Monday, December 5, 2011

DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . (YANTI MIRDAYANTI)

DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . (YANTI MIRDAYANTI)
by Ibrahim Isa on Friday, 2 December 2011 at 12:07

MENARIK DAN PENTING -- SILAKAN BACA SAMPAI SELESAI

----------------------------------------------------------------------------

Di bawah ini sebuah kisah YANTI MIRDAYANTI, yang disiarkan oleh EX LIBRIS 1965, sbb:

Sent: Thursday, December 1, 2011 9:56 AM

Subject:

Di Balik Namaku Ada Cerita Yang Sangat Bersejarah

Pembaca yang budiman,

Kali ini kami hadirkan satu tulisan "ringan" untuk bahan renungan.

Selamat membaca.

Pengelola Ex Libris 1965

1

DI BALIK NAMAKU ADA CERITA YANG SANGAT BERSEJARAH

Oleh Yanti Mirdayanti

Ayahku seorang penyanyi ulung di kota kelahiranku. Dia seorang juara tingkat

kabupaten untuk jenis lagu Seriosa. Pekerjaan formal ayahku waktu itu adalah guru Sekolah

Dasar. Ayahku adalah seorang pengagum Bung Karno. Panggilan "Bung" begitu populernya

saat itu, sehingga ibuku pun memanggil ayahku dengan Bung (plus nama ayah) sampai

wafatnya ibu lima tahun yang lalu, percisnya: 30 September 2003.

Di tahun 60-an itu ayahku bukan seorang komunis dan tidak pernah menjadi anggota partai.

Tetapi karena kegiatan tarik suaranya, ayah sempat diundang bergabung dengan institusi

kesenian yang besar saat itu, Lekra. Berkat suara emasnya, ayahku sempat diundang

bernyanyi di Senayan-Jakarta di hadapan Presiden Sukarno. Aku kira, dia sebagai utusan

daerah dan mungkin berangkat berkat dukungan (dukungan) Lekra

Waktu aku lahir, aku diberi nama Yanti Lekriyanti. Nama belakangku ini mungkin mendapat

inspirasi dari nama Lekra, karena kepopulerannya saat itu dan karena banyak seniman daerah

yang mendapat dukungan dalam memajukan bakat seninya. Namun setahuku, sampai aku

kelas 6 SD nama belakangku tak pernah dipakai. Namaku di rapor SD pun hanya Yanti. Di

Indonesia dulu memang lajim kalau seseorang hanya memiliki satu nama, seperti Presiden

Sukarno, sehingga nama tunggalku pun di sekolah tak menjadi persoalan

Pemakaian ketunggalan namaku secara langsung maupun tidak langsung memang ada

hubungannya dengan kejadian G-30-S (Gestok) di Jakarta. Alasannya: 15 hari sejak aku

dilahirkan, nama Lekriyanti seperti sebuah nama tabu, karena ada Lekri-nya. Waktu aku kecil,

aku tak paham apa-apa soal ini. Tidak ada orang yang bercerita khusus soal ini kepadaku.

Temanya terlalu sensitif, politis, dan tabu.

Ketika lulus SD, tahun 1977, Kepala Sekolah memanggilku. Dia berkata kepadaku bahwa

untuk masuk ke SMP lebih baik aku memakai nama belakang, karena jumlah murid di SMP

lebih banyak dan pasti banyak murid yang bernama Yanti. Kebetuan di SD aku berprestasi

sangat cemerlang, di akhir kelas 6 menjadi juara umum. Kepala Sekolah ingin supaya namaku

tak tertukar dengan Yanti-Yanti yang lain, dan supaya nilai bagusku di SMP pun nanti tidak

tertukar. Demikian rayuan sang Kepala Sekolah (dia seorang Ibu Kepala Sekolah) dengan

optimistis.

Dengan polos, aku berkata kepada sang Ibu Kepala Sekolah: "Sebenarnya aku mempunyai

nama belakang, tetapi di rapor tidak dimasukkan.". Kepala Sekolah balik bertanya: "Pakailah

kalau begitu. Apa nama belakangmu?" Kukatakan: "Lekriyanti."

Aku masih ingat sampai sekarang, bagaimana terkejutnya raut muka Ibu Kepala Sekolah

mendengar nama belakangku untuk pertama kalinya itu. Kedua matanya terbuka lebar.

Langsung dia pun berkata kepadaku dengan lembut, tapi serius: "Anakku, pergilah kau temui

kedua orang tuamu nanti. Mintalah kepada mereka, supaya kau diberikan nama belakang yang

baru."

Hanya itu yang diminta Ibu Kepala Sekolah. Kalimatnya pun berakhir di sana. Dia tidak

mungkin mengemukakan alasan panjang lebar kepadaku, karena aku hanya seorang anak

2

yang baru berusia 12 tahun, baru tamat SD, dan bukan tandingan partner untuk diajak

berbicara soal-soal yang sensitif dan agak politis. Dia kenal ayahku dan latar belakang

keluargaku. Beberapa anggota keluarga Ibu Kepala Sekolah pun ada yang menjadi korban,

seperti ayahku.

Sesampai di rumah, langsung permintaan Kepala Sekolah itu aku sampaikan kepada ayah dan

ibu. Tanpa ada kata mengapa dan lain sebagainya, ayah dan ibu langsung menganggukkan

kepala. Ayahku berkata kepadaku: "Baiklah, kau akan mendapat nama belakang yang baru.

Bukan lagi Lekriyanti."

Tiga hari tiga malam ayahku bersemedi menyendiri di kamarnya. Dengan penuh konsentrasi

dia mencoba menciptakan sebuah nama belakang baru untukku. Dia sebenarnya tidak

merencanakan berapa lama. Tapi pokoknya akan memberitahukan kepadaku segera setelah

nama baruku tercipta.

Tiga hari kemudian, memang ayahku menemuiku sambil duduk. Dia pun berkata: "Namamu

mulai hari ini adalah Yanti MIRDAYANTI. Akan mulai kau pakai sejak SMP sampai

seterusnya selama kau hidup. Nama Lekriyanti biarlah kita simpan saja. Nama itu tidak

hilang, tetapi tidak lagi bisa kau pakai di sekolah atau pun di tempat kerja nanti."

Lalu aku bertanya kepada ayah: "Apa arti nama Mirdayanti?". Ayahku menjawab:

"Mirdayanti artinya: Seorang perempuan yang berilmu pengetahuan dalam dan luas, sedalam

dan seluas lautan (das Meer)". Ayah pun melanjutkan: "Aku berharap bahwa kau suatu hari

nanti akan menjadi seorang perempuan yang berilmu luas sekali. Kau harus sekolah setinggitingginya.

Hanya ilmu yang bisa menolongmu dalam hidup. Sekolahlah yang rajin, supaya

ilmumu banyak dan dalam."

Hanya itulah yang kuingat tentang proses perubahan namaku dari Yanti Lekriyanti menjadi

Yanti Mirdayanti. Resmi berganti nama mulai tahun 1978, pas masuk SMP.

Sejak kejadian G-30-S (atau menurut Bung Karno: Gestok/Gerakan 1 Oktober) di Jakarta,

ayahku "dijemput" dari rumah oleh tentara (kalau tak salah, yang masuk rumah ada 2 orang).

Menurut pengakuan ayah kepadaku, tentara-tentara itu tidak berlaku kasar, baik-baik saja.

Ibuku masih lemah di tempat tidur setelah melahirkan aku, anak yang ke-5. Aku baru berusia

15 hari, dan ibuku pun masih muda: baru berusia 23 tahun, tetapi telah beranak lima!

Bisa aku bayangkan sekarang, ibuku, seorang perempuan muda sekali yang baru melahirkan

anak dan harus mengurus kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu harus ditinggal

suaminya, dan ditahan di sebuah penjara tahanan politik (di Jawa Barat) selama 5 tahun,

hanya karena aktif menyanyi! Langsung dipenjarakan bersama teman-teman ayah lainnya

yang juga guru-guru SD, tanpa ada proses pengadilan dan tanpa ada pembelaan. Status

mereka pun sebagai guru SD langsung dicopot sejak hari itu juga. Tinggallah sang isteri-isteri

dan anak-anak mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan jiwa untuk puluhan tahun

berikutnya.

Bakat kesenian, terutama bidang olah suara dari ayah dan ibuku (ibu pernah aktif sebagai

penyanyi keroncong) turun kepada kami, anak-anak mereka. Sampai sekarang kami senang

menyanyi. Kakak laki-laki pernah menjadi vocalist utama di tempat kerjanya di BRI Cabang

dan secara otodidak bisa memainkan berbagai instrumen musik, dari jenis tradisional

(angklung dan calung), sampai yang modern: gitar dan organ. Satu kakak perempuan aktif

3

menyanyi bersama grup Degung sekolah tempatnya mengajar. Satu kakak yang perempuan

lagi bermain kecapi dan menyanyi Cianjuran di SMA tempatnya mengajar. Satu kakak

perempuan agak pemalu. Sedangkan aku sampai hari ini terus menyanyi, terutama di paduan

suara, dan sejak beberapa bulan tergabung dalam sebuah grup musik Latin di tempatku

berdomisili sekarang.

Sekarang kembali ke masalah keluargaku. Setelah sekitar 5 tahun ditahan bersama temanteman

seprofesinya, ayahku harus pergi berkelana di Jakarta bertahun-tahun untuk menjadi

seorang buruh bangunan. Tinggal di kampung bersama ibu tidak mungkin, karena tidak ada

pekerjaan, dan beban mental yang terlalu berat kalau terus tinggal di kampung. Kebetulan

salah seorang saudara ayah menjadi mandor di bidang bangunan di Jakarta. Jadi, ayah

ditampung dia untuk bekerja bersama dan menjadi tangan kanannya.

Sebulan sekali ayah harus pulang kampung, karena harus "apel", lapor-muka wajib ke

Koramil daerah (suatu hal yang selalu ditolak mentah oleh Pramoedya Ananta Toer di Jakarta

semasa hidupnya). Aku ingat, ayah harus apel setiap hari Senin pagi. Pakaiannya pun rapih

sekali. Mungkin dia sekalian harus ikut upacara bendera. Siang atau sore hari ayah sudah

balik lagi ke rumah. Kadang beberapa hari tinggal dulu di rumah, tetapi kadang esok harinya

langsung ke Jakarta lagi.

Setelah aku SMA kelas-2, tahun 1982, jamannya Gunung Galunggung meletus, ayah dan

teman-temannya mendapat ijazah "Bersih Diri" dari Suharto. Dia mendapat pekerjaannya

kembali sebagai guru SD dan gajih rapelnya pun diperoleh. Tapi banyak dari uang yang

diterima ayah dan teman-temannya itu harus menghilang ke udara, dipakai untuk "menyogok"

para petugas yang mengurus, dari petugas tingkat atas sampai bawah, supaya urusan bisa

selesai.

Sejak mendapat sertifikat "Bersih Diri" itu secara pelan jati diri ayah mulai kembali. Dengan

bersemangat dia kembali mengajar di SD. Tetapi dengan setiap perilaku dan kata-kata yang

sangat hati-hati. Sayangnya, tekanan batin dan rasa bangga diri yang telah lepas beberapa

tahun lamanya dari diri ayah telah pula menjadikan ayah kami seorang yang mudah marah.

Yang paling sering kena marah adalah ibu. Kami selalu merasa kasihan sama ibu, sehingga

diam-diam kami pun sering berpihak kepadanya. Tetapi kami pun mengerti mengapa ayah

menjadi mudah marah begitu, yaitu karena terlalu beratnya tekanan batin dan ekonomi yang

harus dipikul terlalu lama. Jati diri dan rasa bangga dia sebagai seorang ayah dan suami

seperti dicabut begitu saja. Untuk bisa kembali ke normal memerlukan waktu yang cukup

lama walaupun sekarang dengan sertifikat "Bersih Diri" sudah di tangan.

Kami sama sekali tidak pernah bercerita soal politik di dalam rumah. Semua takut. Apalagi

kakak-kakakku yang tiga orang semuanya Pegawai Negeri. Salah omong sekali bisa berakibat

fatal, misalnya bisa dicopotnya kakak-kakakku dari tempat kerja mereka. Keluarga kami

dengan terpaksa semua memilih Golkar setiap Pemilu, supaya tidak ada masalah dengan

status sebagai Pegawai Negeri. Seingat saya, hanya kakek dan beberapa anak paman yang

tidak pernah memilih Golkar. Mereka dengan diam-diam selalu menusuk Kepala Banteng

(PDI)!

Setamat dari kuliahku di Universitas Padjadjaran (UNPAD Bandung) tahun 1990, ayahku

mengajukan diri untuk pensiun awal. Dia bilang: "Karena anak yang bungsu sudah tamat

sekolah, maka aku ingin istirahat jadi guru dan ingin bertani saja, terbebas dari status sebagai

Pegawai Negeri (yang banyak peraturan ini dan itu)."

4

Di masa pensiunnya, ayahku menjadi petani, merawat sawah yang cukup luas, milik kakek

dan nenek dari ibu. Tampaknya dia lebih bahagia dan tenang sebagai petani daripada sebagai

guru SD. Sedangkan ibu bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar. Dulu ketika ditinggal

ayah, ibu pernah juga menjadi tukang kredit keliling dan tukang jahit baju, kemudian

membuka warung kecil. Waktu jadi tukang kredit, aku sering diajak ibu berkeliling di

kampung, di saat panas maupun hujan. Sering ibu sakit dan pernah tiga kali masuk rumah

sakit, karena parah. Beban hidup ibu terlalu berat, harus mengurus lima anak, dan

mendampingi serta mengurus kakek dan nenek sampai akhir hayatnya. Kakek adalah seorang

petani tulen, sering harus menggunakan pembunuh hama semprot di sawahnya, sehingga

penyakit asma yang dideritanya tambah parah. Selama itu ibu yang harus banyak mengurus

kakek sampai wafatnya tahun 1985, karena nenek harus berjualan di pasar untuk mencari

uang dan secara fisik ibu masih lebih kuat untuk mengangkat-angkat kakek.

Walaupun masa kecil kami sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata sekarang cukup

mengesankan, karena lingkungan pedesaan yang begitu romantis dan subur, namun dari segi

ekonomi kami sangat miskin dan berat sekali. Kehidupan kakek dan nenek boleh dibilang

termasuk lumayan, karena memiliki tanah, sawah, dan kolam yang luas. Tetapi uang tunai

jaman itu hanya diperoleh sehabis masa panen di sawah, setahun dua kali.

Tanpa kakek dan nenek dari pihak ibu yang turut mendampingi kami, maka hidup kami

sekeluarga pasti akan sangat terlunta-lunta. Kebetulan kakek dan nenek sangat dituakan di

kampung, karena hampir seluruh anggota kampung masih ada hubungan saudara, sedangkan

kakek dan nenek adalah anak sulung di keluarganya masing-masing. Inilah mungkin yang

telah turut melindungi ibu dan kami, sehingga tetangga sekampung semuanya tetap baik

terhadap kami, walaupun ayah sempat menjadi tahanan rejim Orba.

Bahkan kakek dan nenek selalu menjaga ibu agar tidak tergoda oleh laki-laki berhidung

belang. Memang ketika ayah ditahan, ada beberapa tentara sempat meminta ibuku yang masih

muda dan cantik berambut hitam lebat itu untuk mengawini mereka. Tetapi ibu mendapat

kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi semua godaan, karena adanya dukungan dan

perlindungan kakek dan nenek yang begitu hebat.

Masa kecilku bersama kakak-kakak yang penuh perjuangan itu sebenarnya sangatlah

berharga. Kami belajar banyak dari lembaran-lembaran masa lalu. Kami tidak biasa manja

dan sangat menghargai pentingnya pendidikan. Untuk mendapat uang jajan, setelah sholat

subuh kami berlima biasanya beriringan ke pasar menjual beberapa ikat kangkung yang kami

petik langsung dari kolam kakek dan nenek. Kadang nenek juga menitipkan beberapa ikat

daun pisang untuk kami jual juga.

Berkat dorongan kuat dan ketat dari kakek nenek dan orang tua, kami berlima bisa bersekolah

sampai Perguruan Tinggi. Walaupun demi pendidikan kami ini, kedua orang tua kami harus

gali lobang tutup lobang, minta bantuan kakek dan nenek, serta berhutang ke bank. Namun

jerih payah mereka tidak sia-sia. Kami bisa menamatkan sekolah kami dengan baik dan

masing-masing mendapat pekerjaan tetap setelah sekolah selesai.

Kini, 40 tahun setelah kejadian sejarah gelap September (Oktober) 1965, kami sebenarnya

masih hanya mengetahui sepotong-sepotong tentang sejarah keluarga kami yang sebenarnya.

Selama 32 tahun jaman Suharto kami tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi

yang jelas dan di keluarga kami pun selalu ada ketakutan untuk membicarakannya. Sekarang

5

di jaman Reformasi, informasi tambah banyak. Enam tahun sebelum Suharto jatuh, aku

menikah dan meninggalkan Indonesia menuju Eropa (Jerman). Selama hidup di luar negeri

(terutama semasa di Jerman dan Amerika Serikat) informasi yang kuperoleh soal sejarah

sekitar 65 ini cukup banyak. Kukira, lebih banyak informasi yang kudapatkan daripada yang

kakak-kakakku ketahui sampai sekarang.

Kadang kalau aku libur ke Indonesia, aku duduk berdua bersama ayah (waktu ibu masih

hidup, ibu juga dilibatkan untuk ikut nimbrung, demi kelengkapan cerita). Kuwawancara ayah

dan ibu secara informal tentu saja. Setiap bercerita, di suara mereka selalu kulihat ada

kegetiran, terutama di suara ayah. Tetapi sering dia tahan dan berusaha untuk berbicara

denganku senormal mungkin. Sekarang dia sudah lebih terbuka daripada jamannya Suharto

masih berkuasa. Dulu dia masih sangat takut memberikan informasi kepadaku. Sekarang ayah

sudah 73 tahun. Ketika diwawancara kembali di awal tahun ini, dengan alat perekam suara,

masih ada potongan-potongan jawaban yang dia lupa-lupa ingat. Namun semua kurekam,

untuk dokumentasi pribadiku.
(Yanti, Bonn, 15 September 2008)

No comments: