Wednesday, June 2, 2010

*YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS SRI MULYANI

    Kolom IBRAHIM ISA

    Jum'at, 28 Mei 2010

    -----------------------------

    YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS Mantan MENKEU SRI MULYANI INDRAWATI

    Sri Mulyani Indrawati, mantan Menkeu RI, beberapa bulan belakangan ini --- menjadi fokus pemberitaan media di Indonesia. Namanya dikaitkan, bahkan dianggap ikut bertanggungjawab dengan kasus (manipulasi) di Bank Century. Begitu ramainya masalah ini menjadi berita dan komentar, tetapi ketika ia 'mundur' dari jabatannya sebagai Menkeu atas ''kemauannya sendiri”, -- 'hiruk-pikuk' itu tiba-tiba mereda dan 'cep' tidak ada ceritanya lagi. Orang Belanda ada ungkapan khas untuk kejadian 'rame-rame' sekitar Sri Mulyani. Itu sperti 'Storm in een glas water'. 'Taufan dalam segelas air'. Tetapi apa sih pasalnya? Untuk kasus seperti itu, ada juga ungkapan Belanda: “Helder als koffie-dik” – “Jernih seperti kopi yang kental”.


Tetapi, -- apakah kasus Sri Mulyani itu memang benar “Storm in een glas water”? Dan apakah betul 'Helder als koffie-dik?”.


Mengikuti berita-berita sekitar kasus Sri Mulyani dan tindak-tanduknya sebagai Menteri Keuangan RI selama kurang lebih 5 tahun belakangn ini, rasanya kok tak tampak tanda-tanda bahwa Sri Mulyani sebagai Menkeu melakukan korup, memanipulasi uang negara atau bertindak sebagai seorang 'nepotis'. Tak pernah ada kedengaran ada saksi ataupun bukti-bukti mengenai hal itu. Jadi, -- apa soalnya? Kok begitu ribut sekitar Sri Mulyani?


Kutanyakan kesana-kemari. Terutama kepada relasi yang punya pengetahuan ekonomi dan keuangan. Di beberapa s.k. Indonesia juga di luar Indonesia, tampaknya tokoh Sri Mulyani diebut sebagai Menkeu RI, -- dikatakan bahwa ia seorang REFORMIS. Yang punya rencana dan program serta mulai melaksanakannya sekitar PEMASUKAN PAJAK. Ketika Sang Menteri mulai bertindak dengan kebijaksanaan tsb ada sementara kalangan bisnis kakap Indonesia yang 'TERKENA'. Ini menimbulkan kemarahan dari kalangan tsb. Inilah tampaknya yang jadi 'asal-muasal' ramé-ramé ingin menyeret ke pegadilan atau mendongkel Sri Mulyani dari jabatannya yang strategis itu.


Kalau masalahnya adalah maksud kalangan elite tertentu untuk mendongkel (dan sudah berhasil) Sri Mulyani dari jabatannya dan menggantikannya dengan pejabat yang tidak 'berani-berani' mengutak-atik kepentingan kalangan bisnis/politikus yang 'powerful' tsb, maka ungkapan ' storm in een glas water' tsb kurang sesuai adanya.


Melihat, suasana perpolitikan Indonesia begitu cepat mereda sesudah Sri Mulyani 'turun tachta' dan pindah ke Washington, – – – kiranya kuatlah alasan yang menyatakan bahwa 'ramé-ramé' itu, soalnya ialah UNTUK MENYINGKIRKAN Sri Mulyani dari Kementerian Keuangan. Ada sementara elit bisnis/poltikus kakap yang merasa risih 'borok-boroknya' akan terungkap selama Sri Mulyani masih Menkeu RI.


* * *


Dua orang terkemuka di Indonesia: – – – Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, budayawan GOENAWAN MOHAMMAD, -- dan publisis/penulis, mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, WIMAR WITULAR, angkat bicara. Goenawan Mohammad bicara dan Wimar Witular menulis.


Dalam respons mengenai pidato Goenawan Mohammad, sudah kusampaikan kepadanya, al : “Esay Bung itu bagus. Aku senang membacanya. Karena ditulis dengan lugu dan berani. 'Apa adanya'! To call a spade a spade!”


Sebagai bahan petimbangan hari ini kupublikasikan di ruangan ini, esay Goenawan Mohammad berjudul MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI. Dari tulisannya Goenawan Mohammad menujukkan bahwa ia kenal siapa Sri Mulyani. Pada malam perpisahan ia mengucapkan kata-kata perpisahan berikut ini:


* * *


MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI

    MALAM ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani.

    Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah".

    Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah".

    Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita-bukan "kita" sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.

    Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi.

    Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan-sebuah metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.

    Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.

    Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang diganggu akan selanjutnya diproteksi.

    Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang dipertaruhkan-dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat.

    Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.

    Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.

    Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi karena direcoki terus-menerus.

    Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan, perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.

    Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.

    Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.

    TAPI saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari rasa risau.

    Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang-harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.

    Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli keputusan-bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar yang bernama "korupsi" itu?

    Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci-yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat dulu.

    Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih mampukah dia?

    Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya-sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.

    Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri Keuangan yang tangguh ini.

    Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang lemah.

    Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.

    Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?

    Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.

    Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus Senayan-terutama para pencari dan penadah suap-mencoba membuat KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.

    Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis tertentu-ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat kabinet dan DPR sekaligus.

    Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme, parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.

    Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan terjadi adalah hilangnya sebuah momentum-yakni momentum gerakan nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.

    Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis.

    Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa diperbaiki lagi-yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap saling percaya dalam masyarakat.

    Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme-dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.

    Sinisme ini racun-dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.

    Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.

    Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit, tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat terguncang.

    Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah-dan dalam pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah. Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.

    Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia," itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.

    Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan: "You shall return."

    - Pidato pada malam perpisahan dengan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, 19 Mei 2010

1 comment:

Ditta said...

Kalau saya pribadi memang dari Kasus KPK sudah tercium adanya pergerakan Mafia Korupsi. Saya urutkan semua kejadian hingga yang terakhir adalah turunnya Ibu Sri Mulyani. Saya tidak tahu akan kemana arah negeri ini kalau orang-orang yg punya niat baik membangun negara ini satu per satu dihantam oleh Mafia Korupsi (dimanapun mereka berkedudukan). Yang saya khawatirkan justru mereka yang duduk di parlemen menyuarakan kepentingan rakyat malah terjerumus oleh "invisible hand" para mafia korupsi. Bagaimana ya nasib bangsa ini Pak?