Friday, November 18, 2011

PERJUANGAN UTK KEBENARAN DAN KEADILAN DI TIMOR LOROSAE AKAN BERLANGSUNG TERUS

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 18 November 2011


PERJUANGAN UTK KEBENARAN DAN KEADILAN DI TIMOR LOROSAE AKAN BERLANGSUNG TERUS


Duabelas November 1991, di Timor Lorosae Merdeka, diperingati, sebagai HARI PEMUDA. Hari itu duapuluh tahun yang lalu, TNI di bawah kekuasaan rezim Orba, telah melakukan kejahatan kemanusiaan, dengan membantai ratusan rakyat Timor Lorosae, yang ketika itu masih diduduki oleh Indonesia. Kemudian Indonesia mengklaim Timor Timur sebagai propinsi Republik Indonesia. Kelanjutan dari politik agresi, pendudukan dan 'integrasi melalui kekerasan militer' tsb., lebih dari 200.000 rakyat Timor Lorosae dibantai. Sedangkan pada “pembantaian Santa Cruz”, tercatat 271 demonstran tewas, 382 luka-luka, dan 250 “hilang”.


Media mancanegara menarik persamaan antara pembantaian rakyat Timor Lorosae di pemakaman Santa Cruz, oleh tentara Indonesia, --- dengan pembantaian di Sharpville, tahun 1960, yang dilakukan oleh aparat keamanan rezim apartheid Afrika Selatan, terhadap rakyat Afrika Selatan yang berjuang dengan damai melawan apartheid.


Rakyat Timor Lorosae yang berkumpul berdemo secara damai, di pemakaman Santa Cruz. Dilli, pada tanggal 12 November 1991 itu, untuk menyatakan penghormatan mereka pada pemuda Gomes yang ditembak mati oleh aparat keamanan RI.


Sunguh memilukan sekaligus memuakkan, bahwa, sampai dewasa ini masih ada sementara kalangan bangsa kita, termasuk tokoh-tokoh dan elite parpol, yang menyayangkan dan menyesalkan mengapa hasil referendum tahun 1999 di Timor Leste, mayoritas mutlak rakyat Timor Leste memilih merdeka, --- ketimbang tetap sebagai propinsi Republik Indonesia.


Suatu pandangan dan politik chauvinisme-nasional yang dikembangkan oleh rezim Orba, tapi masih punya gema sampai sekarang.


* * *


Timor Lorosae telah tegak berdiri sebagai negara merdeka sejak 20 Mei 2002. Pemerintahan Presiden Habibie tidak bisa berbuat lain. terpaksa mengakui kemerdekaan Timor Lorosae hasil referendum rakyatnya. TNI menduduki Timor Lorosae pada tanggal 7 Desember 1975, dan berlangsung sampai tahun 1999. Dalam periode itu tentara Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan besar-besaran terhadap rakyat Timor Leste.


Namun, pemerintah Indonesia, tidak rela Timor Lorosae berdiri sebagai negara merdeka, sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya, -- RI tidak mau mengakui kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh para jendral dan tentara Orde Baru di bawah Suharto terhadap rakyat Timor Lorosae.


Maka pemerintah-pemerintah Republik Indonesia pasca Suharto, melakukan tekanan-tekanan terhadap Timor Leste untuk, demi melaksankan persetujuan, apa yang dinamakan KOMISI KEBENARAN DAN PERSAHABATAN, Timor Lorosae ditekan untuk “melupakan masa lampau”, mengenai apa yang terjadi selama pendudukan Timor Lorosae oleh Indonesia.


Keadaan ini menjadi alasan Amnesty International (London) untuk mendesak PBB agar mengakhiri masa impunitas di Timor Lorosae semasa pendudukan Indonesia pada tahun-tahun 1975 – 1999.


Di bawah ini disiarkan ulang ulasan (1 Desember 2005) -- mengenai latar belakang hubungan dua negeri, Indonesia dan Timor Lorosae, sejak negeri tsb berdiri sebagai negara merdeka.


* * *


Kolom IBRAHIM ISA
---------------------------------
Rabu, 01 Desember 2005.


TIMOR TIMUR, HAM & politik "Hubungan baiknya" dengan INDONESIA.

Kemarin, Rabu 30 November, 2005, koran pagi Amsterdam, "de Volkskrant",
menyiarkan sebuah berita AP dari Dili, ibu kota Timor Timur.

Asal sedikit saja ada kepedulian terhadap masalah pemberlakuan HAM di
negeri yang rakyatnya begitu gagah-berani memperjuangkan kemerdekaannya
terhadap kolonialisme Portugis, dan kemudian melawan agresi, pendudukan
dan aneksasi Orba Indonesia,--- maka berita AP dari Dili itu pasti
membikin hati dan fikiran jadi gundah, marah, kecewa dan prihatin.


Meurut berita tsb Presiden Timor Lorosae, Xanana Gusmao, telah
menyisihkan sebuah laporan komisi mengenai pelanggaran hak-hak azasi
manusia (ketika Timor Timur) berada di bawah kekuasaan Indonesia. Xanana
Gusmao menganggap bahwa 'rekonsiliasi' dengan Indonesia lebih penting
ketimbang keadilan bagi para korban yang telah jatuh selama 24 tahun
Timur Timor berada di bawah pendudukan Indonesia. Xanana Gusmao juga
tidak mau mengambil oper saran-saran komisi untuk ganti-rugi yang harus
dibayar oleh negeri-negeri, yang pada tahun-tahun itu telah menyokong
Indonesia, seperti Amerika Serikat. Padahal Komisi Untuk Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah badan yang dibentuk oleh administrasi
interim-PBB. Jelas, laporah tsb terdiri dari 2500 halaman berisi
kritik-kritik keras sekali terhadap Indonesia.


Di sini bisa dilihat bagaimana sebuah negeri kecil yang terjerembab
dalam posisi yang sangat tidak mudah, karena terpaksa berbaikan dengan
tetangganya; yang jauh lebih besar dan yang angkara murka, seperti rezim
Orba Indonesia. Tambahan lagi rezim angkara murka tsb didukung oleh Barat.


Meskipun negeri kecil, --- namun kasus Timor Timur, selama lebih dari 20
tahun, menjadi sorotan media dunia, dan menjadi agenda penting kegiatan
banyak NGO yang berkepedulian dengan hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasib sendiri dan pemberlakukan HAM di mancanegara. Timor Timur menjadi
salah satu pusat perhatian media dunia, karena negeri kecil yang
rakyatnya mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975, dengan
pelbagai dalih telah diagresi oleh rezim Orba Indonesia dibawah Jendral
Suharto, diduduki dan kemudian dianeksasi. Agresi, pendudukan dan
aneksasi yang dilakukan Orba Indonesia telah menimbulkan ratusan ribu
korban di fihak rakyat Timor Timur (menurut taksiran inernasional jumlah
korban di fihak rakyat Timor Timur berkisar di sekitar angka 200.000),
dan juga ribuan prajurit TNI menemui ajalnya di bumi Timor Timur. Para
prajuti TNI itu dindoktrinasi bahwa mereka berkorban demi kepentingan
bangsa Indonesia. Padahal jelas itu agresi, pendudukan dan aneksasi
dengan kekerasan.


Yang mengenaskan ialah sikap sementara elite politisi Orba yang
ikut-ikutan secara absurd menganggap dan melakukan kampanye bahwa Timor
Timur adalah bagian dari Republik Indonesia. Argumentasi mereka juga
sepenuhnya atas dasar rekayasa. Mereka mimpi bahwa adalah rakyat Timor
sendiri yang berhasrat untuk bergabung dengan Indonesia. Tidak jelas
apakah sikap para elite Orba itu untuk mencari muka pada presiden
Suharto ketika itu, ataukah memang ideologi 'nasionalisme-sempit' mereka
sudah begitu merosotnya, sehingga menganggap agresi, pendudukan militer
dan aneksasi sebagai tindakan yang 'halal' demi 'kebesaran' Indonesia.
Sudah tidak ada lagi bau-baunya nasionalisme yang sehat, nasionalisme
yang patriotik dan adil. Sudah demikian merosotnya sikap dan pendirian
chauvinis sementara elite, politisi, media dan cencekiawan Orba tsb,
sehingga tidak bisa membedakan lagi tindakan begaimana yang adalah
agresi, dan mana yang merupakan penggabungan dua wilayah dua negeri,
yang benar-benar didasarkan atas kehendak rakyatnya masing-masing.


Rezim Orba, TNI telah melakukan pelanggaran HAM luar biasa di Timor
Timur. Dunia internasional mengutuknya, dan pengadilan mengenai
pelanggaran HAM di Timor Timur oleh Orba/tentara, khususnya pada periode
"referendum" juga diadakan. Entah bagaimana hasilnya dan follow-upnya
sedikit diketahui umum.


Agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia, jelas
disokong oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat dan Australia.
Meskipun apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur sejak 1975
itu melanggar hukum internasional, melanggar prinsip-prinsip PBB, namun,
tokh disokong sepenuhnya oleh fihak Barat, karena itu adalah demi
kepentingan 'strategi Perang Dingin' mereka. Gembar gembor mereka
mengenai keuniversilan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri yang
ada di bawah kekuasaan atau pengaruh Uni Sovyet ketika itu, adalah suatu
omong kosong besar dan munafik. Bila itu menyangkut Tibet yang ada di
bawah RRT atau negeri-negeri Baltik yang ada di bawah kekuasaaan Sovyet
ketika itu, maka mereka menabuh genderang meneriakkan keharusan
dilaksanakannya prinsip PBB 'hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib
sendiri' . Tapi begitu terlibat kasus Timor Timur dimana lebih
diutamakan kepentingan strategi 'perang dingin' mereka, maka segala
prinsip hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, dibuang di keranjang
sampah. Rezim Orba yang melakukan pelanggaran tsb malah disokong, secara
ekonomi,finansil, politik dan militer.


Berkali-kali kita menyaksikan betapa fihak Barat dan yang sefaham dengan
sikap Barat tsb, mentrapkan sikap 'double standard' bila itu menyangkut
HAM. Bisa dilihat dalam contoh sbb: Ambillah apa yang terjadi di
Kampuchea atau di Tibet. Sikap mereka amat garang menghadapi penggunaan
kekerasan militer oleh penguas di situ. Bukan main suara protes yang
datang dari jurusan Barat dan yang sefaham dengan mereka itu. Tapi, bila
itu menyangkut korban di Indonesia (1965-1966) yang meliputi lebih
sejuta orang yang tidak bersalah, atau menghadapi masalah kudeta Jendral
Pinnochet di Chili yang mengakibatkan korban besar dan terbunuhnya
presiden Allende, maka kalangan yang berkuasa di Barat dan mereka-mereka
yang sefaham dengan Barat itu, seperti bisu-tuli saja lahyaknya.
Sebabnya? Karena di Kampuchea atau di Tibet, yang menjadi pelaku
kekerasan adalah kekuasaan yang dianggap komunis. Sebaliknya di
Indonesia atau di Chili, yang menjadi korban kekerasan itu adalah
golongan komunis dan Kiri. Pelakunya adalah yang anti-Komunis. Semacam
ada suatu prinsip misterius yang mereka pegang, yaitu, MEMBUNUH GOLONGAN
KIRI, MEMBUNUH KOMUNIS tidak melanggar HAM, itu boleh-boleh saja. Makin
banyak komunis atau golongan kiri yang jatuh korban makin baik adanya.
Begitulah sikap dan logika mereka-mereka itu. Keuniversilan HAM yang
mereka gembar-gemborkan itu adalah MUNAFIK!

'Double standard' dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM ini masih
berlaku terus sampai dewasa ini, baik secara internasional, maupun di
Indonesia.


Tampaknya fihak Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia,
sebagaimana halnya dulu mereka tutup telinga dan tutup mulut terhadap
agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh rezim Orba Jendral
Suharto, --- sekarangpun kiranya mereka akan membisu juga menghadapi
kenyataan bahwa laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk
adminstrasi-interim PBB di Timor Timur, begitu saja dimasukkan ke dalam
laci.


Memang dalam hal ini, situasinya serba sulit bagi Presiden Timor Timur
Xanana Gusmao. Sebagai negeri kecil yang menghadapi begitu banyak
masalah pasca-kemerdekaan, mengatasi pengangguran, pendidikan, kesehatan
dan perumahan rakyuat, -- yang menyangkut masalah nasional pembangunan
ekonomi dan keamanan, memang memerlukan situasi yang 'stabil' dalam
hubungannya dengan Indonesia. Suatu Indonesia, yang sudah tidak lagi
dipimpin oleh Jendral Suharto, sudah mengalami masa reformasi dan
demokratisasi tertentu, namun, masih menganggap bahwa tindakan-tindakan
kekerasan militer fihak Orba Indonesia, sebagai akibat dari agresi,
pendudukan dan aneksasi terhadap Timor Timur, -- adalah sebagai suatu
tindakan yang demi mempertahankan 'kebesaran' Indonesia. Mereka masih
menganggap bahwa referendum di Timor Timur di bawah naungan
internasional/PBB, yang hasilya adalah 'lepasnya Timor Timur dari
Republik Indonesia, sebagai suatu 'kerugian' bagi Republik Indonesia.
Mereka-mereka itu, para pendukung dan penyangga Orba masih belum mawas diri.


Kantor Berita Associatied Press juga menulis bahwa Timor Timur hampir
tidak memiliki kekayaan alam sebagai sumber tambahan, dan tercatat
sebagai negeri yang paling miskin di Asia. Itulah sebabnya maka Timor
Timur masih berat tergantung dari Indonesia, partnernya dalam
perdagangan. Itu pulalah sebabnya Presiden Gusmao tidak mau bikin marah
Indonesia dengan permintaan gantirugi bagi korban-korban dan keluarga
mereka dan peringatan ke alamat Jakarta agar orang-orang militer
Indonesia yang bersalah diberikan hukum yang setimpal.


Analisis AP tsb punya dasar. Tentu sebab musabab utama mengapa Presiden
Gusmao sampai mengambil sikap demikian itu, ialah, karena ia menyadari
betul bahwa di Indonesia militer masih punya suara menentukan, baik
mengenai masalah-masalah yang menyangkut masalah nasional, apalagi yang
bersangkutan dengan masalah keamanan.


Sikap Presiden Xanana Gusmao yang menganggap lebih penting punya
hubungan 'tetangga baik' dengan RI, ketimbang memperjuangkan keadilan
bagi para korban yang jatuh akibat Orba Indonesia, dengan sendirinya --
bisa difahami.

Meskipun situasi politik di Indonesi sudah mengalami perubahan sejak
jatuhnya Suharto, dan kini presidennya adalah hasil pilihan langsung
rakyat, namun, ---- pandangan politik luarnegerinya, khusus menghadapi
masalah Timor Timur, hakikatnya masih sama. * * *


No comments: