Saturday, March 10, 2012

NILAI-NILAI YANG HARUS DIBELA . . . . . .

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 10 Maret 2012

----------------------------

<http://ibrahimisa.blogspot.com/>


DE INDONESÏE WEIGERAAS” , --- NILAI-NILAI

YANG HARUS DIBELA . . . . . .


De Indonesië Weigeraars”, adalah sebuah buku kecil setebal 127 halaman saja. Tapi tak terkira mutu dan nilainya dalam khazanah literatur mengenai hubungan Indonesia-Belanda. Buku itu diterbitkan pada bulan Juni 1989 (cetakan pertama); kemudian Juli 1989 cetakan kedau) oleh penerbit “Antimilitaristische Uitgeverij, Amsterdam”.


Buku tsb juga merupakan input tak ternilai untuk memahami bahwa, di kalangan orang-orang Belanda tidak sedikit yang berhati nurani manusia. Jumlahnya tidak kurang dari 4025 yang telah divonis dan dihukum, kemudian mengajukan gugatan. Yang menolak memerangi RI, yang membangkang terhadap perintah untuk menindas rakyat Indonesia yang tertekad merdeka, melepaskan diri dari kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Tidak kurang pula 26 orang dari tentara Kerajaan Belanda yang meninggalkan KL , “menyeberang” dan bergabung dengan TNI. Menjadi bagian dari kekuatan hersenjata Republik Indonesia melawan agresi Belanda.


* * *



Mujur bagiku; ------ Ketika berkunjung ke OBA (Openbare Bibioltheek Amsterdam), pas pada Hari Wanita Internsional, 08 Maret y.l. kujumpai buku kecil itu. Terus saja kupinjam untuk tiga minggu lamanya. Sebenarnya waktu tiga minggu itu lebih dari cukup untuk membacanya. Tapi untuk meresapinya, mengkhayatinya, belum tentu. Karena isi buku kecil itu tidak lain dari curahan hati nurani manusia-manusia Belanda yang menolak, yang berlawan terhadap perintah penguasa Kerajaan B|elanda, untuk berangkat ke Indonesia. Mereka memboikot politik perang pemerintahnya untuk menghanurkan Republik Indonesia yang baru lahir itu.


* * *


Kebetulan pula! Besok hari Minggu pagi, tanggal 11 Maret, aku diundang oleh Paul van der Gaag wartawan studio radio VPRO, Hilversum. Aku diminta hadir pada suatu seminar kecil. Katanya karena aku mengalami periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan turut ambil bagian di situ. Dalam seminar kecil besok itu. akan hadir penulis Adriaan van Dis yang baru saja menyiarkan laporan dokumenter film TV-nya mengenai kunjungannya ke Indonesia. Hadir juga Prof Dr Nico Schulte Nordholt dari Universitas Nijmegen. Ia seorang Indonesianis terkenal.


Tema yang akan diangkat dalam diskusi besok, adalah mengenai periode 'BERSIAP', 'Bersiap Periode” di Indonesia. Demikian pemahaman dan merumusan Belanda mengenai periode itu. Untuk kita, periode itu dalah periode Proklamasi, periode dimulainya perjuangan bersenjata membela Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.


Banyak orang Belanda menyebutnya “De bersiap periode”. Di sinilah termanifestasi dua refleksi, dua pengalaman dan dua pandangan tentang periode sekitar Proklamasi Kemerdekaan. Dua pandangan yang 180 derajat bertolak belakang. Hal ini pulalah yang menyebabkan Belanda dan rakyat Indonesia terlibat dalam peperangan sengit selama 4 tahun (1945-1949). Yang membawa korban ratusan ribu jiwa.


Sampai kini 'ganjalan' ini, antara Indonesia dan Belanda masih belum terselesaikan. Nyatanya sampai sekarang belum ada pernyataan resmi pemerintah Kerajaan Belanda, yang jelas-jelas tanpa perumusan diplomatis, bahwa Republik Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.


Sebab, bila pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari lahirnya Republik Indonesia, dengan siapa Belanda menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 50-an abad lalu; --- itu berarti pemerintah Belanda harus mengakui bawa dibentuknya NICA (Netherlands Indies Civil Adminstration) yang dikepalai oleh dr Van Mook dengan tentara Nica-nya, adalah SUATU TINDAKAN AGRESI, suatu PELANGGARAN HUKUM INTERNASIONAL. Berarti mengakui bahwa, sejak semula Belanda mau merestorasi kekuasaasn kolonialnya atas Hindia Belanda. Berarti dikirimnya lebih seratus ribu tentara KL dari Belanda ke Indonesia, adalah suatu invasi Belanda terhadap suatu negara baru Republik Indonesia. Berarti 'politionele actie' yang dua kali dilakukan Belanda terhadap Republik Indonesia, ---- ADALAH SUATU TINDAKAN PERANG AGRESI!


* * *


Buku “De Indonesïe Weigeraars”, diterjemahkan bebas artinya “Para Pembangkang Indonesia”. Yang dimaksudkan dengan 'pembangkang Indonesia' -- adalah anggota-anggota tentara Kerajaan Belanda yang menolak dikirim ke Indonesia oleh pemerintahnya. Karena mereka tahu, mereka akan digunakan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Mereka harus berperang menindas kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Para serdadu Belanda yang membangkang itu telah bertindak sesuai kata hati nurani mereka. Sesuai dengan intuisi politik mereka mengenai hak banngsa-bangsa untuk merdeka. Mereka belum lupa ketika Belanda diduduki oleh nazi Jerman. Betapa penderitaan yang dialami bila dikuasai dan ditindas oleh bangsa lain. Mereka tidak mau memperlakukan rakyat Indonesia, hal-hal, yang mereka sendiri alami selama pendudukan nazi Jerman terhadap negeri Belanda.


Salah seorang dari “Indonesïe Weigeraars”, yang semasa pendudukan nazi Jerman dijebloskan di dalam kamp konsentrasi, Fred Bergfeld dari Amsterdam, menyatakan sbb: “Semua yang saya alami di kamp konsentrasi Jerman sangat menentukan bagiku. Setelah mengalami sendiri (penderitaan) di kamp konsentrasi (Jerman), jelas bagi saya bahwa saya tidak akan pergi ke Indonesia. Saya tidak mau melakukan sesuatu, yang saya lawan. Jika saya berangkat (ke Indonesia) saya tak akan bisa lagi menatap langsung di mata kawan-kawan (sekonsentraasi kamp) Jerman dulu. Di kamp konsentrasi dulu secara teratur saya berdiskusi dengan orang-orang Sosialis dan Komunis mengenai berbagai hal seperti kolonialisme. Dari situ lahirlah pandangan anti-kolonial saya”.


Juga seorng “Indonesïe Weigeraars” lainnya, Cor Vreeken juga dari Amsterdam, yang pernah jadi penghuni kamp konsentrasi nazi Jerman, menyatakan: “Saya akan (bersedia) berangkat ke Indonesia dengan menyandang sekop dan mengendarai traktor (untuk melakukan pembangunan) . Tetapi dengan meyandang bedil (ke Indonesia?). Saya samasekali tidak bermaksud melakukan sesuatu yang dilakukan oleh serdadu fasis nazi Jerman (terhadap kami). Itu pilihan pribadi, bukan politik”.


Joost van der Gijp, juga seorang “Indonesïe Weigeraars”, menyatakan: Apakah saya harus ke Indonesia untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh nazi Jerman (terhadap kami)? Tidak, saya tidak mau ke Indonesia untuk menindas rakyat Indonesia. Saya tidak mau mengangkat senjata demi (kaum) modal.




* * *


PONCKE PRINCEN


Maka tidak heran, bahwa dua wartawan Belanda yang menulis buku ini, Kees Bals dan Martin Gerritsen, minta Poncke Princen, menuliskan sebuah Kata Pengantar untuk buku berharga ini.

Masih ingat nama Poncke Princen?


Bolehlah disegarkan kembali ingatan kita mengenai Haji Poncke Princen:


Nama aslinya, lengkapnya adalah Haji Johannes Cornelis Princen. Menjadi populer dikenal sebagai Poncke Princen (21 Novemer 1925 – 22 Februari 2002). Ia warganegara Belanda. Tadinya anggota KL yang dikirim ke Indonesia. Setelah meninggalkan KL ia menggabungkan diri dengan TNI. Berjuang bersama TNI melawan tentara agresor Belanda di Jawa Barat.


Kita, bangsa Indonesia, menerima dan menganggap Poncke Princen adalah tentara Belanda yang memihak perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam semangat dan tindakannya. Sebagai prajurit TNI Poncke ikut 'long march' dari Yogya ke Jawa Barat. Dalam tahun 1949 Poncke Princen dianugerahi Bintang Gerilya karena pengabdiannya pada perjuangan membela Republik Indonesia.


Ponccke Princen secara prinsipil dengan konsisten menenantang perang kolonial yang dilancarkan Belanda terhadap Republik Indonesia. Dalm tahun 1949 ia menjadi warganegara Republik Indonesia. Selanjutnya Poncke Princen menceburkan diri aktif membela hak-hak azasi manusia. Ia secara prinsip juga tidak bisa lain akhirnya menentang rezim Orba. Suatu ketika ia menyarankan agar Presiden Suharto bertobat, agar tidak kena HUKUM KARMA. Poncke mengatakan: “Bertobatlah Suharto, kekayaan tanah dan uang tokh tak bisa dibawa ke liang kubur”. Tapi sampai akhir umurnya Suharto tidak mau bertobat!


* * *


Juga mengenai Poncke Princen pandangan kita dengan sementara orang Belanda yang tidak kecil jumlahnya, bertolak belakang, bertentangan 100%.


Bagi kita Poncke Princen adalah sahabat revolusi kemerdekaan Indonesia, sahabat bangsa Indonesia, seorang KAWAN DALAM PERJUANGAN BERSAMA. Ia juga telah jadi warganegara Republik Indonesia,. Yang telah memperoleh BINTANG GERILYA R.I. Ia adalah seorang yang konsisten membela rakyat Indonesia. Apakah itu melawan pemerintah Belanda, ataukah menentang rezim Orba.


Bagi tidak sedikit orang-orang Belanda, terutama dari kalangan militernya, Poncke Peincen adalah pembelot. Adalah desertir yang telah mengkhianati tentara Belanda.


Entah sampai kapan perbedaan ini? Sulit untuk meramalkannya!

Selama mereka-mereka itu masih takut pada masa lampaunya! Seperti ditulis oleh wartawan “de Volkskrant”, Sander van|Walsum dalam kolomnya.


* * *









No comments: