PENTING -- BACA ARTIKEL SITUASI HAM DI NEGERI KITA INI
PARA PEMBACA BUDIMAN
Artikel dibawah ini kuterima dari sahabat karib MUGIYANTO dari IKOHI.
PENTING ---- Baca!
Maka akan tambah wacana BAGAIMANA HAM DIBERLAKUKAJN di bawah pemerintahan SBY:
*Tak Merasakan Kemerdekaan di Negeri Ini*
KOMPAS, Kamis, 17 November 2011 | 05:07 AM
Kamar Petrus Bima Anugerah berukuran sekitar 2 meter x 2,5 meter yang
terletak di pojok belakang rumah kini telah menjadi gudang. Sebuah tempat
tidur dan bilah-bilah kayu yang dipasang di tembok bercat biru muda itu
dipenuhi buku-buku lama.
”Dulu, Bima dan teman-temannya biasa berdiskusi di sini,” cerita Dionisius
Utomo Rahardjo (66), ayah Bimo—begitu panggilan Petrus Bima—di rumahnya di
sebuah gang agak menurun di Jalan Tumenggung Suryo, Malang, Jawa Timur.
Rabu (2/11) pagi itu, ia bersiap berangkat ke Jakarta naik kereta ekonomi
pukul 14.00. Utomo diundang Komnas HAM untuk diberi surat keterangan status
korban penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. ”Saya disuruh
naik pesawat. Tapi, untuk apa saya naik pesawat kalau tidak ada solusi
nyata, bagaimana nasib anak saya yang hilang,” katanya.
Menurut laporan Komnas HAM, Petrus Bima diduga diculik Tim Mawar. Ia sudah
lama diincar pihak intelijen karena dianggap menjadi simpul utama yang
mengetahui jaringan dan kontak aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) saat
itu. Ada deretan pihak yang bertanggung jawab, dari sembilan anggota Tim
Mawar, Kopassus, hingga Panglima ABRI dan Presiden Soeharto.
”Sudah 13 tahun tujuh bulan,” kata Utomo. Ia dan istrinya, Misiati (69),
mengaku sudah lelah. Namun, mereka tidak akan pernah menyerah. Sedih,
tetapi tidak terlarut dalam kesedihan. ”Hanya kekuatan dari Yang Maha Kuasa
yang bisa membuat kami bertahan,” kata Utomo.
Saat menceritakan putra keduanya (dari empat bersaudara) itu, Utomo dan
Misiati tanpa ekspresi marah dan sedih berlebihan. Tampak tenang, tetapi
tak tergoyahkan. Saat ditanya apakah waktu telah menggerus kesedihannya,
Misiati yang duduk di kursi yang busanya sudah melesak ke dalam menjawab
pelan, ”Itu, kan, anak saya.”
Misiati mengenang Bima sebagai anak yang tidak pernah membawa obrolan soal
politik ke rumah. Dari Jakarta, Bima kerap menulis surat kepada sang ibu.
”Di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, banyak sekali orang-orang tidak
makan… Itulah yang kuperjuangkan, Bu,” tulis Bima dalam suratnya.
Utomo dan Misiati berpegang pada rekomendasi yang dikeluarkan Pansus DPR
tentang Orang Hilang 1997-1988. Rekomendasi itu adalah pembentukan
pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 orang yang oleh Komnas HAM dinyatakan
hilang, rehabilitasi dan kompensasi terhadap keluarga korban, ratifikasi
Konvensi Anti-penghilangan Paksa.
Surat rekomendasi itu sudah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sejak akhir 2009, tetapi hingga kini belum ada tanggapan. Mantan
Ketua Pansus Effendi Simbolon mengatakan, kuncinya memang tinggal pada
iktikad Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan masalah itu. Menurut
Effendi, pemerintah seharusnya membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk
menuntaskan masalah itu secara hukum yang adil. ”Presiden SBY jangan hanya
buat citra sebagai pembela HAM di mata internasional, tapi tidak
menyelesaikan masalah ini dan jadi catatan permanen sepanjang masa,” ujar
Effendi.
Utomo ingin anaknya dicari. Kalaupun Bima sudah meninggal, ia ingin ada
kepastian. Selama ini, mereka seperti diambang-ambang tak berdaya. ”Saya
ingin tahu kenapa Bima harus dibunuh. Dia anak muda, dia tak berdaya, dia
diikat, ditahan tentara. Kalau dia dibilang melawan, mana bisa dia melawan?
Kami ingin tahu kapan dan di mana dia meninggal,” kata Misiati.
Utomo tahu, para keluarga korban yang jumlahnya 12 orang berhadapan dengan
tembok kekuasaan besar dengan jalinan politik dan kepentingan yang rumit.
Ia sadar, ada latar politik yang rumit ketika tahun 1998 dan berlanjut pada
saat ini. Bahwa pelaku bisa saja prajurit rendahan yang harus taat kepada
perintah atasan. Namun, ia hanya minta kepastian, bagaimana nasib Bima.
”Saya dan keluarga saya tidak merasakan kemerdekaan di negara ini,” katanya.
Utomo dan Misiati masih terus menunggu. Bolak-balik ke Jakarta dijalani
Utomo walau menguras keuangan dan fisiknya. Pernah ada pihak yang
menawarkan supaya para keluarga korban bisa berdamai dengan ganti rugi uang
saja. Serta-merta Utomo dan para keluarga korban lainnya menolak. ”Saya
kirim SMS ke orang-orang yang mengusulkan itu untuk minum obat sakit jiwa.
Mereka bilang agar saya jangan terlalu keras. Tapi, saya bilang, saya tidak
akan menukar anak saya dengan uang darah,” katanya.
* Tak ada dukungan teman*
Utomo bercerita, teman-teman Bima, yang dulu aktif di PRD bahkan ikut jadi
korban penculikan, tidak ikut memberi dukungan politik bagi Utomo dan
keluarga untuk memperoleh kejelasan nasib Bimo. Hanya Mugianto yang saat
ini Ketua Ikatan Orang Hilang yang masih berjuang bersama para korban.
Menurut Utomo, mantan Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko yang kini jadi
anggota PDI-P juga tidak pernah berusaha mengontak balik. Pernah juga ia
mengirimkan SMS kepada Andi Arief, teman Bima di Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi—bagian dari PRD—yang kini staf khusus Presiden.
”Sempat ia balas beberapa kali, tapi waktu saya bilang dari Pak Utomo, dia
tidak pernah membalas lagi,” katanya.
Sekitar tiga tahun lalu, musibah menimpa keluarga itu sehingga mereka harus
terlilit utang. Tiga anaknya yang lain pun masih harus berusaha dari bawah.
Awalnya, pasangan itu tidak ingin menceritakan bagaimana mereka mengatur
keuangan karena harus kerap bolak-balik ke Jakarta. Utomo, setelah mendapat
persetujuan Misiati, akhirnya bercerita, dirinya menggadaikan rumah dan
pensiunnya. Kini, pemasukan mereka hanya Rp 317.000, sisa dari pensiun.
Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
menyoroti cinta yang besar Utomo dan Misiati kepada anaknya yang membuat
mereka tidak menyerahkan harapan. ”Begitulah seharusnya kita semua hidup,
dengan hati,” kata Usman.
(EDNA C PATTISINA)
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
No comments:
Post a Comment