Monday, August 8, 2011

Pencalonan Sri MULYANI Sbg CALPRES

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 08 Agustus 2011

-----------------------------


Pencalonan Sri MULYANI Sbg CALPRES --- Dan Apa Kata Wimar Witular?


Sekitar SRI MULYANI, salah seorang tokoh wanita ekonom dan akhli keuangan Indonesia yang paling banyak dan paling sering dibicarakan, ditulis dan di-isukan di dunia politik dan media Indonesia, menjadi fokus perhatian lagi. Mengapa?


Bukan saja karena Sri Mulyani itu, dianggap adalah protagonis sistim ekonomi neo-liberal, dan belakangan menjadi pejabat tinggi World Bank, yang juga dinilai adalah promotor ekonomi-pasar kapitalis, untuk Dunia Ketiga. Bukan saja karena alasan-salasan tsb diatas. Ia terlibat dan dianggap ikut bertanggungjawab sekitar kasus Bailout Century Bank. Seperti a.l tercermin dalam tulisan Fuad Bawzir. Kasus Sri Mulyani, tidak berhenti di situ saja.


Soalnya jadi hangat kembali: Karena Sri Mulyani yang mantan Menteri Keuangan pemerintah SBY itu, oleh Partai Serikat Rakyat Independen, SRI, diajukan sbg calpres pemilihan peresiden 2014, menggantikan SBY.


Hari ini bisa dibaca berita Sinar Harapan sbb: MANTAN MENTERI KEUANGAN (MENKEU) SRI MULYANI INDRAWATI AKHIRNYA SECARA RESMI DIDEKLARASIKAN SEBAGAI CALON PRESIDEN (CALPRES) PADA PEMILIHAN UMUM (PEMILU) 2014”


Kasus Sri Mulyani dicalonkan sebagai calpres oleh SRI, bagus sekali bila bisa menyulut diskusi (baru) mengenai situasi pemberlakukan DEMOKRASI di negeri ini. Bukankah kita sudah 12 tahun memasuki masa Reformasi. Bukankah sudah 12 tahun Presiden Suharto digulingkan dari kedudukannya. Sejarah mancatat selama 32 tahun Suharto mengepalai suatu rezim yang paling anti-demokratis di Indonesia. Patutlah menjadi perhatian setiap pemeduli demokrasi dan keadilan sosial, --- rezim yang bagaimana yang semestinya dibangun di atas reruntuhan rezim Orba yang diktatorial itu.


* * *


Orangnya, yang mengkaitkan permbicaraan sekitar Sri Mulyani dengan masalah yang lebih fundamental, yaitu MASALAH PEMBERLAKUKAN DEMOKRASI DI INDONESIA, adalah tulisan Wimar Witular yang dikutip lengkap di bawah ini.


* * *


Tulisan Farid Prawiranegara CPA, dan pasti masih ada lagi, yang meragukan tuduhan terhadap Sri Mulyani mengenai kasus Bailout Century Bank, bagus sekali bila bisa menylut diskusi baru. Bukan saja mengenai masalah Sri Mulyani kaitannya dengan kasus Bailout Century Bank dan tuduhan lainnya, tapi mengenai diajukannya Sri Mulyani sebagai calpres pilpres 2014, dan kaitannya dengan isu demokrasi di Indonesia.


Masalah yang dimasuki disini (oleh tulisan Witular), adalah masalah yang lebih penting dan fundamental. Yaitu: Masalah pemberlakuan DEMOKRASI di Indonesia, setelah 12 tahun Reformasi, dan mau kemana kita selanjutnya.


Isu yang diajukan di Koran Digital oleh WIMAR WITULAR, mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, , patut menjadi perhatian kita semua. Perhatikan yang dikemukakan Wimaqt Witular, dalam Koran Digital tsb:


Boleh dikatakan, ini merupakan suatu pemberitaan yang meledak, baik di dalam maupun di luar negeri.” . . . . . “tuduhan media dan DPR dalam kasus Century tidak didukung oleh fakta hukum. Tidak ada perangkat hukum yang menyatakan Sri Mulyani bersalah, hanya suara politik dan televisi politik.

Yang lebih signifikan, keistimewaan pencalonan Sri Mulyani dan pendirian partai SRI adalah bahwa warga mampu bersuara bebas dalam sistem demokrasi kita.” . . . .


Yang lebih signifikan, keistimewaan pencalonan Sri Mulyani dan pendirian partai SRI adalah bahwa warga mampu bersuara bebas dalam sistem demokrasi kita. Sebelumnya banyak yang menganggap demokrasi gagal, karena pemerintah bermasalah, partai penuh skandal, dan DPR menjalankan kepentingan diri.


Akan tetapi yang gagal bukan sistem demokrasi, melainkan pemakai sistem itu. Singkat kata, orang yang memenangkan pemilu, tapi tidak menjalankan mandatnya demi kepentingan publik. Orang melihat negara makin kacau, sedangkan demokrasi sudah jalan selama 12 tahun, lalu disimpulkan demokrasi itu yang gagal.

Justru demokrasi tidak gagal, hanya belum dipakai secara benar. Ibarat orang beli mobil, terus kurang lancar, maka orang kecewa pada mobil itu.Padahal yang salah bukan mobil, tapi pengemudinya.” . . . . Demikian Wimar Witular.


* * *


Dan juga yang tidak kalah penting adalah canang Wimar bahwa demokrasi kita nyatanya dimanfaatkan dan dikuasai oleh suatu Oligarki (suatu sisitim kekuasaan yang didirikan,lahir dan bersandar pada kekayaan, pada uang): Tulis Wimar:


Demokrasi kita lahir secara cemerlang tahun 1998. Sayangnya, hasil demonstrasi jalanan tidak digunakan oleh mereka yang menciptakan perubahan, tapi oleh orang memanfaatkannya untuk kepentingan sempit melalui partai, melalui DPR, dan melalui pemerintah.


Ketiganya mengubah demokrasi menjadi oligarki, kubu kekuasaan yang saling memberi jalan mengambil harta dan kekuasaan dari masyarakat. Praktik lama seperti korupsi dan kolusi subur kembali. Ini merusak nama demokrasi. Yang buruk bukan demokrasi, tapi pemakainya yang membentuk oligarki.”


Silakan pembaca menelusuri selengakpnya yang ditulis Wimar. Bila berkenan masuki pemikiran mengenai masalah yang diajukan oleh Wimar Witular: DEMOKRASI SESUDAH 12 TAHUN REFORMASI. Kita akan menarik manfaatnya dari diskusi seperti itu.


Jelas, yang menjadi fokus bagi Wimar, --- bukan masalah apakah Sri Mulyani bertanggungjawab sehubungan dengan Bailout Century Bank, bukan lagi apakah Sri Mulyani promotor neo-liberalisme di Indonbesia, ---- Tetapi BAGAIMANA DEMORASI SEHARUSNYA DIBERLAKUKAN DI INDONESIA.


Dalam tulisannya itu, Wimar Witular, tidak rikuh atau 'khawatir' menunjukkan simpatinya pada Sri Mulyani. Yang saat ini begitu dipersoalkan, begitu diragukan dan begitu dianggap pembela sistim neo-liberlisme di Indonesia.


Sikap Wimar seperti itu, patut didengar dan dihormati


* * *


Koran Digital

08 Agustus 2011


WIMAR WITULAR:

Belum genap seminggu, Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM.Namun, berita ini telah menjadi berita politik yang menakjubkan dari segi banyaknya perhatian.


Boleh dikatakan, ini merupakan suatu pemberitaan yang meledak, baik di dalam maupun di luar negeri.Saya sendiri secara pribadi telah memberikan empat wawancara di dalam negeri dan tiga wawancara melalui telepon ke media luar negeri. Sementara saya bukan pendiri partai, bahkan bukan pejabat partai.


Saya hanya membantu mendirikan Solidaritas Masyarakat Indonesia untuk Keadilan (SMI-K),ormas yang menjadi “bidan”lahirnya Partai SRI. Menarik untuk memikirkan secara sederhana mengapa bisa sampai begini. Kita lihat bahwa reaksi publik bermacam- macam.


Dari yang mulai skeptis, meragukan, meremehkan, sampai yang benci dan marah-marah, sampai mendukung, dan sampai menjadi sangat bersemangat ingin ikut bergabung. Spektrum respons sangat lebar,sesuatu yang sehat dalam demokrasi.

Jelas bukan suatu kejadian biasa,pendirian Partai SRI dan pencalonan Sri Mulyani, merupakan satu-satunya berita politik yang membuka pilihan baru kepada publik. Kekurangdewasaan politik masyarakat kita masih terlihat pada reaksi negatif, sedangkan kita tahu bahwa kalau orang tidak suka pada seorang calon presiden, mudah sekali menyatakannya.


Tidak perlu sibuk menggugat, mencerca, dan melemparkan tuduhan. Cukup abaikan saja, jangan pilih. Namun,pencalonan Sri Mulyani mengkhawatirkan orang yang tidak ingin diganggu dalam kegiatan yang ”biasa”.Terulang suasana kampanye hitam yang menyerangnya di televisi dan DPR pada 2009–2010. Ternyata efektif, seperti kata Menteri Propaganda Adolf Hitler,Joseph Goebbels ”kalau kamu cukup sering mengulangi dan meneriakkan kebohongan, lama-lama orang akan percaya.”

Ini masalah sementara, karena tuduhan media dan DPR dalam kasus Century tidak didukung oleh fakta hukum. Tidak ada perangkat hukum yang menyatakan Sri Mulyani bersalah, hanya suara politik dan televisi politik.


Yang lebih signifikan, keistimewaan pencalonan Sri Mulyani dan pendirian partai SRI adalah bahwa warga mampu bersuara bebas dalam sistem demokrasi kita. Sebelumnya banyak yang menganggap demokrasi gagal, karena pemerintah bermasalah, partai penuh skandal, dan DPR menjalankan kepentingan diri.

Akan tetapi yang gagal bukan sistem demokrasi, melainkan pemakai sistem itu. Singkat kata, orang yang memenangkan pemilu, tapi tidak menjalankan mandatnya demi kepentingan publik. Orang melihat negara makin kacau, sedangkan demokrasi sudah jalan selama 12 tahun, lalu disimpulkan demokrasi itu yang gagal.

Justru demokrasi tidak gagal, hanya belum dipakai secara benar. Ibarat orang beli mobil, terus kurang lancar, maka orang kecewa pada mobil itu.Padahal yang salah bukan mobil, tapi pengemudinya.


Menggeser Oligarki

Demokrasi kita lahir secara cemerlang tahun 1998. Sayangnya, hasil demonstrasi jalanan tidak digunakan oleh mereka yang menciptakan perubahan, tapi oleh orang memanfaatkannya untuk kepentingan sempit melalui partai, melalui DPR, dan melalui pemerintah.


Ketiganya mengubah demokrasi menjadi oligarki, kubu kekuasaan yang saling memberi jalan mengambil harta dan kekuasaan dari masyarakat. Praktik lama seperti korupsi dan kolusi subur kembali. Ini merusak nama demokrasi. Yang buruk bukan demokrasi, tapi pemakainya yang membentuk oligarki.


Oligarki adalah kondisi di mana kekuasaan dipegang oleh beberapa kelompok elite.Mayoritas masyarakat tidak ikut membuat keputusan. Kita lihat keputusan politik diambil oleh Setgab Koalisi atau oleh pimpinan fraksi di DPR, atau oleh Presiden bersama partaipartai.


Sangat berbahaya ini tidak dihayati. Orang perlu sadar, bahwa dalam oligarki, kekuasaan ada dalam kolusi antara partai, penguasa dan uang. Presiden tidak kuat melawan tekanan oligarki politik uang. Dalam konteks ini, pencalonan Sri Mulyani menjadi penting.


Minggu lalu kita melihat 100 orang datang ke Kementerian Hukum dan HAM, ribuan orang mendirikan SMI-K di daerah, kemudian Partai SRI membentuk DPW dan DPC syarat verifikasi partai. Dibandingkan dengan keadaan tahun lalu di mana rakyat bungkam, capaian sekarang ini luar biasa.


Tidak banyak yang menyangsikan kapabilitas Sri Mulyani. Namun, ada saja orang yang tidak suka, karena tidak mengerti arti penghargaan dunia. Kenyataannya di Indonesia ada perasaan minder yang berwujud dalam xenophobia,takut pada segala hal berbau asing. Pengakuan internasional justru membangun bangsa.


Tantangan bagi SRI adalah pendidikan publik mengenai kenyataan bernegara, dasar pengertian ekonomi yang menjelaskan bahwa bailout Bank Century itu menyelamatkan ekonomi kita. Presiden mengingatkan dalam menghadapi kemungkinan krisis ekonomi hari ini, bahwa kita punya pengalaman menghindari krisis dari luar dengan pilihan kebijaksanaan yang tepat pada 2008.


Tampilnya SRI membuktikan bahwa warga sekarang mampu mengajukan calon presiden yang bersih. Itu tanda keberdayaan pemilih yang menghidupkan kembali demokrasi kita.Pekerjaan rumah SRI adalah mengembangkan dirinya menjadi pendukung yang layak untuk Sri Mulyani 2014.


Saat ini Sri Mulyani secara etis tidak boleh bicara politik, karena dia memegang kepercayaan 77 negara di dunia sebagai Managing Director Bank Dunia. Ini bukan merupakan halangan. Sri Mulyani sudah siap menjadi calon presiden. Yang masih harus dimatangkan adalah perangkat pendukung untuk meluruskan disinformasi.


Namun, bagaimanapun suatu perubahan politik sedang terjadi tanpa senjata dan tanpa uang, hanya suara pemilih. Itu hal yang sangat menggugah kita.Tujuan Partai SRI bukan menjadi partai besar, tetapi untuk menyiapkan calon bersih untuk Presiden RI. Hasil pilpres diserahkan pada suara pemilih. Sri Mulyani harus menjadi presiden dengan cara yang jujur dan terbuka, didasarkan pada sifatnya yang jujur,tegas,dan mampu.


WIMAR WITOELAR Pengamat Politik dan Praktisi Komunikasi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/419055/


* * *

No comments: