Saturday, March 24, 2012

MUNGKINKAH . . . ADA PEJABAT YANG . . . “BAIK” ?

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 24 Maret, 2012

-----------------------------


MUNGKINKAH . . . ADA PEJABAT YANG . . . “BAIK” ?

DIKALA REFORMASI MACET, . . .

KORUPSI & MANIPULASI . . . MEMBUDAYA ? ? ?


* * *


Beberapa hari yang lalu.. . . . Itu secara kebetulan -- Kubaca sebuah artikel di situs Facebook.

tertanggal 19 Januari 2012, yang ditulis oleh sahabat-baikku, sejarawan muda cum aktivis masyarakat, WILSON OBRIGADOS. Judulnya: -- “Jokowi dan Proyek Kekuasaaan Pro Rakyat”. Dari judulnya jelas bahwa, penulisnya punya penilaian positif terhadap Walikota Solo, Joko Widodo, akrab dipanggil JOKOWI.


Di Facebook aku sampaikan kepada para pembaca tentang tulisan Wilson tsb. Kuanggap penting dan patut dibaca. Sementara pembaca menyambutnya. Seorang sahabat-dekatku dengan serius menyatakan bahwa tulisan Wilson itu terlalu berani. Mungkin maksudnya, Wilson terburu-buru menarik kesimpulan. Jangan-jangan Jokowi sedang bergaya “kuda-troya” untuk jabatan lebih tinggi lagi. Demikian tanggap sahabatku itu.


Tulisan Wilson itu pada pokoknya b e n a r . Benar, karena ia dengan analitis dan serius menanggapi sesuatu yang tidak biasa. Yang bisa dibilang gejala langka. Biasanya kalau ada tulisan atau berita tentang pejabat, zaman sekarang ini, maka kaitannya, karena sang pejabat terlibat kasus KORUPSI atau MANIPULASI. Tapi, belakangan ini muncul pejabat-pejabat yang dianggap “me-rakyat”, “populis” atau “peduli rakyat”. Paling tidak peduli pada rakyat yang di bawah pimpinannya, yang pernah memberikan suara “ya” kepadanya dalam pilkada y.l. Maka ia menjadi pejabat, seperti Walikota Solo dan Bupati Belitung Timur.


Yang penting disini bukanlah apakah tulisan Wilson itu benar, atau keliru. Dan kolom ini bukan forum debat. Sekadar untuk mengguggah . Supaya bersama-sama memikirkan gejala baru di dalam masyarakat, yang bertalian dengan masalah Reformasi. Jelas, bahwa ada fenomena atau gejala baru di masyarakat kita belakangan ini. Dalam tulisannya Wilson merumuskannya sebagai “angin baru”. Mungkin saja gejala demikian itu sebelumnya sudah ada. Cuma, tidak atau kurang menjadi perhatian masyarakat.


* * *


Gejala ini adalah munculnya pejabat-pejabat negeri, pegawai negeri yang jabatannya cukup tinggi, seperti Jokowi,Walikota Solo, atau Ahok, mantan Bupati Belitung Timur. Bahkan seorang Dahlan Iskan, yang adalah Menteri BUMN. Mereka-mereka itu tidak seperti kebanyakan spejabat negeri lainnya.


Tindak-tanduk dan ucapan-ucapan mereka ramai diberitakan, ramai diperbincangkan. Timbullah pertanyaan yang wajar. Apakah mereka-mereka itu benar-benar peduli rakyat? Atau h a n y a cari nama, cari muka untuk naik lebih tinggi lagi. Yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu hanyalah perkembangan selanjutnya. Itu yang akan menunjukkan hakikat yang sebenarnya dari pejabat-pejabat itu.


Namun, jika Ahok, mantan Bupati Belitung Timur, memberikan perhatian serius dan kongkrit menangani dengan sungguh-sungguh masalah pendidikan dan kesehatan warga yang dipimpinnya, dan mencapai hasil baik, tentu hal itu HARUS DISAMBUT BAIK. Karena tindakannya itu menguntungkan rakyat yang di bawah pimpinannya. Apalagi ia berucap bahwa akan melaksanakan “Reformasi Jilid II”. Bukankah kehendak baik itu perlu didorong?


Jika Walikota Solo Jokowi turba, turun ke bawah, untuk berkomunikasi dan berrembuk langsung dengan warganya, dengan pak tani di desa, bersikap tidak sembarangan, tapi 'waspada' terhadap penanaman modal asing, maka itupun harus disambut baik. Tidaklah etis untuk mendahulukan kecurigaan dan mencari-cari, apa tidak ada “udang dibalik batu”. Apa tidak ada maksud-maksud yang tak baik . . . ??


Maksud memberitakan dan mengangkat tulisan Wilson Obrigados, semata-mata agar bersama-sama kita peduli dengan gejala-gejala baru dan perkembangan baru di dalam masyarakat kita. Serta dengan serius menanggapinya. Mungkin gejala-gejala maupun fenomona tsb bisa mengubah sementara pandangan pesimis, yang MALU JADI ORANG INDONESIA. Mungkin akan mendorong kita dengan lebih jeli memandang, melihat, bahwa di kalangan pejabat-pejabat yang biasanya terlibat dengan korupsi dan manupulasi untuk berkuasa dan memperkaya diri sendiri, ada juga pejabat-pejabat yang PEDULI RAKYAT, yang berkebijakan dan bertindak menguntungkan masyarakat.


Maka, gejala ini merupakan perkembangan yang kiranya tidak mesti ditelaah dengan sinisme dan kecurigaan. Tetapi melihat dengan kritis dan analitis apakah itu menguntungkan rakyat atau merugikan rakyat. Dengan selalu berpegang pada metode: “To call a spade a spade”. Melihat apa adanya! Melihat kenyataan yang terpampang di depa mata.


Di bawah ini diangkat bagian-bagian terentu dari tulisan sahabat baikku Wilson Obrigados itu: Pembaca yang ingin membaca selengkapnya silakan mengaksesnya di internet (indoprogres.com).


* * *


Tulis Wilson tentang Jokowi:

Gebrakannya dalam membuat kebijakan yang pro-rakyat dan bersikap kritis terhadap modal asing, memberikan angin baru pada kekuasaan yang terus membusuk di negeri ini. Kekuasaan yang selama ini dipersonifikasikan dengan pro modal, korup, elitas dan oligarkis, dengan hadirnya Jokowi, kini dapat personifikasi sebagai aspiratif dan pro-rakyat”. DemikianWilson memulai tulisannya.


Kesimpulan Wilson:

Pembelajaran – Fakta adanya pemerintahan dapat berpihak pada rakyat, merupakan angin sejuk di tengah kekuasaan yang korup dan elitis. Jokowi sudah meredifinisi kekuasaan menjadi pelayan dan mengabdi kepada kepentingan publik. Dengan gaya sederhananya ia membangun fungsi pengawasan, konsultatif dan kontrol atas pemerrintahannya, berdasarkan demokrasi langsung yang ia kembangkan, melalui turba dan konsultasi langsung publik.


Jokowi membangunkan raksasa bisu yang bernama rakyat, dari pelaku pasif atas kekuasaan politik menjadi pemain aktif dalam proses penentuan kebijakan sebuah pemerintahan.Dengan cara ini, Jokowi menghancurkan sekat depolitisasi yang diciptakan orde baru, dan yang paling penting lagi, rakyat diberi harapan dan kapasitas untuk mengubah nasibnya dengan terlibat aktif dan langsung untuk mengawasi pemerintahan.


Apa yang dilakukan Jokowi di Solo . . . . . memberikan pondasi awal bagi rakyat untuk menyadari kekuatannya untuk mempengaruhi dan mengontrol kekuasaan, suatu tradisi yang dihilangkan sejak tahun 1965 oleh orde baru yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan pusat di |Jakarta hingga sekarang... (cetak tebal dari I.I.)


Kita butuh menciptakan Jokowi – Jokowi baru di seluruh Indonesia”


* * *


Tanggapan, atau katakanlah analisis Wilson terhadap gejala/fenomena munculnya dan bergayanya pejabat negeri, Walikota Solo Joko Widodo, merupakan input baru dalam menganalisis perkembangan poitik Indonesia, di periode REFORMASI yang sedang “jalan di tempat”.


Maka menjadilah bahan pemikiran hal yang dipertanyakan dewasa ini:


Adakah ada pejabat yang baik? Yang "FOR THE PEOPLE", “FROM THE PEOPLE” AND "ELECTED BY THE PEOPLE" ??? . . . . Di zaman REFORMASI yang mandek dimana korupsi dan manupulasi di kalangan pejabat negeri dari paling atas sampai ke paling bawah, . . . berkembang membudaya?


Hal-hal ini semakin gawat untuk dapat jawaban, a.l karena Joko Widodo, Jokowi (50) dan Ahok – Basuki Cahaya Purnama (46) sudah ditampilkan jadi calon untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Raya pada pilkada mendatang.



* * *




No comments: