IBRAHIM ISA
Selasa, 13 Desember 2011
---------------------------
Artikel MAX LANE, "MENGENANG SONDANG HUTAGALUNG",
Mewakili Perasaan dan Fikiran Banyak Orang
Mari Kita Baca Bersama dan Khayati Bersama
Mengenangkan Bersama Sang Pejuang Sondang Hutagalung
*    *    *
 Mencari Jalan Membangun Harapan -- Mengenang Sondang Hutagalung
Oleh:  Max Lane
Pada Desember 10, seorang lelaki berumur 22 bernama Sondang Hutagalung  meninggal dunia akibat 98% dari tubuh terbakar. Sulit membayangkan rasa  sakit yang dideritakannya selama melawan maut di rumah sakit.  Yang lain  daripada yang lain, lelaki muda ini tidak kebakar dalam sebuah  kecelakaan tetapi membakar diri.
Dia tidak meninggalkan sebuah surat yang menjelaskan niatnya dia tentang  tindakan mengambil nyawanya sendiri dengan cara yang penuh penderitaan  ini. Mungkin Sondang  mau menunjukkan rasa cemasnya yang dalam bahwa  sebagian besar rakyat Indonesia masih menderita kemiskinan. Sondang  aktif di organisasi mahasiswa Himpunan Advokasi-Study Marhaenis Muda  untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi). Dia juga memimpin  komunitas Sahabat Munir. Dia membakar diri di depan Istana Kepresidenan,  mungkin ingin mengatakan presiden Yudhoyono sebagai kepala pemerintahan  yang  "gagal mensejahterakan rakyat."  Mungkin juga dia terinspirasi  oleh kasus seorang pedagang kaki lima Tunisia (Marhaen Tunisia) yang  melakukan hal yang sama yang kemudian memicu pemberontakan oposisi di  negeri tersebut, sehingga Presidennya jatuh.
Bisa saja terjadi -- dan memang sudah terjadi -- debat atau diskusi  tentang benar atau salahnya tindaknya Sondang ini. Tetapi mengingat  rekor kegiatan Sondang, minimal kita harus menghormati dia dan  mengenangnya sebagai orang yang sanggup mengorbankan nyawanya dan  menderitakan kesakitan fisik yang luar biasa dalam harapan bahwa ini  akan berguna buat rakyat Indonesia.
/Karena itu aku salut pada saudara Sondang/, mahasiswa Universitas Bung  Karno  yang pernah gerak buat kaum marhaen dan korban pelanggaran HAM.  Saya membaca juga bahwa dia pernah juga terlibat aktivitas solidaritas  dengan rakyat Papua korban kekerasan. Sekali lagi salut!
*Dinamika Menghadapi Kegagalan Mensejahteraan Rakyat*
**Di Morocco kasus orang membakar diri memicu sebuah pemberontakan  oposisi yang massif. Di Indonesia belum jelas sepenuhnya bagaimana nanti  dampak daripada tindakan Sondang. Teman-teman mahasiswanya dari UBK  sudah mengaraknya ramai-ramai ke kuburan. Ada versi bahwa lagu DARAH  JUANG yang didedikasikan ke Sondang. Universitas mengangkatnya dengan  pemberian gelar kehormatan. Mahasiswa-mahasiwa menyatakan tekad untuk  meneruskan perjuangannya Sondang melawan pimpinan hedonis.  Simpati  sangat meluas, meski juga ada yang mempertanyakan tindakannya sebagai  perbuatan politik. Kita belum tahu sepenuhnya bagaimana warisan  perbuatan dia ke depan.
Dalam perbandingan Indonesia dengan Tunisia (atau Mesir) bisa kita catat  suatu hal yang berbeda yang akan mempengaruhi situasi. Di Morocco pada  saat  Mohammed Bouazizi membakar diri, masyarakat Tunisia sedang di  cengkeraman seorang diktator. Mahasiswa dan rakyat Indonesia sudah  memaksa diktator Indonesia selama 33 tahun -- Suharto -- turun pada  tahun 1998, 14 tahun yang lalu. Situasi kondisi politik bukan sebuah  kondisi yang tegang menunggu sesuatu yang akan memicu kemarahan  anti-kediktatoran meledak.  Solusi pada kedikatatoran gampang dirumuskan  dengan tepat (meski belum tentu gampang menerapkan rumusannya).  Kediktatoran bisa dihilangkan dengan turunkan diktator. Tunisia (dan  Mesir) sudah lama menunggu pemicu penurunan diktator mereka. Di  Indonesia, dari tahun 1989 sampai 1996 proses membangun gerakan  anti-diktatoran tanpa pemicu dramatis, berkat jerih-payah  aktivis-aktivis yang membangun organisasi, termasuk yang selalu di depan  aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), periode 1994-1999.
Bom kemarahan kalau sudah meledak, asal diarahkan, bisa jatuhkan  diktator. Tetapi seperti  yang sedang dialami di Tunisia dan Mesir, dan  juga sudah dialami Indonesia selama 14 tahun, jatuhnya kediktatoran  membuka ruang  gerak yang lebih luas. Kita kemudian dihadapkan dengan  masalah bagaimana mengisi ruang tersebut degan sebuah gerakan yang akan  memperjuangkan perubahan yang lebih jauh lagi. Pemicu-pemicu yang  ditunggu ialah pemicu yang membangun rakyat berorganisasi secara massal  dan massif, memperjuangkan kemajuan negerinya, karena elit tak bisa  diharapkan sama sekali. (Ini masalah yang dihadapi seluruh negeri di  saat ini.) Dan yang bisa mensejahterakan rakyat bukan seorang Presiden  tetapi gerakan rakyat sendiri.
*Rakyat memang tidak mengharapkan elit, kemudian .. ?*
Sering sekali saya lihat di berbagai aksi mahasiswa maupun serikat buruh  serangan kritik bahwa pemerintah Presiden Yughoyono gagal  mensejahterakan rakyat. Slogan "Megawati-Hamzah Haz gagal",  "Yudhoyono-Kalla gagal" dan sekarang "Yudhoyono-Beodiono gagal" muncul  berulang-ulang sejak Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Di pinggir  jalan dan di perbincangaan rakyat, pasti mayoritas sudah setuju  kesimpulan tersebut. Rakyat sepakat. Tetapi bentuk pemikiran  "Yudhoyono-Beodiono gagal", meskipun sebagai kenyataan adalah benar,  sekaligus juga tersesat. Perumusan masalah dalam bentuk si A dan si B  gagal sebagai Presiden dengan sendiri mengandung anggapan bahwa ada juga  sedang sembunyi di suatu tempat si  C dan si D yang akan berhasil.  Secara tidak langsung pendekatan ini masih mengandung unsur "ratu adil"isme.
Presiden Yudhoyono memang sudah pasti gagal mensejahteraan rakyat sejak  sebelumnya. Begitu juga semua orang-orang yang lagi dibicarakan sebagai  calon presiden tahun 2014. Ada beberapa sebab. Pertama, Yudhoyono dan  calon-calon lainnya, semua merupakan perwakilan dari kelas menengah atas  Indonesia yang mengukur keberhasilan ekonomi dengan ukuran pertumbuhan  kelas menengah dan kelas menegah atas. Itu saja yang harus dicapai.  Kelas menengah makmur Indonesia mungkin kurang-lebih 10% dari penduduk  Indonesia atau 20an jutaan orang. Yang 200 juta orang lain memang tidak  dianggap, asal jangan rusuh atau melawan. Jadi memang tidak ada minat  mensejahteraan rakyat, sejak awal. Kadang-kadang pemerintah kelihatan  bengong menghadapi masalah-masalah sosial dan ekonomi rakyat:  jangan-jangan tidak bengong hanya tidak tertarik saja.
Kedua, kemiskinan rakyat dan keterbelakangan ekonomi Indonesia tidak  disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk yang  "neo-liberal"pun atau yang diresep-resepkan oleh lembaga-lembaga  keuangan internasional. Kebijakan-kebijakan memang kebanyakan tidak  pantas disetujui, tetapi bukan sebagai /penyebab/ atau /asal-usul/  masalah tetapi sebagai hal yang memperparah situasi. Kemiskinan dan  keterbelakangan ekonomi Indonesia, dan keterbelakangannya infrastruktur  sosio-budaya, berasal dari warisan kolonialisme Hindia Belanda yang  meletakan Indonesia sebagai ekonomi neo-koloni yang tak  berindustrialisasi. Kemudian ekonomi Indonesia selama Orde Baru  ditumbuhkan lagi pakai pola yang sama, bukan sebagai hasil pemaksaan  kubu imperialis tetapi atas undangan sukarela kekuasaan pemenang  pertaruhan arah pembangunan Indonesia yang berlangsung 1945-65.  Indonesia 2011 adalah hasil 33 tahun pola ini, sehingga elit  politik-ekonominya tak mungkin akan berminat mensejahterakan rakyat.
*Dua lapis "ketidak-ada-harapan".*
Sudah 46 tahun berlalu sejak Orde Baru berdiri. Elit kekuasaan Indonesia  sudah terbentuk mapan. Apakah ada harapan elit tersebut akan melahirkan  sebuah sayap yang dinamis, bergairah, cinta rakyat, cinta kebenaran,  cinta ilmu? Periksa saja partai-partainya mereka dan mengambil  kesimpulan sendiri. Kalau kerangka pikiran kita ialah Yudhoyono tak  mampu, dengan fokus pada perorangannya dan kebutuhan akan seorang  presiden yang lain lagi, sudah pasti akan muncul perasaan: tak ada  harapan, harus ada tindakan yang sedrastis-drastisnya.
Ada juga sebuah "ketidak-ada-harapan" lain yang ikut mewarnai suasana.  Pada tahun 40an, 50an, 60an, 70an bahkan 80an, baik di Indonesia maupun  secara internasional, ada suatu kata, suatu diskursus, suatu visi yang  memberi harapan pada semua orang: "Development", "Pembangunan". Pada  dekade-dekade itu seluruh dunia yakin bahwa negeri negeri "sedang  berkembang" akan berkembang, bahwa "development" akan terjadi, bahwa  negeri-negeri itu akan mencapai "take-off".  Yang pesimis dan sabar  anggap mungkin ini proses lama melalui "trickle down effect" selama  beberapa generasi. Yang optimis mengira "take-off"akan pesat dan heboh.  Kaum sosialis yakin gerakan-gerakan pembebasan nasional akan berkembang  menjadi revolusi sosialis sehingga akan ada pembangunan sosialis. Di  Indonesia sendiri, selama periode Orde Baru, sampai 1997, "pembangunan"  menjadi hampir sebuah agama, dan sebuah agama yang formal menjanjikan  akselerasi pembangunan 25 tahun.
Pada abad 21 ini, di sebagian besar negeri sedang (tidak) berkembang di  dunia, mimpi tentang pembangunan tinggal menjadi mimpinya kelas menengah  atas saja. Hanya sedikit negeri, seperti Venezuela misalnya, yang masih  memperjuangkan pembangunan buat rakyatnya -- atau lebih tepat, rakyat  Venezuela sendiri sedang memperjuangkannya. Di banyak negeri-negeri  dengan mimpi development menghilang rasa tak ada harapan semakin kental  terasa. Tindakan-tindakan drastis, semakin sering terjadi.
Di Indonesia rasa tak ada harapan yang melahirkan tindakan drastis juga  yang mengakibatkan beberapa kali orang yang memimpikan dunia yang lain  dan lebih baik  melakukan bunuh diri. Berbeda dengan Sondang,  orang-orang ini sekaligus membunuh orang lain pula, dengan aksi bom  bunuh diri. Tindakan drastis bom bunuh diri dan membunuh nyawa lain ini  bukan hanya sakit irrasionil tetapi juga kriminil. Sondang tidak berniat  ambil yang nyawa orang lain, tetapi mempertaruhkan nyawanya sendiri.
*Membangun harapan*
Membangun harapan butuh lebih daripada semacam pengambilan sikap  bertekad berjuang. Membangun harapan mebutuhkan pengertian bahwa /memang  adalah mungkin/ untuk mencapai kemajuan-kemajuan. Selama gerakan fokus  pada menyatakan kekecewaan dengan pimpinan negara yang ada dengan slogan  si A dan si B gagal, dengan pesan di dalamnya bahwa si C atau si D, yang  bisa selesaikan masalah, tidak akan terbangunkan harapan. Konsekwensi  logis dari kesimpulan bahwa elit politik ekonomi negeri tak mampu  memimpin atau melakukan pembangunan ialah bahwa /hanya yang non-elit  akan bisa melakukannya/. Yang "non-elit" (marhaen, rakyat miskin, 99%  dll) tidak bisa hanya sebagai penerima kesejahteraan tetapi pelaku  merebutnya, merencanakannya dan melakukannya.
Dari kesadaran itulah akan datang permulaan dari analisa syarat-syarat  yang dibutuhkan untuk yang non-elit bangkit berorganisasi. Dan dari sana  akan datanglah harapan.
Contoh Sondang mengingatkan kita betapa dalam bisa seorang manusia  merasa peduli tentang rakyatnya. Perasaan dalam tersebut harus  digendongkan dengan pengertian dan perencanaan bangkit bersama-sama,  supaya tidak perlu lagi dan tidak akan ada orang yang merasa perlu ambil  tindakan drastis mengorbankan diri menderita kesakitan dan kehilangan  nyawa  demi berusaha memicukan sesuatu yang dia tunggu-tunggu tapi tidak  datang. Kekuasaan selalu siap makan korban dari kaum pejuang, seharusnya  tak perlu kita menambah dengan pejuang mengorbankan diri. Hanya bangkit  dan berorganisasi bersama-sama -dengan membuang semua harapan pada elit  siapapun- memperjuangkan keadilan dan pembangunan akan membangun harapan  yang melahirkan tindakan-tindakan berdaya cipta.
Selamat jalan Sondang.
Thursday, December 15, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment