Tuesday, April 12, 2011

"Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 12 April 2011
---------------------

"Menyelesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu --
Membangun Indonesia Yang Lebih Bermartabat"



Kalau tak ada perubahan, hari ini 12 April, 2011, atas inisiatif ELSAM,
di Jakarta diadakan Kegiatan Diskusi Publik di Gedung Perpustakaan
Nasional, Jakarta. Tema diskusi adalah sekitar " Menyelesaikan
Pelanggaran HAM Masa Lalu -- Membangun Indonesia Yang Lebih Bermartabat".

Direncanakan akan tampil sebagai narasumber, tokoh-tkoh berikut
ini:/*K.H. Solahudin Wahid (Pemuka Agama, Indriaswati Dyah Saptaningrum,
SH, LLM (Direktur Eksekutif ELSAM), Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA
(Wakil Ketua MPR RI) dasn Nia Sjarifudin (Direktur ANBTI).*/

Pertimbangan dan analisis yang mendorong diselenggarakannya DISKUSI
PUBLIK, menurut Elsam adalah s.l. Sbb:

Penyelesaian yang tidak tuntas ini, menyebabkan bangsa Indonesia belum
mampu belajar dari kesalah masa lalunya. Sejumlah agenda reformasi
diantaranya reformasi bidang hukum, ekonomi dan politik seolah mundur
kebelakang dan mengancam transisi demokrasi dan supremasi hukum. Hal ini
praktis karena "audit" masa lalu tidak pernah dilakukan secara tuntas
dan mengurai persoalan masa lalu*/untuk pembelajaran.

Dibidang politik, proses transisi demokrasi yang berjalan belum mampu
menempatkan semua warga negara dalam posisi setara. Para korban
pelanggaran HAM masa lalu belum dipulihkan posisi dan kedudukannya yang
setara untuk menjamin partisipasi mereka dibidang-bidang politik.
Stigmatisasi dan diskriminasi terus berlangsung menyebabkan mereka
selalu dalam tekanan dan ancaman ketika mencoba mengekpresikan pandangan
politiknya. Padahal, esensi adanya demokrasi sejatinya adalah kebutuhan
untuk adanya kesetaraan hak-hak warga negara.


Sejumlah persoalan diatas, menyebabkan Indonesia berpotensi menuju
negara yang gagal dan menjauhkan menjadi negara yang demokratis dan
bermartabat. Kegagalan menyelesaian persoalan dengan cara-cara damai,
diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terus terjadi, dan
penegakan hukum yang tidak adil membuat situasi kebangsaan kembali
mundur. Hal ini juga akan melanggenggkan ketidakadilan bagi para korban
dan bagi kelompok minoritas.


* * *

Prakarsa ELSAM menyelenggarakan DISKUSI PUBLIK, adalah penting dalam
rangka terus-menerus, meningkatkan KESADARAN MASYARAKAT, megenai status
dan situasi negara hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu penggiat
prodem dan pro-HAM sewajarnya memberikan dukungan pada kegiatan Elsam tsb.

* * *

Berikut ini DUA ARTIKEL dengan tema yang sama seperti yang hari ini
menjadi acara DISKUSI PUBLIK ELSAM. Semoga menambah input bagi
pemikiran dan analisis mengenai situasi HAM di negeri kita tercinta.

* * *


*SAMPAI DIMANA HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?*

'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS'


Limapuluh delapan tahun yang lalu, dalam sidangnya di 'Palais de
Chaillot', Paris, pada tanggal 10 Desember 1948, Majlis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) mensahkan suatu DEKLARASI
UNIVERSAL.








Sebuah DEKLARASI yang besejarah dan membikin sejarah.
Deklarasi tsb adalah 'UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS',
'Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia'. Ny. Eleanore Roosevelt,
istri mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D.Roosevelt, yang ikut
membuat rancangan dokumen bersejarah itu, menamakan dokumen UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, adalah suatu MAGNA CARTA Internasional,
Magna Carta abad ke-20.

Ketika itu, tak satupun anggota PBB yang menentangnya. Namun, aneh dan
sayangnya, ada 8 negara anggota PBB yang tidak memberikan suara, alias
blanco. Lainnya, 48 negeri semuanya Acc. Yang memberikan suara blanco
itu adalah: Saudi Arabia dan 7 negeri-negeri dari blok Sovyet. Kalau
difikir-fikir sekarang, bagaimana bisa terjadi, negara seperti Saudi
Arabia (negara yang berdasarkan agama) suaranya bisa sama dengan
negara-negara blok Sovyet (negara-negara sosialis/Marxis yang
memperjuangkan keadilan sosial).

Namun, kenyataannya demikianlah, itu sejarah. Saudi Arabia dan blok
Sovyet ada di satu barisan yang memberikan suara blanco terhadap
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS (UNO). Apakah itu suatu
kebetulan saja?! Besar kemungkinan karena kedua macam/sistim
kenegaraan tsb memberlakukan sistim pemerintahan yang totaliter. Yang
satu diktatur religius yang satu macam lagi diktatur ideologis.
Mengenai hal ini masih bisa panjang lebar pendiskusiannya.

* * *

Menggarisbawahi arti penting DEKLARASI, MU-PBB berseru kepada semua
negeri anggota PBB untuk menyebarluaskan teks DEKLARASI tsb, agar
dokumen itu dibaca dan dipelajari. Supaya isinya dijelaskan terutama
di sekolah-sekolah dan dipelbagai lembaga pendidikan lainnya, tanpa
pembedaan yang didasarkan atas status politik negeri-negeri maupun
wilayah. Titik berat dan sasaran utama pendidikan adalah generasi
muda. Agar generasi mendatang memahami, mengkhayati dan memperjuangkan
HAM di mana prinsip itu belum diberlakukan.

* * *

Bisa dikatakan dengan pasti bahwa salah satu cara yang positif dan
efektif untuk memperingati tanggal 10 Desember 1948, lahirnya
UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS <10 Desember 1948>, adalah
dengan memeriksa situasi kehidupan hukum di negara Republik Indonesia.
Pertanyaan berikut ini harus dengan serius mendapat jawaban: Apakah
negara RI sudah bisa dikatakan suatu negara hukum dalam arti kata yang
sesunguuhnya? Sampai di mana prinsip-prinsip HAM dan demokrasi seperti
yang dinyatakan dalam UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS itu,
telah diberlakukan/dipraktekkan oleh lembaga-lemaga yudikatif,
legeslatif dan ekekutif di Indonesia? Seberapa serius dan seberapa
berat pelanggaran hukum yang sudah berlangsung di negeri ini, dimana
pelakunya adalah penguasa itu sendiri. Dimana korbannya adalah
warganegara sendiri yang tak bersalah? Sampai dimana pula
pelanggaran-pelanggaran HAM itu sudah diakhiri dan diatasi.

Barangkali hanya dengan cara memeriksa keadaan negara kita sendiri,
akan ada artinya setiap kali kita memperingati HARI UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Dengan demikian diharapkan akan
memberikan kesadaran dan dorongan baru terhadap usaha, kegiatan dan
perjuangan riil untuk memberlakukan HAM di negeri kita. Baik itu di
kalangan penguasa dan pemerintah, maupun di kalangan masyarakat, di
kalangan LSM dan ornop yang menjadikan pemberlakuan HAM dan
prinsip-prinsip demokrasi sebagai misi dan visinya.

Kita tahu bahwa pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM terbesar
dalam sejarah Indonesia, --- dimulai, segera sesudah terjadinya
peristiwa G30S,
1 Oktober 1965. Peristiwa itu terkenal di mancanegara,
, sebagai 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965'
terhadap ratusan ribu bahkan dikatakan sampai 3 juta orang yang tidak
bersalah (angka tiga juta korban tsb diungkapkan oleh Jendral Sarwo
Edhie dari Angkatan Darat, sebelum ia meninggal dunia). Pelanggaran
HAM terbesar tsb adalah rekayasa dan tanggungjawab langsung kelompok
militer di bawah Jendral Suharto dengan dukungan sementara parpol dan
kekuatan religius dalam masyarakat kita. Mengenai keterlibatan
kekuatan religius dalam kampanye pembantaian itu, telah dengan jujur
diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau
sebagai tokoh pimpinan NU minta maaf atas keterlibatan pemuda-pemuda
NU (Ansor) dalam pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau diduga PKI
di Jawa Timur.

* * *

Mengenai pelanggaran HAM di Indonesia yang dilakukan oleh penguasa,
oleh pemerintah ORBA, banyak yang bisa dikemukakan dan dianalisis. Ini
suatu tantangan terhadap pemerintah untuk mengkoreksi
kesalahan-kesalahan masa lampau di bidang HAM. Sudah ada janji, ada
usaha, tetapi masih jauh dari harapan dan tuntutan keadilan. Salah
satu lembaga penelitian ekonomi di bawah PBB, mengungkapkan bahwa,
dari 180 negara yang dipantau mengenai keterlibatannya dalam
pemberlakuan demokrasi, Indonesia tergolong ranking nomor 65 (lihat
penerbitan 'The Third World In 2007' -- sumber: 'KabarIndonesia').

Apakah kita boleh berbangga dengan penggolongan yang mendudukkan
Indonesia nomor 65 di dunia dalam pelaksanaan demokrasi? Kiranya
tidak, mengingat pemberlakuan HAM, yang hakikatnya adalah pemberlakuan
hak-hak demokrasi bagi setiap manusia, hal tsb di negeri kita, masih
amat jauh dari tuntutan dan harapan. Maka tidaklah pada tempatnya kita
merasa puas dengan penilaian lembaga PBB tsb.
Mengingat pula pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, dalam
'Peristiwa 1965', masih belum dijamah secara serius oleh penguasa dan
lembaga yudikatif, termasuk oleh lembaga-lembaga pembelaan HAM seperti
KOMNASHAM.

* * *

Pada judul Kolom ini, ditulis dengan huruf-huruf besar 'SAMPAI DIMANA
HAM DIBERLAKUKAN DI INDONESIA?'. Pada tempatnyakah, relevankah
mengajukan pertanyaan demikian itu?

Untuk mengambil satu dua contoh saja: Baik kita tinjau sekilas tentang
peristiwa yang baru saja terjadi belakangan ini, yaitu mengenai
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan dengan UU KKR.

Media Indonesia ramai memberitakan pernyataan Mahkamah Konstitusi,
bahwa -- UU KKR BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945. Kongkritnya, Pasal 27
UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU
KKR) yang berbunyi: "Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan"
adalah bertentangan dengan UUD 1945. Dinyatakan selanjutnya: Karena
seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal
tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal
berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk
dilaksanakan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi diuraikan a.l sebagai berikut:

Hal yang melatarbelakangi Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945
karena tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada korban
karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi digantungkan kepada
sesuatu yang belum pasti, yaitu amnesti. Amnesti ini sepenuhnya
merupakan kewenangan Presiden untuk memberikan atau tidak setelah
mendengar pertimbangan DPR sekalipun misalnya telah terbukti bahwa
yang bersangkutan adalah korban. Dengan demikian adalah tidak adil
bagi korban, sebab di satu pihak, pemberian amnesti kepada pelaku
pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara implisit dinyatakan
sebagai hak [Pasal 29 Ayat (3) UU KKR], tetapi kompensasi dan
rehabilitasi secara implisit pun tidak disebut sebagai hak.
Disimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR Tidak Memberi Kepastian Hukum dan
Keadilan.

* * *

Putusan MK tersebut merupakan jawaban atas permohonan uji materi
(judicial review) yang diajukan sejumlah korban pelanggaran HAM dan
para aktivis dari LSM. Seperti: Asmara Nababan (Elsam), Ibrahim Zakir
(Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat
Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga
Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB), Raharja Waluya Jati, H.
Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan
Kebenarandan Rahardjo Waluyo Djati mewakili korban penculikan aktivis
1998.

Pemohon sebenarnya hanya mengajukan uji atas Pasal 27, Pasal 44, dan
Pasal 1 angka 9 UU KKR (lihat grafis). Namun MK justru mencabut secara
utuh UU KKR tersebut. Maka timbulah pelbagai tanggapan dan reaksi.

Di satu fihak, adanya keputusan MK sebagai jawaban atas putusan
perkara 006/PUU-IV/2006, telah memfokuskan kembali perhatian
masyarakat terhadap kekurangan serius yang terdapat dalam UU-KKR.
Sekaligus ada pendapat keras yang mempertanyakan sebab-musabab
sesungguhnya mengapa MK memutuskan meniadakan samaekali secara utuh UU-KR.

Betapapun harus diperhatikan dan ditanggapi reaksi dan tanggapan yang
bermunculan terutama dari kalangan masyarakat aktivis HAM. Salah
seorang aktivis pusat ELSAM, pernah menyatakan kepada Penulis, bahwa
betapapun UUKR merupakan wadah yang bisa dimanfaatkan demi perjuangan
pemberlakuan HAM di negeri kita. Untuk begitu saja membatalkan UU KKR,
dipertanyakan, apakah itu merupakan suatu keputusan yang terburu-buru
bahkan suatu tindakan yang k e b a b l a s a n? Karena UUKR dengan
kekurangan-kekurangan serius yang diidapnya, namun, juga mencakup
hal-hal yang memberikan syarat/memungkinkan dilakukannya perjuangan
demi kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi.

Mahkamah Konstitusi menilai UU tersebut secara keseluruhan
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.

Seperti kita saksikan keputusan MK untuk mencabut UU KKR secara utuh,
telah menimbulkan reaksi. Ada yang keras dan ada yang kecewa. Bukan
saja dari kalangan masyrakat, tetapi juga dari salah seorang Hakim
Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pendapat 'orang dalam' berbeda dengan
pendapat mayoritas dalam MK. Baik diingat, pendapat minoritas belum
tentu salah, sebaliknya pendapat mayoritas tidak mesti itu yang benar.

Hakim I Dewa Gede Paliguna, misalnya, menyatakan pendapat yang
berbeda (dissenting opinion). Tanpa UU itu, kata D.G. Paliguna,
kebenaran akan sulit diungkap. Karena berdasar akal sehat, pelaku
(pelanggaran hukum)sulit diminta untuk mengakui perbuatannya. "Padahal
pengungkapan merupakan syarat yang harus ditemukan untuk memulihkan
hak-hak korban".

Asmara Nababan (Elsam) berpendapat, putusan itu membuat masyarakat
korban pelanggaran HAM harus menunggu lama untuk hingga kebenaran
kasus mereka diungkap. "Yang menyedihkan, membuat masyarakat masih
harus lama menunggu pengungkapan kebenaran peristiwa". Putusan MK itu
membuktikan betapa buruknya kualitas UU yang dibuat DPR bersama
pemerintah. "Kalau DPR dan Pemerintah mawas diri, mereka harusnya
meminta maaf kepada masyarakat sebagai pembayar pajak, karena sudah
menghabiskan uang puluhan miliar untuk UU yang ternyata dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945".

Sedangkan mantan Wakil Ketua Pansus UU KKR DPR M Akil Mochtar menilai
putusan Mahkamah Konstitusi itu membuat prospek penyelesaian masalah
HAM suram.
"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi tidak jelas. Semua pihak
tidak punya komitmen untuk itu. Kalau MK menganjurkan rekonsiliasi
bangsa melalui jalur politik kan makin nggak jelas lagi".

"Putusan MK itu menutup para korban secara hukum untuk menggugat
pelaku pelanggaran HAM," kata Direktur Hukum Reform Institute, Ifdal
Kasim kepada Pembaruan, Jumat (8/12). Ifdal sangat menyayangkan MK
yang memutuskan mencabut semua isi UU KKR, padahal yang diminta
pemohon cuma tiga pasal.


* * *

Walhasil, 'ceitera' mengenai perjuangan untuk diselenggarakannya
Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan, tampak masih
cukup rumit, banyak lika-likunya dan akan makan waktu lama.

Kita tidak bicara mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya,
misalnya, kasus pembunuhan terhadap pejuang HAM Munir, yang sampai di
bawa ke luarnegeri. Meminta bantuan Belanda dan Amerika. Hal mana
menunjukkan bahwa lembaga peradilan Indonesia, lembaga kepolisian
tidak mampu (atau tidak punya political will yang memadai), sehingga
mengenai kasus Munir-pun yang sudah kongkrit dijanjikan oleh Presiden
akan ditangani, nyatanya masih jauh dari solusi yang diharapkan. Masih
gelap siapa pelaku pembunuhan terhadap Munir.

* * *

Keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut secara utuh UU KKR tersebut,
telah membuka perdebatan dan diskusi baru lagi mengenai masalah
Rekonsiliasi Nasional atas dasar Kebenaran dan Keadilan. Dibukanya
perdebatan ini bisa punya dampak positif untuk mendidik masyarakat
mengenai masalah pemberlakuan HAM di Indonesia.

Kita sebut dua kasus saja, satu yang menyangkut UUKR dan putusan
Mahkamah Konstitusi, dan yang satunya kasus Munir. Itu saja sudah
cukup memberikan gambaran sampai dimana HAM sudah diberlakukan di
negara Republik Indonesia tercinta.

Berarti bahwa perjuangan pemberlakuan HAM di Indonesia masih akan
makan waktu lama, memerlukan usaha keras dan berani, sampai tampaknya
hasil-hasil pertama yang diharapkan. < Kolom IBRAHIM ISA,08 Desember 2006>

* * *


*Mau Tegakkan NEGARA-HUKUM - R.I*

*'Harus' MELAWAN Aparat 'PENEGAK HUKUM' *

Sejak berdirinya Republik Indonesia, nasion dan negara yang baru
tegak-bangkit ini berketetapan untuk mengokohkan negara Republik
Indonesia yang berlandaskan keadilan dan kebenaran. Suatu negara yang
berlandaskan HUKUM dan Undang-Undang.


Untuk itu telah dirembukkan, didiskusikan, diperdebatkan dan akhirnya
dirumuskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang (sudah
beberapa kali diamandemen) . Sudah ditentukan berlakunya sistim
kenegaraan kesatuan yang memiliki lembaga eksekutif, legeslatif dan
yudikatif (yang independen). Telah pula ditetapkan bahwa, antara lain,
-- lembaga Kejaksaan dan Kepolisian merupakan aparat 'penegak hukum'.


Namun, pengalaman bernegara sejak 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa
dalam periode yang panjang, khususnya sejak berdirinya Orde Baru di
bawah Presiden Jendral Suharto, -- bahwa, dalam usaha hendak menegakkan
negara hukum, masyarakat, bangsa ini h a r u s berhadapan dengan APARAT
PENEGAK HUKUM NEGARA itu sendiri. Dalam hal ini perjuangan harus
dilakukan terhadap aparat kejaksaan, pengadilan dan kepolisian. Ketika
zaman ORBA, situasinya lebih gawat. Kekuasaan negara adalah --- otoritas
DWIFUNGSI ABRI. Panglima Tertinggi Abri, yaitu Jendral Suharto,
beliaulah kekuasaan mutlak dan tunggal. Adalah t e n t a r a yang
menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang adil dan mana
yang tidak adil.


Dalam periode 'Reformasi', pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,
telah mengembalikan tugas keamanan dalam negeri kepada Kepolisian.
Memishkan tugas-tugas tentara dan polisi. Tentara harus kembali ke
'tangsi'. Harus profesional dengan tugas utamanya mempertahankan negeri
terhadap bahaya, ancaman, agreesi dari luar.


Pengalaman praktek menunjukkan bahwa lembaga negara yang diharapkan
menjadi 'penegak hukum', justru memainkan peranan yang sebaliknya.

Sehingga, usaha, kegiatan, perjuangan bangsa ini untuk MENEGAKKAN NEGARA
HUKUM, menegakkan suatu 'RECHTSSTAAT' yang setara dengan negara-negara
lainnya di dunia ini, yang berlandaskan hukum , ---- *terpaksa harus
mengarahkan ujung tombak, sasaran perjuangannya pada APARAT KEJAKSAAN
DAN KEPOLISIAN.*


* * *


Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh pemerintah SBY-1,
menciptakan situasi baru dalam usaha pemberantasan korupsi. KPK sedikit
banyak telah berbuat dalam usaha pemberantasan korupsi. Seharusnya
lembaga penegak hukum, Kejaksaan dan Kepolisian, merupakan aparat ampuh
sebagai suatu lembaga/otoritas yang memberikan bantuan pada kerja KPK.

Tetapi, --- nyatanya Kejaksaan dan Kepolisian itu sendiri merupakan
sarang korupsi yang sejak lama tak terjamah. Akibatnya, pekerjaan KPK
dihalangi-halangi. Bahkan KPK itu sendiri menjadi sasaran Kejaksaan dan
Kepolisian. 'Dikriminalisasi' , begitu media mengomentari tindakan
Kepolisian terhadap KPK. Ini semua disaksikan masyarakat dengan gamblang.


* * *


Ambil saja kasus yang menjadi 'ramai' belakangan ini. Penahanan terhadap
pimpinan KPK Bibit dan Chandra, yan non-aktif. Suatu komisi yang
dibentuk oleh Presiden sendiri untuk menangani, melacak dan menindak
pelanggaran korupsi, malah pejabat-pejabatnya dikenakan 'tahanan' oleh
Mabes Polisi RI. Tambah lagi terungkapnya rekaman sekitar 'kolusi'
(dipertunjukkan di Mahkamah Konstusi) antara pejabat-pejabat kejaksaan,
kepolisian dan pengusaha (yang notabene sedang buron)..


Penjelasan dan kontra penjelasan, yang menjadi semacam 'polemik terbuka'
lewat pers, antara kepolisian dan Tim Pencari Fakta (bentukan SBY) yang
dikepalai oleh advokat Adnan Buyung Nasution, sudah sedemikian
'hopeless'-nya sehingga Tim-8 (TPF) bentukan Presiden SBY, mengancam
akan mengundurkan diri.


* * *


Wajarlah orang jadi mengerti kecaman tajam dan keras yang dilontarkan
Wakil Ketua MPR RI, Hajriyanto Yasseir Thohari, ke fihak Kejaksaan dan
Kepolisian. Dia bilang: *Kejaksaan dan Kepolisian terbukti gagal
melakukan reformasi internal. Atau bahkan tidak melakukan reformasi sama
sekali.* Pengungkapan rekaman di MK ibarat puncak dari `gunung es`,
memperlihatkan dengan sangat telanjang, bahwa Kejaksaan dan Kepolisian
sama sekali tidak berubah. Demikian Hajriyanto.


Ia selanjutnya menilai percaloan dan makelar hukum masih luar biasa
bercokol di kedua penegak hukum di Indonesia. *Bahkan masih ada
`mafioso` yang begitu kuat dan berpengaruh yang bisa mengatur-atur hukum
di negeri ini*. Bayangkan, katanya, jika tidak ada kasus `Bibit-Chandra`
. Untung saja harapan masyarakat sangat tinggi kepada KPK, sehingga
sebagai ikon pemberantasan korupsi, komisi ini mendapat dukungan luar
biasa dari masyarakat. Alhamdulillah, kasus `kriminalisasi` yang penuh
rekayasa atas pimpinan nonaktif KPK Bibit-Chandra justru bisa menguak
kebobrokan aparat penegak hukum kita,"Saat ini, katanya, sesungguhnya
sudah sangat terlambat reformasi total harus segera dilakukan. "Tetapi,
berapa pun mahal harganya dan siapa pun korbannya, Kejaksaan Agung dan
Kepolisian mutlak harus direformasi hari ini. `Right now`. Ini tidak
bisa ditawar, katanya.


Tentu, yang diharapkan masyarakat ialah agar suara tsb dikonsekwenkan
dengan tindak lanjut yang kongkrit. Misalnya, DPR menggunakan hak angket
untuk melakukan pemeriksaan transparan atas seluruh kasus Candra dan
Bibit. Apalagi bila TPF yang dibentuk oleh Presiden, ternyata dibikin
jadi tidak mampu meneruskan pekerjaannya. Disebabkan tindakan pelecehan
yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap saran-saran yang diajukan oleh TPF>


* * *


Sudah begitu jauh taraf frustrasi di masyarakat terhadap tindak-tanduk
dan keterlibatan Kejaksaan dan Kepoisian, sehingga akhirnya diajukan
tantangan *terhadap*Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan
Kabareskrim Nonaktif Komjen Pol Susno Duadji. Untuk mengadakan *debat
terbuka*terkait kasus Bibit dan Chandra. Saran ini diajukan oleh advokat
bernama Jazuni.

"Sebagai solidaritas untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang
ditahan Mabes Polri dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang, saya Dr
Jazuni, SH., MH., dengan ini menantang Kapolri Jenderal Bambang Hendarso
Danuri dan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji untuk berdebat soal
profesionalitas Polri. Demikian Jazuni.

Kesadaran hukum masyarakat, tampak mengalami peningkatan dengan
terungkapnya 'kriminalisasi' terhadap KPK. Gerakan mendukung
dihentikannya kriminaliasi terhadap Bibit dan Chandra mencuat hebat.
*Bisa dibaca di media ( Republika Newsroom) Sabtu, 07 November bahwa
Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra & Bibit, mendapatkan lebih
1,3 juta. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah setiap waktu.*


* * *


Gerakan di masyarakat Indonesia tampak menuju pada aksi-aksi
ekstra-parlementer. *Perlawanan masyarakat* terhadap korupsi dan kolusi
yang berlangsung antara pejabat-pejabat Kejaksaan, Kepolisian dan
pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam korupsi, *sudah BERKEMBANG.*
Tidak saja terbatas pada polemik di pers, pengungkapan demi pengungkapan
di media. Perlawanan terhadap korupsi sudah mulai mengambil bentuk
aksi-aksi demo, orasi dsb.


Adalah suatu IRONI dan memalukan bahwa banyak fraksi parpol di DPR masih
saja hendak membela tindak-tanduk kepolisian dan kejaksaan yang
berkolusi itu. Salah satu berita mengungkapkan bahwa penjelasan tujuh
jam Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri di Komisi III
Dewan Perwakilan Rakyat mendapat sambutan penuh puja-puji. Suara anggota
Dewan yang baru terpilih itu jauh berbeda dari suara-suara orang yang
mereka wakili di luar gedung parlemen. *Hampir semua perwakilan fraksi
di Komisi Hukum DPR memberi komentar bernada dukungan bagi Markas Besar
Polri.* (Kompas Interaktif, 06 Nov).


* * *


Presiden SBY masih sempat memberikan pernyataan yang membuat masyarakat
lagi-lagi menanti. Menantikan apa langkah kebijakan kongkrit dan nyata
Kabinet SBY-II, mengahdapi krisis hukum yang melibat negara ini.


Mari perhatikan dan telusuri pernyataan Presiden SBY berikut ini (
Komas,05 Nov 2009) : -- Program prioritas pertama Presiden adalah
"Pemberantasan Mafia Hukum". "Yang saya sebut dengan mafia dalam arti
yang luas adalah mereka-mereka yang melakukan kegiatan merugikan pihak
lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli
perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan
yang tidak semestinya, yang merusak rasa keadilan, juga mengakibatkan
kerugian material, bagi mereka yang menjadi korban, dan mendatangkan
keuntungan yang tidak halal, tidak legal". Demikian Presiden SBY.


Dilihat dari pernyataan itu sendiri, ini bisa menimbulkan 'harapan' di
kalangan masyarakat bahwa (dalam rangka 45 point program aksi 100 hari
Kabinet SBY II), pemerintah mulai menampakkan suatu 'politcal will'
untuk kongkrit dan tegas menangani korupsi.


SBY menamakan perkembangan belakangan di bidang hukum Indonesia
sedemikian rupa sehingga ada keharusan *"Pemberantasan Mafia Hukum"*.
Ini suatu pernyataan keras. "Ini akan kita jadikan prioritas pada 100
hari pertama," kata SBY. (Kompas, 05 Nov 2009)

Tapi hal itu hanya bisa terjadi, karena adanya gerakan kuat di dalam
masyarakat melawan korupsi, dan (ini perkembangan penting) mulainya
aksi-aksi beralih ke jalan-jalan raya. **


* * *





No comments: