Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 02 Mei 2012
-----------------------------
Menyambut Hari Buruh 1 MEI, 2012
Artikel yang amat kusarankan, --- agar dibaca oleh sebanyak mungkin pemeduli kaum pekerja Indonesia, khususnya para aktivis serikatburuh, serta juga pakar ekonomi, pelajar/mahasiswa dan para jurnalis muda, --- ialah tulisan analitis yang kukutip SELENGKAPNYA di bawah. Artikel itu berjudul “MENYAMBUT HARI BURUH 2012”. Aku menerimanya dari sahabatku Arif Harsana, pengelola mailist Temu Eropah, dan bersumber dari situs “Indoprogress”. Penulisnya adalah Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Kepala Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM KM UGM, Yogyakarta.Mengapa kusarankkan agar Anda-Anda membaca tulisan Ahmad Rizky tsb ? Bukan disebabkan oleh jabatannya, sebagai Kepala Departemen Strategis & Kebijakan BEM KM Universitas Gajah Mada. Tetapi, pertama-tama, karena artikel itu ditulis oleh seseorang yang MENGENAL SITUASI KONGKRIT yang ditulisnya, dan mengadakan ANALISA SECARA KONGKRIT PULA . . . Yaitu mengenai situasi kongkrit kaum buruh dan perburuhan Indonesia, serta situasi umum ekonomi nasional kita.
Pembaca tidak mesti setuju dengan analisis dan kesimpulan yang dibuat Ahmad Rizky. Tapi bisa mencoba memahami analisa dan kesimpulannya yang TJES PLENG itu. Berusaha mempertimbangkannya.
* * *
Di bawah ini diangkat untuk menjadi perhatian pembaca dalam tulisan Ahmad Rizky, a.l sbb:
Penulis Ahmad Risky mengawali tulisannya dengan memfokuskan pada empat hal:
“Pertama, harus diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. Harga minyak dunia melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif menjawabnya dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM Bersubsidi. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain di mana-mana. Dst . . .
“Kedua,
kita
masih dihadapkan pada ‘rezim upah murah.’ . . . dst
Ketiga,
kita
menghadapi fenomena ‘proletarisasi petani’ (Kompas, 14/4). Gejala
ini ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil
perusahaan-perusahaan besar. dst
Keempat,
masalah
outsourcing
dan
hak untuk berserikat sampai kini belum juga tuntas. Kita masih saja
dihadapkan oleh pekerja kontrak yang harus menjadi pengangguran baru
setelah kontraknya selesai, berada di bawah bayang-bayang PHK, hingga
penggusuran lahan yang semakin menghimpit para buruh. dst”
Mendekat
pada akhir pembeberan dan kemudian menarik kesimpulannya Ahmad Rizky
selanjutnya:
“… Apa
benang merah yang bisa kita tarik dari masalah-masalah di atas?
Jelas, buruh menghadapi masalah penaikan harga BBM yang tidak
menguntungkan, upah yang tidak layak (karena UMP tak kunjung
dinaikkan), ‘rezim upah murah,’ bayang-bayang PHK jika ongkos
produksi naik dan perusahaan melakukan efisiensi, serta proletarisasi
karena tanah sudah harus terjual untuk kepentingan industrial. Buruh
kian tercekik. Dan masalah seperti
ini akan tetap ada jika kapitalisme masih terus ada. (huruf tebal
I.I.)
“… Jelas, masalah
penaikan harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang tak
berdaulat. Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya
keberpihakan yang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan
pemilik modal. Proletarisasi terjadi karena petani tak lagi berdaulat
atas tanahnya, dan pemiskinan buruh terjadi karena buruh tak lagi
berdaulat atas hasil kerjanya.
Ketika
buruh dihisap melalui rezim upah murah dan ekonomi sedang
morat-marit, kepada siapa kita menuntut? Jangan lupa, kita masih
punya negara. Negara ini didirikan untuk ‘melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum’ (pembukaan UUD 1945). Jelas, tanggung jawab
membebaskan buruh dari ketertindasan adalah tanggung jawab negara.
(huruf tebal dari I.I.)
“… para
founding
fathers
membuat pasal 33 dalam UUD 1945. ‘Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Ada dua poin penting di sini:
(1) negara menguasai sektor produksi strategis; (2) hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelas
menegaskan prinsip anti-liberalisasi dalam pengelolaan ekonomi.
Setelah
mengadakan analisa tentang situsi kongkrit keadaan kaum buruh dan
ekonomi nasional kita, Ahmad Rizky tiba pada kesimpulan akhir yang
TJES PLENG. Bahwa situasi kita, dimana kapitalisme sudah masuk ke
seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat, bahwa negeri kita berada dalam
cenkeraman
KAPITALISME
YANG DIKAWAL OLEH REJIM NEOLIBERALISME.
Ahmad
Rizky menegaskan bahwa:
“.
. . . Sekarang, persoalan kian kompleks.
Kapitalisme masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan kita, secara
ekonomi, politik, dan kultural, dari sektor manufaktur hingga
sektor ekstraktif. Tapi dalam kedua sektor itu pun, sumberdaya alam
(SDA) kita tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengan
cepatnya. Dan artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret
John Pilger (2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik,
tetapi juga pasar internasional -dengan skema globalisasi. Artinya,
negara semakin tidak berdaulat atas hasil produksi di dalam
negerinya.
Dalam konteks ini, kita
jelas telah menemukan musuh bersama kita. Mahasiswa, buruh, dan semua
elemen masyarakat yang ingin bergerak pada 1 Mei 2012 mesti temukan
musuhnya. Dan pada analisis ini, kita sudah temukan akar masalahnya:
Kapitalisme yang kini
dikawal oleh rejim neoliberalisme.
* * *
Sudah
saatnya hari buruh kita jadikan isu bersama semua kalangan. Mari
menyambut Mayday dengan semangat ‘rakyat Indonesia yang Berdaulat.’
Demikian Ahmad Rizky mengakhiri tulisannya yang cekak-aos, tapi
jelas, tegas dan TJES
PLENG.
*
* *
Artikel Ahmad Rizky selengkapnya:
Menyambut
Hari Buruh 2012
Oleh: Ahmad
Rizky Mardhatillah Umar, Kepala
Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM KM UGM, Yogyakarta
KIRA-KIRA,
apa yang akan menjadi isu ramai di hari Buruh tahun ini? Mari kita
petakan masalah-masalah yang sebenarnya menjadi masalah kita bersama
— intelektual, mahasiswa, profesional, buruh, tani, dll-pada hari
buruh tahun ini
Pertama,
harus diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. Harga minyak
dunia melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif
menjawabnya dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM
Bersubsidi. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain
di mana-mana.
Jelas, buruh paling
dirugikan karena harus menghadapi bahaya lain: pemangkasan upah.
Kenaikan harga BBM menaikkan ongkos produksi. Perusahaan akan dengan
mudah menurunkan upah buruh -apalagi ditopang dengan upah minimum
provinsi (UMP) yang tidak layak- sehingga justru menempatkan buruh
pada posisi paling dirugikan. Ini dampak riil yang akan dialami
buruh.
Faisal Yusra, Ketua
Serikat Pekerja Migas Indonesia (SPMI), telah menyatakan bahwa
masalah penaikan harga BBM tak terlepas dari skema liberalisasi Migas
yang menganaktirikan Pertamina di Indonesia (Yusra, 2012). Sebagai
perusahaan negara, posisi Pertamina dalam industri hulu justru harus
‘bersaing’ dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing lain
yang bercokol melalui UU 22/2001 tentang Migas.[1]Ketika
pekerja Pertamina bekerja keras penuhi pasokan BBM di Indonesia,
perusahaan asing justru mengeruk kekayaan dengan bagi hasil tak
seimbang. Ini ironis dan problematis. Artinya, hal ini juga terkait
problem perburuhan yang berkorelasi dengan problem kedaulatan bangsa.
Kedua,
kita masih dihadapkan pada ‘rezim upah murah.’ Secara teoretik,
kita mengenal teori ‘hukum besi upah.’ Ketika berbicara soal upah
dan kerja, David Ricardo menyatakan: upah buruh tidak akan melebihi
kemampuan seorang buruh memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Ricardo,
‘nilai suatu barang’ sama dengan kerja yang dilakukan untuk
mencapai produksi yang dihasilkan (Agung, 2009). ‘The
value of a commodity, or the quantity of any other commodity for
which it will exchange, depends on the relative quantity of labour
which is necessary for its production, and not on the greater or less
compensation which is paid for that labour.’(Ricardo,
1817).[2]
Artinya, jika ‘nilai’
= kerja, berarti nilai yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan
barang adalah akumulatif kerja dari masing-masing buruh untuk
memproduksi sebuah barang. Di sinilah kritik Marx masuk. Menurut
Marx, Ricardo melakukan oversimplifikasi terhadap nilai yang
menyebabkan upah buruh tak akan berada pada level yang tinggi.
Justru, tenaga para buruh dihisap oleh para kapitalis untuk
melipatgandakan keuntungan mereka dengan jam kerja dan rendahnya upah
itu sendiri, sementara upah terus bertahan.
Mengapa? Berdasarkan law
of diminishing return, keuntungan pada
dasarnya akan selalu turun. Ricardo percaya bahwa turunnya tingkat
upah akan menyebabkan majikan harus menaikkan tingkat upah agar
keuntungan bertambah . Namun, kondisinya akan secara alamiah hanya
akan cukup membuat buruh bertahan hidup, sebab jika keuntungan naik,
maka upah pun akan dipangkas. Ini yang disebut dengan ‘hukum besi
upah’ (Agung, 2009).
Jadi, ekonomi yang
morat-marit akan berdampak pada ongkos produksi yang naik pula. Dan
artinya, buruh harus siap menghadapi pemangkasan upah. Pada titik
inilah tesis Marx bahwa kaum buruh harus bersatu untuk menghadapi
para kapitalis menjadi dapat kita terima. Sebab, kapitalisme secara
alamiah akan menghisap tenaga para buruh demi kepentingan
produksinya. Dan jika itu terjadi, yang ada hanyalah penindasan!
Inilah yang disebut oleh
Marx sebagai ‘alienasi.’ Buruh yang dihisap tenaganya dengan upah
yang tidak layak, tidak lagi menikmati hasil kerjanya sendiri.
Padahal, sifat dasar manusia adalah bekerja dan berproduksi. Dan
artinya, tanpa campur tangan negara dalam pengupahan yang layak, hal
ini akan berarti pemiskinan buruh atas fasilitasi negara!
Ketiga,
kita menghadapi fenomena ‘proletarisasi petani’ (Kompas, 14/4).
Gejala ini ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena
diambil perusahaan-perusahaan besar. Nurkhoiron (2012) juga melihat
gejala serupa di kalangan pesantren Nahdhiyyin,
ketika gejala pembangunan meninggalkan pedesaan dan basis keagamaan
di dalamnya, menjadikan tingkat pengangguran banyak di kalangan
NU.[3]
Kita patut melihat ini
pada relasi tanah pertanian, yang sebenarnya terhubung pada
penjelasan ‘proletarisasi’ ini. Saya melihat, dalih pengambilan
lahan, paling tidak, ada dua: pertama,
untuk pertambangan atau industri. Taktik yang dilakukan oleh
perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak
sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi
dengan baik. Kedua,
untuk infrastruktur, dimana perusahaan kadang membajak peran negara
dengan dalih penyediaan lahan untuk kepentingan umum. Warga hanya
mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak mendapatkan akses atas tanah
yang baru.
Baru-baru saja, kita
terkejut ketika sebuah UU tentang Pengadaan Lahan bagi Kepentingan
Umum lolos begitu saja di DPR-RI (UU Nomor 2 Tahun 2012). UU ini bisa
menjadi celah kaum kapitalis membajak negara untuk membebaskan lahan
para petani, tanpa memperhatikan dampak sosial yang menyertainya.
Masalah ini jelas
terhubung dengan fenomena perburuhan. Meningkatnya jumlah buruh yang
terjebak pada ‘hukum besi upah’ salah satunya disebabkan oleh
masalah ini. Ketika para petani kehilangan lahan, yang sebenarnya
juga bisa dibaca sebagai ‘upaya pemiskinan,’ tak ada pilihan lain
bagi mereka selain menjadi buruh. Modelnya bisa menjadi buruh tani
(petani penggarap) atau masuk sebagai buruh di sektor industrial.
Keempat,
masalah outsourcing dan
hak untuk berserikat sampai kini belum juga tuntas. Kita masih saja
dihadapkan oleh pekerja kontrak yang harus menjadi pengangguran baru
setelah kontraknya selesai, berada di bawah bayang-bayang PHK, hingga
penggusuran lahan yang semakin menghimpit para buruh.
