Kolom IBRAHIM ISA
Kemis. 15 Desember 2011
-----------------------
GURU Dan ILMUWAN KRITIS Serta KONSISTEN
Prof Soetandyo Wignjosoebroto
Raih Yap Thiam Hien Award 2011
* * *
Ini berita penting sekali! Karena menyangkut masalah saling hubungan  antara HUKUM DAN KEADILAN. Lebih penting lagi, karena mengenai seorang  tokoh atau sosok ilmuwan maju. Dikatakan bahwa Prof Soetandyo  Wignjosoebroto adalah seorang guru, profesor, ilmuwan, cendekiawan.  Tahun ini PROF SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO dianugrahi YAP THIAM HIEN AWARD  2011.
Anugerah Yap Thiam Hien Award, biasanya disampaikan kepada yang  bersangkutan, sekitar HARI PERINGATAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK AZASI  MANUSIA . PBB, 10 Desember 1948.
Di kalangan masyarakat kita. -- pasti tidak kecil jumlah ilmuwan, guru,  cendekiawan, budayawan, yang punya dedikasi pada ilmu dan masyarakat,  pada profesinya. Tetapi juga punya motivasi dan dedikasi terhadap  kebenaran dan keadilan.
Demikianlah kita mengenal sosok ilmuwan sejarah (UGM)seperti mendiang  Prof Sartono Kartodiredjo (1921-2007). Terhadap sejarah Indonesia ia  memelopori agar bersikap --menurut cara pandang Indonesia. Prof Sartono  adalah mantan mahasiswa pasca-sarjana bimbingan Prof.Dr Wertheim, ketika  ia mengambil Ph.D-nya di Universitas Amsterdam. Adalah Prof Sartono ini  juga yang memboyong tidak kurang dri 3000 buku ilmiah hibah dari  perpustakaan Prof Wertheim, untuk perpustakaan "Wertheim Collection", di  Universitas Gajah Mada.
Prof Soetandyo Wignjosoebroto dinilai *memiliki komitmen, dan  kredibilitas yang tinggi dalam upaya-upaya untuk pembelaan dan  perlindungan Hak Asasi Manusia untuk masyarakat Indonesia. *Penilaian  ini dikemukakan oleh kalangan "Yayasan Studi Hak-Hak AzasiManusia",  yaitu sebuah lembaga yang memberikan anugerah "PENGHARGAAN YAP THIAM  HIEN", atau "YAP THIAM HIEN AWARD", sebagaimana lebih populer dikenal  masyarakat.
Bersama Soetandyo yang dianugerahi Yap Thiam Hien Award juga adalah  mendiang Asmara NABABAN (meninggal 2010). Seorang akhli hukum aktivis  pro-demokrasi yang tak kenal lelah dan tidak takut kesulitan. Pada saat  meninggalnya, dia menjabat Ketua Dewan Pengurus Lembaga Studi dan  Advokasi Masyarakat (Elsam) dan anggota Badan Pengurus Komunitas  Indonesia untuk Demokrasi (KID). Fokus perhatian dan perjuangannya  adalah hak asasi manusia dan demokrasi.
* * *
Untuk sekadar menyegrkan ingatan pembaca sekitar kegiatan Yayasan  Hak-Hak Azasi Manusia yang memberikan Yap Thiam Hien Award 2011, kepada  Prof Soetandyo Wignjosoebroto, mari kita simak ulang catatan mengenai  siapa-siapa saja yang telah dianugerahi Yap Thiam Hien Award.
Mereka itu yang terpenting a.l adalah Haji Johannes Cornelis Poncke  Princen. Kita kenal dia sebagai mantan serdadu KNIL yang memihak,  bergerilya sehidup semati dan berjuang demi membela dan mempertahankan  Republik Indonesia dan kemudian menjadi aktivis dan pejuang hak-azasi  manusia di Indonesia. Kegiatannya ini konsiten dilakukannya sampai akhir  hidupnya.
Tulis s.k. AS New York Times (12 Maret 1998) --- "Keputusannya untuk  berjuang bersama gerilyawan Indonesia, disamakannya dengan keputusan  serdadu AS di Vietnam yang bergabung dengan Viuetcong". Mengenai  Suharto, kata Princen, "Fikirkan tentang hukum karma. Suharto tak  mungkin memboyong hutang-hutangnya (pada rakyat Indonesia) ke kuburanya.  Ia harus diingatkan bahwa (hukum) karma menantikannya. Apapun yang  dilakukannya (huikum) karma menantinya". Kata-kata ini diucapkan oleh  Poncke Princen beberapa bulan sebelum Suharto digulingkan oleh prahara  Mei 1998. Memper dengan r a m a l a n Djoyoboyo. Kiranya bukan itu,  tetapi adalah pengalaman perjuangannya dan perhitungan politik dan  keyakinannys bahwa keadilan akan selalu mengejar pelaku-pelaku  pelanggarnya, --- yang membuat Poncke Princen yakin benar bahwa sekali  tempo Suharto akan terguling.
* * *
Lalu penyair dan aktivis pro-demokrasi WJI THUKUL, yang juga dapat  Penghargaan Yap Thiam Hien. Pejuang anti-Orba ini 'hilang'. Diduga Wiji  Thukul telah jadi korban "Tim Mawar Koppasus", sekitar pergolakan 1998  yang menumbangkan Presiden Suharto.
Nama yang tidak asing yang juga telah dianugerahi Yap Thiam Hien Award  adalah aktivis serikat buruh *MASINAH* (1969 -- 1993). Marsinah, adalah  seorang aktivis serikatburuh perusahaan PT Catur Putra. Ia terlibat  aktif dalam perjuangan serikatburuhnya, menuntut perbaikan gaji dan  perbaikan nasib. Karena keaktifannya itu, jenazahnya ditemukan. Sebagi  akibat penganiayaan berat oleh aparat keamanan. Media mengungkapkan  bahwa aparat keamanan dan lembaga pengadilan telah bersekongkol membela  fihak perusahaan.
Itulah sekadar gambaran siapa-siapa saja dari sekian banyak pejuang  demokrasi dan keadilan yang telah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien.
* * *
Mengenai Porof. Soetandyo, beliau *dinilai memiliki komitmen, dan  kredibilitas yang tinggi dalam upaya-upaya untuk pembelaan dan  perlindungan Hak Asasi Manusia untuk masyarakat Indonesia.  "Keberpihakannya pada HAM adalah cermin sikapnya yang lebih membela  sosial justice ketimbang legal justice. Dia lebih melihat hukum dalam  konteks responsive low yang harus berpihak pada keadilan. Dan sikapnya  tegas tetapi tidak terkesan konfrontatif," ujar Todung Mulya Lubis,  **Ketua Yayasan Yap Thiam Hien.*
*Soetandyo menganggap penghargaan yang diberikan kepadanya sebagai  penghormatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Menurutnya,  penghargaan tersebut adalah beban berat yang harus dipikulnya untuk  tetap meneruskan perjuangannya bagi masyarakat Indonesia.*
*"Perjuangan itulah suatu masa depan jutaan manusia yang mereka itu tak  mesti cuma eksis dalam lingkup kehidupan nasional, dengan hak-hak yang  dijamin sebagai hak konstitusional, melainkan juga suatu masa depan  manusia dengan jaminan hak-hak yang pasti akan lebih bersifat  universal," kata Soetandyo.*
*Soetandyo terpilih dari 24 nominasi lainnya melalui sidang dewan juri  yang terdiri dari mantan Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa Makarim  Wibisono, dosen UIN Syarif Hidayatullah Siti Musdah Mulia, Guru Besar  Psikologi UI Saparinah Sadli, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar  Siahaan, Jurnalis senior Kompas Maria Hartiningsih, dan Todung Mulya Lubis.*
**    *    **
Berita sekitarn pemberian Yap Thiam Hien Award ini (Kompas, 14 Des  2011), kuterima dari sahabat-karibku Chalik Hamid. Chalik meeruskan dari  mailist JKI (Amnsterdam) dan Gelora 45 (Hongkong).
Menarik tetapi memprihatinkan ialah bahwa berita penting ini, masih  belum diberitakan, misalnya oleh Antara News, The Jakarta Post dan The  Jakart Globe. Entah karena masih belum, artinya masih akan memberitakan.  Atau dianggap peristiwa tsb kurang atau tidak penting, tidak menarik.
Bukankah, supaya medianya laris, sudah menjadi kebiasaan untuk membut  'breaking news' atau melansir berita 'sensasionil'. Yang tidak biasa.  Soalnya kan korannya harus laku. Kalau kurang laku, yang memuat iklan  akan merosot.
* * *
Harapan kita ialah, --- agar Prof Soetandyo Wignyjosoebroto, serta para  akhli humum dan aktivis HAM lainnya, tak luput ingat pada Peristiwa  Tragedi Nasional 1965.
Dalam berita persekujsi itu, jutaan warga tak bersalah telah menjadi  korban kekuasaan rezim Orba. Tanpa proses pengadilan apapun,  sematga-mata atas tuduhan dan fitnahan anggota atau simpatisan PKI, dan  terlibat, atau berindikasi terlibat dengan G30S.
Tidak kurang dari 20 juta para keluarga korban Tragedi Nasional 1965  tsb, masih belum dipulihkan nama baik dan haik-hak kewarganegaraan dan  hak-hak manusianya.
Apa yang dilakukan Jendral Suharto dan Orba terhadap para warga yang tak  bersalah tsb, jelas adalah pelanggaran kasar terhadap hak-hak azasi  menusia dan merupakan PELANGGARAN PALING BESAR TERHADAP KEBENRAN DAN  KEADILAN.
* * *
Thursday, December 15, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment