Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 15 Mei 2012
-----------------------------
25 Tahun “DIAN”
<1987-2012>
Organisasi Wanita
Indonesia di Belanda
Dengan
perempuan yang berkesedaran berorganisasi, seperti“DIAN”,
kita berusaha , dengan jalan lain meneruskan perjuangan perempuan
Indonesia . . . . Demikian dijelaskan Francisca Pattipilohy, salah
seorang pemrakarsa dan pendiri “DIAN” mengenai didirikannya
“DIAN” di Belanda dalam tahun 1987 . Maka anggota-anggota “DIAN”
ketika didirikan adalah mereka yang pernah anggota di salah satu
organisasi massa perempuan di Indonesia.
“Duapuluh-limatahun
yang lalu (1987), “DIAN” dirikan di negeri Belanda, dalam situasi
kekuasaan Presiden Suharto masih sangat kuat dengan politiknya yang
anti demokrasi, anti keadilan dan melanggar hak azasi manusia”,
--- demikian ditegaskan oleh Francisca Fanggidaej, salah seorang
pemrakarsa dan pendiri “DIAN”. Francisca Fanggidaej adalah
mantan anggota DPR da Ketua Kantor Berita Nasional “INPS” pada
periode pemerintahan Presiden Sukarno.
“Lahirnya
“DIAN”, lanjut Francisca, “merupakan tanda bahwa kita sebagai
aktivis dan pejung tidak menyerah pada keadaan, tidak menyerah pada
nasib sebagai korban yang dipaksakan oleh kekuasaan Suharto. “DIAN”
telah ambil bagian dalam kegiatan-kegaiatan di negeri Belanda yang
menyokong usaha untuk tercapainya demokrasi dan keadilan di
Tanah-air. Antara lain dengan menjalin kerjasama dengan Komite
Indonesia di negeri Belanda, dengan instansi-instansi Belanda
tertentu dan juga dengan beberapa organisasi wanita Belanda yang maju
serta organisasi-organisasi masyarakat Indonesia yang senasib di
negeri Belanda.
“Pendiri-pendiri
“DIAN” juga memberikan informasi tentang perkembangan situasi
di Indonesia dalam bentuk pertemuan-pertemuan atau
wawancara-wawancara untuk menyingkapkan adanya kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh kekuasaan Suharto. Bisa dikatakan
bahwa “DIAN” tidak apatis, tidak tinggal diam dan tidak terpisah
dari perkembangan situasi di Indonesia”. Demikian F. Fanggidaej.
Dalam
bentuk yang terbatas, “DIAN” di negeri Belanda, memberikan
sumbangan menurut kemampuan pada perjuangan kaum perempuan di tanah
air. Selain itu ikut memberikan sumbangan pada usaha sosial dan
pendidikan di Indonesia. Juga memberikan sumbangan solidaritas
berkenaan dengan musibah bencana alam di tanah air, seperti bencana
alamTSUNAMI, gempa bumi dan musibah gunung berapi.
*
* *
Ceramah
NURSYAHBANI KATJASUGKANA dan RATNA SAPTARI memberikan isi peneting
pada ULTAH-25 “DIAN”
Duapuluh-lima
tahun “DIAN”, merupakan periode yang meyakinkan bahwa
organisasi perempuan tsb punya pengalaman dan hak eksistensi
selanjutnya. Oleh karena itu hari yang bermakna itu oleh pengelola
organisai “DIAN”, dengan kordinator Aminah Indris dan Tuti
Supangat, diperingati pada tanggal 13 Mei 2012, di Gedung Sekolah
Schakel di Diemen, dengan sebuah pertemuan yang berarti, sukses dan
meriah.
Tidak
sekadar berkumpul untuk bersilaturahmi. Tetapi juga khusus mengundang
NURSYABANI KATJASUNGKANA,
Koordinator pada LBH APIK di Indonesia. Nursyahbani memberikan uraian
yang menarik dan cukup rinci berserta contoh-contoh kongkrit yang
dialaminya sendiri, sekitar Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum dan
Sesudah Reformasi.
Nursyahbani
menyoroti situasi sejak pembubaran PKI dan Gerwani pada tahun 1965.
Dimana pemerintah Orba melakukan kontrol ketat terhadap semua gerakan
sosial-progresif antara lain dengan peng-asas-tunggalan. Untuk
kelompok perempuan ditambah dengan diberlakukannya kebiaakan
domestikasi baik melalui hukum, ideologi dan organisasi.
Setelah
Reformasi dan diberlakukannya desentralisasi, terdapat kebebasan pers
dan berorganisasi dan kelompok fundamentalis juga memperoleh ruang
untuk berkembang.
Pada
titik ini kelompok perempuan menghdapi banyak tantangan antara lain
karen agama dan budaya digunakan secara resmi untuk mengontrol tubuh
dan seksualitas perempuan guna kembali menarik perempuan dari arena
politik. Karena itu
sebuah platform bersama mesti dibuat untuk mempersatukan gerakan
menuju kesetaraan dan keadilan sosial.
Ceramah
Nursyahabani Katjasungkana, yang diikuti dengan penuh perhatian oleh
sekitar 100 lebih hadirin yang memenuhi undangan “DIAN” untuk
memperingati 25 tahun berdirinya organisasi perempuan Indonesia di
Belanda tsb.
Uraian
Nusyahbani selanjutnya membawa perhatian hadirin pada masalah dan
perkembangan a.l.
**
Bahwa Kekuasaan Orba dibangun antara lain dengan mengeksploitasi
issue gender dan seksualitas perempuan. Perempuan dimanfaatkan untuk
mempertahankan kekuasaan dan untuk membangun image internsdional.
Respons
dari kelompok perempuan terhadap kebijakan dan politik Orba terhadap
perempuan a.l. Yang penting dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sbb:
--
Dengan gerakan sporadis pro petani dan buruh / OTB.
--
YASANTRI 1982 – dengan Forum Buruh Perempuan
--
Kalayamitra 1984, informasi dan dokumentasi
--
Perempuan MAHARDIKA dll
--
Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia 1989-1990
--
Solidaritas Perempuan 1990 – ormas/perkumpulan Terbatas
--
LBH APIK 1995 – Perkumpulan Terbatas
--
Kelompok-kelompok atau yayasan-yayasan yang bergerak di bidang
ekonomi (usaha bersama, koperasi dll).
*
* *
Jelas
sekali dari uraian Nursyabani dan Ratna Saptari, bahwa perempuan
Indonesia, tidak tinggal diam dan tidak tunduk di bawah persekusi dan
pembatasan serta penindasan rezim Orba. Dengan pelbagai cara dan
usaha mereka melakukan perlawanan.
*
* *
Sedangkan
RATNA SAPTARI,
dosen pada Universiteit Leiden, menyampaikan uraian sekitar gerakan
perempuan Indonesia dari pucuk rezim Orba sampai pasca Orde Baru:
Kasus
perjalanan Kalyanamitra.
Organisasi yang didirikan dalam situasi setelah diciptakannya oleh
Orba, momok berkaitan dengan soal 1965 dan Gerwani, yang masih terus
menghantui dan mewarnai iklim pengorganisasian. Sehingga membuthkan
hampir dua dekade sebelum mulai muncul beberapa oarganisasi perempuan
untuk mengangkat isu perempuan lagi.
*
* *
Suasana
meriah berisi yang mewarnai hari peringatan ditandai antara lain
dengan pembacaan sajak oleh Dini Setyowati dan Faridah Ishaya.
Kehadiran Prof. Dr Saskia Wirenga, gurubesar pada Universitas
Amsterdam dan yang telah menulis buku penting dan terkenal berjudul;
SEXUAL POLITICS IN
INDONESIA (2002), memperkaya suasana pertemuan.
Prof Saskia sempat pula memperkenalkan novel yang ditulisnya berjudul
“HET KROKODILLEN-GAT”. Artinya LUBANG BUAYA. Buku novel berbahasa
Belanda Prof Saskia Wirenga tsb adalah sebuah “thriller”politik
yang ditulis dengan latar belakang peristiwa 65. Ceritanya didasarkan
atas hasil penelitiannya pribadi atas kisah di belakang kejadian
genoside Indonesia.
Juga
hadir Prof Bambang Purwanto yang kebetulan baru datang dari
Indonesia.
Tampak
pula salah seorang pimpinan bagian Asia IISG (Internationaal
Instituut voor Sociale Geschiedenis), Drs Emile Schwiederl, serta
Ruth Wertheim, penulis dan salah seorang putri Prof De. W.F
Wertheim.
Untuk
menambah semarak dan warna budaya pertemuan telah dipamerkan sejumlah
lukisan menrik buah karya anggota-anggota “Dian”, a.l. F.
Pattipilohy, Murtiningrum Suwardi dan Aminah Idris.
Pertemuan
yang semarak itu diakhiri dengan tarian bersama Indonesia yang
populer POCO-POCO.
*
* *
No comments:
Post a Comment