Sunday, November 13, 2011

KATA PENDAHULUAN, pada buku “Bui Tanpa Jerajak Besi'”

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 12 Novemvber 2011
----------------------------


Berikut ini adalah KATA PENDAHULUAN, pada buku “Bui Tanpa Jerajak Besi'”, Pikiran Seorang Eksil Indonesia di Luar Negeri. Pengantar BONNIE TRIYANA, Editor Ahmad Makki. Diluncurkan pada tanggal 21 Oktober, 2011, di Universitas Islam Negeri, UIN, Ciputat, Jakarta. Penerbit KLIK BOOKS, Jakarta, 2011.


* * *


PENDAHULUAN Utk Buku

“BUI TANPA JERAJAK BESI”
< Oleh: Ibrahim Isa>


Buku ini dimaksudkan sebagai lanjutan, atau lebih tepat dikatakan, sebagai perkembangan pemikiran yang dituangkan dalam tulisan-tulisan mengenai situasi perjuangan bangsa kita. Khususnya sejak bergeloranya gerakan massa besar Demokrasi dan Reformasi mengakhiri rezim Suharto (Mei1998).


Buku pertama diterbitkan dalam tahun 2000, dengan judul "SUARA SEORANG EKSIL". Isinya mencakup perkembangan situasi perjuangan bangsa kita dalam merealisasi cita-cita nasional. Yaitu: Menegakkan NEGARA REPUBLIK INDONESIA yang berdasarkan falsafah Pancasila, -- Mengakhiri masa elap, periode 'impunity' , serta menutup masa ketiadaan hukum selama berlangsungnya rezim Orba.


Maka diangkat dan disoroti pelanggaran hak-hak azasi manusia yang palin besar, oleh penguasa yang terjadi sejak "Tragedi Nasional 1965-1966" menyusul ggalnya G30S. Fokus diarahkan pada usaha, kegiatan serta perjuangan merehabilitasi tidak kurang dari duapuluh juta hak-hak kemanusiaan dan hak politik para warga baik yang anggota PKI dan diduga anggota PKI maupun pendukung Presiden Sukarno. Tidak pernah dalam sejarah bangsa kita begitu banyak warganegara RI yang difitnah dan tertuduh, beserta keluarga mereka, yang hak-haknua sebagai insan negara Indonesia, telah dirampas secara sewenang-wenang oleh kekuasaan militer Jendral Suharto.


* * *


Sepuluh tahun lebih telah berlalu. Ratusan artikel telah saya tulis mengenai perkembangan di tanah air dan mancanegara. Tulisan-tulisan yang telah disiarkan dalam kurun waktu dasawarsa, sebagian dibukukan atas saran sahabat-sahabat dan pemeduli Indonesia . Sejarawan muda generasi baru, pemimpin "HISTORY ONLINE", BONNIE TRIYANA, menseleksi serta mengeditnya sendiri. History Online menerbitkannya dalam bentuk buku ini.


* * *


Perkembangan yang berlangsung dan segala sesuatu yang dicatat, ditulis, dianalisis dan disiarkan sudah menjadi sejarah bangsa. Sudah menjadi milik nasion. Siapapun tak mungkin menyembunyikan atau memalsunya. Pada zaman modern ini, sudah tidak berlaku lagi dalil yang menyatakan bahwa 'SEJARAH (hanya bisa) DITULIS OLEH PENGUASA'. Suatu contoh-soal, adalah kasus rekayasa dan pemalsuan buku Bung Karno, "Sukarno -- An Autobiography, As Told To Cindy Adams (1965). Orba dan Suharto telah merekayasa dan memalsu buku Bung Karno, edisi Indonesia yang diterbitkan tahun 1966 dengan pengantar oleh Jendral Suharto. Tapi setelah jatuhnya Suharto, melalui perhatian dan ketelitian Dr Asvi Warman Adam, pemalsuan dan rekayasa tsb telah dibongkar. Edisi Revisi buku Bung Karno berjudul "BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT," telah terbit dengan kata pengantar DrAsvi Adam yang mengungkap rekayasa dan pemalsuan Orba tsb.


Penguasa menulis sejarah didasarkan dan diabdikan pada kepentingannya sendiri. Tapi rakyat, masyarakat, aktivis, pejuang, individu, pakar, jurnalis, pemeduli sejarah juga menulis. Dan jumlah mereka-mereka ini jauh lebih banyak dari segelintir penguasa. Di zaman kemajuan komunikasi yang ditandai oleh perkembangan ilmu dan teknik internet serta computer sebagai media komunikasi, --- tak ada satu kekuatan ataupun kekuasaan di dunia ini, yang mampu merintangi disiarkan dan dipublikasikannya, berita-berita dan catatan serta dokumentasi historik, yang menyangkut kehidupan masyarakat mancanegara. Informasi telah bebas dari kungkungan dan pengekangan penguasa lalim. Masa, dimana informasi bisa dikontrol oleh penguasa sudah berakhir untuk selama-lamanya. Kemajuan ilmu dan teknologi tak mengizinkannya. Lebih-lebih kesadaran anggota masyarakat itu sendiri, -- merupakan kekuatan utama yang melawan dikontrolnya informasi dan PENULISAN SEJARAH OLEH SIAPA SAJA, TERISTIMEA OLEH PENGUASA.


*JAS MERAH, Jangan sekali-kali melupakan sejarah!* Petuah rakhmat yang selalu diingatkan Bung Karno kepada kita, adalah kebijakan klasik yang punya nilai progresif dan praktis adalah abadi.


* * *


Keterpaksaan, pencabutan paspor oleh kekuasaan Orba, menyebabkan penulis berdomisili di negeri Belanda. Situasi ini mendorong penulis memberikan arti penting pada hubungan Indonesia-Belanda. Sesungguhnya bagi orang Indonesia, maupun orang Belanda, dimanapun ia berdomisili, masalah hubungan Indonesia-Belanda, seyogianya menjadi salah satu perhatian utama, dalam hubungan mancanegara.


Hubungan historis kurang lebih 350 tahun yang berlangsung dalam situasi gejolak dan prahara, teristimewa kesewenang-wenangan Belanda sebagai penguasa kolonial, telah menimbulkan korban yang tidak sedikit di fihak bangsa Indonesia. Tidak heran bahwa hal ini membuat hubungan kedua bangsa, Indonesia dan Belanda, punya arti khusus. Bukan saja khusus. Tetapi mengandung 'mesiu' yang sewaktu-waktu bisa terbakar dan meledak. Tetapi 'mesiu' itu bisa juga ditemukan dan diurus serta 'diamankan' dengan mengikuti kebijakan yang realis. Seperti halnya telah kita saksikan dalam hal keputusan Pengadilan Den Haag (14/9-2011), yang menyatakan bahwa kejahatan perang yang dilakukan tentara Belanda di desa Rawagede, tidak akan bisa kedaluwarsa, dan bahwa pemerintah Belanda telah melakukan tindakan di luar hukum, serta harus harus melakukan pembayaran ganti-rugi kepada para janda dan anak-anak korban.


Pelajari saja secara terpusat perkembangan hubungan Indonesia-Belanda sejak periode ditolaknya 'PETISI SUTARDJO' (PS), yang diajukannya di 'Volksraad'.
Oleh sementara kaum nasionalis, PS dinilai oportunis, karena tuntutannya sangat minim. Yaitu agar diadakan konferensi antara Indonesia dan Belanda, untuk mempersiapkan Indonesia 'berdiri sendiri' dalam batas kedaulatan Kerajaan Belanda, dengan mengambil waktu sepuluh tahun. PS yang akhirnya disetujui oleh 'Volksraad' yang dibikin oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri, itu akhirnya ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasannya: Indonesia 'belum matang untuk itu'.


* * *


Mengikuti dan mempelajari perkembangan nasion muda ini menuju pada emansipasi bangsa, kiranya dapat dikemukakan bahwa masalah pembangunan nasion, melanjutkan usaha memperkokoh dan meningkatkan kesadaran berbangsa adalah butir-butir tugas yang masih harus terus diamalkan. Pegegakkan dan pemberlakukan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak manusia warga tak bisa lepas dari syarat dan kondisi kesadaran berbangsa nasion ini. Demikian pula halnya pemberantasan korupsi, dibangunnya suatu birokrasi dan pemerintahan yang bersih dalam pengabdiannya pada masyarakat,

keberhasilannya, kemajuannya akan sangat bergantung pada tingkat kesadaran berbangsa nasion ini. Pada kesadaran mempersatukan kekuatan positif masyarakat, di atas mana berdiri tegak persatuan bangsa dari Sabang sampai Merauké.


Tulisan-tulisan yang tersajikan dalam kumpulan ini justru dimaksudkan untuk ambil bagian menurut kemampuan, guna mencapai tujuan mulya tsb.


Yang tujuan akhirnya adalah menegakkan suatu masyarakat Indonesia yng adil dan makmur, demokratis dan pluralis, toleran serta multikutural, bersatu, kokoh dan jaya.



* * *

No comments: