terasa panas. Maklum, banyak orang tumplek di sana.
Lantaran gerah, saya kurang konsentrasi menyimak pidato Ratu Juliana
setelah ditandatanganinya teks bahasa Belanda dari dokumen penyerahan
kedaulatan. Pidato Bung Hatta yang diucapkan dalam bahasa Indonesia juga
tidak cermat saya ikuti. Teks pidato Bung Hatta yang ditulis tangan itu
diserahkan kepada Drees keesokan malamnya dalam jamuan di Treveszaal
yang diselenggarakan Pemerintah Belanda. Drees amat menghargakan
pemberian Hatta itu sehingga copy pidato Hatta dimuat dalam bukunya,
Zestig jaar levenservaring (60 Tahun Pengalaman Hidup).
Bagi Hatta, peristiwa 27 Desember 1949 itu amat besar maknanya. Beberapa
tahun kemudian saya bertanya, apakah peristiwa paling penting dalam
hidupnya, Bung Hatta menjawab, menandatangani teks Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menandatangani akta penyerahan
kedaulatan Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949.
Saya catat, ada kejadian saat upacara berlangsung. Tiba-tiba terdengar
bunyi gedebuk, orang jatuh. Seorang Kemerheer pingsan. Apakah lelaki
pegawai Istana Ratu itu lemas karena terlalu lama berdiri, sakit, atau
belum sarapan? Saya tidak tahu. Tetapi saya menganggapnya sebagai
perlambang, jatuhnya kekuasaan sebuah imperium, tamatnya era
kolonialisme Belanda.
Upacara di Paleis Dam disiarkan langsung melalui radio yang pada saat
sama bisa didengarkan di Istana Rijswijk (Istana Negara) di Jakarta oleh
hadirin yang menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan dari Wakil
Mahkota Agung Lovink kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Presiden Soekarno
sungkan menghadiri upacara di Jakarta itu dan tinggal di Yogya, menunggu
triomfala intocht alias ketibaan berjaya di ibu kota RI.
Bertahun-tahun kemudian, Soebadio Sastrosatomo dari PSI (Partai Sosialis
Indonesia) mengatakan, "dari perspektif mistik, yang terjadi di Jakarta
adalah penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari Belanda, bukan kepada
Presiden Republik Indonesia (Soekarno), tetapi kepada Raja Jawa (HB IX)."
Juga di Jakarta, ada kejadian lain. Diplomat Belanda Van Beus dalam buku
Morgen bij het aanbreken van de dag menulis, saat bendera Belanda
Merah-Putih-Biru diturunkan, massa rakyat yang menyaksikan bersuit-suit
disertai teriakan mencemooh, menimbulkan perasaan pilu pada orang-orang
Belanda yang hadir. Sebaliknya, waktu bendera Indonesia Merah-Putih
dikerek ke puncak tiang, rakyat bertepuk tangan diiringi sorak sorai.
Ini simbol berakhirnya era kolonialisme.
Lagu kebangsaan
Saat keluar dari Paleis op de Dam saya dengar dari carillon sebuah
gereja di dekatnya, pertama kali diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia Raya. Saya pikir itu juga simbol tamatnya kolonialisme Belanda.
Pada 31 Desember 1949 malam, saya mengantar Bung Hatta, juga istri saya
Siti Zuraida, yang hari itu akan pulang ke Tanah Air ke Bandara
Schiphol. Setelah Bung Hatta bertolak, saya balik ke penginapan.
Berjalan kaki sepanjang kali atau grachtan lewat tengah malam jelas
berbeda dengan jalan kaki di Gunung Kendeng, 8 Juli 1949 malam, saat
saya bersama Pak Harto menjemput Panglima Besar Sudirman dari daerah
gerilya, agar kembali ke Yogya di mana Soekarno-Hatta telah tiba dari
Bangka. Sudah tahun baru, pikir saya. Tanah Air saya sudah merdeka dan
berdaulat, diakui dunia internasional.
* * *
No comments:
Post a Comment