Fenomena outsourcing-upah
murah-penggusuran lahan petani-kenaikan harga barang kebutuhan pokok
seperti menjadi lingkaran setan bagi mereka yang tak berpunya. Lahan
pertanian digusur, meninggalkan dua opsi bagi para petani: menjadi
buruh tani atau buruh pabrik (selain “pengangguran”, tentu saja).
Di sini, terjadi proletarisasi.
Mereka yang menjadi buruh
harus dihimpit oleh upah murah, yang seperti kata Ricardo dan Marx
dulu, hanya cukup untuk mencukupi bertahan hidup. Tapi tak cukup
hanya itu. Sewaktu-waktu, kontrak mereka bisa diputus (PHK) atau
habis kontrak dan harus kehilangan pekerjaan, dan mereka bertahan
pada sesuatu yang sifatnya sirkular.
Sejauh penelusuran saya,
Siklus tadi terjadi di daerah pertambangan minyak. Warga desa yang
dibebaskan lahannya harus menghadapi fenomena proletarisasi, berubah
profesi apakah menjadi petani penggarap atau justru menjadi
pegawai outsource (untuk
hal-hal yang sifatnya “kasar”, tentunya) di perusahaan minyak.
Jika suatu saat minyak kita habis, bagaimana nasib para pekerja ini?
Perusahaan asing angkat kaki, tinggallah lahan yang tak subur dan
mereka yang tak bisa bekerja lagi.
Di sinilah yang mengerikan
dari outsourcing. Rakyat
kita semakin tidak berdaulat atas hasil kerja yang mereka miliki.
Apalagi, perlindungan dari negara sangat lemah. Pembiaran oleh negara
memberi peluang dan keleluasaan bagi para majikan untuk memberlakukan
sistem kerja kontrak yang ujung-ujungnya hanya menindas kaum buruh
Apa benang merah yang bisa
kita tarik dari masalah-masalah di atas? Jelas, buruh menghadapi
masalah penaikan harga BBM yang tidak menguntungkan, upah yang tidak
layak (karena UMP tak kunjung dinaikkan), ‘rezim upah murah,’
bayang-bayang PHK jika ongkos produksi naik dan perusahaan melakukan
efisiensi, serta proletarisasi karena tanah sudah harus terjual untuk
kepentingan industrial. Buruh kian tercekik. Dan masalah seperti ini
akan tetap ada jika kapitalisme masih terus ada.
Jelas, masalah penaikan
harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang tak berdaulat.
Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya keberpihakan
yang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan pemilik modal.
Proletarisasi terjadi karena petani tak lagi berdaulat atas tanahnya,
dan pemiskinan buruh terjadi karena buruh tak lagi berdaulat atas
hasil kerjanya.
Ketika buruh dihisap
melalui rezim upah murah dan ekonomi sedang morat-marit, kepada siapa
kita menuntut? Jangan lupa, kita masih punya negara. Negara ini
didirikan untuk ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum’
(pembukaan UUD 1945). Jelas, tanggung jawab membebaskan buruh dari
ketertindasan adalah tanggung jawab negara.
Untuk itulah,
para founding fathers
membuat pasal 33 dalam UUD 1945. ‘Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Ada dua poin penting di sini:
(1) negara menguasai sektor produksi strategis; (2) hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelas
menegaskan prinsip anti-liberalisasi dalam pengelolaan ekonomi.
Sekarang, persoalan kian
kompleks. Kapitalisme masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan kita,
secara ekonomi, politik, dan kultural, dari sektor manufaktur
hingga sektor ekstraktif. Tapi dalam kedua sektor itu pun, sumberdaya
alam (SDA) kita tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengan
cepatnya. Dan artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret
John Pilger (2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik,
tetapi juga pasar internasional -dengan skema globalisasi. Artinya,
negara semakin tidak berdaulat atas hasil produksi di dalam
negerinya.
Dalam konteks ini, kita
jelas telah menemukan musuh bersama kita. Mahasiswa, buruh, dan semua
elemen masyarakat yang ingin bergerak pada 1 Mei 2012 mesti temukan
musuhnya. Dan pada analisis ini, kita sudah temukan akar masalahnya:
kapitalisme yang kini dikawal oleh rejim neoliberalisme.
Sudah saatnya hari buruh
kita jadikan isu bersama semua kalangan. Mari menyambut Mayday dengan
semangat ‘rakyat Indonesia yang Berdaulat.’***
* * *
No comments:
Post a Comment