Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 17 Juli 2012
-----------------------------
EDISI INDONESIA Buku
HARRY POEZE
“TAN MALAKA . . .
. ”
*
* *
Beberapa
waktu yang lalu, belum lama, gembira sekali aku bertemu lagi dengan
sahabat-karibku Harry Poeze. Kutanyakan kepadanya perkembangan baru
mengenai penerbitan edisi Indonesia bukunya berjudul :
“Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949″
“Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949″
“Dihujat
dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia
1945-1949)”.
Harry
Poeze menyampaikan kepadaku, bahwa, edisi Indonesia dari bukunya itu,
akan terbit dalam enam jilid. Dalam tahun 2008 telah diluncurkan di
Jakarta, jilid 1, di bawah judul Tan
Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia. Sementara
itu telah terbit tiga jilid,
Jilid
1: Agustus 1945- Maret 1946 –
Jilid
2: Maret 1946 – Maret 1947 (2009),
Jilid
3, Maret 1947 – Agustus 1948 (2010)
Bab
mengenai Madiun sudah terbit dalam tahun 2011 sebagai: Madiun 1948;
PKI bergerak”.
Dalam
tahun ini akan terbit Jilid 4, a.l. sekitar eksekusinya dan
tanda-tanya (yang saya berikan solusinya), mengenai kematiannya.
Demikianlah
informasi yang kuterima dua pekan y.l dari Harry Poeze sekitar
penerbitan edisi Indonesia dari bukunya tentang Tan Malaka.
Sampai
hari ini tak habis-habisnya rasa kagum, hormat dan penghargaanku pada
HARRY POEZE yang telah menggunakan PULUHAN TAHUN untuk
melakukan studi mengenai salah seorang pemimpin nasionnal Indonesia
TAN MALAKA. Sebegitu jauh belum kita jumpai ada historikus asing
lainnya yang begitu rajin dan tekun dalam kepeduliannya terhadap
SEJARAH BANGSA KITA, seperti yang dilakukan oleh Harry Poeze.
Untuk
'refreshing' sekitar terbitnya buku Harry Poeze tentang Tan Malaka,
di bawah ini disiarkan ulang tanggapanku sekitar buku Harry Poeze
tsb, a.l seperti di bawah ini:
*
* *
TAN MALAKA Oleh HARRY A. POEZETanggal 08 Juni, 2007 pada kesempatan Rapat Tahunan KITLV, di Leiden, diluncurkan karya (luar biasa)
Dr
Harry A. Poeze, kenalan baikku, berjudul:
< VERGUISD EN VERGETEN>
TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945-
1949 -- Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM
TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.
< VERGUISD EN VERGETEN>
TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945-
1949 -- Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM
TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.
Perhatian
terhadap tokoh Tan Malaka cukup besar di kalangan orang-orang
Indonesia, apalagi para
pencinta
sejarah dan sejarawannya. Buku Harry Poeze itu pasti akan disambut
dengan rasa syukur, karena
besarnya
perhatian dan kepedulian pakar Belanda seperti Harry A. Poeze
terhadap masalah sejarah bangsa Indonesia.
Pada presentasi buku dipamerkan foto-foto,dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Juga
diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang padamasa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia.
* * *
KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb:
Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segerasesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah.
Tan Malaka mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulanSeptember 1948 ia bebas.
Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan mengambil tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya;
dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu perhitungan intern.
Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan Malaka.
Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru.
Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai kehidupan Tan Malaka sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku
'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'.
* * *
Harry A. Poeze (lahir 1947) -- adalah Direktur KITLV PRESS – . Ia meraih gelar PhD di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945. Tulisan Harry Poeze yang
terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun artikel mengenai Indonesia.
Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV.
* * *
Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, adalah suatu prestasi yang terpuji. Dengan bukunya itu, Dr. Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka, gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia.
* *
Pada presentasi buku dipamerkan foto-foto,dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Juga
diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang padamasa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia.
* * *
KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb:
Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segerasesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah.
Tan Malaka mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulanSeptember 1948 ia bebas.
Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan mengambil tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya;
dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu perhitungan intern.
Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan Malaka.
Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru.
Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai kehidupan Tan Malaka sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku
'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'.
* * *
Harry A. Poeze (lahir 1947) -- adalah Direktur KITLV PRESS – . Ia meraih gelar PhD di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945. Tulisan Harry Poeze yang
terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun artikel mengenai Indonesia.
Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV.
* * *
Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, adalah suatu prestasi yang terpuji. Dengan bukunya itu, Dr. Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka, gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia.
* *
11
Juni – 2007,
Tak terduga sama sekali bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze.
Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu.
Tak terduga sama sekali bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze.
Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu.
Dengan
diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat
lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta
dedikasinya yang telah menghabiskan
waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3
bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia,
untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.
Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di
Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru.
* * *
Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.
* * *
Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakah orang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia.
Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze.
Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut pikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3.
* * *
Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah pada tokoh Tan Malaka, namun, dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi kongkrit menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta, dan setelah itu. Mengapa misalnya pada saat-saat gawat dan genting, Tan Malaka, yang seumur hidupnya telah melakukan kegiatan politik untuk saat-saat menentukan seperti itu, justru tidak tampak permunculannya.
Sekelumit saja, apa yang disampaikan oleh Hary Poeze tentang situasi menjelang proklmasi dan mengapa pada saat-saat yang genting dan gawat di Indonesia, menjelang kekalahan Jepang dan persiapan di kalangan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari kegiatan persiapan yang dilakukan pada waktu pendudukan Jepang atas persetujuan tentara pendudukan Jepang, agar jangan timbul tuduhan bahwa RI yang diproklamsikan adalah boneka Jepang semata.
Antara lain Poeze menulis: . . . Dimana Tan Malaka ketika ini semua terjadi, dan Republik Indonesia diproklamasikan, suatu realisasi dari cita-cita yang selama puluhan tahun diperjuangkannya? Dari Rengasdengklok, pada tanggal 9 Agustus ia (Tan Malaka) ke Jakarta. Kepastian tentang keberadaannya baru pada sore tanggal 14 Agustus diperoleh ketika ia melapor kepada Sukarni. Apa yang dikerjakannya (Tan Malaka) pada har-hari sebelumnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibawanya atas nama Pemuda Banten? Apakah ia menyampaikannya kepada Chairul Saleh? Tampaknya tidak. Barangkali paling dapat dipahami oleh karena Tan Malaka waspada, oleh karena itu telah gagal mencari kontak. Disebabkan oleh masa lampaunya yang begitu lama sebagai orang buangan, yang terus menerus ada di bawah ancaman penahanan, ke-hati-hatiannya menjadi obsesi dan ia hampir-hampir tidak berani mempercayai siapapun. Ia belum begitu kenal hubungan-hubungan di Jakarta untuk mengetahui dengan siapa ia dapat dengan aman melakukan hubungan, tulis Poeze.
Ditambahkannya: Bisalah dimengeri bahwa ia tidak bisa ambil risiko untuk mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Lalu ditambahkan Poeze bahwa, . . . . demikianlah pada saat-saat historis ini, Tan Malaka dengan pengikut-pengikutnya saling tidak ketemu. Dengan demikian Tan Malaka tidak langsung terlibat dalam merealisasi idam-idaman dan cita-citanya, sesuatu yang tanpa henti-hentinya diperjuangkannya. Demikian antara lain Poeze.
Dengan sedikit saja mengkuakkan yang ditulis oleh Poeze dalam bukunya itu, bisa diketahui, bahwa memang buku Poeze tentang biografi Tan Malaka, bukan hanya menyinggung, tapi, mendalami dan bahkan menganlisis situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan mengemukakan fakta-fakta hasil risetnya, yang sebegitu jauh jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar atau baca sebelumnya.
Menyinggumg masalah dua konsep mengenai perjuangan kemerdekaan: Satu konsep yang dilaksanakan oleh empat serangkai, Sukarno - Hatta - Syahrir - Amir Syarifddin, yang (menurut Poeze) mengutamakan d i p l o m a s i , dan konsep Tan Malaka yang (lagi menurut Poze) mengutamakan p e r j u a n g a n , ternyata pada saat-saat yang menentukan ia (Tan Malaka) kalah. Ditambahkan Poeze bahwa kiri, gerakan komunis dimana Tan Malaka tergabung, ternyata amat berkeping-keping. Lanjut Poeze a.l., ---- Aspirasi Tan Malaka untuk mengambil alih kekuasaan dengan suatu alternatif yang radikal, berakhir pada bulan Maret 1946. Federasi politik PERSATUAN PERJUANGAN-nya Tan Malaka, yang tampaknya tak terkalahkan itu, ternyata hanyalah raksasa yang berkaki lumpur belaka. Demikian antara lain Harry Poeze dalam bukunya.
* * *
Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb:
* * *
Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.
* * *
Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakah orang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia.
Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze.
Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut pikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3.
* * *
Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah pada tokoh Tan Malaka, namun, dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi kongkrit menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta, dan setelah itu. Mengapa misalnya pada saat-saat gawat dan genting, Tan Malaka, yang seumur hidupnya telah melakukan kegiatan politik untuk saat-saat menentukan seperti itu, justru tidak tampak permunculannya.
Sekelumit saja, apa yang disampaikan oleh Hary Poeze tentang situasi menjelang proklmasi dan mengapa pada saat-saat yang genting dan gawat di Indonesia, menjelang kekalahan Jepang dan persiapan di kalangan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari kegiatan persiapan yang dilakukan pada waktu pendudukan Jepang atas persetujuan tentara pendudukan Jepang, agar jangan timbul tuduhan bahwa RI yang diproklamsikan adalah boneka Jepang semata.
Antara lain Poeze menulis: . . . Dimana Tan Malaka ketika ini semua terjadi, dan Republik Indonesia diproklamasikan, suatu realisasi dari cita-cita yang selama puluhan tahun diperjuangkannya? Dari Rengasdengklok, pada tanggal 9 Agustus ia (Tan Malaka) ke Jakarta. Kepastian tentang keberadaannya baru pada sore tanggal 14 Agustus diperoleh ketika ia melapor kepada Sukarni. Apa yang dikerjakannya (Tan Malaka) pada har-hari sebelumnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibawanya atas nama Pemuda Banten? Apakah ia menyampaikannya kepada Chairul Saleh? Tampaknya tidak. Barangkali paling dapat dipahami oleh karena Tan Malaka waspada, oleh karena itu telah gagal mencari kontak. Disebabkan oleh masa lampaunya yang begitu lama sebagai orang buangan, yang terus menerus ada di bawah ancaman penahanan, ke-hati-hatiannya menjadi obsesi dan ia hampir-hampir tidak berani mempercayai siapapun. Ia belum begitu kenal hubungan-hubungan di Jakarta untuk mengetahui dengan siapa ia dapat dengan aman melakukan hubungan, tulis Poeze.
Ditambahkannya: Bisalah dimengeri bahwa ia tidak bisa ambil risiko untuk mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Lalu ditambahkan Poeze bahwa, . . . . demikianlah pada saat-saat historis ini, Tan Malaka dengan pengikut-pengikutnya saling tidak ketemu. Dengan demikian Tan Malaka tidak langsung terlibat dalam merealisasi idam-idaman dan cita-citanya, sesuatu yang tanpa henti-hentinya diperjuangkannya. Demikian antara lain Poeze.
Dengan sedikit saja mengkuakkan yang ditulis oleh Poeze dalam bukunya itu, bisa diketahui, bahwa memang buku Poeze tentang biografi Tan Malaka, bukan hanya menyinggung, tapi, mendalami dan bahkan menganlisis situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan mengemukakan fakta-fakta hasil risetnya, yang sebegitu jauh jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar atau baca sebelumnya.
Menyinggumg masalah dua konsep mengenai perjuangan kemerdekaan: Satu konsep yang dilaksanakan oleh empat serangkai, Sukarno - Hatta - Syahrir - Amir Syarifddin, yang (menurut Poeze) mengutamakan d i p l o m a s i , dan konsep Tan Malaka yang (lagi menurut Poze) mengutamakan p e r j u a n g a n , ternyata pada saat-saat yang menentukan ia (Tan Malaka) kalah. Ditambahkan Poeze bahwa kiri, gerakan komunis dimana Tan Malaka tergabung, ternyata amat berkeping-keping. Lanjut Poeze a.l., ---- Aspirasi Tan Malaka untuk mengambil alih kekuasaan dengan suatu alternatif yang radikal, berakhir pada bulan Maret 1946. Federasi politik PERSATUAN PERJUANGAN-nya Tan Malaka, yang tampaknya tak terkalahkan itu, ternyata hanyalah raksasa yang berkaki lumpur belaka. Demikian antara lain Harry Poeze dalam bukunya.
* * *
Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb:
Dari
halaman-halaman buku ini ternyata, Tan Malaka selain sebagai pelaku
dalam percaturan politik juga kemudian menjadi lambang - suatu
lambang yang oleh pengikut-pengiutnya dimulyakan dan oleh orang-orang
yang untuk sementara bersamanya, digunakan sebagai lambang berguna
dan oleh penentang-penentangnya sebagai lambang yang
dihujat.
Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA.
Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti.
* * *
Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA.
Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti.
* * *
13
Juni 2007.
Belum
disebut tentang awal acara yang amat mengesankan dan mengharukan.
Ketika itu diperdengarkan (live) lagu historis-revolusioner, 'DARAH
RAKYAT'. Memang pas acara itu dipasang di depan. Bukankah perhatian
pada sore itu difokuskan pada TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia?
*
* *
Baru
saja kuterima lagi tanggapan-tanggapan berkenaan dengan bedah buku
Harry Poeze mengenai Tan Malaka. Dari Indonesia, seorang kawan tua
menyampaikan kegembiraaanya. Ia cerita, bahwa di Jakarta masih
cukupan orang-orang yang punya rasa hormat pada Tan Malaka. Begitu
mengetahui bahwa sudah terbit buku baru tentang Tan Malaka, mereka
segera saling bertanya-tanya, kapan edisi Indonesia atau edisi
Inggris diterbitkan.
Mengenai dimuatnya f o t o Ir S e t i a d i , tapi teks dibawahnya nama SETIADJIT, yang dimaksudkan adalah memasang foto Setiadjit di situ. Dalam emailnya kepadaku, Poeze memastikan bahwa dalam edisi Indonesia nanti, kekeliruan itu akan diralat. Menurut Poeze foto itu dipesan dari IPPHOS (Jakarta) dalam tahun 1980. Jelas, IPPHOS salah kirim. OK! ---- yang penting ialah bahwa, kekeliruan itu akan diralat secepat mungkin.
Mengenai dimuatnya f o t o Ir S e t i a d i , tapi teks dibawahnya nama SETIADJIT, yang dimaksudkan adalah memasang foto Setiadjit di situ. Dalam emailnya kepadaku, Poeze memastikan bahwa dalam edisi Indonesia nanti, kekeliruan itu akan diralat. Menurut Poeze foto itu dipesan dari IPPHOS (Jakarta) dalam tahun 1980. Jelas, IPPHOS salah kirim. OK! ---- yang penting ialah bahwa, kekeliruan itu akan diralat secepat mungkin.
*
* *
Poeze
menanyakan bagaimana kesanku mengenai dinyanyikannya lagu DARAH
RAKYAT, dalam acara peluncuran tanggal 08 Juni itu. Memang, lagu
Darah Rakyat yang dinyanyikan oleh seorang wanita muda, mungkin
mahasiswa Universitas Leiden, dengan iringan jukelélé, tambah lagi
latar belakang musik yang diputar dari CD. . . . . . Aduuh, . . . .
memang indah dan mengharukan! Bersemangat dan menyemangati!.
Mendengar lagu Darah Rakyat bergema di ruang pertemuan, ingatan segera meluncur jauh ke masa Revolusi 1945. Ketika itu lagu Darah Rakyat dan banyak lagu progresif-revolusioner lainnya, dinyanyikan dan terdengar dimana-mana, khususnya di kalangan para pejuang perang kemerdekaan.
Namun, lagu Darah Rakyat, seperti halnya dengan puluhan lagu-lagu progresif dan revolusioner lainnya yang tidak sedikit penciptanya adalah para budayawan LEKRA, --- pada periode rezim Jendral Suharto, DILARANG KERAS! Pokoknya rakyat Indonesia hanya boleh mendengar lagu, yang oleh seniman dan pendukung Orba dianggap indah dan baik.
Nah, pada tanggal 08 Juni, 2007 itulah, di LAK-theater Universitas Leiden, lagu Darah Rakyat diperdengarkan lagi. Hadirin dengan tekun dan asyik mendengarkan. Dalam hati mereka, bisa dibayangkan, akan ada yang berkomentar dalam bahasa Belanda: ONGELOOFLIJK, GEWELDIG! TAK BISA TERBAYANGKAN', -- LUAR BIASA!. Bahwa lagu revolusioner DARAH RAKYAT diperdengarkan di Leiden, di LAK-theater Universitas Leiden. Lagu Darah Rakyat kudengar terakhir di Indonesia sebelum Presiden Sukarno digulingkan oleh Jendral Suharto.
Mari kita telusuri lirik lagu
Mendengar lagu Darah Rakyat bergema di ruang pertemuan, ingatan segera meluncur jauh ke masa Revolusi 1945. Ketika itu lagu Darah Rakyat dan banyak lagu progresif-revolusioner lainnya, dinyanyikan dan terdengar dimana-mana, khususnya di kalangan para pejuang perang kemerdekaan.
Namun, lagu Darah Rakyat, seperti halnya dengan puluhan lagu-lagu progresif dan revolusioner lainnya yang tidak sedikit penciptanya adalah para budayawan LEKRA, --- pada periode rezim Jendral Suharto, DILARANG KERAS! Pokoknya rakyat Indonesia hanya boleh mendengar lagu, yang oleh seniman dan pendukung Orba dianggap indah dan baik.
Nah, pada tanggal 08 Juni, 2007 itulah, di LAK-theater Universitas Leiden, lagu Darah Rakyat diperdengarkan lagi. Hadirin dengan tekun dan asyik mendengarkan. Dalam hati mereka, bisa dibayangkan, akan ada yang berkomentar dalam bahasa Belanda: ONGELOOFLIJK, GEWELDIG! TAK BISA TERBAYANGKAN', -- LUAR BIASA!. Bahwa lagu revolusioner DARAH RAKYAT diperdengarkan di Leiden, di LAK-theater Universitas Leiden. Lagu Darah Rakyat kudengar terakhir di Indonesia sebelum Presiden Sukarno digulingkan oleh Jendral Suharto.
Mari kita telusuri lirik lagu
DARAH
RAKYAT
DARAH
RAKYAT Darah rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim Rakyat yang menjadi hakim Ayuh, ayuh
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim Rakyat yang menjadi hakim Ayuh, ayuh
Ref:
Bergerak! Sekarang!
Kemerdekaan sudah datang
Merahlah panji-panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat
Entah apa sebabnya, ketika mendengar lagu tsb dinyanyikan oleh seorang perempuan Kaukasus dengan iringan jukulélé, yang dua-duanya itu adalah orang Bulé, hari Jumat pekan lalu itu, berdiri bulu kudukku!
Bergerak! Sekarang!
Kemerdekaan sudah datang
Merahlah panji-panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat
Entah apa sebabnya, ketika mendengar lagu tsb dinyanyikan oleh seorang perempuan Kaukasus dengan iringan jukulélé, yang dua-duanya itu adalah orang Bulé, hari Jumat pekan lalu itu, berdiri bulu kudukku!
*
* *
Dengan
membaca buku Harry Poeze, siapa saja akan menemukan begitu banyaknya
data dan fakta yang dkumpulkan, distudi, disusun dan diteliti oleh
Poeze menyangkut Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.
Sebagai ilustrasi, untuk memperoleh sedikit gambaran mengenai isi
buku Harry Poes, mari ikuti bagian-bagian tertentu dari bagian
PENUTUP (Slot) dari bukunya. Tulis Harry Poeze a.l. : --
Pendukungnya
(Tan Malaka) mengalami kekalahan dalam urusan yang mereka
perjuangkan, orang-orang yang (tadinya) bersama dia meninggalkannya
sebagaimana biasa berlaku dalam oportunisme-politik, dan
penentang-penentangnya membuangnya ke dalam keranjang sampah sejarah.
Pelecehan dan tuduhan, dengan begitu perlahan-lahan memberikan
tempatnya pada pembisuan. -- ia (Tan Malaka) disingkirkan dari
sejarah. ---
Apakah peranan (Tan Malaka) tak ada artinya, (karena) dari seorang 'renegat Trotskis', bagi siapa setiap perhatian dianggap memberikan kemulyaan yang berkelebihan, (atau) apakah malah justru penting? Dalam Republik Indonesia yang lemah, secara kebetulan, ia (Tan Malaka) , disebabkan oleh suatu kebetulan, oleh nasib sial, tidak memperoleh peranan samasekali pada saat-saat Proklamasi. Peranan serupa itu bisa besar - - nama dan kemasyhurannya adalah legendaris.
Sukarno mengakuinya sebagai seorang guru, seseorang yang lebih dari dirinya dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Sayangnya tak terjadi seperti itu, tetapi nyatanya baru beberapa minggu kemudian Tan Malaka mendapat tempatnya di coterie Jakarta yang memimpin Republik pada taraf sentral. Selain itu ia mempengaruhi aksi-aksi di basis. Namun 'revolusi sosial' di Banten dengan cepat macet dalam ketiadaan rarah. Dan 'revolusi sosial' di Banten tidak berdiri sendiri. Di Jakarta ia (Tan Malaka) terlibat dengan pengorganisasian rapat raksasa tanggal 19 September (1945) dan disitu Sukarno memanifestasikan kekagumannya dalam sebuah Testamen Politik, yang isinya agak diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka.
Ini terutama disebabkan oleh hal-hal yang berasal dalam kepribadiannya sendiri, yang ditandai oleh lebih dari duapuluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakam oleh orang-orang dekatnya, ia (Tan Malaka) tidak lagi cocok untuk hidup sebagai orang yang 'normal'.
Langgam-hidup keduanya telah menghalanginya untuk bertindak efektif. Jika ia dapat mengatasinya, maka, ia adalah seorang pembicara yang luarbiasa, yang membangkitkan kesetiaan dan kepercayaan besar di kalangan pengikutnya - perasaan-perasaan yang puluhan tahun sesudah ia mati, masih saja berlangsung terus sedikitpun tak berkurang.
* * *.
Masih cukup banyak hal-hal penting dan menarik yang mengimbau pembaca ke arah pemikiran yang lebih luas dan mendalam mengenai peristiwa dan masalah sejarah bangsa kita. Baik itu yang berkenaan dengan biografi dan kegiatan Tan Malaka, begitupun mengenai peristiwa dan fakta-fakta mengenai Gerakan Kiri dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Juga membuka fikiran bagi siapapun yang ingin meninjau kembali, menstudi kembali pemikiran ataupun penyimpulannya mengenai Tan Malaka, peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dan mengenai Gerakan Kiri di Indonesia. Tidak meleset kiranya pilihan yang diambil Poeze untuk bukunya itu. Bukankah di satu fihak ia membuka wawasan yang lebih luas lagi mengenai peristiwa dan fakta sekitar peranan Tan Malaka, Gerakan Kiri dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dewasa ini generasi muda kita, para pemerhati, penggelut, penstudi dan peduli sejarah bangsa tanpak mulai pulih dari kedunguan dan ke-masabodoh-an mental sebagai akibat dari kebidjaksanaan otoriter Orba di bidang ilmu dan pengetahuan sejarah. Bagi Orba fakta dan kebenaran sejarah sudah diplintir sedemikian rupa, kemudian dijejalkan sebagai kebenaran satu-satunya. Oleh karena itu, buku sejarah seperti yang ditulis oleh Poeze, merupakan dorongan positsif ke arah pencerahan, berani berfikir dengan bebas, obyektif dan adil terhadap jutaan fakta-fakta yang diketahui dan masih belum terungkap mengenai sejarah bangsa ini.
Apakah peranan (Tan Malaka) tak ada artinya, (karena) dari seorang 'renegat Trotskis', bagi siapa setiap perhatian dianggap memberikan kemulyaan yang berkelebihan, (atau) apakah malah justru penting? Dalam Republik Indonesia yang lemah, secara kebetulan, ia (Tan Malaka) , disebabkan oleh suatu kebetulan, oleh nasib sial, tidak memperoleh peranan samasekali pada saat-saat Proklamasi. Peranan serupa itu bisa besar - - nama dan kemasyhurannya adalah legendaris.
Sukarno mengakuinya sebagai seorang guru, seseorang yang lebih dari dirinya dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Sayangnya tak terjadi seperti itu, tetapi nyatanya baru beberapa minggu kemudian Tan Malaka mendapat tempatnya di coterie Jakarta yang memimpin Republik pada taraf sentral. Selain itu ia mempengaruhi aksi-aksi di basis. Namun 'revolusi sosial' di Banten dengan cepat macet dalam ketiadaan rarah. Dan 'revolusi sosial' di Banten tidak berdiri sendiri. Di Jakarta ia (Tan Malaka) terlibat dengan pengorganisasian rapat raksasa tanggal 19 September (1945) dan disitu Sukarno memanifestasikan kekagumannya dalam sebuah Testamen Politik, yang isinya agak diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka.
Ini terutama disebabkan oleh hal-hal yang berasal dalam kepribadiannya sendiri, yang ditandai oleh lebih dari duapuluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakam oleh orang-orang dekatnya, ia (Tan Malaka) tidak lagi cocok untuk hidup sebagai orang yang 'normal'.
Langgam-hidup keduanya telah menghalanginya untuk bertindak efektif. Jika ia dapat mengatasinya, maka, ia adalah seorang pembicara yang luarbiasa, yang membangkitkan kesetiaan dan kepercayaan besar di kalangan pengikutnya - perasaan-perasaan yang puluhan tahun sesudah ia mati, masih saja berlangsung terus sedikitpun tak berkurang.
* * *.
Masih cukup banyak hal-hal penting dan menarik yang mengimbau pembaca ke arah pemikiran yang lebih luas dan mendalam mengenai peristiwa dan masalah sejarah bangsa kita. Baik itu yang berkenaan dengan biografi dan kegiatan Tan Malaka, begitupun mengenai peristiwa dan fakta-fakta mengenai Gerakan Kiri dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Juga membuka fikiran bagi siapapun yang ingin meninjau kembali, menstudi kembali pemikiran ataupun penyimpulannya mengenai Tan Malaka, peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dan mengenai Gerakan Kiri di Indonesia. Tidak meleset kiranya pilihan yang diambil Poeze untuk bukunya itu. Bukankah di satu fihak ia membuka wawasan yang lebih luas lagi mengenai peristiwa dan fakta sekitar peranan Tan Malaka, Gerakan Kiri dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dewasa ini generasi muda kita, para pemerhati, penggelut, penstudi dan peduli sejarah bangsa tanpak mulai pulih dari kedunguan dan ke-masabodoh-an mental sebagai akibat dari kebidjaksanaan otoriter Orba di bidang ilmu dan pengetahuan sejarah. Bagi Orba fakta dan kebenaran sejarah sudah diplintir sedemikian rupa, kemudian dijejalkan sebagai kebenaran satu-satunya. Oleh karena itu, buku sejarah seperti yang ditulis oleh Poeze, merupakan dorongan positsif ke arah pencerahan, berani berfikir dengan bebas, obyektif dan adil terhadap jutaan fakta-fakta yang diketahui dan masih belum terungkap mengenai sejarah bangsa ini.
*
* *
Tanggapan
harian berbahasa Inggris: THE JAKARTA POST,
Harry A. Poeze: The chronicler of Tan Malaka
The Jakarta Post, Jakarta, -- Tue, November 25, 2008
Harry A. Poeze is a Dutch
historian who has dedicated half his life to unraveling the mysteries
surrounding Tan Malaka, an obscure Indonesian hero once vilified and
forgotten by the nation whose independence he had fought for.
An avid reader of history books, young Poeze was
fascinated by stories of the early Dutch settlers in the archipelago,
although they taught him about little more than the famous Dutch hero
Jan Pieterszoon Coen -- a villain in the eyes of Indonesians.
Not until he studied politics at the University of Amsterdam in the 1970s and became infatuated with the flowering nationalist movement in early 20th century Indonesia did he become aware of Tan Malaka, who once lived in the Netherlands and became the first Indonesian to run for a seat in the Dutch parliament.
At the time, he recalled, Tan Malaka's name appeared occasionally in some history books written by Dutch historians. He was then -- and is probably even today -- overshadowed by politicians such as Sukarno or Sjahrir.
There was not much information on the Marxist thinker, Poeze said. The man was probably considered insignificant in Indonesia's history.
Historians were unsure even about his whereabouts during the decisive period that led the country to independence, let alone his role in the revolution.
"Sometimes they (Dutch historians) mentioned the name of Tan Malaka. He might have been there, he probably did this," Poeze told The Jakarta Post at a recent interview at the office of his publisher, Yayasan Obor Indonesia.
Poeze then wrote a dissertation on Tan Malaka, which was published in 1976 under the title Tan Malaka Strijder voor Indonesie's vrijheid: Levensloop van 1897 tot 1945 (Tan Malaka, a Fighter for Indonesian Freedom: Life from 1897 to 1945).
It was not too difficult for him to write Tan Malaka's life up to 1945 as the "lonely fighter" had written an autobiography while in exile.
The holy grail for Poeze's research would then be Tan Malaka's political activities during and after the 1945 proclamation of independence.
Poeze visited Indonesia a few times, but only to return to his homeland without any worthwhile findings. Not until the 1980s, after meeting with Tan Malaka's former secretary, did he manage to shed some light on the hero's political activities during the revolution.
However, he was then appointed the publications director of The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), leaving him only one day a week to work on his research.
After decades of researching and writing, he finally published a book -- 2,200 pages divided into three volumes -- in which he argues that the exiled Marxist politician played an important role in the revolution before his death at the hand of an Indonesian soldier in 1949.
The book, titled Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de links beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945-1949 (Vilified and Forgotten: Tan Malaka, the Leftist Movement and the Indonesian Revolution, 1945-1949), is now being translated into Indonesian.
The Indonesian version will be released in six volumes, the first of which was launched recently at a gathering of a large number of Tan Malaka's supporters, predominantly young people.
"Many Indonesians helped me to write the book. It is only a token of my appreciation to them that I want my books to be translated into Indonesian and to be used as a source of understanding of what transpired at the beginning of the revolution," he said.
The publisher, Yayasan Obor Indonesia, said the public enthusiasm for the translation was extraordinary, as indicated by large number of people attending the launch event.
But Poeze was not entirely surprised.
He said he was aware of the increasing recognition for Tan Malaka, who has become a cult figure comparable to Che Guevara among Indonesian youth following the fall of iron-fisted leader Soeharto.
Controversially dubbed "The Father of Development", Soeharto persistently demonized Tan Malaka for his leftist and radical thoughts, striking his name from the pages of history while he was in power.
Poeze recalled how he had to trick librarians and archive staff to get important documents during the New Order regime.
"I always said I was researching the Indonesian revolution, which was true of course. But I never mentioned the name of Tan Malaka because if I mentioned him, they would say, *No, no, you can't write about Tan Malaka. This is a touchy and sensitive issue'," he said.
Soeharto's dictatorship was only one of many obstacles. Another huge problem was the rumors, myths and legends surrounding the life of Tan Malaka, a charismatic, self-effacing figure who chose to live underground.
"There were about 20 versions of his death and to write one of them was difficult," he said.
One man, he said, claimed to have shot the forgotten hero, but he was convinced the claim was at best erroneous. "He did shoot someone whom he thought was Tan Malaka.
"You must be like a detective," he quipped.
The eyewitnesses he interviewed in the 1980s had mostly died and some of the important documents he acquired in Yogyakarta have since been lost. His research, he said, thus could not be repeated.
Since the collapse of the Soviet Union, Poeze has been able to collect new materials -- including articles Tan Malaka anonymously wrote for international Communist newspapers -- to revise his dissertation.
Poeze's son, who married an Indonesian woman, is now running an Indonesian restaurant in Haarlem in the Netherlands, which is, coincidentally, only 100 meters from Tan Malaka's house while he was studying there, in "the land of the colonizers".
Asked for his personal opinion on the Indonesian hero, the 62-year-old said the man was admirable, "but he made a lot mistakes".
"History is written by the winner and Tan Malaka was continuously the loser," said the jovial Dutch
No comments:
Post a Comment