skip to main |
skip to sidebar
DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . (YANTI MIRDAYANTI)
DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . (YANTI MIRDAYANTI)
by Ibrahim Isa on Friday, 2 December 2011 at 12:07
MENARIK DAN PENTING -- SILAKAN BACA SAMPAI SELESAI
----------------------------------------------------------------------------
Di bawah ini sebuah kisah YANTI MIRDAYANTI, yang disiarkan oleh EX LIBRIS 1965, sbb:
Sent: Thursday, December 1, 2011 9:56 AM
Subject:
Di Balik Namaku Ada Cerita Yang Sangat Bersejarah
Pembaca yang budiman,
Kali ini kami hadirkan satu tulisan "ringan" untuk bahan renungan.
Selamat membaca.
Pengelola Ex Libris 1965
1
DI BALIK NAMAKU ADA CERITA YANG SANGAT BERSEJARAH
Oleh Yanti Mirdayanti
Ayahku seorang penyanyi ulung di kota kelahiranku. Dia seorang juara tingkat
kabupaten untuk jenis lagu Seriosa. Pekerjaan formal ayahku waktu itu adalah guru Sekolah
Dasar. Ayahku adalah seorang pengagum Bung Karno. Panggilan "Bung" begitu populernya
saat itu, sehingga ibuku pun memanggil ayahku dengan Bung (plus nama ayah) sampai
wafatnya ibu lima tahun yang lalu, percisnya: 30 September 2003.
Di tahun 60-an itu ayahku bukan seorang komunis dan tidak pernah menjadi anggota partai.
Tetapi karena kegiatan tarik suaranya, ayah sempat diundang bergabung dengan institusi
kesenian yang besar saat itu, Lekra. Berkat suara emasnya, ayahku sempat diundang
bernyanyi di Senayan-Jakarta di hadapan Presiden Sukarno. Aku kira, dia sebagai utusan
daerah dan mungkin berangkat berkat dukungan (dukungan) Lekra
Waktu aku lahir, aku diberi nama Yanti Lekriyanti. Nama belakangku ini mungkin mendapat
inspirasi dari nama Lekra, karena kepopulerannya saat itu dan karena banyak seniman daerah
yang mendapat dukungan dalam memajukan bakat seninya. Namun setahuku, sampai aku
kelas 6 SD nama belakangku tak pernah dipakai. Namaku di rapor SD pun hanya Yanti. Di
Indonesia dulu memang lajim kalau seseorang hanya memiliki satu nama, seperti Presiden
Sukarno, sehingga nama tunggalku pun di sekolah tak menjadi persoalan
Pemakaian ketunggalan namaku secara langsung maupun tidak langsung memang ada
hubungannya dengan kejadian G-30-S (Gestok) di Jakarta. Alasannya: 15 hari sejak aku
dilahirkan, nama Lekriyanti seperti sebuah nama tabu, karena ada Lekri-nya. Waktu aku kecil,
aku tak paham apa-apa soal ini. Tidak ada orang yang bercerita khusus soal ini kepadaku.
Temanya terlalu sensitif, politis, dan tabu.
Ketika lulus SD, tahun 1977, Kepala Sekolah memanggilku. Dia berkata kepadaku bahwa
untuk masuk ke SMP lebih baik aku memakai nama belakang, karena jumlah murid di SMP
lebih banyak dan pasti banyak murid yang bernama Yanti. Kebetuan di SD aku berprestasi
sangat cemerlang, di akhir kelas 6 menjadi juara umum. Kepala Sekolah ingin supaya namaku
tak tertukar dengan Yanti-Yanti yang lain, dan supaya nilai bagusku di SMP pun nanti tidak
tertukar. Demikian rayuan sang Kepala Sekolah (dia seorang Ibu Kepala Sekolah) dengan
optimistis.
Dengan polos, aku berkata kepada sang Ibu Kepala Sekolah: "Sebenarnya aku mempunyai
nama belakang, tetapi di rapor tidak dimasukkan.". Kepala Sekolah balik bertanya: "Pakailah
kalau begitu. Apa nama belakangmu?" Kukatakan: "Lekriyanti."
Aku masih ingat sampai sekarang, bagaimana terkejutnya raut muka Ibu Kepala Sekolah
mendengar nama belakangku untuk pertama kalinya itu. Kedua matanya terbuka lebar.
Langsung dia pun berkata kepadaku dengan lembut, tapi serius: "Anakku, pergilah kau temui
kedua orang tuamu nanti. Mintalah kepada mereka, supaya kau diberikan nama belakang yang
baru."
Hanya itu yang diminta Ibu Kepala Sekolah. Kalimatnya pun berakhir di sana. Dia tidak
mungkin mengemukakan alasan panjang lebar kepadaku, karena aku hanya seorang anak
2
yang baru berusia 12 tahun, baru tamat SD, dan bukan tandingan partner untuk diajak
berbicara soal-soal yang sensitif dan agak politis. Dia kenal ayahku dan latar belakang
keluargaku. Beberapa anggota keluarga Ibu Kepala Sekolah pun ada yang menjadi korban,
seperti ayahku.
Sesampai di rumah, langsung permintaan Kepala Sekolah itu aku sampaikan kepada ayah dan
ibu. Tanpa ada kata mengapa dan lain sebagainya, ayah dan ibu langsung menganggukkan
kepala. Ayahku berkata kepadaku: "Baiklah, kau akan mendapat nama belakang yang baru.
Bukan lagi Lekriyanti."
Tiga hari tiga malam ayahku bersemedi menyendiri di kamarnya. Dengan penuh konsentrasi
dia mencoba menciptakan sebuah nama belakang baru untukku. Dia sebenarnya tidak
merencanakan berapa lama. Tapi pokoknya akan memberitahukan kepadaku segera setelah
nama baruku tercipta.
Tiga hari kemudian, memang ayahku menemuiku sambil duduk. Dia pun berkata: "Namamu
mulai hari ini adalah Yanti MIRDAYANTI. Akan mulai kau pakai sejak SMP sampai
seterusnya selama kau hidup. Nama Lekriyanti biarlah kita simpan saja. Nama itu tidak
hilang, tetapi tidak lagi bisa kau pakai di sekolah atau pun di tempat kerja nanti."
Lalu aku bertanya kepada ayah: "Apa arti nama Mirdayanti?". Ayahku menjawab:
"Mirdayanti artinya: Seorang perempuan yang berilmu pengetahuan dalam dan luas, sedalam
dan seluas lautan (das Meer)". Ayah pun melanjutkan: "Aku berharap bahwa kau suatu hari
nanti akan menjadi seorang perempuan yang berilmu luas sekali. Kau harus sekolah setinggitingginya.
Hanya ilmu yang bisa menolongmu dalam hidup. Sekolahlah yang rajin, supaya
ilmumu banyak dan dalam."
Hanya itulah yang kuingat tentang proses perubahan namaku dari Yanti Lekriyanti menjadi
Yanti Mirdayanti. Resmi berganti nama mulai tahun 1978, pas masuk SMP.
Sejak kejadian G-30-S (atau menurut Bung Karno: Gestok/Gerakan 1 Oktober) di Jakarta,
ayahku "dijemput" dari rumah oleh tentara (kalau tak salah, yang masuk rumah ada 2 orang).
Menurut pengakuan ayah kepadaku, tentara-tentara itu tidak berlaku kasar, baik-baik saja.
Ibuku masih lemah di tempat tidur setelah melahirkan aku, anak yang ke-5. Aku baru berusia
15 hari, dan ibuku pun masih muda: baru berusia 23 tahun, tetapi telah beranak lima!
Bisa aku bayangkan sekarang, ibuku, seorang perempuan muda sekali yang baru melahirkan
anak dan harus mengurus kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu harus ditinggal
suaminya, dan ditahan di sebuah penjara tahanan politik (di Jawa Barat) selama 5 tahun,
hanya karena aktif menyanyi! Langsung dipenjarakan bersama teman-teman ayah lainnya
yang juga guru-guru SD, tanpa ada proses pengadilan dan tanpa ada pembelaan. Status
mereka pun sebagai guru SD langsung dicopot sejak hari itu juga. Tinggallah sang isteri-isteri
dan anak-anak mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan jiwa untuk puluhan tahun
berikutnya.
Bakat kesenian, terutama bidang olah suara dari ayah dan ibuku (ibu pernah aktif sebagai
penyanyi keroncong) turun kepada kami, anak-anak mereka. Sampai sekarang kami senang
menyanyi. Kakak laki-laki pernah menjadi vocalist utama di tempat kerjanya di BRI Cabang
dan secara otodidak bisa memainkan berbagai instrumen musik, dari jenis tradisional
(angklung dan calung), sampai yang modern: gitar dan organ. Satu kakak perempuan aktif
3
menyanyi bersama grup Degung sekolah tempatnya mengajar. Satu kakak yang perempuan
lagi bermain kecapi dan menyanyi Cianjuran di SMA tempatnya mengajar. Satu kakak
perempuan agak pemalu. Sedangkan aku sampai hari ini terus menyanyi, terutama di paduan
suara, dan sejak beberapa bulan tergabung dalam sebuah grup musik Latin di tempatku
berdomisili sekarang.
Sekarang kembali ke masalah keluargaku. Setelah sekitar 5 tahun ditahan bersama temanteman
seprofesinya, ayahku harus pergi berkelana di Jakarta bertahun-tahun untuk menjadi
seorang buruh bangunan. Tinggal di kampung bersama ibu tidak mungkin, karena tidak ada
pekerjaan, dan beban mental yang terlalu berat kalau terus tinggal di kampung. Kebetulan
salah seorang saudara ayah menjadi mandor di bidang bangunan di Jakarta. Jadi, ayah
ditampung dia untuk bekerja bersama dan menjadi tangan kanannya.
Sebulan sekali ayah harus pulang kampung, karena harus "apel", lapor-muka wajib ke
Koramil daerah (suatu hal yang selalu ditolak mentah oleh Pramoedya Ananta Toer di Jakarta
semasa hidupnya). Aku ingat, ayah harus apel setiap hari Senin pagi. Pakaiannya pun rapih
sekali. Mungkin dia sekalian harus ikut upacara bendera. Siang atau sore hari ayah sudah
balik lagi ke rumah. Kadang beberapa hari tinggal dulu di rumah, tetapi kadang esok harinya
langsung ke Jakarta lagi.
Setelah aku SMA kelas-2, tahun 1982, jamannya Gunung Galunggung meletus, ayah dan
teman-temannya mendapat ijazah "Bersih Diri" dari Suharto. Dia mendapat pekerjaannya
kembali sebagai guru SD dan gajih rapelnya pun diperoleh. Tapi banyak dari uang yang
diterima ayah dan teman-temannya itu harus menghilang ke udara, dipakai untuk "menyogok"
para petugas yang mengurus, dari petugas tingkat atas sampai bawah, supaya urusan bisa
selesai.
Sejak mendapat sertifikat "Bersih Diri" itu secara pelan jati diri ayah mulai kembali. Dengan
bersemangat dia kembali mengajar di SD. Tetapi dengan setiap perilaku dan kata-kata yang
sangat hati-hati. Sayangnya, tekanan batin dan rasa bangga diri yang telah lepas beberapa
tahun lamanya dari diri ayah telah pula menjadikan ayah kami seorang yang mudah marah.
Yang paling sering kena marah adalah ibu. Kami selalu merasa kasihan sama ibu, sehingga
diam-diam kami pun sering berpihak kepadanya. Tetapi kami pun mengerti mengapa ayah
menjadi mudah marah begitu, yaitu karena terlalu beratnya tekanan batin dan ekonomi yang
harus dipikul terlalu lama. Jati diri dan rasa bangga dia sebagai seorang ayah dan suami
seperti dicabut begitu saja. Untuk bisa kembali ke normal memerlukan waktu yang cukup
lama walaupun sekarang dengan sertifikat "Bersih Diri" sudah di tangan.
Kami sama sekali tidak pernah bercerita soal politik di dalam rumah. Semua takut. Apalagi
kakak-kakakku yang tiga orang semuanya Pegawai Negeri. Salah omong sekali bisa berakibat
fatal, misalnya bisa dicopotnya kakak-kakakku dari tempat kerja mereka. Keluarga kami
dengan terpaksa semua memilih Golkar setiap Pemilu, supaya tidak ada masalah dengan
status sebagai Pegawai Negeri. Seingat saya, hanya kakek dan beberapa anak paman yang
tidak pernah memilih Golkar. Mereka dengan diam-diam selalu menusuk Kepala Banteng
(PDI)!
Setamat dari kuliahku di Universitas Padjadjaran (UNPAD Bandung) tahun 1990, ayahku
mengajukan diri untuk pensiun awal. Dia bilang: "Karena anak yang bungsu sudah tamat
sekolah, maka aku ingin istirahat jadi guru dan ingin bertani saja, terbebas dari status sebagai
Pegawai Negeri (yang banyak peraturan ini dan itu)."
4
Di masa pensiunnya, ayahku menjadi petani, merawat sawah yang cukup luas, milik kakek
dan nenek dari ibu. Tampaknya dia lebih bahagia dan tenang sebagai petani daripada sebagai
guru SD. Sedangkan ibu bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar. Dulu ketika ditinggal
ayah, ibu pernah juga menjadi tukang kredit keliling dan tukang jahit baju, kemudian
membuka warung kecil. Waktu jadi tukang kredit, aku sering diajak ibu berkeliling di
kampung, di saat panas maupun hujan. Sering ibu sakit dan pernah tiga kali masuk rumah
sakit, karena parah. Beban hidup ibu terlalu berat, harus mengurus lima anak, dan
mendampingi serta mengurus kakek dan nenek sampai akhir hayatnya. Kakek adalah seorang
petani tulen, sering harus menggunakan pembunuh hama semprot di sawahnya, sehingga
penyakit asma yang dideritanya tambah parah. Selama itu ibu yang harus banyak mengurus
kakek sampai wafatnya tahun 1985, karena nenek harus berjualan di pasar untuk mencari
uang dan secara fisik ibu masih lebih kuat untuk mengangkat-angkat kakek.
Walaupun masa kecil kami sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata sekarang cukup
mengesankan, karena lingkungan pedesaan yang begitu romantis dan subur, namun dari segi
ekonomi kami sangat miskin dan berat sekali. Kehidupan kakek dan nenek boleh dibilang
termasuk lumayan, karena memiliki tanah, sawah, dan kolam yang luas. Tetapi uang tunai
jaman itu hanya diperoleh sehabis masa panen di sawah, setahun dua kali.
Tanpa kakek dan nenek dari pihak ibu yang turut mendampingi kami, maka hidup kami
sekeluarga pasti akan sangat terlunta-lunta. Kebetulan kakek dan nenek sangat dituakan di
kampung, karena hampir seluruh anggota kampung masih ada hubungan saudara, sedangkan
kakek dan nenek adalah anak sulung di keluarganya masing-masing. Inilah mungkin yang
telah turut melindungi ibu dan kami, sehingga tetangga sekampung semuanya tetap baik
terhadap kami, walaupun ayah sempat menjadi tahanan rejim Orba.
Bahkan kakek dan nenek selalu menjaga ibu agar tidak tergoda oleh laki-laki berhidung
belang. Memang ketika ayah ditahan, ada beberapa tentara sempat meminta ibuku yang masih
muda dan cantik berambut hitam lebat itu untuk mengawini mereka. Tetapi ibu mendapat
kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi semua godaan, karena adanya dukungan dan
perlindungan kakek dan nenek yang begitu hebat.
Masa kecilku bersama kakak-kakak yang penuh perjuangan itu sebenarnya sangatlah
berharga. Kami belajar banyak dari lembaran-lembaran masa lalu. Kami tidak biasa manja
dan sangat menghargai pentingnya pendidikan. Untuk mendapat uang jajan, setelah sholat
subuh kami berlima biasanya beriringan ke pasar menjual beberapa ikat kangkung yang kami
petik langsung dari kolam kakek dan nenek. Kadang nenek juga menitipkan beberapa ikat
daun pisang untuk kami jual juga.
Berkat dorongan kuat dan ketat dari kakek nenek dan orang tua, kami berlima bisa bersekolah
sampai Perguruan Tinggi. Walaupun demi pendidikan kami ini, kedua orang tua kami harus
gali lobang tutup lobang, minta bantuan kakek dan nenek, serta berhutang ke bank. Namun
jerih payah mereka tidak sia-sia. Kami bisa menamatkan sekolah kami dengan baik dan
masing-masing mendapat pekerjaan tetap setelah sekolah selesai.
Kini, 40 tahun setelah kejadian sejarah gelap September (Oktober) 1965, kami sebenarnya
masih hanya mengetahui sepotong-sepotong tentang sejarah keluarga kami yang sebenarnya.
Selama 32 tahun jaman Suharto kami tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi
yang jelas dan di keluarga kami pun selalu ada ketakutan untuk membicarakannya. Sekarang
5
di jaman Reformasi, informasi tambah banyak. Enam tahun sebelum Suharto jatuh, aku
menikah dan meninggalkan Indonesia menuju Eropa (Jerman). Selama hidup di luar negeri
(terutama semasa di Jerman dan Amerika Serikat) informasi yang kuperoleh soal sejarah
sekitar 65 ini cukup banyak. Kukira, lebih banyak informasi yang kudapatkan daripada yang
kakak-kakakku ketahui sampai sekarang.
Kadang kalau aku libur ke Indonesia, aku duduk berdua bersama ayah (waktu ibu masih
hidup, ibu juga dilibatkan untuk ikut nimbrung, demi kelengkapan cerita). Kuwawancara ayah
dan ibu secara informal tentu saja. Setiap bercerita, di suara mereka selalu kulihat ada
kegetiran, terutama di suara ayah. Tetapi sering dia tahan dan berusaha untuk berbicara
denganku senormal mungkin. Sekarang dia sudah lebih terbuka daripada jamannya Suharto
masih berkuasa. Dulu dia masih sangat takut memberikan informasi kepadaku. Sekarang ayah
sudah 73 tahun. Ketika diwawancara kembali di awal tahun ini, dengan alat perekam suara,
masih ada potongan-potongan jawaban yang dia lupa-lupa ingat. Namun semua kurekam,
untuk dokumentasi pribadiku.
(Yanti, Bonn, 15 September 2008)
No comments:
Post a Comment