Saturday, March 17, 2012

Siapa “TAKUT” Pada MASA LAMPAU!

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 17 Maret 2012

------------------------------


Siapa “TAKUT” Pada MASA LAMPAU!


Takut” . . . . . . . . malu pada “masa lampaunya” ?
Betul! . Maksudnya takut pada masa lampau gelap mereka yang tercatat dalam sejarah. Takut pada ingatan yang tak mau hilang dari benaknya, mengenai peranannya dulu, yang tercatat sebagai lembaran hitam.


Gejala ini ada di mana-mana! Di kolom ini akan disinggung 'takutnya' tidak sedikit orang Belanda, terutama elite penguasanya, bila diungkap kembali peranan buruk bahkan kejam dan biadab mereka, ketika menguasai negeri kita, Indonesia.


* * *


INDONESIA

Namun, di Indonesia, . . . . . juga tidak sedikit orang-orang seperti itu.


Mereka takut bila 'masa lampau' yang kelam dalam sejarah bangsa, diungkap kembali. Khususnya peristiwa dimana mereka ambil bagian di dalamnya. Sebut saja: Ketika ambil bagian aktif atau ikut-ikutan, dalam kampanye menggulingkan Presiden Sukarno. Ikut mempersekusi dan membantai orang-orang Kiri khususnya PKI. Mereka mereka itu dengan tangkas merebut “kesempatan emas” – “the golden opportunity” yang terbentang di hadapan mereka. Mereka memfitnah saingan atau sahabat sendiri. Tentang kedekatannya dengan PKI atau golongan Kiri lainnya. Dengan tujuan agar aparat militer menggeser yang difitnah itu ke penjara, ke pembuangan atau keliang kubur. Selanjutnya mengkatrol dirinya sendiri menjadi penggede atau pejabat. Berpesta pora di dalam 'band-wagon”nya Orde Baru di bawah Presiden Suharto.


* * *


Mereka-mereka itu, dengan pelbagai dalih tak mau mengingat-ingat atau diingatkan pada 'masa lampau Peristiwa 65'. Ini bukan kejadian biasa. Itu terjadi a.l bahkan di KomnasHAM.


Kalau 'kasus 65' disinggung, apalagi diangkat dijadikan acara resmi. Maka mereka mengancam dengan geram: -- “Apa pembunuhan kiayi-kiayi oleh PKI juga akan diungkap?”. Padahal cerita tentang 'pembumuhan kiayi-kiayi oleh PKI' itu adalah 'rekayasa' fihak aparat semata. Tujuannya adalah mengadu domba antara NU dan PKI. Caranya: Kepada orang-orang NU mereka tunjukkan “daftar PKI” (yang sesungguhnya dibuat oleh aparat), yang memuat nama-nama kiayi-kiayi NU yang akan dibantai oleh PKI. Kepada orang-orang PKI, aparat yang sama itu juga, menunjukkan 'daftar NU' yang juga dibikin oleh aparat sendiri. Yaitu “daftar NU” berisi nama-nama orang-orang PKI yang akan dibunuh Anshor/NU.


Sama halnya mengenai peranan mereka dalam 'peristiwa Tanjung Periuk' , 'peristiwa penghancuran kantor PDI di jalan Diponegoro' (1996), atau 'peristiwa Mei 1998'. Itu samasekali tidak ingin mereka bicarakan. Karena, dalih mereka, itu berarati 'membuka luka-luka' masa lalu.


Ingatan mengenai masa gelap itu ingin sekali mereka lupakan. Mereka merasa risih dan juga takut, kalau pembicaraan menyinggung 'kasus peristiwa 65', atau kasus-kasus lainnya dimana mereka ikut terlibat dalam kekerasan dan pelanggaran HAM berat.


* * *


Tetapi cara apapun yang mereka lakukan untuk 'mempeti-eskan' masa lampau yang kelam, dimana mereka terlibat, 'kasus masa lampau yang gelap' itu akan muncul lagi, dan akan muncul lagi.


Perhatikan pengalaman sejarah negeri-negeri lain, seperti Afrika Selatan, atau Argentina, Chili dan Spanyol misalnya -----


Demikin inilah logika sejarah: --- Sampai saatnya kasus-kasus gelap pada masa lampau itu terungkap sepenuhnya; dan jelas siapa pelaku dan siapa korban, -- serta terhadap yang bersalah diambil tindakan hukum yang setimpal, kasus-kasus itu akan selalu muncul kembali dalam pembicaraan, penelitian, seminar dst.


* * *


BELANDA

Di Belanda juga terjadi hal yang serupa. Sementar orang: TAKUT dengan MASA LAMPAU (kolonialismenya).


Hal itu menyangkut sejarah kolonialisme Belanda terutama di Indonesia. Tetapi juga sekitar “perdagangan budak”. Dalam bahasa Belandanya, “slaven handel”. Penguasa Belanda ketika itu amat terlibat. Belanda (VOC) menjadikan Ghana, Afrika, sebagai pangkalan 'merekrut' budak-budak berkulit Hitam, untuk dijual ke Amerika dan tempat-tempat lain.. Perdagangan budak tsb dilakukan dengan persekongkolan dengan 'raja-raja' dan kepala suku setempat, di Afrika. Juga dengan pedagang-pedagang budak dari sementara negeri Arab.


Taktik kolonialisme ini, --- bersekongkol bahkan bersandar pada penguasa feodal setempat dalam menjalankan penguasaan kolonialnya, memang efektif. Mereka lakukan juga di Indonesia. Multatuli mengungkapnya dalam bukunya berjudul asli dalam bahasa Belanda, "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" . Edisi Indonesia: --"Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda".



Roman ini ditulis oleh Multatuli h a n y a dalam tempo sebulan pada tahun 1859. Yang kemudian karya literair itu dinobatkan oleh kalangan literer Belanda sebagai novel terbesar Belanda saat itu.



Untuk pertama kalinya, seorang pejabat kolonial Belanda, mantan asisten residen Lebak, Banten, dengan menggunakan nama-pena Multatuli, menulis buku yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat di bawah penjajahan Belanda. Ia bercerita tentang penderitaan rakyat di bawah sistim tanam-paksa di daerah Lebak, Banten. Di salah satu bagian bukunya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Kini buku Multatuli, Max Havelaar menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.

Inilah segi lainnya dari Belanda. Di satu fihak ---kasus yang akan segera diungkap – sikap TAKUT MASA LAMPAU sementara orang-orang Belanda. Di lain segi sikap BERANI MENGUNGKAP MASA GELAP KOLONIALISME negerinya senediri.



* * *



Di kolom ini pernah ditulis masalah patung Jan Pieterszoon Coen, mantan gubernur VOC di Indonesia. ( Lihat di http://ibrahimisa.blogspot.com, --- Minggu, 17 Juli 2011, berjudul:



Gubernur Jendral VOC J.P. COEN (1587-1629), -Adalah BAJINGAN PALING BESAR, -- Kata Hati Nurani Orang Belanda).

Salah seorang wartawan Belanda, Eric van de Beek, menulis di s.k nasional Belanda, " De Volkskrant", 12 Juli 2011, 'iemand als Coen hoor je niet te eren'. Terjemahan bebas: 'Orang seperti Coen tak patut dihormati'. Tambah lagi "De tijdomstandigheden waren geen
verzachtende omstadigheden voor de massamoordenaar J.P. Coen'. Artinya, 'Situasi ketika itu, bukanlah sesuatu yang (bisa) meringankan bagi seorang pembantai-massal seperti J.P. Coen'. Eric Van de Beek menegaskan, 'sejarah tanah air kita, tak mengenal bajingan yang lebih
besar lagi' (maksudnya tak ada bajingan yang lebih besar selain JP Coen).



Van de Beek menulis kata-kata seperti tsb sebagai kritik keras pada Dewan Perwakilan Gemeente Hoorn, Holland, yang menolak permintaan dan petisi sebagian masyarakat yang
menuntut agar patung mantan gubernur jendral VOC J.P. Coen di tengah
kota Hoorn itu, disingkirkan dari situ, karena mencemarkan nama (baik)
bangsa Belanda. Patung itu didirikan oleh Gemeente Hoorn sebagai
kenangan ulangtahun ke-300 J.P. Coen.

Dia ( J.P. Coen) mendirikan kota Batavia dengan membakar habis kota Jayakarta. Coen melakukan
pembantaian masal di kepulauan Banda. Hampitr seluruh15.000
penduduk kepulauan Banda habis dibunuh. Coen sendiri mengakuinya.
Tulis Coen: 'De inboorlingen sijn meest allen dood door den oorloch,
aarmoede ende gebreck vergaen. Zeer weynich isse in de omliggende
eilanden ontcomen'.

Sebelum dibangunnya patung Coen di tengah kota Hoorn, hal
itu sudah menjadi masalah. Pada tahun 1887, seorang historikus Belanda
J. A Van der Chijs a.l menulis sbb: Saya ragukan apakah
(dibangunnya patung JP Coen) masih akan diteruskan. (Karena) pada
namanya melekat darah.' Namun, 6 tahun kemudian (1893) patung Coen (
yang sialan itu) berdiri juga di tengah kota Hoorn. Setelah berdirinya
patung Coen disitu, banyak protes diajukan masyarakat. Tidak sedikit
tulisan dan petisi yang dimuat di pers yang memprotes keberadaan patung
JP Coen di tengah kota Hoorn. Tetapi politisi dan penguasa kota Hoorn
berkeras-kepala mempertahankannya. Hal mana menunjukkan bahwa pengaruh
dan kekuatan politik konservatif masih kokoh dikalangan penguasa
Belanda, termasuk di kotapraja Hoorn.

Demonstrasi-demonstrasi diadakan dan bahkan patung Coen disirami cat hitam
dsb. Menunjukkan kemarahan masyarakat Hoorn. Mengapa
'bajingan pembunuh masal' JP Coen diberikan penghormatan dengan
mendirikan patungnya di tengah kota Hoorn. Eric van de Beek: 'Seorang
pembunuh masal tidak patut dihormati, dengan mendirikan patungya dipusat
kota kita'.

Direktur Musium Westfries menyatakan di RTL-Nieuws: ; Dia (Coen) adalah
seorang yang kejam. Tetapi dia(Coen) bukan satu-satunya orang yang
begitu'. Dengan keluhan berat Eric van de Beek menutup tulisannya sbb:
'Sebuah kota Hoorn dengan patung yang diperuntukkan bagi seorang
penjagal-manusia seperti JP Coen: Ini suatu bahan (pemikiran)bagi para
akhli ilmu jiwa'



* * *

KOMPROMI

Ini perkembangan terakhir mengenai konfrontasi antara hati nurani orang-orang Belanda yang menuntut agar patung J.P. Coen disingkirkan dari tengah kota Hoorn, l a w a n . . .. penguasa konservatif reaksioner Dewan Kotapraja Hoorn. Kaum konservatif/reaksioner yang ingin menutupi yang buruk, yang gelap dari masa lampau kolonialisme, -- ingin mempertahankan masa lampau Coen sebagai “pahlawan”, --- serta menutupi kebiadaban Coen sebagai seorang gubernur yang kejam dan biadab.

Coen adalah orangnya yang telah melakukan GENOSIDE terhadap penduduk pulau Banda, pelaksana kekuasaan kolonial Belanda. Tapi Dewan Kotapradja Hoorn TAKUT MASA LAMPAU KOLONIALISME BELANDA YANG BURUK ITU TERUNGKAP.



Beginilah 'stand' terakhir konfrontasi di Hoorn tsb, :



Wartawan Belanda, Peter de Waard dari s.k. “de Volkskrant”, 15 Maret 2012, melaporkan dari Amsterdam: Bahwa Jan Pierterszoon Coen tetap akan dihormati di masa mendatang sebagai pejabat yang bertindak keras dan visionair namun dicela oleh pengkritisi disebabkan oleh tindakan kekerasan ketika memaksakan kebijakan monopoli perdagangan di Hindia (Belanda).



Dewan Kotapraja Hoorn setuju teks penjelasan yang baru, pada kaki patung Coen yang akan tetap berdiri di situ. Diberitakan bahwa di dalam teks baru itu akan tertera mengenai ekspedisi-hukuman yang dilakukan Coen di kepulauan Banda, dimana telah jatuh korban ribuan penduduk Banda dan pulau-pulau lainnya. Juga, katanya, akan tertera di teks itu bahwa menurut para pengkritisi, politik perdagangan yang dijalankan Coen di Nusantara, menjebabkan untuk J.P. Coen tidak patut didirikan sebuah patung peringatan.



* * *

Chris van der Heijden, seorang historikus muda Belanda menyerukan pleidooi, agar dilakukan penulisan sejarah (Belanda) yang j u j u r .

Tulis Chris an der Heijen, sejarah kita telah memaafkan manipulasi. Segi-segi gelap mengenai perkembangan nasion Belanda yang ditandai oleh kepahlawanan boleh dikatkan tidak disinggung samasekali, demikian Chris. Sudah waktunya untu secara formil mengakui lembar-lembar gelap dari sejarah tanah air. Demikian Chris van der Heijden.



* * *



Dari kasus patung J.P. Coen yang berdiri lebih seratus tahun sebagai 'pahlawan' ditengah kota Hoorn, tempat kelahiran Coen, dan konflik dan konfrontasi sekitarnya, menunjukkan dua hal yang nyata:



Pertama ---- di Belanda, masih kuat dan berdominasi pandangan “TAKUT TERHADAP MASA LAMPAU YANG GELAP DALAM SEJARAHNYA”. Dan berkeras hendak menutupinya. Pandangan konservatif dan reaksioner ini terutama berjaya di kalangan penguasa.



Segi kedua --- Dari kasus patung J.P. Coen di kota Hoorn ini, tampak semakin tumbuhnya pandangan-pandangan realis dan progresif mengenai sejarah bangsa Belnda, seperti terjermin pada tulisn wartawan Eric van de Beek dan 'pelidooi' historikus muda Chris van der Heijen.



* * *










No comments: